Jean adalah sosok pria yang mendekati sempurna. Ia tampan, rajin dan (hampir) kaya! Selain itu ia juga sopan dan pintar. Tipe menantu idaman banget! Namun ada yang membuat ibu pacarnya membencinya habis-habisan. Apa yang terjadi? Dapatkah ia mendapatkan restu calon mertua?
view more“Aku nggak tahan lagi, Mama gila ya!!”
Sedetik setelah kata tersebut keluar dari mulutnya, Nadia merasa menyesal. Ia secara reflek menutup mulutnya sendiri, tapi tentu saja tidak dapat menarik hal yang telah diucapkannya.
Sani, ibu Nadia tak kalah kaget. Matanya terbelalak, kaget bukan kepalang. Anak satu-satunya yang biasanya penurut itu mengucapkan kata yang sangat menyakitkan.
“Oke, silahkan pergi kalau kamu pikir bisa hidup tanpa mamah” gertaknya.
"Oh jelas bisa!" Nadia melotot. Tangannya mengepal dipenuhi amarah yang meledak di dalam hatinya.
"Selama ini Nadia udah terbiasa kerja banting tulang. Gak susah buat hidup sendiri!" lanjutnya, air mata berderai di pipinya. Nadia mengusapnya kasar, wajahnya sayu namun masih terlihat cantik.
Suasana sempat sunyi beberapa menit hingga akhirnya Nadia beranjak dari bangku dan masuk ke kamarnya.
Nadia tenggelam dalam amarahnya, ia membayangkan ibunya datang dan membujuknya. Tapi ia tahu itu tidak akan terjadi, pengalaman hidup 24 tahun bersama ibunya membuatnya hapal betul sifat ibunya. Keras kepala dan tidak pernah mau mengaku salah.
Nadia sempat merasa bersalah akan kata-katanya, tapi setelah mendengar gertakan dari ibunya ia tidak tahan lagi. Ia sadar Sani harus belajar cara menghargainya juga, meskipun posisinya sebagai anak tetapi Nadia merasa Sani sudah terlalu jauh mencampuri dan mengatur urusannya.
Pemicu permasalahan kali inipun karena ternyata, Sani ketahuan menyadap aplikasi pesan Nadia melalui laptopnya. Selain mengecek pesan-pesan pribadinya, Sani membalas beberapa pesan dari teman lelakinya, dan paling fatal mengirimkan pesan menyakitkan kepada Jean, pacarnya. Semua itu tentunya dilakukan tanpa seizinnya, sehingga Nadia merasa terkhianati.
"Kalau kayak gini kasusnya Mama bener apa salah??!" suara Nadia memekik dari kamar.
"Bener. Kamu anak mamah, kok" Sani menyahut dengan tenang.
Nadia mengumpat pelan. Matanya meneliti kearah layar laptop ibunya yang menunjukkan ruang obrolannya yang dibajak. Melihat dari gaya chat dan gaya bahasa yang digunakan, Nadia menduga ibunya sudah sering menyadap atau membuka pesannya tanpa izin sehingga bisa meniru gaya bahasa ketikan chatnya secara persis dan tanpa mengundang curiga. Teman-temannya pun tidak percaya jika ibunya, yang tahun ini berusia 43 tahun bisa segaul itu meniru gaya bahasanya.
"Gila yah emang, gak pernah mau ngerasa salah" gerutunya sambil me log-out akunnya. Nadia melemparkan laptop itu dengan kasar ke atas kasurnya. Ia menatap wajah cantiknya di cermin besar kamarnya. Matanya, hidung mancungnya, bibir nya adalah turunan dari ibunya. Cantik sempurna seperti blasteran. Bahkan meskipun sedang menangis wajahnya tetap cantik.
Nadia keluar dari kamar sambil membawa satu koper kecil dan tas besar berisikan pakaian dan buku yang akan ia bawa minggat. Sebelum keluar rumah, ia melirik Sani. Berharap Sani akan menahannya dan menunjukkan rasa bersalah.
“Sana minggat! Mau jadi pelacur kek mau ngemis kek, mama gapeduli..! Jangan pernah balik lagi kalau masih jadi anak gagal”
DEG!
Menyakitkan.
Sakit.
