Share

4. Tidurlah Bersamaku

Auteur: ReyNotes
last update Dernière mise à jour: 2025-10-30 15:23:28

Esoknya, Belva berusaha keras mencari apartemen dan pekerjaan baru. Tetapi, ancaman Pak Surya menjadi kenyataan. Tidak ada hotel yang mau menerimanya.

“Aku akan memberikan referensi buruk jika ada yang bertanya tentang kinerjamu.” Pak Surya mendesis pelan di samping Belva.

Setiap ada masalah di hotel, Belva adalah tersangka utamanya. Seperti saat tamu incognito complain karena nomor kamarnya diketahui seseorang, Pak Surya mendelik murka pada Belva. Padahal, Belva sama sekali tidak menyebarkan informasi tersebut.

Tidak ada teman Belva yang berani protes pada Pak Surya. Mereka juga takut posisinya terancam turun atau fasilitas sebagai staf dicabut perusahaan.

Hingga akhirnya, Belva tidak kuat dan benar-benar resign setelah menerima gaji.

Malam itu, Belva sedang mencari-cari lowongan pekerjaan melalui ponsel. Ia melihat pesan dari Alvin dan langsung membukanya.

“Aku jemput jam tujuh malam, ya.”

Belva menatap barisan kata di layar ponsel. Lalu, tangannya mengetik balasan. “Ok.”

Belva tidak pernah segugup ini berdandan. Padahal, berkali-kali Belva berkata pada diri sendiri bahwa ini hanya makan malam biasa.

Tetapi, kenapa rasanya seperti... kencan?

Mobil Alvin sudah terlihat memasuki gedung apartemen. Belva yang menunggu di lobi langsung merasa jantungnya berdebar kencang.

Alvin membukakan pintu mobil. Tidak ada kontak fisik, yang mana membuat Belva bersyukur.

“Ke mana kita?” Alvin langsung bertanya kala Belva sudah masuk ke mobil.

“Lho, dokter mau makan apa?”

“Coba referensikan makanan di sekitar sini yang enak.”

Akhirnya, Belva memutuskan ke restoran seafood langganannya. Selain enak, harganya juga murah. Belva berniat membayari makanan Alvin sebagai ganti sewa apartemennya.

Setelah memesan makanan, mereka saling diam. Alvin tampak sibuk dengan ponselnya.

“Sebentar, ya. Ada pasien yang tanya-tanya.” Alvin berkata.

Belva mengangguk, meski Alvin tidak melihatnya. Untuk membuang waktu, ia lalu kembali mencari-cari pekerjaan.

“Belum dapat pekerjaan baru, ya?” Alvin yang telah selesai dengan ponselnya menatap layar ponsel Belva.

Belva menggeleng.

Saat makanan datang, Alvin sangat memperhatikan apa yang diperlukan Belva. Mengambilkan sendok garpu, membukakan botol minuman dan memberikan tisu saat Belva membutuhkannya untuk mengelap bibir.

Sambil makan, Belva melaporkan usahanya mencari pekerjaan dan kost baru. Alvin tidak berkomentar selain tersenyum prihatin.

Sisa hari itu, keduanya berjalan-jalan di trotoar. Belva mengatakan akan membeli bahan-bahan makanan dan kue.

“Jadi, kamu mutusin untuk buka pesanan kue?”

“Iya. Izin pinjam perlengkapan dapurnya ya, dok.”

“Boleh.” Alvin mengangguk. Ia bergeser ke samping Belva kala ada seorang ibu yang mendorong kereta bayi. Tak sengaja, lengan Alvin menyapu payudara Belva.

Belva pura-pura tidak memperhatikan, begitu juga Alvin. Mereka berpura-pura hal itu tidak pernah terjadi. Padahal jantung Belva serasa ingin copot dari tempatnya.

“Kamu tunggu di sini sebentar. Aku mau beli sesuatu di apotek.” Alvin menunjuk bangunan di depan mereka.

Belva mengangguk. Ia menunggu sambil membuka ponselnya.

Alvin sudah keluar dari apotek, bersiap menyeberang menuju tempat Belva menunggu. Ia berjalan dengan mata tak lepas dari layar ponsel yang menampilkan pesan dari rumah sakit.

