Home / Romansa / TERJEBAK CINTA CEO ES / 3. Peran Dibalik Cermin

Share

3. Peran Dibalik Cermin

Author: Kayy
last update Last Updated: 2025-06-05 17:23:21

  Satu jam setelah kontrak diteken, Anya berdiri di penthouse Reynard. Ruangan itu terlalu sunyi untuk sebesar itu.

Putih. Bersih. Rapi. Seperti hidup yang tak pernah disentuh kesalahan.

Dan pria itu berdiri di sana, setenang patung marmer. Tapi matanya menatapnya tajam seolah mengulitinya. 

“Kita harus terlihat nyata.”

Suaranya dalam. Dingin, tapi menyentuh sisi kulit yang tak tertutup logika.

“Mulai dari genggaman tanganmu… sampai caramu memandangku, seolah aku pusat duniamu.”

Anya menyipit. Bibirnya melengkung sedikit.

“Latihan... jadi kekasih? Kau bercanda?”

Reynard melangkah pelan. Tanpa suara, tapi menghantam udara di antara mereka.

Aroma aftershave-nya menyusup halus, seperti bayangan yang terlalu dekat.

Tangannya terangkat dan di pinggang Anya. “Belajarlah menatapku,” bisiknya nyaris tak terdengar,

“Seolah hanya aku yang bisa membuatmu tetap utuh.”

Anya menahan napas. Bukan karena gugup tapi karena sistem alarm dalam dirinya meraung. Meski begitu, ajahnya tetap datar. Tapi detaknya tak bisa disembunyikan.

“Aku cukup terlatih,” jawabnya lirih, “untuk tidak mengaburkan peran dengan perasaan.”

Senyum Reynard terbit perlahan. Seperti senyum seseorang yang tahu permainan ini akhirnya akan menguntungkannya.

“Kita lihat saja nanti.”

Dia mendekat lagi. Nafasnya hangat di pipi Anya,

dan dunia sekitar seperti mengecil hanya pada ruang kecil di antara kulit mereka.

“Kalau ini nyata,” bisiknya, “Kau tak akan berkedip.”

Anya menatap balik. Tak goyah. Tak gentar.

Matanya seperti cermin yang menolak memantulkan.

“Kau lupa satu hal, Tuan CEO,” ujarnya pelan, tajam seperti belati perak.

“Aku pernah mencintai pria yang lebih kejam darimu. Dan aku masih bisa tersenyum.”

Reynard terdiam. Sorot matanya menyipit menerima tantangan yang baru saja dilemparkan ke wajahnya.

“Kau keras kepala.”

Nada suaranya seperti batu es yang retak di permukaan air.

“Itu akan jadi aset paling berbahaya kita.”

---

MALAMNYA.

Hotel bintang lima itu bersinar seperti kotak perhiasan raksasa.

Kristal menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang terlalu terang untuk niat yang terlalu gelap.

Para tamu berdiri dengan gelas kristal di tangan—senyum mereka mahal, dan pertanyaan mereka lebih tajam dari ujung pisau koktail.

Anya turun dari mobil.  Gaun hitam berpotongan tegas membalut tubuhnya dengan angkuh. Tidak minta dikagumi—tapi mustahil untuk tidak dilihat.

Reynard sudah menunggunya. Setelan abu-abu gelap. Dasi hitam. Mata yang tak banyak bicara, tapi mengendalikan segalanya.

Dia menyodorkan lengannya. Tak ada senyum. Hanya isyarat.

“Pegang aku,” katanya tanpa suara.

Anya menautkan lengannya. Jemarinya ringan, tapi posisinya kuat.

Seolah berkata: Aku bukan pelengkap. Aku lawan mainmu.

Dan saat mereka melangkah ke aula, dunia terdiam sepersekian detik.

Bisik-bisik. Kamera. Kilatan cahaya.

Dunia menyambut mereka seperti pasangan dari cerita dongeng—yang semua orang tahu, tak pernah benar-benar bahagia.

Lalu sebuah suara terdengar dengan nada nyaring “Benarkah ini tunanganmu, Reynard?”