Pelacur.
Dikatai pelacur.
Oleh Ibu sendiri???
Wah, hati Nadia sangat hancur. Ia menggoyangkan kepalanya dengan marah dan menarik kopernya dengan kasar.
"Ok, silahkan nikmati hidup sendiri" ucapnya tanpa melihat kebelakang.
Sedangkan Sani hanya menatapnya pergi. Batinnya bergejolak, sebenarnya ia tak mau anaknya pergi. Namun bagaimana lagi, Sani memang selalu keras kepala.
Oh ya, sebenarnya ia tahu bahwa perbuatannya melebihi batas. Namun ia tetap enggan meminta maaf. Hanya untuk kebaikan anakku. Itu adalah pembenaran yang terus-menerus ia ucapkan dalam hatinya. Maka ketika Nadia keluar dari kamar dengan koper dan tas besar yang berisikan barang-barangnya, amarahnya justru mendidih. Sifatnya yang selalu enggan merasa salah mengalahkan akal pikirannya.
Kali inipun ia sadar bahwa kata-katanya sudah sangat jauh melebihi batas. Seumur hidup, ia tidak pernah mengeluarkan kata sekasar itu pada anaknya. Karena memang selama ini, Nadia selalu menuruti apapun perintahnya. Bahkan ketika Nadia masih sekolah, ia sampai rela tidak punya teman gara-gara Sani selalu melarangnya main. Selalu ada alasan kenapa mamanya tidak menyukai temannya. Si A membawa pengaruh buruk lah, si B terlalu sering ajak main lah, si C terlalu bergantung padanya lah.
Pokoknya selalu ada yang salah sehingga Nadia harus perlahan-lahan meninggalkan teman-temannya. Nadia baru memiliki banyak teman dan menikmati masa mudanya ketika ia mulai berkuliah. Ketika ia sudah mulai bekerja sambilan untuk membayar biaya kuliahnya, disitulah Sani sedikit memberikan kelonggaran dalam bersosialisasi.
Keduanya memiliki hubungan yang cukup baik sampai Nadia memiliki pacar. Tanpa alasan yang jelas, Sani tidak merestui hubungan keduanya. Bukan dalam tahap tidak suka lagi, melainkan sudah masuk tahap membenci. Apapun yang Jean, pacar Nadia lakukan ia tidak pernah suka. Bahkan Sani pernah membuang sembako yang diberikan oleh Jean di hari lebaran di depan muka Jean langsung.
Nadia selalu malu jika teringat hal tersebut. Untungnya, Jean merupakan tipe penyabar yang sepertinya sangat sulit disulut amarahnya. Saat kejadian itupun, Jean masih sempat-sempatnya meminta maaf dan membersihkan sembako yang dibuang berantakan di lantai sebelum diusir oleh Sani. Sejak saat itu, hubungan keduanya renggang dan sering bertengkar karena Sani selalu berbuat ulah untuk membuat hubungan percintaan anaknya kandas.
Sani yang sudah terlanjur terbakar emosi pun memelototi Indra dengan penuh kebencian. Sifat emosian yang dimilikinya itu sudah diatas rata-rata. Padahal dulu dia tidak begitu. Sani sempat menjadi perempuan pengertian yang merebut hati Indra. “Aku kesini karena aku bingung. Makanya minta saran ke kamu, kalau kamu malah nyalahin aku mendingan aku mikir sendiri” gerutu perempuan tersebut sambil kembali duduk ke kursi. Ia menarik nafas, berusaha mendinginkan emosi yang ia rasa lalu beranjak meraih ponsel di dalam tasnya. “Aku nyadap anak kita bukan tanpa alasan, aku itu takut sebagai ibunya dia kena pergaulan yang aneh-aneh” ujarnya sambil menunjukkan aplikasi penyadap didalam ponselnya.Indra menatap kearah layar ponsel, sambil memicingkan matanya. Mencoba membaca tulisan di layar ponsel tersebut tanpa kacamata. Kemampuan melihat Indra memang menurut secara drastis sejak ia mulai sering menghabiskan waktunya didepan televisi.Pekerjaan yang sering tidak menentu me