Langkahnya tergesa, pikirannya masih separuh pada pasiennya yang mengeluhkan sakit pasca operasi. Ia tidak memperhatikan suara mesin yang meraung dari kejauhan. Sebuah mobil melaju kencang, membelah genangan air di sisi jalan.

“Dokter!” suara itu terdengar samar—milik Belva yang berdiri di seberang.

Alvin menoleh cepat, tapi terlambat. Mobil itu menyambar sisi jasnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Ia jatuh. Suara benturan keras membuat beberapa orang berteriak.

“Dokter Alvin!”

Belva berlari tanpa pikir panjang.

Alvin berusaha bangun, wajahnya menahan sakit. Lengan dan kakinya mengucurkan darah yang tembus ke kemeja dan celana.

“Aku baik-baik saja…” gumamnya lirih, tapi suaranya bergetar.

“Baik-baik saja apanya? Kamu berdarah!” Belva setengah berteriak, suaranya panik. Ia berlutut di samping Alvin, tangannya gemetar saat memeriksa luka di lengan lelaki itu.

Orang-orang mulai berkumpul, beberapa menawarkan menelepon ambulans. Tapi Alvin menolak.

“Tidak perlu. Aku bisa jalan.”

“Tidak bisa!” Belva menatapnya tajam, matanya nyaris berkaca-kaca. “Jangan sok kuat. Kamu pikir luka seperti ini cuma goresan?”

Nada suara Belva yang seperti ingin menangis membuat Alvin terkejut. Ia diam saja dan membiarkan Belva menopangnya berdiri. Setiap langkah terasa berat.

Sementara mobil pelaku sudah lenyap entah ke mana.

Mereka akhirnya sampai di trotoar, dan Belva menarik napas panjang sebelum berucap pelan, “Kamu harus ke rumah sakit. Aku antar.”

Alvin menggeleng. “Tidak perlu repot. Aku dokter, ingat?”

Belva mendengus pelan. Ia membantu Alvin berjalan hingga mereka sampai ke parkiran mobil. Dalam perjalanan, Alvin mengobati sendiri luka di lengannya sementara Belva menyetir.

“Kenapa nggak hati-hati tadi nyebrangnya?” Belva mengernyit kala melirik luka di lengan Alvin.

“Iya, tadi sambil baca pesan dari rumah sakit.”

“Dokter bikin aku sport jantung!”

Alvin terkekeh. “Maaf.”

Di apartemen, Alvin menjatuhkan bokong di sofa. Belva segera memberinya air mineral. Lalu, mengambil kotak obat-obatan.

Perlahan, Belva membersihkan luka-luka di kaki Alvin. Tatapan mereka bertemu, lalu sama-sama mengalihkan pandangan.

“Terima kasih, ya, Bel. Hari ini kamu yang nyelamatin aku.”

Spontan, entah dorongan dari mana, Alvin merengkuh Belva dalam pelukannya. Ia mendekap erat dan berbisik. “Kamu pasti shock banget lihat mobil itu hampir menabrakku.” Tangannya mengelus rambut Belva dengan lembut.

Belva mengangguk pelan. Sejujurnya yang lebih membuatnya shock adalah perlakuan manis dari Alvin. Ia tersenyum saat Alvin mengurai pelukannya, lalu meringis pelan.

“Sepertinya kakiku sulit untuk menyetir. Aku menginap di sini saja.”

Belva duduk kaku mendengar ucapan Alvin.

Pria itu berjalan pincang ke kamar, lalu membuka kemeja dan menyisakan singlet hitam di tubuh bagian atas. Alvin langsung berbaring dan memejamkan mata.

Saat merapikan barang-barang Alvin, Belva menemukan plastik dari apotek. Ia terkejut mendapati kotak kondom di dalamnya. Buru-buru, ia memasukkan plastik itu ke tas Alvin.

Perlahan, Belva masuk ke kamar. Ia mengambil bantal dan selimut untuk tidur di sofa. Namun tangan Alvin menahannya pergi.

“Hanya ada satu kamar di sini. Kamu tidur di mana?”

“Di ruang tamu nggak papa.”

