“Aneh banget. Selama ini emang kamu ga ngerasa ada yang aneh sama dia?” Jean mengernyitkan dahinya, wajahnya nampak ragu. Ia mempertimbangkan apakah akan mengungkapkan kekhaawatirannya tentang Alena atau tidak. Bagaimanapun juga Alena adalah teman baik Nadia. Selama pacaran Nadia tidak pernah komplain mengenai Alena. “Aneh sih awalnya, tapi lama-lama biasa aja. Karena dia kan temen aku yaaang” Jauh di lubuk hatinya Nadia merasa aneh juga. Apalagi dari cara Alena berbicara malam ini yang membuatnya merinding. Tatapan matanya, nada suaranya, sentuhannya terasa bukan untuk seorang teman. “Apa jangan-jangan Alena naksir aku ya?” Ia menatap ke arah Jean dengan tatapan serius. Jean menatap Nadia lalu mengangguk mantap. “Aku rasa juga gitu” Nadia menghebuskan nafas berat, menunduk lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia memijat dahinya, seolah-olah itu akan membantunya menemukan jawaban. Ia bukanlah pembenci kaum LGBT tapi dia belum pernah merasakan pengal
Nadia membolak-balik buku menu di hadapannya, tidak bisa menentukan pilihannya. “Yang Charcutelie itu apa sih?” ucapnya sambil menunjuk sub-menu di depannya. “Mana kutau, aku cuma tau crepes dan pasta doang” Jean terkekeh “Ini Restoran Perancis ya?” Nadia menatap layar ponselnya, mencari informasi tentang tempat yang mereka datangi. Mereka kemudian sibuk mencari menu makanan tersebut pada mesin pencari, berharap mendapatkan makanan yang akan mereka suka. “Aku mau beli Spaghetti aja deh” Jean menunjuk pada buku menunya. Membuat Nadia menatapnya tajam. Jean mengangkat bahunya, menatap Nadia dengan tatapan bingung. “Cari yang lain lah, Spaghetti doang aku mah sering bikin di tempat kerja aku” sahut Nadia meledek “Aku mau pesen ini ah” ia menunjukkan tulisan ‘Prime beef rib eye steak’ “Steak doang kamu kan juga sering bikin” Jean balas meledek Nadia menjulurkan lidahnya. “Biarin wlee,
“Aku mau ngomong penting” ucap Sani ketika pintu rumah terbuka. Ia menarik nafas dan mengangkat kepalanya, membuatnya dapat melihat sosok yang berada di balik pintu. Di balik pintu rumah sederhana tersebut, lelaki yang berada pada usia pertengahan 40an itu nampak kaget dengan kehadiran tamunya. Wajahnya yang nampak lelah terkena pantulan sinar lampu yang membuatnya terlihat lebih tua. “Masuk” sahutnya singkat. Mempersilahkan mantan istrinya untuk memasuki rumahnya. Sani masuk dan menatap ke sekeliling rumah, mengamati detail rumah yang sedang ia kunjungi. Meskipun kecil, namun rumah tersebut nampak sangat rapi dan bersih. Furnitur-furnitur model tua terlihat ditata dengan rapi dan di cat ulang sehingga nampak baru. Lantainya juga sangat bersih tanpa noda meskipun bukan keramik. Matanya tertuju pada foto-foto yang ada di tembok. “Hah, kamu masih simpan, Ndra?” ia terkaget ketika menatap salah satu foto yang menampakkan dirinya sedang menggendong Nadia ketik
Sani yang sudah terlanjur terbakar emosi pun memelototi Indra dengan penuh kebencian. Sifat emosian yang dimilikinya itu sudah diatas rata-rata. Padahal dulu dia tidak begitu. Sani sempat menjadi perempuan pengertian yang merebut hati Indra. “Aku kesini karena aku bingung. Makanya minta saran ke kamu, kalau kamu malah nyalahin aku mendingan aku mikir sendiri” gerutu perempuan tersebut sambil kembali duduk ke kursi. Ia menarik nafas, berusaha mendinginkan emosi yang ia rasa lalu beranjak meraih ponsel di dalam tasnya. “Aku nyadap anak kita bukan tanpa alasan, aku itu takut sebagai ibunya dia kena pergaulan yang aneh-aneh” ujarnya sambil menunjukkan aplikasi penyadap didalam ponselnya.Indra menatap kearah layar ponsel, sambil memicingkan matanya. Mencoba membaca tulisan di layar ponsel tersebut tanpa kacamata. Kemampuan melihat Indra memang menurut secara drastis sejak ia mulai sering menghabiskan waktunya didepan televisi.Pekerjaan yang sering tidak menentu me
