2. Takdir Diatas Kertas
Menatap Anya tajam seperti singa yang tahu mangsanya tak bisa lari. Anya memasang wajah datar. “Saya datang untuk—” “Diam.” Suaranya tajam. Tegas. “Sebelum kita bicara bisnis, kau berutang penjelasan.” Anya mengangkat dagu sedikit. “Saya rasa Anda salah orang. Saya—” Reynard tertawa pendek. Dingin. Kosong. “Kau kira aku main-main?” Tatapannya makin tajam, “Kau siram wajahku lalu lari seperti tikus. Sekarang kau datang ke wilayahku, membawa proposal usang, berharap aku menyelamatkan bangkai perusahaanmu.” Anya tak menjawab. Dia tidak bisa—tidak ketika udara mendadak terasa berat seperti diinterogasi mafia kelas atas. Reynard mendekat. Meja di antara mereka tak berarti apa-apa saat pria itu berdiri di depan Anya, hanya beberapa jengkal darinya. “Aku bisa menyingkirkan seluruh nama keluargamu dari daftar bisnis kota ini,” ucapnya datar, “Dalam dua hari. Tanpa sisa.” Anya mengepal jemarinya. “Kalau Anda merasa dirugikan, saya minta maaf. Tapi saya tidak datang untuk masa lalu.” Reynard menyeringai. Matanya gelap. “Sayangnya aku tidak lupa. Dan aku tidak memaafkan.” Ia mengambil map proposal dari meja dan membukanya tanpa melihat. Satu detik kemudian, ia merobeknya perlahan—satu halaman, satu sobekan, hingga hanya serpihan kertas yang tersisa. Anya mengatup rahangnya. “Apa maksud Anda?!” “Maksudku sederhana,” bisik Reynard, nyaris tanpa emosi. “Kau ingin aku menyelamatkanmu? Maka kau akan membayar.” Ia mengambil satu lembar kertas baru dari dalam jasnya lalu meletakkannya di atas meja. Kertas itu hanya berisi dua kata di atas: KONTRAK PERNIKAHAN. Anya memicingkan mata, “Anda gila.” Reynard bersandar, tangan di saku. “Mungkin. Tapi aku gila yang punya kekuasaan. Kau bisa menolak. Tapi dalam waktu 48 jam, semua sisa kontrak bisnismu akan lenyap. Investor akan pergi. Saham akan runtuh. Dan kau akan jadi berita paling memalukan di seluruh media finansial Asia.” Anya menatapnya tajam, “Kau tidak punya hak—” “Aku punya segalanya,” potong Reynard, nadanya rendah namun mengancam. “Aku tidak butuh izinku sendiri untuk menghancurkanmu.” Keheningan mengendap. Anya ingin melawan. Tapi tatapan pria di depannya adalah milik seseorang yang sudah terlalu sering menyingkirkan lawan dan ia tidak pernah kalah. Dia tahu. Ini bukan negosiasi. Ini ultimatum. Anya memandangi kertas di hadapannya. Tertulis jelas dalam huruf tebal kapital: KONTRAK PERNIKAHAN. Tiga lembar. Isinya pasti penuh syarat sepihak. Tanpa belas kasih. Ia mengangkat wajah, “Kau pikir semua orang bisa kau beli dengan pernikahan?” Reynard menatapnya dingin, “Aku tidak membeli. Aku mengambil. Karena aku bisa.” Tatapan mereka terkunci. Anya ingin menjatuhkan map itu ke lantai dan pergi. Tapi ia tahu, satu langkah keluar dari ruangan ini berarti tamat. Bukan hanya untuk perusahaannya. Tapi untuk semua karyawan yang masih menggantungkan hidup di bawah nama Ardistya Corp. Orang-orang yang mempercayainya. Dan pria ini… bukan sekadar CEO. Dia pemangsa. Seolah membaca pikirannya, Reynard memberi isyarat halus. Seketika, dua pria berbadan besar berpakaian hitam muncul di sisi pintu, berdiri tegap tanpa suara. Pengawal pribadi. Seperti bayangan yang siap bergerak begitu perintah keluar. Anya merasa nadinya melambat. Pintu ruang rapat mengunci otomatis—klik—suara pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. “Ini bukan negosiasi,” ucap Reynard pelan, namun menusuk. “Ini perintah.” Anya tertawa canggung, merasa semakin cemas tapi tetap memertahankan egonya. “Kau pikir aku wanita yang bisa ditakut-takuti?” Reynard mendekat, berhenti tepat di depannya. Tatapan matanya menusuk dan untuk sesaat, napas Anya tercekat. Ia mencondongkan tubuh, membisik pelan tapi tajam ke telinganya. “Aku bisa buat hidupmu lebih dari sekadar neraka. Kau akan bangun setiap pagi bertanya-tanya... siapa yang akan kulenyapkan hari itu.” Anya menelan ludah, tapi tetap tegak. “Kalau tujuanku hanya menghancurkan, aku sudah melakukannya sejak kemarin. Tapi aku menawarkan sesuatu yang lebih… elegan.” Ia menarik diri, kembali ke kursinya dan duduk. Jari-jarinya mengetuk meja, pelan, teratur. “Jadi, bagaimana?” tanyanya dingin. “Mau jadi ratuku dalam neraka ini? Atau mati bersama kehormatan yang tak akan ada gunanya di jalanan?” Hening. Anya memejamkan mata sesaat. Lalu membukanya dengan sorot mata baru. Ia meraih pena. “Baik. Aku akan tanda tangan.” Reynard hanya menatap. Tidak tersenyum. Tidak menunjukkan kemenangan. Tapi aura puasnya