Share

Bab 6

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2025-05-23 09:32:52

"Sebenarnya Tante bukan ngelarang kamu buat deket sama Mbak Tiara, tapi tahu nggak alasan bundamu gak suka sama dia, bahkan kek mustahil banget ada di satu tempat yang sama, kecuali benar-benar gak ada pilihan lain?"

Aku diam. Tertegun. Hening mencabik pikiranku. Kenapa Bunda begitu enggan berinteraksi dengan Tante Tiara? Selama ini kukira Bunda hanya menjaga jarak karena tidak semua orang cocok satu frekuensi. Namun nyatanya, semua terlalu dalam, terlalu rumit, terlalu menyakitkan.

"Mbak Tiara emang sepupu, tante kamu juga, tapi dia itu ada perasaan ke Mas Hanan. Mungkin sekarang enggak, tapi kayaknya masih. Bunda pasti sakit hati setiap kali ketemu sama Mbak Tiara. Jadi, kamu jangan sampe bikin Bunda salah paham, misal kamu lebih nyaman ke mereka daripada Bunda."

Aku mengangguk pelan, menahan napas.

"Nggak akan, Tan. Aku gak akan ngecewain Bunda. Kalau memang benar Tante Tiara ada perasaan ke Ayah, itu mungkin wajar asal Ayah gak balas mencintai aja. Lagian Tante Tiara selalu baik ke aku, kok."

"Tapi gak sebaik itu. Dulu ayahmu punya pacar, Mbak Tiara jadi orang ketiga. Saat ayahmu memutuskan untuk melamar bundamu, dia mengamuk. Sehari sebelum menikah, Mbak Tiara ngancem pengen bunuh diri dan ayahmu malah menikahinya diam-diam."

Rasanya seperti disambar petir. Napasku tersangkut di tenggorokan. Dunia runtuh di bawah telapak kaki. Seumur hidupku mengira Bunda adalah satu-satunya. Ternyata dia adalah yang kedua. Kedua. Kata itu seperti sembilu menyayat benakku.

Aku marah. Gumpalan panas naik dari perut menuju dada, leher, dan kepala. Membakar semua sisa logika. Aku ingin berteriak, mengamuk, membalik semua meja dan kursi di rumah ini. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin Ayah yang selama ini kusebut panutan ternyata lebih pengecut dari yang bisa kubayangkan?

Aku kecewa. Bukan hanya pada Ayah, tapi pada semua wajah manis yang pernah tersenyum padaku, padahal mereka menyimpan taring di balik senyum, pada semua obrolan keluarga yang menyimpan bangkai di bawah permadani. Dunia ini terlalu busuk. Terlalu kotor. Kalau Bunda bisa diam selama ini, maka aku pun bisa, tapi bukan untuk pasrah.

"Jadi, Bunda istri kedua?"

"Istri kedua, tapi istri sah, May." Tante Husna menunduk, suaranya merendah seperti menyimpan banyak luka. "Nenek sebenarnya nggak tahu juga soal ini karena Mas Hanan menikah siri sama Mbak Tiara. Pun nikahnya di luar kota. Almarhum Kakek juga nggak tahu. Hanya kami, adik-adiknya. Waktu itu, usia Tante masih remaja dan tahu pun kebetulan. Tante minjem HP Mbak Tiara dan kebetulan ada chat dari Mas Hanan. Di situlah Tante tahu kalau mereka udah nikah duluan. Tante sedih banget, kasian Bunda. Kalau Bunda tahu mereka sebenarnya udah nikah duluan dan rumah kalian dulunya dihuni sama Mbak Tiara, entah apa yang akan dilakukannya."

"Rumah? Tante Tiara dulu tinggal di rumah aku?"

"Iya, May. Sepuluh tahun di sana, makanya kalian selama ini juga tinggal di rumah nenekmu, ibu dari Bunda, kan?"

Aku ingin muntah. Mual dan muak bercampur menjadi satu. Rumah yang selama ini kukira tempat terbaik di dunia, ternyata pernah dihuni oleh pengkhianatan. Setiap sudutnya menyimpan jejak perempuan lain. Bukan Bunda, bukan ibuku, tapi perempuan lain. Dan aku ... aku dibesarkan di atas sisa-sisa luka itu.

Aku menangis dalam hati. Tidak keluar air mata, hanya sesak yang membatu. Kalau saja Bunda hanya diam dan menerima, maka aku yang akan bertindak. Aku yang akan membakar satu-satu semua kebohongan mereka. Aku akan menjadi tangan yang menggenggam dendam itu dan menyulutnya menjadi bara.

Aku bertekad. Jika Bunda tidak bisa membalas, maka aku akan melakukannya. Aku akan membayar semua luka Bunda dengan harga yang lebih tinggi. Aku akan membuat mereka tahu bahwa aku bukan anak kecil yang mudah dibodohi.

"Tapi Tante yakin kalau sebenarnya Bunda emang ada rencana lain. Bunda nggak akan bertahan kalau nggak ada tujuan, May."

"Tante Husna yakin?" tanyaku, alis bertaut rapat.