Alvin menggeleng. Ia menggeser tubuh dan menepuk sisi ranjang. “Tidurlah di sini bersamaku.”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (2)
goodnovel comment avatar
happyface
weehhhh udh ngajakin tidur bareng ajaa si dok ini? mau ngapain hehe
goodnovel comment avatar
Hanum Layla
apa dok? tidur bersama? kalo aku mah auto pake lingerie hahaha tapi Belva yang diajak, bukan diriku....
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   97. Rumah Baru

    “Apa kata Mamamu? Kok kamu matikan teleponnya?” Belva bertanya pada Arumi yang sudah menurunkan ponsel dari telinganya.Arumi menatap Belva, lalu menunduk. “Mama cuma langsung bilang minta dibayar tebusannya biar bisa keluar dari penjara.”Belva dan Edo saling bertatapan sejenak, lalu mengembuskan napas berat. Mereka membiarkan Arumi yang termangu sendiri menatap ke luar jendela.Hingga akhirnya mereka tiba di apartemen, Arumi segera minta waktu bicara dengan Alvin berdua saja. Belva meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya. Sementara Edo pun langsung berpamitan.“Ada apa, Arumi?”Selama putrinya bercerita, Alvin menatapnya dengan ekspresi datar. Hingga akhirnya Arumi berhenti dan memeluk Alvin sambil terisak.“Aku nggak tau harus bagaimana, Pa?”Sejenak Alvin hanya diam. Lalu perlahan, tangannya mulai mengelus punggung sang putri. Ia mengurai pelukan Arumi dan menatap wajahnya.“Kenapa Mama bisa sampai seperti ini?” Arumi balas menatap mata Alvin.Sebelum menjawab, Alvin menghela na

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   96. Anak Baik

    Musim semi menyambut keluarga yang berkumpul lengkap di luar negeri untuk menghadiri wisuda Arumi dan Edo yang hanya selisih satu hari.Di halaman kampus yang luas, toga-toga hitam bergerak seperti gelombang kecil. Fredy dan Yarra berdiri berdampingan, wajah mereka dipenuhi senyum yang tidak dibuat-buat. Belva berdiri di sisi Alvin, tangannya sesekali merapikan kerah jas suaminya—kebiasaan kecil yang kini terasa wajar.“Papa, Belva,” panggil Arumi dari kejauhan.Ia melangkah mendekat dengan senyum lebar, toga membingkai wajahnya yang matang. Di sampingnya, Edo berjalan dengan langkah tenang. Mereka berhenti tepat di depan keluarga.“Selamat, Rumi,” ucap Fredy, suaranya berat namun hangat.Yarra memeluk cucunya lama. “Kami bangga sekali.”Belva tersenyum bahagia lalu menggenggam kedua tangan Arumi. “Gimana? Sudah lega?”Arumi tertawa kecil dan mengangguk. “Aku akhirnya selesai.”Edo menunduk sopan. “Terima kasih sudah datang.”Alvin menepuk bahu Edo singkat. Tidak banyak kata, tapi isy

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   95. Restu

    Saat semua orang bergembira dan menjabat tangan Edo dan Arumi bergantian. Alvin terdiam sambil menatap Edo tanpa berkedip. Lalu, perlahan, ia menyeret Edo ke pojok ruangan.“Sejak kapan?” Alvin melipat kedua yang tangannya di perut sambil menatap Edo tanpa jeda.“Umm... maaf, Om. Kami semakin dekat saat kembali bersama ke luar negeri. Karena satu kampus juga, kami jadi sering bertemu.” Edo menjelaskan.“Kenapa kalian diam-diam? Belva tau?”Edo menggeleng. “Arumi bilang, kalau Belva tau, ia akan langsung cerita pada Om. Arumi mau ini menjadi kejutan.”“Oh yaa.” Alvin mendelik. “Aku memang sangat terkejut.”Edo menunduk santun. “Maaf, Om.”Lalu, Alvin teringat sesuatu. “Belva pernah bilang kamu sudah memiliki kekasih.”“Kami tidak berjodoh.” Edo menghela napas. “Kami sudah putus sebelum aku memutuskan sekolah lagi.”“Begitu.”“Aku minta restu, Om.”Alvin mendekat ke telinga Edo dan mengancam, “Kupatahkan lehermu kalau sampai menyakiti putriku!”Setelahnya, Alvin bergabung pada keluargan

