"Sebelumnya, Mas Hanan pernah datang berdua sama Mbak Nanda. Kalau nggak salah pas cuti tiga hari bulan lalu. Kita sempat ke rumah temennya buat nganter barang, terus ada yang nanya, ini istri kamu? Mas Hanan jawab, 'Bukan, tapi baru mau.'"
Deg. Dunia seakan berhenti di detik itu juga. Napasku tertahan. Apa maksud Ayah? Mungkinkah dia benar-benar berniat menikahi perempuan itu? Hari itu ternyata mereka liburan ke sini dan aku dengan bodohnya percaya waktu Ayah bilang ada urusan sama bos. Sejak kapan bos Ayah berganti kelamin? Tanganku terkepal. Kuat. Aku harus tenang. Tidak sekarang. Belum waktunya. Semua ada saatnya, dan aku akan menunggu saat itu dengan sabar. Namun, bukan berarti aku akan diam. Aku ingin melempar sesuatu. Apa pun. Kursi, gelas, piring. Aku tahu, aku harus tetap terlihat baik. Aku harus menjadi topeng yang sempurna hingga waktunya tiba untuk membuka kedok mereka satu per satu. "Nenek sama Tante Hanen setuju nggak kalau mereka nikah?" "Nggaklah, May. Tante Hanen itu baik, tapi dia juga pinter manfaatin situasi. Mbak Nanda itu nggak akan dapet restu. Kamu tenang aja, kita semua nggak bakal biarin dia rebut Ayahmu. Tapi ... Bunda udah tahu mereka punya hubungan?" Aku menghela napas, panjang. "Tahu. Aku sengaja rekam mereka, Bunda juga denger pas VC. Tapi dia malah kelihatan santai. Bunda cuma bilang ada rencana lain dan minta aku terus pura-pura. Menurut Tante, Bunda mikir apa? Apa iya rela dimadu segitu aja?" Tante Husna terkekeh, tapi getir. "Enggak. Aku rasa bundamu sedang nyusun langkah. Jangan lupa, dia penulis. Dia ngerti gimana cara bikin ending yang nyakitin pelakor kayak di novelnya. Dia tahu wibawa harus dijaga, bukan dijatuhkan di depan orang." Kata-kata itu menusuk. Aku menunduk. Rasa benci terhadap Ayah tumbuh seperti api kecil yang menjilat habis hatiku. Kalau pun suatu hari nanti dia minta maaf, aku tidak akan bisa memaafkan. Kalau ini dosa, biarlah. Biar Tuhan yang nilai. Aku tidak akan diam melihat Bunda diinjak begini. Aku rela disebut durhaka, tapi jangan pernah sakiti ibuku. Inilah alasan aku masih sendiri, tidak pernah betul-betul jatuh cinta. Karena kalau sosok seperti Ayah, yang selama ini kupuja, ternyata mampu menghancurkan kepercayaan begitu saja ... bagaimana aku bisa percaya pada laki-laki lain? Dulu, aku ingin pria seperti Ayah. Sekarang, aku hanya ingin Ayah menghilang. Mati rasa, mati akal, atau mati sekalian—aku tidak peduli. "Jadi aku harus apa, Tan? Aku bisa berpura-pura manis ke Tante Nanda, meski tiap lihat mukanya rasanya pengen muntah. Tapi aku nggak akan biarkan mereka bahagia di atas air mata Bunda. Di rumah, Bunda ngurus tiga anak cewek sendirian dan Ayah malah asyik bersenang-senang sama pelac ... perempuan itu. Aku rela Ayah kirim uang tiap bulan dua juta ke Nenek, tapi kalau sampai tahu dia kasih itu ke—" Tante Husna mengernyit. Tangannya mencengkeram bahuku. Tatapan matanya menyelidik dalam, seolah hendak menembus isi hatiku. "Apa maksudmu, May?" "Ayah rutin ngirim uang ke sini, dua juta per bulan. Dari dulu juga gitu, kan?" Tante Husna tertawa kecil, tanpa suara, penuh makna. "May, sejak kakekmu meninggal, ayahmu nggak pernah ngirim sepeser pun. Kita di sini bertahan sendiri. Baru agak mendingan waktu dapet bantuan pupuk itu." Aku terdiam. Dada sesak. "Tante serius?" "Aku nggak mungkin bohong sama kamu, May. Justru aku mulai mikir, jangan-jangan uang itu buat dia." Darahku seperti mendidih. Aku langsung berdiri dan melangkah panjang ke ruang tengah. Harusnya Ayah sudah tidur, apalagi besok pagi kami harus berangkat lagi. Namun, dia masih segar karena sedang bersama "cintanya." "Jangan gegabah," bisik Tante Husna di telingaku, setengah menyeret langkahku. "May, sini, Sayang!" panggil Mbak Nanda, sok manis, sok akrab. Aku menyunggingkan senyum tipis. Kalau bisa, bibir merah itu ingin kutarik sampai robek. Dia bisa pura-pura manis, padahal hatinya beracun. Aku duduk di sampingnya. Ayah tersenyum. "Ayah udah kabarin Bunda kalau kita udah nyampe?" Tante Nanda tersedak. Air yang diminumnya sempat tertahan. Syukurin. Kepanasan, ya? "Belum. Nanti aja. Bunda juga pasti bisa nebak, kok." "Jangan sampai kayak kemarin. Waktu itu kita dalam perjalanan bareng Bunda, mobil