Nyonya Besar Andinata. Berdiri seperti monumen dari masa yang tak bisa ditentang.

Gaun brokat gelap. Mata tajam seperti orang yang tak pernah kalah dalam perang keluarga.

Reynard mengangguk ringan. “Benar, Oma. Ini Anya.”

Nyonya Andinata mendekat. Menatap Anya seolah wanita itu barang lelang yang belum tentu layak naik panggung.

“Terlalu cantik untuk sekadar wanita biasa… Tapi terlalu berani untuk jadi bagian dari darah Andinata.”

Anya tersenyum tipis.

Sorot matanya tidak menyerang, tapi juga tidak mundur.

“Saya tidak pernah berniat jadi milik siapa pun, Nyonya,” jawabnya pelan.

“Tapi saya tahu bagaimana berdiri di samping seseorang—terutama saat semua orang menginginkan dia jatuh.”

Nyonya Besar tidak menjawab. Tapi matanya berbicara lebih keras dari kata-kata.

Di sebelah Anya, Reynard menoleh pelan.

Untuk pertama kalinya, dia tampak seperti lupa harus bicara apa.

Anya mencetak poin pertama. Dan dia tahu itu.

Lampu dan kamera kembali menyorot Anya dan Reynard. Beberapa wartawan mulai mengacungkan mik ke arah mereka.

“Bagaimana kalian bertemu?”

“Kapan menikah?”

“Apakah cinta pada pandangan pertama?”

Anya tersenyum—jenis senyum yang tidak bisa dibedakan antara lelah dan licik.

Tapi Reynard lebih cepat. Dia menggenggam tangan Anya—erat, hangat secara sosial, tapi penuh strategi.

“Segera,” jawabnya. “Tapi kami ingin menikmati pertunangan ini dulu. Kami butuh waktu. Untuk saling... mengenal lebih dalam.”

Kamera mengabadikan senyum yang manis di permukaan.

Tapi di balik mata Anya—ada badai yang disembunyikan dengan terlatih.

---

KEMBALI KE HOTEL SUITE.

Anya berdiri di depan cermin besar. Rambutnya masih rapi, tapi pikirannya tidak.

Di belakangnya, Reynard menanggalkan jas, sibuk membaca pesan di ponselnya seolah malam ini hanya bagian dari agenda bisnis biasa.

“Besok kita sarapan dengan Oma. Dia ingin melihat seberapa nyata ini.”

Suaranya tenang, tanpa nada.

Anya menoleh. “Dan malam ini?”

“Kita tidur di suite ini. Satu kamar. Tapi beda tempat tidur. Aku di ruang kerja. Kau di kamar utama.”

Anya terdiam. Lalu mendekat ke jendela.

Di balik kaca, Jakarta bersinar indah.

“Kau menyusun ini seperti merger perusahaan,” katanya pelan.

Reynard hanya menoleh singkat. “Dan kau menandatanganinya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERJEBAK CINTA CEO ES   PERAN YG TERLALU NYATA

    Pagi itu, langit Jakarta seperti kain satin kelabu—lembut, tapi menyimpan badai. Suite hotel terasa dingin dan hening. Anya berdiri di depan cermin, menyisir rambut perlahan, setiap gerakan seperti persiapan menuju ring tinju. Reynard berdiri di belakangnya. Kemeja putih, lengan tergulung, jam tangan hitam mencolok di pergelangan. “Siap?” tanyanya tanpa menatap. Anya menoleh sekilas. “Kau selalu menyambut pagi seolah akan menyerbu pasar saham?” “Ini bukan pagi biasa.” Suaranya datar. “Ini meja makan Nyonya Besar. Dan di meja itu… banyak orang tumbang.” --- Restoran Privat, Lantai Bawah Langkah mereka berhenti di ambang ruangan. Nyonya Besar duduk di tengah meja panjang, bak ratu tua yang masih memegang seluruh catur hidup keluarga. Di kanan-kirinya: Felicia si sepupu licik, Axel si adik sarkastik, Bibi Grace dan Paman Harun, memandang mereka seperti tatapan audit. Meja penuh makanan mahal—tapi atmosfernya setajam pisau steak. “Duduklah,” ujar Nyonya Besar. Nada suaranya t