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   94. Dua Wisuda

    Pagi itu datang dengan situasi yang berbeda. Alvin memeluk dan mengelus punggung Belva yang terbuka. Wanita itu masih nyaman tidur dalam dekapan.“Sayang, aku harus siap-siap ke rumah sakit,” ucap Alvin.“Umm... aku masih mau dipeluk begini.” Belva menggumam sambil mengeratkan pelukannya.Alvin terkekeh. “Lima menit lagi. Oke?”Tidak ada jawaban. Hingga lima menit berikutnya, Alvin mengangkat tubuh Belva dan membopongnya ke kamar mandi.“Aku masih mau tiduran.” Belva merengut kala Alvin melepas pakaiannya.“Sekalian aku mandi, Sayang. Setelah aku berangkat, kamu bisa tidur lagi.”Akhirnya, Belva pasrah dimandikan sang suami. Dengan manja, Belva mengalungkan lengannya di leher Alvin saat tangan lelaki itu mengusap sabun ke seluruh tubuh istrinya. Mereka bertatapan, berciuman hingga kedua kaki Belva kini naik ke pinggang Alvin.Sambil menjaga keseimbangannya di lantai yang basah, Alvin membantu Belva bergerak di atas tubuhnya. Setelah sama-sama mendapat pelepasan, Belva menjejakkan kaki

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   93. Mengukir Kenangan

    Dalam pesawat, Belva menggulir foto-foto bulan madunya. Ia tersenyum-senyum menatap kebersamaannya di kamar bersama Alvin.“Kita nggak bisa nunjukin foto-foto ini, lho.” Belva memperlihatkannya pada Alvin. “Bagaimana kalau ada yang tanya?”Alvin melirik layar ponsel Belva. Ia malah tertarik lalu meminjamnya. Lelaki itu tersenyum melihat dirinya dan Belva di ranjang dengan tubuh bagian atas polos, hanya tertutup selimut tipis.“Aku suka foto-fotonya. Terlihat benar-benar penampakan bulan madu.”“Iyaa. Tapi kalau Arumi tanya gimana?”“Lagian kenapa kamu selalu pakai lingerie?” Alvin menggoda sang istri. “Padahal nggak pakai apa-apa juga akan lebih bagus.”“Hei! Bukan aku yang packing. Isi koper itu sebagian dari Arumi dan Kak Estella.” Belva mencebik. “Dan memang lingerie itu percuma karena kamu selalu membukanya.”“Karena aku juga nggak pakai apa-apa.” Alvin berbisik di telinga Belva.Tangan Belva terjulur mengusap rahang Alvin yang masih sibuk menggulir foto dari ponsel Belva. “Mana m

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   92. Bulan Madu

    Villa yang Alvin sewa berdiri terpisah dari keramaian, menghadap laut biru yang tenang. Tirai putih bergoyang pelan tertiup angin, suara ombak menjadi satu-satunya pengingat waktu yang terus bergerak.Saat tiba di kamar, Alvin langsung mendekap Belva. Memberinya ciuman di detiap inci kulit dan merayu Belva.“Aku sudah sangat menginginkan ini.” Alvin mendesah di ceruk leher Belva. “Aku ingin berbaring di sampingmu tanpa selembar benang pun di tubuh kita.”Tubuh Belva rasanya ikut terbakar mendengar rayuan Alvin. Belva membiasakan matanya dengan pemandangan Alvin yang sedang membuka pakaian.Lalu, lelaki itu kembali memagut bibir Belva. Mereka bahkan melakukannya sambil melepas semua kain yang menempel di tubuh.Sepasang tangan Alvin penuh keyakinan dan tau apa yang harus dilakukan. Sangat terarah, tidak asal jamah dan penuh perasaan.Ciumannya amat dalam, melihatkan setiap bagian dari mulut mereka. Bibir Alvin menggumamkan sesuatu sebelum menghujani dada Belva dengan sejuta ciuman.Ber

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status