“Aku mau ngomong penting” ucap Sani ketika pintu rumah terbuka. Ia menarik nafas dan mengangkat kepalanya, membuatnya dapat melihat sosok yang berada di balik pintu. Di balik pintu rumah sederhana tersebut, lelaki yang berada pada usia pertengahan 40an itu nampak kaget dengan kehadiran tamunya. Wajahnya yang nampak lelah terkena pantulan sinar lampu yang membuatnya terlihat lebih tua. “Masuk” sahutnya singkat. Mempersilahkan mantan istrinya untuk memasuki rumahnya. Sani masuk dan menatap ke sekeliling rumah, mengamati detail rumah yang sedang ia kunjungi. Meskipun kecil, namun rumah tersebut nampak sangat rapi dan bersih. Furnitur-furnitur model tua terlihat ditata dengan rapi dan di cat ulang sehingga nampak baru. Lantainya juga sangat bersih tanpa noda meskipun bukan keramik. Matanya tertuju pada foto-foto yang ada di tembok. “Hah, kamu masih simpan, Ndra?” ia terkaget ketika menatap salah satu foto yang menampakkan dirinya sedang menggendong Nadia ketik
Nadia membolak-balik buku menu di hadapannya, tidak bisa menentukan pilihannya. “Yang Charcutelie itu apa sih?” ucapnya sambil menunjuk sub-menu di depannya. “Mana kutau, aku cuma tau crepes dan pasta doang” Jean terkekeh “Ini Restoran Perancis ya?” Nadia menatap layar ponselnya, mencari informasi tentang tempat yang mereka datangi. Mereka kemudian sibuk mencari menu makanan tersebut pada mesin pencari, berharap mendapatkan makanan yang akan mereka suka. “Aku mau beli Spaghetti aja deh” Jean menunjuk pada buku menunya. Membuat Nadia menatapnya tajam. Jean mengangkat bahunya, menatap Nadia dengan tatapan bingung. “Cari yang lain lah, Spaghetti doang aku mah sering bikin di tempat kerja aku” sahut Nadia meledek “Aku mau pesen ini ah” ia menunjukkan tulisan ‘Prime beef rib eye steak’ “Steak doang kamu kan juga sering bikin” Jean balas meledek Nadia menjulurkan lidahnya. “Biarin wlee,
“Aneh banget. Selama ini emang kamu ga ngerasa ada yang aneh sama dia?” Jean mengernyitkan dahinya, wajahnya nampak ragu. Ia mempertimbangkan apakah akan mengungkapkan kekhaawatirannya tentang Alena atau tidak. Bagaimanapun juga Alena adalah teman baik Nadia. Selama pacaran Nadia tidak pernah komplain mengenai Alena. “Aneh sih awalnya, tapi lama-lama biasa aja. Karena dia kan temen aku yaaang” Jauh di lubuk hatinya Nadia merasa aneh juga. Apalagi dari cara Alena berbicara malam ini yang membuatnya merinding. Tatapan matanya, nada suaranya, sentuhannya terasa bukan untuk seorang teman. “Apa jangan-jangan Alena naksir aku ya?” Ia menatap ke arah Jean dengan tatapan serius. Jean menatap Nadia lalu mengangguk mantap. “Aku rasa juga gitu” Nadia menghebuskan nafas berat, menunduk lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia memijat dahinya, seolah-olah itu akan membantunya menemukan jawaban. Ia bukanlah pembenci kaum LGBT tapi dia belum pernah merasakan pengal
Secara tiba-tiba Alena menarik tangan Nadia dan meletakkannya di dadanya. Ia menatap Nadia dengan tatapan serius. Suasana pun seketika berubah menjadi canggung. “Kamu tau kan aku sayang kamu?” ucapnya datar.Nadia hanya mengangguk. Jantungnya berdebar-debar tak karuan, badannya merinding. Entah kenapa Alena kelihatan tak normal. Nadia merasa tak nyaman, “Yaudah aku mandi dulu ya” dengan grogi Nadia langsung masuk ke kamar mandi, diikuti tatapan mata Jean yang melihat punggungnya.*** “Bu.. Nadia masih belum pulang ya?” suara Ilham yang lembut mengalihkan perhatian Sani. Entah sudah keberapa kali pelanggan harus menegurnya dahulu kalau hendak membayar, karena pikiran Sani teralihkan ke hal lain.Hampir seminggu Nadia pergi dan belum kembali, tentunya membuat Sani bingung tujuh kelililing. Ia sudah mulai merasa bersalah, namun bingung bagaimana cara memulai pembicaraan. Apalagi mimpi aneh tentang masa lalu yang ia alami masih juga menghantui pikiranny
