Menatap Anya tajam seperti singa yang tahu mangsanya tak bisa lari.
Anya memasang wajah datar. “Saya datang untuk—” “Diam.” Suaranya tajam. Tegas. “Sebelum kita bicara bisnis, kau berutang penjelasan.” Anya mengangkat dagu sedikit. “Saya rasa Anda salah orang. Saya—” Reynard tertawa pendek. Dingin. Kosong. “Kau kira aku main-main?” Tatapannya makin tajam, “Kau siram wajahku lalu lari seperti tikus. Sekarang kau datang ke wilayahku, membawa proposal usang, berharap aku menyelamatkan bangkai perusahaanmu.” Anya tak menjawab. Dia tidak bisa—tidak ketika udara mendadak terasa berat seperti diinterogasi mafia kelas atas. Reynard mendekat. Meja di antara mereka tak berarti apa-apa saat pria itu berdiri di depan Anya, hanya beberapa jengkal darinya. “Aku bisa menyingkirkan seluruh nama keluargamu dari daftar bisnis kota ini,” ucapnya datar, “Dalam dua hari. Tanpa sisa.” Anya mengepal jemarinya. “Kalau Anda merasa dirugikan, saya minta maaf. Tapi saya tidak datang untuk masa lalu.” Reynard menyeringai. Matanya gelap. “Sayangnya aku tidak lupa. Dan aku tidak memaafkan.” Ia mengambil map proposal dari meja dan membukanya tanpa melihat. Satu detik kemudian, ia merobeknya perlahan—satu halaman, satu sobekan, hingga hanya serpihan kertas yang tersisa. Anya mengatup rahangnya. “Apa maksud Anda?!” “Maksudku sederhana,” bisik Reynard, nyaris tanpa emosi. “Kau ingin aku menyelamatkanmu? Maka kau akan membayar.” Ia mengambil satu lembar kertas baru dari dalam jasnya lalu meletakkannya di atas meja. Kertas itu hanya berisi dua kata di atas: KONTRAK PERNIKAHAN. Anya memicingkan mata, “Anda gila.” Reynard bersandar, tangan di saku. “Mungkin. Tapi aku gila yang punya kekuasaan. Kau bisa menolak. Tapi dalam waktu 48 jam, semua sisa kontrak bisnismu akan lenyap. Investor akan pergi. Saham akan runtuh. Dan kau akan jadi berita paling memalukan di seluruh media finansial Asia.” Anya menatapnya tajam, “Kau tidak punya hak—” “Aku punya segalanya,” potong Reynard, nadanya rendah namun mengancam. “Aku tidak butuh izinku sendiri untuk menghancurkanmu.” Keheningan mengendap. Anya ingin melawan. Tapi tatapan pria di depannya adalah milik seseorang yang sudah terlalu sering menyingkirkan lawan dan ia tidak pernah kalah. Dia tahu. Ini bukan negosiasi. Ini ultimatum. Anya memandangi kertas di hadapannya. Tertulis jelas dalam huruf tebal kapital: KONTRAK PERNIKAHAN. Tiga lembar. Isinya pasti penuh syarat sepihak. Tanpa belas kasih. Ia mengangkat wajah, “Kau pikir semua orang bisa kau beli dengan pernikahan?” Reynard menatapnya dingin, “Aku tidak membeli. Aku mengambil. Karena aku bisa.” Tatapan mereka terkunci. Anya ingin menjatuhkan map itu ke lantai dan pergi. Tapi ia tahu, satu langkah keluar dari ruangan ini berarti tamat. Bukan hanya untuk perusahaannya. Tapi untuk semua karyawan yang masih menggantungkan hidup di bawah nama Ardistya Corp. Orang-orang yang mempercayainya. Dan pria ini… bukan sekadar CEO. Dia pemangsa. Seolah membaca pikirannya, Reynard memberi isyarat halus. Seketika, dua pria berbadan besar berpakaian hitam muncul di sisi pintu, berdiri tegap tanpa suara. Pengawal pribadi. Seperti bayangan yang siap bergerak begitu perintah keluar. Anya merasa nadinya melambat. Pintu ruang rapat mengunci otomatis—klik—suara pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. “Ini bukan negosiasi,” ucap Reynard pelan, namun menusuk. “Ini perintah.” Anya tertawa canggung, merasa semakin cemas tapi tetap memertahankan egonya. “Kau pikir aku wanita yang bisa ditakut-takuti?” Reynard mendekat, berhenti tepat di depannya. Tatapan matanya menusuk dan