"Yakin banget."

"Tapi apa yang Bunda pikirin? Apa demi anak? Kalau iya, mending pergi. Bunda punya penghasilan sendiri, aku pun sudah bukan anak kecil lagi, kedua adik juga pasti bisa mengerti."

"Bukan, May. Nanti kalau kamu udah ngerasa yakin, tanyakan pada Bunda soal Mbak Tiara. Yang penting sekarang harus kita lakukan adalah mikirin gimana caranya misahin Mas Hanan sama Mbak Nanda. Kalau mereka terus bersama, selain nyakitin Bunda, juga nyakitin kamu dan adik-adikmu. Bukan Mbak Nanda doang yang salah, tapi Mas Hanan juga."

Aku tersenyum miring penuh kepahitan. Pertemanan lawan jenis memang tak sesederhana itu, tapi jika cinta menjadi alasan, maka semuanya jadi kelihatan lebih menjijikkan.

Pukul sepuluh malam, mereka baru pulang. Ayah dan Tante Nanda terlihat lelah, tapi bahagia. Aku menekan semua amarah dan segera menghampiri Ayah, menggamit lengannya seperti anak manja.

"May pasti ada maunya ini," tebak Ayah, tertawa kecil.

Aku pura-pura manyun. "Bukan gitu, Yah."

"Lalu?"

"Besok Subuh kita udah pulang, tapi Ayah keliatan capek banget."

"Ayah gak apa, May. Ini mau ngerjain beberapa hal dulu sebelum tidur. Mungkin sekitar tengah malam baru kelar."

"Kenapa gak dikerjain sejak tadi?"

"Kan, nganter Tante Nanda ke mana-mana juga."

"Apa nggak capek?"

"Kenapa? Besok mau gantian bawa mobil?" Ayah tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Aku mendengkus dan pergi begitu saja.

Aroma parfum Ayah berbeda. Aroma wanita itu. Mungkin menempel saat mereka duduk berdekatan. Atau lebih. Aku tidak ingin membayangkannya.

Di dalam kamar, kutulis pesan pada Bunda. Menanyakan hal yang sejak tadi mengendap di dadaku.

Aku : Kayaknya memang ada hubungan, Bun.

Bunda : Ok, May. Bunda susun rencana dulu.

Aku : Tapi Bunda Keliatan Tenang Banget, Lho.

Bunda : Iyakah? Itu lebih bagus. Pokoknya May harus bersikap biasa aja. Kumpulkan bukti, kirim, sisanya serahkan ke Bunda. Gimana pun, Ayah itu ayah kamu.

Bunda memang bukan perempuan biasa. Keteguhannya seperti karang meski dihantam gelombang bertubi-tubi.

Bunda : Kalau udah pulang dan ada waktu, May harus berkunjung ke rumah Tiara. Kalian mengobrol soal Nanda, pasti dia tahu banyak.

Aku menggenggam ponsel erat-erat. Mataku menatap lurus ke langit-langit, dadaku berdegup pelan, berat.

Sekali lagi aku berjanji dalam hati. Jika Bunda tidak menghukum mereka, aku yang akan lakukan. Aku akan memulainya dari Tante Tiara.

Sebelum itu, aku harus tahu siapa sebenarnya wanita yang kusebut Tante selama ini. Dan aku harus tahu sejauh apa Ayah tega mengkhianati kami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 87

    Malam begitu tenang, seolah langit ingin menidurkan bumi. Hujan deras mengguyur tanpa jeda, memukul-mukul atap seng dengan irama yang sama sejak magrib. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air, menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang pecah setiap tetes jatuh.Di kejauhan, suara kodok bersahutan, kalah oleh gemuruh hujan yang menutup rapat semua suara lain. Udara lembap merayap masuk lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah yang menenangkan sekaligus menusuk kenangan lama.Di dalam rumah, hanya suara hujan yang berbicara. Selebihnya, malam seperti menahan napas.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di tengah riuhnya hujan dengan pelan, tapi cukup jelas menembus dinding kesunyian. Hanan bangkit, melangkah ke arah pintu dengan rasa heran.Begitu daun pintu terbuka, udara dingin menerpa wajahnya. Di teras, berdiri Tiara dengan payung hitam yang meneteskan air. Di sebelahnya, Kiara mengerutkan bahu, jaketnya sudah basah di bagian lengan.Wajah Tiara data

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 86

    Karena benar-benar tak ada satu pun yang mau menerima Hanan bekerja, rasa putus asanya makin menjadi. Terlintas di benak, adik iparnya sedang libur dan berada di rumah. Dengan niat yang setengah berharap, dia memutuskan untuk berkunjung. Pria berusia tiga puluh tiga tahun bertubuh tinggi dengan raut wajah tenang itu tengah duduk di ruang tamu. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap, ditemani sepiring nasi goreng yang aromanya memenuhi ruangan. Asap rokok melayang di udara, bergulir sebelum menghilang. Beberapa saat kemudian, dia mematikan puntung rokok di asbak, kemudian menoleh ke arah pintu. “Mas Hanan? Masuk, Mas!” “Fatih.” Hanan tersenyum tipis lalu melangkah masuk dan ikut duduk. “Hanen, buatin Mas Hanan minum!” seru Fatih dari kursinya. Dari dapur, suara Hanen terdengar menyahut pelan, tanda mengiyakan. Hanan menarik napas panjang. “Walau adikku keras kepala, aku lihat rumah tangga kalian baik-baik aja.” “Mas, rumah tangga itu nggak bisa cuma salah satu y