jelas terasa di udara. “Tapi ingat ini, Tuan Andinata,” ucap Anya perlahan, dengan sorot mata menusuk balik. “Kau boleh punya kuasa atas kertas… tapi jangan pernah berpikir kau bisa menundukkan aku sepenuhnya. Aku tidak menikah untuk jadi boneka.” Tatapan Reynard mengeras. Tapi senyum tipis muncul di wajah sadisnya. “Bagus,” gumamnya, “Aku tidak suka boneka. Aku suka api. Tapi ingat… api juga bisa dipadamkan.” Anya menandatangani kontrak dengan satu goresan tegas. Permainan dimulai.Pagi itu, langit Jakarta seperti kain satin kelabu—lembut, tapi menyimpan badai. Suite hotel terasa dingin dan hening. Anya berdiri di depan cermin, menyisir rambut perlahan, setiap gerakan seperti persiapan menuju ring tinju. Reynard berdiri di belakangnya. Kemeja putih, lengan tergulung, jam tangan hitam mencolok di pergelangan. “Siap?” tanyanya tanpa menatap. Anya menoleh sekilas. “Kau selalu menyambut pagi seolah akan menyerbu pasar saham?” “Ini bukan pagi biasa.” Suaranya datar. “Ini meja makan Nyonya Besar. Dan di meja itu… banyak orang tumbang.” --- Restoran Privat, Lantai Bawah Langkah mereka berhenti di ambang ruangan. Nyonya Besar duduk di tengah meja panjang, bak ratu tua yang masih memegang seluruh catur hidup keluarga. Di kanan-kirinya: Felicia si sepupu licik, Axel si adik sarkastik, Bibi Grace dan Paman Harun, memandang mereka seperti tatapan audit. Meja penuh makanan mahal—tapi atmosfernya setajam pisau steak. “Duduklah,” ujar Nyonya Besar. Nada suaranya t
Satu jam setelah kontrak diteken, Anya berdiri di penthouse Reynard. Ruangan itu terlalu sunyi untuk sebesar itu.Putih. Bersih. Rapi. Seperti hidup yang tak pernah disentuh kesalahan.Dan pria itu berdiri di sana, setenang patung marmer. Tapi matanya menatapnya tajam seolah mengulitinya. “Kita harus terlihat nyata.”Suaranya dalam. Dingin, tapi menyentuh sisi kulit yang tak tertutup logika.“Mulai dari genggaman tanganmu… sampai caramu memandangku, seolah aku pusat duniamu.”Anya menyipit. Bibirnya melengkung sedikit.“Latihan... jadi kekasih? Kau bercanda?”Reynard melangkah pelan. Tanpa suara, tapi menghantam udara di antara mereka.Aroma aftershave-nya menyusup halus, seperti bayangan yang terlalu dekat.Tangannya terangkat dan di pinggang Anya. “Belajarlah menatapku,” bisiknya nyaris tak terdengar,“Seolah hanya aku yang bisa membuatmu tetap utuh.”Anya menahan napas. Bukan karena gugup tapi karena sistem alarm dalam dirinya meraung. Meski begitu, ajahnya tetap datar. Tapi det
2. Takdir Diatas Kertas Menatap Anya tajam seperti singa yang tahu mangsanya tak bisa lari. Anya memasang wajah datar. “Saya datang untuk—” “Diam.” Suaranya tajam. Tegas. “Sebelum kita bicara bisnis, kau berutang penjelasan.” Anya mengangkat dagu sedikit. “Saya rasa Anda salah orang. Saya—” Reynard tertawa pendek. Dingin. Kosong. “Kau kira aku main-main?” Tatapannya makin tajam, “Kau siram wajahku lalu lari seperti tikus. Sekarang kau datang ke wilayahku, membawa proposal usang, berharap aku menyelamatkan bangkai perusahaanmu.” Anya tak menjawab. Dia tidak bisa—tidak ketika udara mendadak terasa berat seperti diinterogasi mafia kelas atas. Reynard mendekat. Meja di antara mereka tak berarti apa-apa saat pria itu berdiri di depan Anya, hanya beberapa jengkal darinya. “Aku bisa menyingkirkan seluruh nama keluargamu dari daftar bisnis kota ini,” ucapnya datar, “Dalam dua hari. Tanpa sisa.” Anya mengepal jemarinya. “Kalau Anda merasa dirugikan, saya minta maaf. Tapi saya tidak da
"Akhirnya kamu datang juga, Ny. Tapi sayang… semuanya sudah terlambat." Suara Clara terdengar ringan namun mengandung racun, seperti pisau yang dibungkus senyum. Anya berhenti di ambang pintu ruang kerja Dio, napasnya masih tersengal karena berlari—dan karena amarah. Tapi pemandangan di depannya membuat tubuhnya mendadak membeku. Clara duduk di pinggir meja Dio, terlalu dekat, tangannya menyentuh lengan pria itu dengan intim. Dio tersenyum, tidak terganggu sedikit pun. Bahkan seolah menikmati kehancuran yang sedang menimpa Anya. Anya menatap mereka lalu melempar tumpukan dokumen ke meja Dio. Tangannya bergetar, tapi matanya tajam menusuk. “Ini apa? Dana perusahaan dipindahkan ke rekening pribadi kamu dan... Clara?!” Beberapa jam sebelumnya, Anya mendapat kabar dari divisi keuangan bahwa perusahaannya, Ardistya Corp, resmi dinyatakan bangkrut karena penghasilannya minus membuat para investor menarik diri. Selain itu, berbagai asetnya juga banyak yang dibekukan, menambah beban di pe