LOGIN"Sebenarnya Tante bukan ngelarang kamu buat deket sama Mbak Tiara, tapi tahu nggak alasan bundamu gak suka sama dia, bahkan kek mustahil banget ada di satu tempat yang sama, kecuali benar-benar gak ada pilihan lain?"
Aku diam. Tertegun. Hening mencabik pikiranku. Kenapa Bunda begitu enggan berinteraksi dengan Tante Tiara? Selama ini kukira Bunda hanya menjaga jarak karena tidak semua orang cocok satu frekuensi. Namun nyatanya, semua terlalu dalam, terlalu rumit, terlalu menyakitkan. "Mbak Tiara emang sepupu, tante kamu juga, tapi dia itu ada perasaan ke Mas Hanan. Mungkin sekarang enggak, tapi kayaknya masih. Bunda pasti sakit hati setiap kali ketemu sama Mbak Tiara. Jadi, kamu jangan sampe bikin Bunda salah paham, misal kamu lebih nyaman ke mereka daripada Bunda." Aku mengangguk pelan, menahan napas. "Nggak akan, Tan. Aku gak akan ngecewain Bunda. Kalau memang benar Tante Tiara ada perasaan ke Ayah, itu mungkin wajar asal Ayah gak balas mencintai aja. Lagian Tante Tiara selalu baik ke aku, kok." "Tapi gak sebaik itu. Dulu ayahmu punya pacar, Mbak Tiara jadi orang ketiga. Saat ayahmu memutuskan untuk melamar bundamu, dia mengamuk. Sehari sebelum menikah, Mbak Tiara ngancem pengen bunuh diri dan ayahmu malah menikahinya diam-diam." Rasanya seperti disambar petir. Napasku tersangkut di tenggorokan. Dunia runtuh di bawah telapak kaki. Seumur hidupku mengira Bunda adalah satu-satunya. Ternyata dia adalah yang kedua. Kedua. Kata itu seperti sembilu menyayat benakku. Aku marah. Gumpalan panas naik dari perut menuju dada, leher, dan kepala. Membakar semua sisa logika. Aku ingin berteriak, mengamuk, membalik semua meja dan kursi di rumah ini. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin Ayah yang selama ini kusebut panutan ternyata lebih pengecut dari yang bisa kubayangkan? Aku kecewa. Bukan hanya pada Ayah, tapi pada semua wajah manis yang pernah tersenyum padaku, padahal mereka menyimpan taring di balik senyum, pada semua obrolan keluarga yang menyimpan bangkai di bawah permadani. Dunia ini terlalu busuk. Terlalu kotor. Kalau Bunda bisa diam selama ini, maka aku pun bisa, tapi bukan untuk pasrah. "Jadi, Bunda istri kedua?" "Istri kedua, tapi istri sah, May." Tante Husna menunduk, suaranya merendah seperti menyimpan banyak luka. "Nenek sebenarnya nggak tahu juga soal ini karena Mas Hanan menikah siri sama Mbak Tiara. Pun nikahnya di luar kota. Almarhum Kakek juga nggak tahu. Hanya kami, adik-adiknya. Waktu itu, usia Tante masih remaja dan tahu pun kebetulan. Tante minjem HP Mbak Tiara dan kebetulan ada chat dari Mas Hanan. Di situlah Tante tahu kalau mereka udah nikah duluan. Tante sedih banget, kasian Bunda. Kalau Bunda tahu mereka sebenarnya udah nikah duluan dan rumah kalian dulunya dihuni sama Mbak Tiara, entah apa yang akan dilakukannya." "Rumah? Tante Tiara dulu tinggal di rumah aku?" "Iya, May. Sepuluh tahun di sana, makanya kalian selama ini juga tinggal di rumah nenekmu, ibu dari Bunda, kan?" Aku ingin muntah. Mual dan muak bercampur menjadi satu. Rumah yang selama ini kukira tempat terbaik di dunia, ternyata pernah dihuni oleh pengkhianatan. Setiap sudutnya menyimpan jejak perempuan lain. Bukan Bunda, bukan ibuku, tapi perempuan lain. Dan aku ... aku dibesarkan di atas sisa-sisa luka itu. Aku menangis dalam hati. Tidak keluar air mata, hanya sesak yang membatu. Kalau saja Bunda hanya diam dan menerima, maka aku yang akan bertindak. Aku yang akan membakar satu-satu semua kebohongan mereka. Aku akan menjadi tangan yang menggenggam dendam itu dan menyulutnya menjadi bara. Aku bertekad. Jika Bunda tidak bisa membalas, maka aku akan melakukannya. Aku akan membayar semua luka Bunda dengan harga yang lebih tinggi. Aku akan membuat mereka tahu bahwa aku bukan anak kecil yang mudah dibodohi. "Tapi Tante yakin kalau sebenarnya Bunda emang ada rencana lain. Bunda nggak akan bertahan kalau nggak ada tujuan, May." "Tante Husna yakin?" tanyaku, alis bertaut rapat. "Yakin banget." "Tapi apa yang Bunda pikirin? Apa demi anak? Kalau iya, mending pergi. Bunda punya penghasilan sendiri, aku pun sudah bukan anak kecil lagi, kedua adik juga pasti bisa mengerti." "Bukan, May. Nanti kalau kamu udah