malah masuk bengkel. Ayah ngabarin Nenek nggak? Enggak, kan? Nenek pasti khawatir." Aku menatap Nenek. "Iya, kan, Nek?" "Iya, Hanan. Ibu khawatir. Telat banget kalian nyampe. Untung ada Nanda—" "Aku kabarin Ida dulu, Bu." Ayah buru-buru memotong. Takut, ya? Takut rahasianya kebongkar? Atau takut wanita simpanan tahu siapa yang sebenarnya ada di mobil itu? Saat Ayah masuk kamar, terdengar notifikasi dari ponsel Tante Nanda. Dia tersenyum. Dunia kecil mereka jelas sedang bersinar. Dua menit. Tiga menit. Mereka terus balas pesan. Sayang sekali, aku tak bisa intip isi layar karena tempered glass-nya anti privasi. "Aku ngantuk, duluan, ya," katanya lalu berdiri. "Ayah pasti kangen Bunda, untungnya ada Tante Nanda," ucapku ikut bangkit. Dia sempat menoleh. Wajahnya kaku. Sakit, ya? Bagus. Baru permulaan. Di kamar, aku langsung kirim pesan suara ke Bunda. "Bun, ternyata mereka bener ada hubungan. Aku tahu dari Tante Husna. Nanti aku ketik lengkapnya. Jangan sampai ada yang denger." Beberapa menit kemudian, balasan masuk. Bunda: Kalau gitu, Bunda gak akan segan. Kirim semua buktinya. Ingat, jangan sampe ayahmu tahu kamu curiga. Biarin Nanda percaya kamu seneng dia di sana. Kita main sabar, tapi bukan pasrah.Hening makin merayap di ruang tamu itu. Jam dinding berdetak pelan, menandai waktu yang terasa lebih panjang dari biasanya. Bau lembap dari halaman depan ikut terbawa angin, menambah kesan dingin yang sudah menggantung di dada masing-masing.Hanif melirik jam tangannya sekilas.“Aku ... sepertinya harus pamit sekarang,” ucapnya hati-hati, “hari ini aku harus ke kantor lebih awal.”Nada suaranya seolah minta maaf karena meninggalkan mereka di tengah kekacauan.May menoleh cepat, seakan baru ingat kalau calon suaminya ada di situ. “Oh iya.”Mata gadis itu sempat bergetar, antara ingin Hanif tetap tinggal atau mengizinkannya pergi. “Hati-hati di jalan,” tambahnya.Pria itu menatapnya lembut. “Kamu tenang dulu di sini. Nanti kalau butuh sesuatu, telepon aku.”Setelah itu, Hanif meraih tasnya di kursi, kemudian menyapukan pandangan ke yang lain. “Bun, Tante, aku pamit.”Wanita itu menahan sebentar sebelum mengangguk. “Iya, Hanif. Terima kasih sudah ikut membantu tadi.”Setelah pintu depan
"Mau iri soal apa, Kia? Aku juga nggak seberuntung yang kamu bayangin." Kiara tersenyum. "Kelahiranmu sangat dinantikan. Begitu lahir, ada Ayah dan Bunda yang mencintaimu. Ada nenek dan tante yang menyayangimu, ada sepupu yang tersenyum melihatmu. Hingga kamu dewasa. Kamu mungkin kehilangan Ayah karena ulahnya sendiri, tapi kamu tetap punya Bunda dan kedua adikmu, bahkan sekarang punya tunangan. May, betapa beruntungnya jadi kamu. Sementara aku entah harus ke mana karena bagai hidup sebatang kara. Aku punya Ibu, punya Ayah, punya Nenek dan Tante, ada sepupu juga, tapi rasanya asing. Kukira Mama sudah berubah, ternyata tetap membuangku dengan cara yang berbeda." Tangan Kiara mengepal di atas pangkuan. Getar suaranya menyelinap di sela bibir yang memucat. Tatapan Ida melunak. Napasnya tertahan lalu pelan-pelan dia berujar, “Kia, masing-masing orang punya masalah sendiri. May kelihatannya beruntung, padahal kenyataannya tidak seindah itu. Tante pun pernah berada di titik yang kamu rasa
"Kiara, apa mama kamu nggak pernah cerita soal hubunganku sama dia?" Hanan balik bertanya, wajahnya jelas sekali menunjukkan rasa frustrasi."Ayah dan Mama itu saudara sepupu. Mama dinikahi karena terpaksa, beliau bilang kalau dirinya hamil duluan, padahal nggak. Ayah menikahinya sehari sebelum nikah sama bunda May.""Nah, kamu sudah tahu, Kia. Kamu tahu perasaan Ayah ke mama kamu gimana. Ayah bukannya nggak sayang sama kamu, tapi tiap kali ngeliat atau ingat kamu, Ayah langsung ngerasa bersalah dan makin menyesal.""Kalau Ayah menyesal, kenapa selingkuh sama Tante Nanda, hum?" sela May sudah tersulut emosi."May, itu ... itu—""Itu apa, Yah? Dan nggak mungkin ada Kia kalau Ayah nggak pernah punya rasa sedikit pun ke Tante Tiara. Minimal perasaan sebagai suami istri. Lagian aku juga tahu, kok, kalau Ayah sebenarnya peduli ke Tante Tiara, makanya mau aja nikahin sebelum ada bukti dia hamil duluan.""Dan kalau memang Ayah nggak cinta sama Mama, apa nggak pernah mikirin perasaanku, Yah?"