“Aku nggak tahan lagi, Mama gila ya!!” Sedetik setelah kata tersebut keluar dari mulutnya, Nadia merasa menyesal. Ia secara reflek menutup mulutnya sendiri, tapi tentu saja tidak dapat menarik hal yang telah diucapkannya. Sani, ibu Nadia tak kalah kaget. Matanya terbelalak, kaget bukan kepalang. Anak satu-satunya yang biasanya penurut itu mengucapkan kata yang sangat menyakitkan. “Oke, silahkan pergi kalau kamu pikir bisa hidup tanpa mamah” gertaknya. "Oh jelas bisa!" Nadia melotot. Tangannya mengepal dipenuhi amarah yang meledak di dalam hatinya. "Selama ini Nadia udah terbiasa kerja banting tulang. Gak susah buat hidup sendiri!" lanjutnya, air mata berderai di pipinya. Nadia mengusa
Tanpa berkata apapun, dan dengan air mata yang menetes Nadia langsung keluar dari rumahnya. Ia menangis tanpa suara, dengan hati yang sangat hancur. Di malam yang dingin ini, untuk pertama kalinya ia merasa tidak berguna. Ia merasa benar-benar gagal sebagai seorang anak dan manusia. Selama ini, ia melakukan apapun untuk membuat ibunya bangga, namun ternyata ia masih dianggap sebagai manusia gagal oleh ibunya.“Mbak Nadia...”Suara dari Pak Gojek membuyarkan tangisan dan lamunan Nadia. Ia langsung bergegas menaiki motor. Sebenarnya ia punya motor yang dibelikan Sani untuknya. Ia sengaja meninggalkannya dirumah karena malas menggunakan pemberian dari Sani. Ia terlalu marah dengan ibunya. Ia tidak habis pikir kenapa ibunya melakukan tindakan di luar batas. Ibu mana yang menyadap WhatsApp anaknya sendiri? Ibu
“Ikutlah.. wait” Jean buru-buru masuk kembali ke rumah. Tak lama kemudian ia kembali dengan tas ranselnya yang penuh.Nadia tersenyum lebar. Wajahnya masih terlihat sayu akibat terlalu lama menangis, namun ia nampak lebih baik dengan senyum lebarnya. Ia merasa senang ketika menatap Jean. Betapa beruntungnya aku, batinnya ketika menatap wajah pacarnya. Jean memang benar-benar tampan, bisa dibilang ketampanannya nyaris tidak masuk akal di kehidupan nyata. Lebay sih, tapi itulah yang ada di pikiran Nadia.Wajah putih bersih, hidung mancung, mata sayu sempurna, dagu lancip dengan proporsi wajah yang alami membuat Jean nampak seperti aktor Korea. Waktu pertama kali bertemu dengan Jean, Nadia mengira Jean merupakan anak blasteran. Namun faktanya Jean mengaku kedua
“Just do what u think is right, are u ready to talk to her?” Jean memeluk Nadia. Mengecup dahinya dengan lembut, tangannya mengelus rambut panjang Nadia. “If u do, then u should” sambungnya.Nadia mengangguk lalu menekan logo merah pada layar HP nya.“No, I think I will prefer to do you” Nadia tersenyum nakal sambil mendorong tubuh Jean ke kasur.***Perasaan takut dibalut rasa emosi tengah berkecamuk di hati Sani. Hari ini ia jadi tak fokus berjualan, beberapa kali ia keliru memberikan uang kembalian pada pembeli. Ia sangat takut bahwa anak semata wayangnya akan meninggalkannya. Namun rasa takut itu