ngerasa yakin, tanyakan pada Bunda soal Mbak Tiara. Yang penting sekarang harus kita lakukan adalah mikirin gimana caranya misahin Mas Hanan sama Mbak Nanda. Kalau mereka terus bersama, selain nyakitin Bunda, juga nyakitin kamu dan adik-adikmu. Bukan Mbak Nanda doang yang salah, tapi Mas Hanan juga." Aku tersenyum miring penuh kepahitan. Pertemanan lawan jenis memang tak sesederhana itu, tapi jika cinta menjadi alasan, maka semuanya jadi kelihatan lebih menjijikkan. Pukul sepuluh malam, mereka baru pulang. Ayah dan Tante Nanda terlihat lelah, tapi bahagia. Aku menekan semua amarah dan segera menghampiri Ayah, menggamit lengannya seperti anak manja. "May pasti ada maunya ini," tebak Ayah, tertawa kecil. Aku pura-pura manyun. "Bukan gitu, Yah." "Lalu?" "Besok Subuh kita udah pulang, tapi Ayah keliatan capek banget." "Ayah gak apa, May. Ini mau ngerjain beberapa hal dulu sebelum tidur. Mungkin sekitar tengah malam baru kelar." "Kenapa gak dikerjain sejak tadi?" "Kan, nganter Tante Nanda ke mana-mana juga." "Apa nggak capek?" "Kenapa? Besok mau gantian bawa mobil?" Ayah tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Aku mendengkus dan pergi begitu saja. Aroma parfum Ayah berbeda. Aroma wanita itu. Mungkin menempel saat mereka duduk berdekatan. Atau lebih. Aku tidak ingin membayangkannya. Di dalam kamar, kutulis pesan pada Bunda. Menanyakan hal yang sejak tadi mengendap di dadaku. Aku : Kayaknya memang ada hubungan, Bun. Bunda : Ok, May. Bunda susun rencana dulu. Aku : Tapi Bunda Keliatan Tenang Banget, Lho. Bunda : Iyakah? Itu lebih bagus. Pokoknya May harus bersikap biasa aja. Kumpulkan bukti, kirim, sisanya serahkan ke Bunda. Gimana pun, Ayah itu ayah kamu. Bunda memang bukan perempuan biasa. Keteguhannya seperti karang meski dihantam gelombang bertubi-tubi. Bunda : Kalau udah pulang dan ada waktu, May harus berkunjung ke rumah Tiara. Kalian mengobrol soal Nanda, pasti dia tahu banyak. Aku menggenggam ponsel erat-erat. Mataku menatap lurus ke langit-langit, dadaku berdegup pelan, berat. Sekali lagi aku berjanji dalam hati. Jika Bunda tidak menghukum mereka, aku yang akan lakukan. Aku akan memulainya dari Tante Tiara. Sebelum itu, aku harus tahu siapa sebenarnya wanita yang kusebut Tante selama ini. Dan aku harus tahu sejauh apa Ayah tega mengkhianati kami.Udara siang menembus kisi besi penjara, membawa aroma besi tua dan keringat. Hanan duduk di sudut ruang tahanan, membungkuk di atas meja kecil yang catnya mulai terkelupas. Kertas lusuh di tangannya berisi huruf-huruf yang tak lagi terbaca jelas—surat yang tak pernah sempat dikirim untuk Ida.Suara rantai bergemerincing di lorong panjang. Petugas memanggil, “Tahanan nomor 207, ada tamu.”Langkah Hanan terhenti sesaat. Matanya menatap kosong ke arah pintu. Siapa yang mau datang menemuinya setelah semua ini? Dia berdiri pelan, tubuhnya tampak lebih kurus, rambut mulai memutih di sisi pelipis. Wajah yang dulu selalu percaya diri kini tampak layu, seperti pohon tua kehilangan akar.Di ruang kunjungan, kaca tebal memisahkan dunia yang masih hidup dan yang sudah setengah mati. Hanan duduk di kursi logam, menunggu. Lalu, pintu terbuka.Seorang wanita muda masuk, diikuti seorang pria dengan jas abu-abu. Langkah mereka tenang, berwibawa. Hanan menegakkan tubuhnya, tapi napasnya tercekat saat m
Langit pagi masih bersih tanpa awan dan mentari menyorot lembut ke Gedung Bimasena, sebuah bangunan megah bergaya kolonial yang hari itu bertransformasi menjadi taman surga sementara. Fasadnya dihiasi dengan karangan bunga melati, mawar putih jenis Avalanche, dan anyelir segar yang disusun sedemikian rupa sehingga menjuntai indah dari pilar-pilar tinggi. Aroma lembut floral berpadu dengan wangi khas lilin aromaterapi yang diletakkan tersembunyi, menciptakan lapisan wangi yang elegan.Di dalam, suasananya adalah perwujudan kesempurnaan sosial. Setiap sudut ruangan memancarkan kebahagiaan yang dipoles dengan baik. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya kristal dari lusinan lampu gantung, dan di tengah ruang, karpet merah membentang menuju pelaminan yang dihiasi dengan instalasi bunga raksasa.Tawa pelan para tamu, yang kebanyakan adalah wajah-wajah penting dari kalangan bisnis dan politik, bercampur dengan denting gelas sampanye kristal dan lantunan musik lembut dari orkes kecil di p
Saat kertas itu kembali terselip rapi di dalam laci, kegembiraan dingin merayap ke dada May. Lampu kamar meredup jadi latar. Dia berdiri, menutup mata, lalu menari pelan di antara bayangan. Langkahnya ringan, senyum samar melengkung di bibir. Di dalam kepalanya, kenangan dua bulan lalu berputar seperti potongan film lama di masa ketika semuanya mulai bergerak sesuai rencana. Hari itu, di taman kota yang sepi dan jarang dilalui orang, bangku panjang dekat kolam menjadi saksi. Hanan duduk di sana, bahunya sedikit menunduk, kemeja abu-abu yang dia kenakan tampak kusut di bagian siku. Dari kejauhan, bayangan seorang gadis muncul perlahan. “May.” Suara Hanan terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang lama mengganjal. “Aku cuma punya waktu sebentar, Yah. Bunda lagi tidur,” jawab May sambil duduk di sampingnya. Gerakannya tenang, tatapannya lembut, tapi penuh hitungan. Mereka diam sejenak. Angin menyentuh permukaan air, memantulkan wajah keduanya yang sama-sama menanggung sisa luka la
Berita di televisi sudah berakhir, meninggalkan ruang tamu yang senyap. May, Raya, dan Risa duduk berdekatan di sofa, belum benar-benar paham seluruh arti dari kabar yang baru saja mereka dengar. Hanya tahu bahwa seseorang yang dulu mereka panggil Ayah kini berada di balik jeruji besi. Dari luar, suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu diketuk pelan, disusul suara perempuan terisak. Ida menoleh cepat, lalu berdiri. Di ambang pintu berdirilah Hanen dengan mata bengkak, wajah pucat, dan pundak bergetar menahan tangis. “Masuklah, Nen,” ucap Ida pelan. Begitu langkah Hanen melewati ambang, suasana di ruang tamu langsung berat. Dia menutup mulutnya, menahan sesak yang tak terbendung. “Aku nggak nyangka, Mbak. Husna belum genap empat puluh hari, sekarang Mas Hanan juga harus masuk penjara.” Suaranya pecah, tubuhnya goyah. Ida meraih bahu wanita itu, menuntunnya duduk. “Aku juga nggak pernah berharap semua ini terjadi. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tangis Hanen pecah tanpa
Dua hari kemudian, kantor polisi semakin dipenuhi tumpukan berkas, rekaman digital, dan peta jalur CCTV. Setiap detil mulai disusun rapi oleh tim detektif. Sementara itu, sebuah telepon masuk ke meja detektif senior. “Hanan berada di lobi, ingin menyerahkan diri,” kata petugas sambil menahan napas. Detektif senior mengerutkan alis, menatap Hanan yang baru saja melangkah masuk. Wajahnya pucat, mata menunduk, tapi ada sesuatu di sana, tentang kesadaran dan ketegasan yang sebelumnya tak terlihat. Hanan menyerahkan ponsel genggamnya, tablet, dan beberapa dokumen. “Ini semua bukti yang membuktikan siapa yang mengatur semuanya. Aku yang merencanakan semuanya dan aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin kebenaran keluar, tanpa ada yang lagi jadi korban kebohongan atau dendam orang lain.” Detektif senior mengambil satu per satu dokumen itu. Di layar ponsel, chat-chat itu membuka rahasia gelap: Hanan menyuruh Raisa menaruh sapu tangan dengan huruf N di rumah Ida agar terlihat seperti bu
Ruang penyelidikan apartemen dipenuhi layar monitor. Detektif senior menatap salah satu rekaman CCTV, matanya menyipit. “Perhatikan jam tujuh malam. Di sini, sebelum keributan mulai, ada seseorang yang menarik perhatian.” Seorang detektif muda menekan tombol pause, memperbesar layar. Di lobby, seorang gadis muda tampak sibuk menelepon. Rambutnya diikat tinggi, tas kecil tergantung di bahunya, gerak-geriknya cemas. Dia sesekali menengok ke lift dan pintu masuk, seolah menunggu seseorang. “Lihat itu,” desis detektif muda, “dia bukan penghuni, kan? Gerakannya terlalu waspada.” Senior mencondongkan tubuh. “Benar. Catat setiap detil. Posisi tasnya, arah pandang, gerakan tangannya. Bisa jadi ini orang yang menaruh racun atau bahkan yang mematikan kamera koridor.” Seorang detektif lain mengangguk. “Nomor telepon yang dia pakai bisa kita telusuri. Siapa tahu ada koneksi dengan pihak ketiga yang sengaja menjebak Tiara.” Senior menghela napas. “Timeline malam itu mulai terlihat lebih