Cahaya matahari menusuk mata, membangunkan Nadia yang kelelahan. Semalaman ia menangisi kehidupannya yang menyebalkan. Kecantikan adalah segalanya bagi sebagian orang tapi baginya? Itu adalah kutukan.Nadia meraih gelas air yang tersedia di sisi mejanya. Di bawah gelas, ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Ia meraihnya dan membaca pesan yang tertera disitu:“Nadia sayang,I’ll always be there for you, don’t miss me, I only gone for awhile. I Love You. See You Soon 😊”Senyumnya merekah, setidaknya aku punya pacar seperti Jean, batinnya senang. Ia meletakkan kertas catatan itu di dadanya, menutup kembali mata yang terasa lelah. Ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi bel nyaring dari kamarnya. Nadia terkejut, ia segera berjalan menuju pintu kamar hotel dan mengintip melalui door viewer.Ia makin terkejut saat melihat sosok perempuan muda berwajah cantik yang berdiri di depan pintu. Seketika ia membuka pintu tersebut dan memekik senang. “Alena!!!” ia langsung memeluk sa
Sani terbangun dari tidurnya ketika jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Sebagai seorang pemilik warung yang memasak segala makanannya sendiri, ia biasa bangun pukul setengah 3 pagi. Namun kali ini terasa berbeda karena tidak ada Nadia dirumah. Biasanya, setelah bangun tidur ia akan curi-curi pandang ke kamar Nadia, menatap imutnya wajah tidur anaknya dari balik pintu. Kepala Sani pusing, obat tidur yang ada diatas meja menjelaskan semuanya. Saking pusingnya ia sampai minum obat tidur. Padahal selama ini ia paling anti minum obat karena tidak mau ketergantungan. “Apa Nadia nggak kepikiran aku ya?” gumamnya. Ia memejamkan matanya mencoba untuk kembali tidur.Namun bayang-bayang Nadia terus menghantui. Sebagai seorang ibu ia khawatir juga.Sani segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung mencari kontak Nadia.&nb
“Bu, Nadia ini rajin lho bu. Gak pernah telat sama sekali” Aryo menghela nafas lega setelah berhasil mengatakan kata tersebut. Ketika melihat wajah bosnya yang galak dan tegas, kemarahannya berubah menjadi rasa cemas dan takut. Bukan takut dimarahi, tetapi ia takut kehilangan pekerjaannya.Tatapan galak dan bengis dari bosnya seolah-olah mengisyaratkan bahwa ia bisa saja dipecat detik ini juga. “Kamu mau belain dia? Kamu mau bilang kalau saya ngomong asal?” suara bos meninggi. Ia mengalihkan pandangannya dari Nadia dan berjalan mendekati Aryo. Matanya melotot dan jarinya menunjuk kearah cucian piring yang menumpuk. “Mendingan kamu cuci deh itu piring!” suaranya melengking tajam. Bos kembali menat
“Makan dulu yang” ucapnya sambil mengambil kotak makanannya sendiri.Nadia mengangguk, rasa lapar yang menyerbu membuatnya langsung memakan makanan di depannya. Aroma bebek bakar lengkap dengan lalapannya menggungah gairah makan Nadia. Bebek bakar adalah makanan favoritnya sejak kecil, ia sedikit terharu akan betapa romantis nya Jean dapat mengingat menu kesukaannya meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung. “Sialan!!” Nadia tersentak. Ia membelalakkan matanya dan langsung melompat dari kasur. Kotak makanannya sampai tersentak dan makanan tumpah sedikit ke kasur. Jean dengan sabar dan sigap membersihkannya dengan tisu. Di tengah enaknya makan, Nadia baru ingat bahwa ia memiliki jadwal kerja sampingan malam ini. Sebenarnya, setiap Senin Nadia harusnya libur. Namun ia harus datang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments