Share

TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU
TERIMA KASIH TELAH MENCINTAIKU
Penulis: Wildatuz Zaqiyyah

1. Pria Bermotor Thunder

(September 2011)

 

“Masih aktif jadi remaja masjid?”

 

“Masih.”

 

“Betah banget?”

 

Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan temannya. Dari jarak yang tak terlalu jauh, diam-diam aku menikmati senyum renyah itu.

 

“Ya kalau bukan kita-kita yang masih muda, terus siapa lagi yang mau memakmurkan masjid?”

 

“Iya juga, sih. Eh, bentar, bentar, kamu ketuanya bukan, sih?”

 

“Dulu iya, tapi sekarang udah enggak.”

 

“Hmm ... gitu.”

 

Aku menunduk kala pandangan pria itu bertemu dengan manik mataku dalam beberapa detik. Duh, ketahuan enggak, ya, kalau dari tadi aku curi-curi pandang ke dia?

 

Udara dingin yang berembus pelan seolah-olah mengantarkan rasa hangat. Entah karena matahari hampir memasuki waktu terik atau mungkin sebab senyum indah yang merekah itu mulai menggoyahkan imanku sebagai manusia. Uhuk! Manis banget, sumpah!

Hawa khas daerah pegunungan memang selalu menyisakan aroma sejuk, sekalipun pagi telah merangkak menuju siang. Aku masih menunduk dengan pura-pura menulis. Takut ketahuan kalau mata ini sempat curi-curi pandang.

 

“Ya wis, aku tak bali sik, ya.”

 

“Lah, arep nendi?”

 

“Ono urusan, dilit.”

 

Aku mengembuskan napas lemah kala lelaki bermotor Thunder warna hitam itu mulai menyetater kuda besinya. Ada rasa tak rela saat pria berkumis tipis tersebut pergi meninggalkan beberapa kawannya yang masih asyik mengobrol di depan toko.

 

Entah apa yang sedang menyerangku saat itu. Pandangan pertama itu benar-benar membekas walau beberapa minggu telah berlalu. Aku ingat betul bagaimana senyumnya. Ikhlas, tanpa paksaan. Menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi dan bersih. Saat itu, tak sengaja aku melihatnya sekilas, karena gelaknya tercipta, sebab dia berbincang-bincang dengan beberapa temannya.

 

Sorot matanya begitu teduh, hingga mulai menciptakan sebuah candu. Seperti mendapat sebuah sugesti, aku meliriknya kembali. Lagi, lagi, dan lagi. Kurasakan kedua sudut bibir ikut melengkung saat menikmati senyum kharismanya diam-diam.

 

Kupikir, momen itu hanya pandangan pertama tanpa makna seperti yang sudah-sudah. Saat angin datang, semua akan hilang ikut terbawa embusannya. Ternyata tidak. Bayangan tawanya mengikutiku hingga ke alam mimpi.

 

Ah, sial! Aku tersenyum kecut. Siapa dia? Berani sekali hadir dalam bunga tidurku?

 

Terkadang pula, kesibukan memang berhasil mengalihkan beberapa problematik kehidupan. Namun, saat kembali ke peraduan, kala mata tak kunjung mau terpejam, sekelebat bayangan hadir tanpa diminta.

 

Dia datang lagi. Iya, dia. Laki-laki di atas motor Thunder hitamnya kala itu. Dia muncul lagi dan menari-nari indah di pelupuk mata. Jiwa kepo-ku mulai meronta. Menggerakkan tangan untuk membuka kunci layar ponsel. Menekan aplikasi pesan dan menulis SMS kepada temanku.

 

[Inget, enggak? Kapan hari ada mas-mas pake kaus putih, celana jeans selutut, naik motor cowok, habis makan di warungmu.]

 

'Send'

 

Kutunggu beberapa saat. Tak kunjung dibalas. Kala itu, saling berbalas pesan sedang nge-trend lewat SMS. Ada, sih, Blackberry Messenger. Namun, HP mahal itu cuma beberapa kalangan yang punya, dan aku bukan salah satunya.

 

Aku masih setia dengan layanan SMS yang kirim satu pesan gratis seratus, bahkan seribu pesan ke semua operator. Tak ada tanda jika pesan sudah dibaca atau belum. Hanya akan ada pemberitahuan terkirim. Tinggal menunggu balasan sang penerima pesan.

 

[Kiranaaa ... wes turu ta, Ran?]

 

Kulirik jam weker di samping meja rias, walau melihat jam di ponsel sebenarnya juga bisa. Ternyata penunjuk waktu sudah menunjuk ukul 22.25 WIB.

 

'Pasti udah mimpi, tuh, si Kiran.'

 

‘Ya, udah, sih. Biarin aja. Besok pagi juga pasti dibalas. Kalau enggak, pasti dibicarakan langsung di toko.’

 

Aku beranjak dari ranjang untuk men-charge No*kia Asha 210-ku. Namun, aku jadi sedikit berjingkat saat HP di tangan yang belum sempat dicas malah mengeluarkan tawa centil, tanda ada pesan masuk.

 

[Yang mana, to?] Kiran membalas.

 

‘Lah? Nanya balik dia.’

 

[Mas-mas yang sempat tegur sapa sama kamu itu, lho, sekitar seminggu yang lalu.]

 

Aku ingat sekali, sebelum mengobrol dengan anak-anak muda di depan toko, lelaki itu baru keluar dari warung makan orang tuanya Kirana.

 

[Eh, Za, tiap hari juga aku tegur sapa sama pembeli.]

 

Iya juga, sih. Kirana, kan, anak pemilik warung Gudeg depan toko fotokopi yang aku jaga. Tiap hari warung bapaknya selalu ramai pembeli. Tegur sapa, ya, hampir tiap menit. Saking ramenya.

 

[Iya, sih, tapi aku beneran enggak tahu siapa laki-laki itu. Makanya aku nanya ke kamu soalnya dia sempat ngobrol sama kamu, Ran.]

 

[Siapa, to? Penasaran aku. Ciri-cirine piye, Za?]

 

[Lumayan ganteng, Ran.] Aku terkekeh setelah mengirim pesan itu.

 

[Ealah, cakepnya doang yang diinget.]

 

[Dia pakai motor cowok, Ran, kamu sempet nanya ke dia : 'kerja di mana sekarang?'. Mosok lali?]

 

Saat itu aku tak sengaja mencuri dengar percakapan singkat antara Kirana dan pria tersebut. Posisiku pas buang sampah di dekat warung Gudeg.

 

[Hmmm ... Fikri udu, yo?]

 

Fikri? Gumamku dengan seulas senyum.

 

[Iya, mungkin.]

 

[Pakai motor Thunder, kan?]

 

[Tul.]

 

[Kenapa? Naksir?]

 

[Halah, mek takon ae, kok!]

 

[Cie ciee ... aku siap membantumu.]

 

Aku tersenyum dengan membenamkan wajah ke bantal. Merasa malu menanyakan lelaki terlebih dahulu, tapi ... enggak apa-apa, ding. Kan, dia enggak tahu, dan jangan sampai tahu.

 

Oh iya, kenalin, namaku Faza. Aku berasal dari kota Suwar-Suwir. Kalau Kirana asli sini, pribumi Ngayogjokarto Hadiningrat.

 

[Tumben masih melek, Ran?]

 

[Udah mau tidur tadi, tapi denger HP bunyi. Tahu kamu yang SMS enggak bakalan aku bales tadi.]

 

[Jahate, Rek!]

 

[Lanjut besok wes, Za. Ngantuk aku. Nais drim.] Kirana mengakhiri pesan singkatnya.

 

Aku masih penasaran. Berbekal nama Fikri, kubuka aplikasi face*book. Menelusuri beberapa teman Kirana di dunia maya dan mengetik nama yang dimaksud.

 

'Fikri.'

 

Muncul beberapa nama.

 

Fikriy Ahmad

 

Fikri Selaloe Untukmoe

 

Fikryy SongolasPituEnem

 

M. Fikriy Zulkarnaen

 

Fikry Clluchintadia

 

Fiqriy Anak Rantau

 

Abdul Fikri

 

Fiqri Wes Insaf

 

Fiqryy Caem

 

“Yang mana, nih?” ucapku sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Bingung.

 

Ku-klik satu per satu foto profil dari masing-masing nama. Lalu, kucermati. Mengingat-ingat wajah yang mengacaukan malam-malamku beberapa hari ini. Namun, tak ada satu pun foto yang kukenal.

 

Sebenarnya masih ada beberapa nama lagi yang belum ku-klik. Tapi, mulut sudah menguap. Lekas kumatikan ponsel dan meletakkannya dalam keadaan dicas. Aku kembali berjalan ke ranjang dan akhirnya hilang dalam lelap.

 

***

 

Keesokan pagi harinya.

 

Warung depan toko fotokopi sudah ramai pembeli. Kirana pasti sibuk membantu ibu dan bapaknya. Setelah turun dari sepeda motor tukang ojek, aku langsung membuka rolling door toko. Bersih-bersih sebelum ada pelanggan datang.

 

Menyalakan mesin fotokopi. Membuka satu kotak kertas HVS dan menjemurnya agar tidak terlalu lembap saat digunakan. Lalu, mulai mengecek catatan di buku. Khawatir ada janji pengambilan pesanan jilid buku atau yang lainnya. Oke. Selesai.

 

Kulirik jam tangan. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka sembilan dan jarum panjang di angka tiga. Warung Gudeg Kirana semakin terlihat ramai. Aku menuju kamar mandi yang terletak di pojok kiri ruangan berukuran 4 x 6 meter ini.

 

"Hei, Bro! Udah kerja?"

 

"Urong ee, iki gek arep fotokopi berkas, terus ngajukke lamaran."

 

Walau samar, dari dalam bilik toilet aku mendengar percakapan di depan toko. Sepertinya ada pelanggan. Segera kutuntaskan aktivitas buang air kecil.

 

"Permisi ...."

 

"Iya, sebentar!" jawabku dari dalam kamar mandi.

 

Aku menarik handle pintu. Menginjak-injak pengesat kaki di depan pintu yang bertuliskan 'Welcome' alias keset.

 

"Mbak, mau fotokopi."

 

"Iya," jawabku singkat sembari menoleh ke sumber suara di depan toko.

 

Alamak! Pucuk dicinta ulam pun tiba.

(*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status