  • TERJEBAK CINTA CEO ES   3. Peran Dibalik Cermin

    Satu jam setelah kontrak diteken, Anya berdiri di penthouse Reynard. Ruangan itu terlalu sunyi untuk sebesar itu.Putih. Bersih. Rapi. Seperti hidup yang tak pernah disentuh kesalahan.Dan pria itu berdiri di sana, setenang patung marmer. Tapi matanya menatapnya tajam seolah mengulitinya. “Kita harus terlihat nyata.”Suaranya dalam. Dingin, tapi menyentuh sisi kulit yang tak tertutup logika.“Mulai dari genggaman tanganmu… sampai caramu memandangku, seolah aku pusat duniamu.”Anya menyipit. Bibirnya melengkung sedikit.“Latihan... jadi kekasih? Kau bercanda?”Reynard melangkah pelan. Tanpa suara, tapi menghantam udara di antara mereka.Aroma aftershave-nya menyusup halus, seperti bayangan yang terlalu dekat.Tangannya terangkat dan di pinggang Anya. “Belajarlah menatapku,” bisiknya nyaris tak terdengar,“Seolah hanya aku yang bisa membuatmu tetap utuh.”Anya menahan napas. Bukan karena gugup tapi karena sistem alarm dalam dirinya meraung. Meski begitu, ajahnya tetap datar. Tapi det

  • TERJEBAK CINTA CEO ES   TAKDIR DIATAS KERTAS

    2. Takdir Diatas Kertas Menatap Anya tajam seperti singa yang tahu mangsanya tak bisa lari. Anya memasang wajah datar. “Saya datang untuk—” “Diam.” Suaranya tajam. Tegas. “Sebelum kita bicara bisnis, kau berutang penjelasan.” Anya mengangkat dagu sedikit. “Saya rasa Anda salah orang. Saya—” Reynard tertawa pendek. Dingin. Kosong. “Kau kira aku main-main?” Tatapannya makin tajam, “Kau siram wajahku lalu lari seperti tikus. Sekarang kau datang ke wilayahku, membawa proposal usang, berharap aku menyelamatkan bangkai perusahaanmu.” Anya tak menjawab. Dia tidak bisa—tidak ketika udara mendadak terasa berat seperti diinterogasi mafia kelas atas. Reynard mendekat. Meja di antara mereka tak berarti apa-apa saat pria itu berdiri di depan Anya, hanya beberapa jengkal darinya. “Aku bisa menyingkirkan seluruh nama keluargamu dari daftar bisnis kota ini,” ucapnya datar, “Dalam dua hari. Tanpa sisa.” Anya mengepal jemarinya. “Kalau Anda merasa dirugikan, saya minta maaf. Tapi saya tidak da

  • TERJEBAK CINTA CEO ES   Pengkhianatan

    "Akhirnya kamu datang juga, Ny. Tapi sayang… semuanya sudah terlambat." Suara Clara terdengar ringan namun mengandung racun, seperti pisau yang dibungkus senyum. Anya berhenti di ambang pintu ruang kerja Dio, napasnya masih tersengal karena berlari—dan karena amarah. Tapi pemandangan di depannya membuat tubuhnya mendadak membeku. Clara duduk di pinggir meja Dio, terlalu dekat, tangannya menyentuh lengan pria itu dengan intim. Dio tersenyum, tidak terganggu sedikit pun. Bahkan seolah menikmati kehancuran yang sedang menimpa Anya. Anya menatap mereka lalu melempar tumpukan dokumen ke meja Dio. Tangannya bergetar, tapi matanya tajam menusuk. “Ini apa? Dana perusahaan dipindahkan ke rekening pribadi kamu dan... Clara?!” Beberapa jam sebelumnya, Anya mendapat kabar dari divisi keuangan bahwa perusahaannya, Ardistya Corp, resmi dinyatakan bangkrut karena penghasilannya minus membuat para investor menarik diri. Selain itu, berbagai asetnya juga banyak yang dibekukan, menambah beban di pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status