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 85

    "Makasih, ya, Dek. Kamu udah bantuin masmu." Husna mendengkus kesal lalu melangkah cepat menuju kursi di ruang tamu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau berita kedatangan Nanda yang mengaku hamil tersebar di lingkungan itu. Tadi saja kebohongannya sudah jelas terbongkar, tapi gosip itu sifatnya seperti api di sekam—baru benar-benar panas ketika ada yang meniup dan menambah-nambahi cerita dari kejadian sebenarnya. "Mas, kalau aja dulu kamu nggak selingkuh sama perempuan kayak dia, nggak akan ada kejadian hari ini. Semua yang Mas alami setengah tahun ini seharusnya nggak pernah ada. Mungkin aku masih bebas chat sama May, ngobrol sama adik-adiknya juga." Husna membuang napas kasar. "Kamu nggak akan dipermalukan kayak gini, dipandang remeh tetangga, bahkan kehilangan muka. Mas, kamu nggak pernah kepikiran buat mengakhiri hidup aja?" Hanan menunduk. Perkataan adiknya menusuk tepat di dada. Dalam hati, dia mengakui semua itu benar. Andai saja dia tidak jatuh cinta

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 84

    Mentari baru saja mengintip dari balik bukit, sinarnya lembut menyapu kabut yang masih menggantung di atas sawah. Udara pagi segar menyelinap lewat jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok dari kejauhan. Daun-daun pisang bergoyang pelan diterpa angin, sementara suara lesung ditumbuk dari dapur tetangga terdengar bersahut-sahutan. Hari baru telah dimulai begitu pelan, sederhana, tapi penuh kehidupan. Seorang wanita berdiri di depan rumah Bu Siti. Tak lama, dia pun mengetuk pintu. “Mas Hanan, buka pintunya!” Teriakan itu membuat langkah Hanan terhenti di depan cermin. Dia baru saja merapikan kemeja untuk pergi mencari lowongan kerja ke luar kota. Tak perlu berpikir lama, suara itu sangat dia kenali dan tak pernah dia harapkan datang di pagi buta. Saat membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Husna yang berdiri dengan wajah masam, kedua tangan dilipat di dada, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. “Mas Hanan, buka pintunya!” teriak suara

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 83

    "Intinya begini. Bu Nanda itu pelakor yang sekarang nyamar jadi korban. Mungkin tadi dia didatangi istri sah. Entah sesakit apa hatinya sampe bisa kayak gini."Nanda menatap tajam wanita itu lalu mengelus dahinya yang masih terasa perih karena coretan lipstik. "Lucu ya, kalian semua langsung percaya omongan begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan heran kalau suatu hari suami kalian pun akan menyesal menikahi kalian dan kalian bakal duduk di pos ronda sambil saling menyalahkan seperti sekarang."Beberapa ibu tampak tersinggung, tapi Nanda tak berhenti."Aku dituduh pelakor? Hanya karena tulisan di dahi dan fitnah dari perempuan yang jelas-jelas dendam karena mantan suaminya lebih memilihku? Kalian tahu apa? Ida, perempuan yang katanya istri sah itu, sudah menggugat cerai suaminya sebelum aku bahkan kenal dekat dengannya!""Ih, jangan muter-muter, Bu. Udah jelas ada yang nyoret, itu tandanya pelampiasan dari istri sah."Nanda menertawakan mereka, getir tapi ny

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 82

    Terik matahari menggantung tepat di atas kepala. Suasana kompleks perumahan masih cukup tenang, beberapa anak pulang sekolah dijemput orang tuanya, sementara suara tawa kecil terdengar dari arah taman.Seorang ibu yang baru saja menutup pagar rumahnya mendadak berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok di teras rumah seberang."Eh, itu Bu Nanda?"Langkahnya pelan-pelan mendekat, rasa penasaran makin tumbuh. Dan saat melihat lebih dekat, dia langsung menjerit."Astaga, Bu Nanda?!"Teriakannya mengundang perhatian warga sekitar. Pintu-pintu terbuka, beberapa orang keluar, heran dengan keributan mendadak."Ada apa sih?""Itu ... itu Bu Nanda! Astaga, kenapa kayak gitu?!"Nanda tergeletak di teras dengan lipstik merah menyala belepotan seperti badut dan tulisan norak di dahinya, aku pelakor."Waduh, gila! Siapa yang tega?""Itu beneran Bu Nanda? Ya ampun, aku baru kemarin pindah, kok, langsung lihat beginian.""Pelakor? Maksudnya pelakor siapa? Kita aja baru kenal beliau, kan?""Aku pikir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status