Share

Bab 4

Author: Bintu Hasan
last update Huling Na-update: 2025-05-23 09:31:55

"Sebelumnya, Mas Hanan pernah datang berdua sama Mbak Nanda. Kalau nggak salah pas cuti tiga hari bulan lalu. Kita sempat ke rumah temennya buat nganter barang, terus ada yang nanya, ini istri kamu? Mas Hanan jawab, 'Bukan, tapi baru mau.'"

Deg. Dunia seakan berhenti di detik itu juga. Napasku tertahan. Apa maksud Ayah? Mungkinkah dia benar-benar berniat menikahi perempuan itu?

Hari itu ternyata mereka liburan ke sini dan aku dengan bodohnya percaya waktu Ayah bilang ada urusan sama bos. Sejak kapan bos Ayah berganti kelamin?

Tanganku terkepal. Kuat. Aku harus tenang. Tidak sekarang. Belum waktunya. Semua ada saatnya, dan aku akan menunggu saat itu dengan sabar. Namun, bukan berarti aku akan diam.

Aku ingin melempar sesuatu. Apa pun. Kursi, gelas, piring. Aku tahu, aku harus tetap terlihat baik. Aku harus menjadi topeng yang sempurna hingga waktunya tiba untuk membuka kedok mereka satu per satu.

"Nenek sama Tante Hanen setuju nggak kalau mereka nikah?"

"Nggaklah, May. Tante Hanen itu baik, tapi dia juga pinter manfaatin situasi. Mbak Nanda itu nggak akan dapet restu. Kamu tenang aja, kita semua nggak bakal biarin dia rebut Ayahmu. Tapi ... Bunda udah tahu mereka punya hubungan?"

Aku menghela napas, panjang. "Tahu. Aku sengaja rekam mereka, Bunda juga denger pas VC. Tapi dia malah kelihatan santai. Bunda cuma bilang ada rencana lain dan minta aku terus pura-pura. Menurut Tante, Bunda mikir apa? Apa iya rela dimadu segitu aja?"

Tante Husna terkekeh, tapi getir. "Enggak. Aku rasa bundamu sedang nyusun langkah. Jangan lupa, dia penulis. Dia ngerti gimana cara bikin ending yang nyakitin pelakor kayak di novelnya. Dia tahu wibawa harus dijaga, bukan dijatuhkan di depan orang."

Kata-kata itu menusuk. Aku menunduk. Rasa benci terhadap Ayah tumbuh seperti api kecil yang menjilat habis hatiku. Kalau pun suatu hari nanti dia minta maaf, aku tidak akan bisa memaafkan.

Kalau ini dosa, biarlah. Biar Tuhan yang nilai. Aku tidak akan diam melihat Bunda diinjak begini. Aku rela disebut durhaka, tapi jangan pernah sakiti ibuku.

Inilah alasan aku masih sendiri, tidak pernah betul-betul jatuh cinta. Karena kalau sosok seperti Ayah, yang selama ini kupuja, ternyata mampu menghancurkan kepercayaan begitu saja ... bagaimana aku bisa percaya pada laki-laki lain?

Dulu, aku ingin pria seperti Ayah. Sekarang, aku hanya ingin Ayah menghilang. Mati rasa, mati akal, atau mati sekalian—aku tidak peduli.

"Jadi aku harus apa, Tan? Aku bisa berpura-pura manis ke Tante Nanda, meski tiap lihat mukanya rasanya pengen muntah. Tapi aku nggak akan biarkan mereka bahagia di atas air mata Bunda. Di rumah, Bunda ngurus tiga anak cewek sendirian dan Ayah malah asyik bersenang-senang sama pelac ... perempuan itu. Aku rela Ayah kirim uang tiap bulan dua juta ke Nenek, tapi kalau sampai tahu dia kasih itu ke—"

Tante Husna mengernyit. Tangannya mencengkeram bahuku. Tatapan matanya menyelidik dalam, seolah hendak menembus isi hatiku.

"Apa maksudmu, May?"

"Ayah rutin ngirim uang ke sini, dua juta per bulan. Dari dulu juga gitu, kan?"

Tante Husna tertawa kecil, tanpa suara, penuh makna. "May, sejak kakekmu meninggal, ayahmu nggak pernah ngirim sepeser pun. Kita di sini bertahan sendiri. Baru agak mendingan waktu dapet bantuan pupuk itu."

Aku terdiam. Dada sesak. "Tante serius?"

"Aku nggak mungkin bohong sama kamu, May. Justru aku mulai mikir, jangan-jangan uang itu buat dia."

Darahku seperti mendidih. Aku langsung berdiri dan melangkah panjang ke ruang tengah. Harusnya Ayah sudah tidur, apalagi besok pagi kami harus berangkat lagi. Namun, dia masih segar karena sedang bersama "cintanya."

"Jangan gegabah," bisik Tante Husna di telingaku, setengah menyeret langkahku.

"May, sini, Sayang!" panggil Mbak Nanda, sok manis, sok akrab.

Aku menyunggingkan senyum tipis. Kalau bisa, bibir merah itu ingin kutarik sampai robek. Dia bisa pura-pura manis, padahal hatinya beracun.

Aku duduk di sampingnya. Ayah tersenyum.

"Ayah udah kabarin Bunda kalau kita udah nyampe?"

Tante Nanda tersedak. Air yang diminumnya sempat tertahan. Syukurin. Kepanasan, ya?

"Belum. Nanti aja. Bunda juga pasti bisa nebak, kok."

"Jangan sampai kayak kemarin. Waktu itu kita dalam perjalanan bareng Bunda, mobil malah masuk bengkel. Ayah ngabarin Nenek nggak? Enggak, kan? Nenek pasti khawatir." Aku menatap Nenek. "Iya, kan, Nek?"

"Iya, Hanan. Ibu khawatir. Telat banget kalian nyampe. Untung ada Nanda—"

"Aku kabarin Ida dulu, Bu." Ayah buru-buru memotong.

Takut, ya? Takut rahasianya kebongkar? Atau takut wanita simpanan tahu siapa yang sebenarnya ada di mobil itu?

Saat Ayah masuk kamar, terdengar notifikasi dari ponsel Tante Nanda. Dia tersenyum. Dunia kecil mereka jelas sedang bersinar. Dua menit. Tiga menit. Mereka terus balas pesan. Sayang sekali, aku tak bisa intip isi layar karena tempered glass-nya anti privasi.

"Aku ngantuk, duluan, ya," katanya lalu berdiri.

"Ayah pasti kangen Bunda, untungnya ada Tante Nanda," ucapku ikut bangkit. Dia sempat menoleh. Wajahnya kaku. Sakit, ya? Bagus. Baru permulaan.

Di kamar, aku langsung kirim pesan suara ke Bunda.

"Bun, ternyata mereka bener ada hubungan. Aku tahu dari Tante Husna. Nanti aku ketik lengkapnya. Jangan sampai ada yang denger."

Beberapa menit kemudian, balasan masuk.

Bunda: Kalau gitu, Bunda gak akan segan. Kirim semua buktinya. Ingat, jangan sampe ayahmu tahu kamu curiga. Biarin Nanda percaya kamu seneng dia di sana. Kita main sabar, tapi bukan pasrah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 87

    Malam begitu tenang, seolah langit ingin menidurkan bumi. Hujan deras mengguyur tanpa jeda, memukul-mukul atap seng dengan irama yang sama sejak magrib. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air, menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang pecah setiap tetes jatuh.Di kejauhan, suara kodok bersahutan, kalah oleh gemuruh hujan yang menutup rapat semua suara lain. Udara lembap merayap masuk lewat celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah yang menenangkan sekaligus menusuk kenangan lama.Di dalam rumah, hanya suara hujan yang berbicara. Selebihnya, malam seperti menahan napas.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di tengah riuhnya hujan dengan pelan, tapi cukup jelas menembus dinding kesunyian. Hanan bangkit, melangkah ke arah pintu dengan rasa heran.Begitu daun pintu terbuka, udara dingin menerpa wajahnya. Di teras, berdiri Tiara dengan payung hitam yang meneteskan air. Di sebelahnya, Kiara mengerutkan bahu, jaketnya sudah basah di bagian lengan.Wajah Tiara data

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 86

    Karena benar-benar tak ada satu pun yang mau menerima Hanan bekerja, rasa putus asanya makin menjadi. Terlintas di benak, adik iparnya sedang libur dan berada di rumah. Dengan niat yang setengah berharap, dia memutuskan untuk berkunjung. Pria berusia tiga puluh tiga tahun bertubuh tinggi dengan raut wajah tenang itu tengah duduk di ruang tamu. Di depannya, secangkir kopi hitam masih mengepulkan uap, ditemani sepiring nasi goreng yang aromanya memenuhi ruangan. Asap rokok melayang di udara, bergulir sebelum menghilang. Beberapa saat kemudian, dia mematikan puntung rokok di asbak, kemudian menoleh ke arah pintu. “Mas Hanan? Masuk, Mas!” “Fatih.” Hanan tersenyum tipis lalu melangkah masuk dan ikut duduk. “Hanen, buatin Mas Hanan minum!” seru Fatih dari kursinya. Dari dapur, suara Hanen terdengar menyahut pelan, tanda mengiyakan. Hanan menarik napas panjang. “Walau adikku keras kepala, aku lihat rumah tangga kalian baik-baik aja.” “Mas, rumah tangga itu nggak bisa cuma salah satu y

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 85

    "Makasih, ya, Dek. Kamu udah bantuin masmu." Husna mendengkus kesal lalu melangkah cepat menuju kursi di ruang tamu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau berita kedatangan Nanda yang mengaku hamil tersebar di lingkungan itu. Tadi saja kebohongannya sudah jelas terbongkar, tapi gosip itu sifatnya seperti api di sekam—baru benar-benar panas ketika ada yang meniup dan menambah-nambahi cerita dari kejadian sebenarnya. "Mas, kalau aja dulu kamu nggak selingkuh sama perempuan kayak dia, nggak akan ada kejadian hari ini. Semua yang Mas alami setengah tahun ini seharusnya nggak pernah ada. Mungkin aku masih bebas chat sama May, ngobrol sama adik-adiknya juga." Husna membuang napas kasar. "Kamu nggak akan dipermalukan kayak gini, dipandang remeh tetangga, bahkan kehilangan muka. Mas, kamu nggak pernah kepikiran buat mengakhiri hidup aja?" Hanan menunduk. Perkataan adiknya menusuk tepat di dada. Dalam hati, dia mengakui semua itu benar. Andai saja dia tidak jatuh cinta

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 84

    Mentari baru saja mengintip dari balik bukit, sinarnya lembut menyapu kabut yang masih menggantung di atas sawah. Udara pagi segar menyelinap lewat jendela bambu, membawa aroma tanah basah dan suara ayam berkokok dari kejauhan. Daun-daun pisang bergoyang pelan diterpa angin, sementara suara lesung ditumbuk dari dapur tetangga terdengar bersahut-sahutan. Hari baru telah dimulai begitu pelan, sederhana, tapi penuh kehidupan. Seorang wanita berdiri di depan rumah Bu Siti. Tak lama, dia pun mengetuk pintu. “Mas Hanan, buka pintunya!” Teriakan itu membuat langkah Hanan terhenti di depan cermin. Dia baru saja merapikan kemeja untuk pergi mencari lowongan kerja ke luar kota. Tak perlu berpikir lama, suara itu sangat dia kenali dan tak pernah dia harapkan datang di pagi buta. Saat membuka pintu kamar, matanya langsung tertuju pada Husna yang berdiri dengan wajah masam, kedua tangan dilipat di dada, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. “Mas Hanan, buka pintunya!” teriak suara

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 83

    "Intinya begini. Bu Nanda itu pelakor yang sekarang nyamar jadi korban. Mungkin tadi dia didatangi istri sah. Entah sesakit apa hatinya sampe bisa kayak gini."Nanda menatap tajam wanita itu lalu mengelus dahinya yang masih terasa perih karena coretan lipstik. "Lucu ya, kalian semua langsung percaya omongan begitu saja tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak akan heran kalau suatu hari suami kalian pun akan menyesal menikahi kalian dan kalian bakal duduk di pos ronda sambil saling menyalahkan seperti sekarang."Beberapa ibu tampak tersinggung, tapi Nanda tak berhenti."Aku dituduh pelakor? Hanya karena tulisan di dahi dan fitnah dari perempuan yang jelas-jelas dendam karena mantan suaminya lebih memilihku? Kalian tahu apa? Ida, perempuan yang katanya istri sah itu, sudah menggugat cerai suaminya sebelum aku bahkan kenal dekat dengannya!""Ih, jangan muter-muter, Bu. Udah jelas ada yang nyoret, itu tandanya pelampiasan dari istri sah."Nanda menertawakan mereka, getir tapi ny

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 82

    Terik matahari menggantung tepat di atas kepala. Suasana kompleks perumahan masih cukup tenang, beberapa anak pulang sekolah dijemput orang tuanya, sementara suara tawa kecil terdengar dari arah taman.Seorang ibu yang baru saja menutup pagar rumahnya mendadak berhenti. Pandangannya tertuju pada sosok di teras rumah seberang."Eh, itu Bu Nanda?"Langkahnya pelan-pelan mendekat, rasa penasaran makin tumbuh. Dan saat melihat lebih dekat, dia langsung menjerit."Astaga, Bu Nanda?!"Teriakannya mengundang perhatian warga sekitar. Pintu-pintu terbuka, beberapa orang keluar, heran dengan keributan mendadak."Ada apa sih?""Itu ... itu Bu Nanda! Astaga, kenapa kayak gitu?!"Nanda tergeletak di teras dengan lipstik merah menyala belepotan seperti badut dan tulisan norak di dahinya, aku pelakor."Waduh, gila! Siapa yang tega?""Itu beneran Bu Nanda? Ya ampun, aku baru kemarin pindah, kok, langsung lihat beginian.""Pelakor? Maksudnya pelakor siapa? Kita aja baru kenal beliau, kan?""Aku pikir

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status