“Maaf, Nek. Malam ini juga kita udah harus pulang karena….” May menoleh pada Ida dan Hanif bergantian, suaranya serak. “ Semoga lain waktu bisa ketemu Nenek lagi.”Pintu depan tiba-tiba terbuka. Hanan berdiri di ambang, wajahnya pucat dan matanya merah. Napasnya terengah seolah habis berlari. Semua pandangan serentak tertuju padanya.“Ida….” Suaranya bergetar. Dia maju beberapa langkah lalu berlutut di depan perempuan itu. “Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi.”Tak ada jawaban. Ida hanya memandanginya dengan tatapan yang datar.“Aku menyesal,” lanjutnya terbata, “menyesal menikahi Tiara dulu dan selingkuh sama Nanda. Aku bodoh. Aku hancurkan rumah tangga sendiri. Aku kerja apa saja sekarang, gajiku kecil, tapi aku janji akan berusaha menghidupi kalian seperti dulu. Aku akan setia, aku bersumpah.”May spontan bangkit, tapi Hanif menahan lengannya. Ruangan jadi sunyi, hanya terdengar denting jam yang menempel di dinding..“Mas Hanan, kamu pun mungkin masih ingat kalau sejak dulu,
Suasana di rumah Bu Siti sedikit mereda setelah prosesi pemakaman. Bau kayu basah bercampur aroma teh panas memenuhi ruang tamu. Kursi-kursi plastik yang berjajar tampak dipenuhi para tetangga. May duduk di sudut bersama Hanif, menunduk menatap gelasnya.“Eh, nggak nyangka ya. Bundanya May masih mau sama Mas Hanan, padahal udah diselingkuhin. Kirain kemarin talak tiga? Gimana ceritanya bisa barengan lagi?” Suara Bu Diah sengaja dinaikkan, membuat beberapa kepala menoleh.Bu Nur langsung mendekat, pura-pura membetulkan kerudungnya. “Iya lho. Bukannya setelah talak tiga nggak bisa rujuk, kecuali ada muhallil, ya? Apa Mbak Ida ini udah pernah nikah sama pria lain, terus cerai demi balikan sama mantan suami?”Beberapa ibu-ibu di belakang mereka saling pandang, sebagian menutup mulut, sebagian lagi mengangkat alis. Bisikan kecil terdengar makin riuh, seperti bara yang disiram angin.“Kalau bener begitu, wah … berani juga ya.” Bu Dina menimpali sambil tersenyum miring. “Aku malah mikir, jan
“Bunda yakin, May. Yok, kita berangkat sebelum telat!” Suara Ida terdengar mantap walau wajahnya letih.May tersenyum singkat, kemudian mengikuti langkah wanita itu menuju mobil yang terparkir di depan rumah.“Aku saja yang nyetir, Bun. Bunda istirahat saja,” ujarnya sambil membuka pintu kemudi.Belum sempat mesin dinyalakan, seseorang muncul dari sisi jalan.“Hanif?” Suara May tercekat.Laki-laki itu mencondongkan tubuh ke jendela. “Aku udah tahu semuanya, May. Biar aku yang antar kalian.”May menoleh ke bundanya. Ida hanya mengangguk pendek.“Kalau Hanif mau, kita bareng saja. Perjalanan jauh ini pasti butuh tenaga,” katanya pelan.“Bunda mau ikut pulang sekalian ke kampung?” tanya Hanif memastikan.“Iya,” jawab Ida tenang. “Sekalian mengantar jenazah Husna dan menemui Bu Siti.”Mendengar itu, Hanif mengangguk. “Aku bisa cuti, jadi kerjaan bisa kuselesaikan di luar. Nggak usah khawatir.”May menarik napas lega lalu menatap Hanif. “Makasih, ya. Aku sempat bingung mau nyetir sendiri.”