untuk sesaat, napas Anya tercekat. Ia mencondongkan tubuh, membisik pelan tapi tajam ke telinganya. “Aku bisa buat hidupmu lebih dari sekadar neraka. Kau akan bangun setiap pagi bertanya-tanya... siapa yang akan kulenyapkan hari itu.” Anya menelan ludah, tapi tetap tegak. “Kalau tujuanku hanya menghancurkan, aku sudah melakukannya sejak kemarin. Tapi aku menawarkan sesuatu yang lebih… elegan.” Ia menarik diri, kembali ke kursinya dan duduk. Jari-jarinya mengetuk meja, pelan, teratur. “Jadi, bagaimana?” tanyanya dingin. “Mau jadi ratuku dalam neraka ini? Atau mati bersama kehormatan yang tak akan ada gunanya di jalanan?” Hening. Anya memejamkan mata sesaat. Lalu membukanya dengan sorot mata baru. Ia meraih pena. “Baik. Aku akan tanda tangan.” Reynard hanya menatap. Tidak tersenyum. Tidak menunjukkan kemenangan. Tapi aura puasnya jelas terasa di udara. “Tapi ingat ini, Tuan Andinata,” ucap Anya perlahan, dengan sorot mata menusuk balik. “Kau boleh punya kuasa atas kertas… tapi jangan pernah berpikir kau bisa menundukkan aku sepenuhnya. Aku tidak menikah untuk jadi boneka.” Tatapan Reynard mengeras. Tapi senyum tipis muncul di wajah sadisnya. “Bagus,” gumamnya, “Aku tidak suka boneka. Aku suka api. Tapi ingat… api juga bisa dipadamkan.” Anya menandatangani kontrak dengan satu goresan tegas. Permainan dimulai.Sudah dua minggu sejak Anya memutuskan untuk membangun kembali apa yang dulu pernah ia miliki atau setidaknya, bagian dari dirinya yang ikut runtuh bersama Phoenix Creative. Dulu, nama Anya Kirana adalah sinonim kesuksesan di dunia pemasaran digital Jakarta. Ia membangun agensi Phoenix Creative dari nol dengan kerja keras, darah, dan air mata. Tapi semua itu sirna dalam semalam. Pengkhianatan dari dua orang yang paling ia percaya, rekan bisnis sekaligus tunangannya, menghancurkan segalanya. Kini, sebuah ruangan mungil di coworking space Jakarta Selatan menjadi markas sementaranya. Tak semewah dulu, tapi cukup untuk mulai lagi. Siang itu, ia duduk membungkuk di depan laptop, menata ulang model bisnis untuk lini produk lifestyle dan digital branding yang dulu pernah mendominasi pasar. Excel sheet, mindmap digital, dan catatan proposal bertebaran di mejanya. Namun di balik bara semangat itu, ada awan gelap yang tak juga pergi: pendanaan. Ia telah mengirimkan beberapa proposal ke
Sinar matahari menari pelan di antara tirai tipis, menyusup masuk dan menyentuh seprai yang kusut. Sisa aroma semalam masih melekat di udara saat Anya membuka matanya perlahan. Tubuhnya lelah, namun terasa ringan. Di sampingnya, Reynard masih tertidur. Dada telanjangnya naik turun perlahan, damai. Ada bekas cakaran di bahunya. Jejak mereka. Bukti bahwa malam itu bukan sekadar mabuk.Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap wajah pria itu. Ada damai di sana—damai yang justru membuat jantungnya berdegup lebih keras. Hubungan ini… dimulai dari kontrak. Tapi entah sejak kapan, batas-batasnya mulai kabur.Perlahan, ia menyentuh pipinya. Hangat. Hidup. Dan saat itu juga, mata Reynard terbuka, seperti merespons sentuhan itu.Tatapan mereka bertemu.“Pagi,” ucap Reynard, suaranya berat dan—dalam.Anya tersenyum kecil. “Pagi.”Satu alis pria itu terangkat. “Menyesal?”Anya menatapnya lama, seperti menimbang sebuah kebenaran yang enggan diucap. “Kalau aku bilang ya… kau akan marah?”Reynard tetap
Begitu mereka sampai rumah dari kegiatan jalan-jalan, Reynard mencondongkan tubuhnya perlahan ke arah Anya. Ia tidak terburu-buru. Matanya menatap mata Anya sejenak—mencari izin, atau mungkin kerelaan. Ketika melihat Anya hanya terdiam, bibirnya lalu menyentuh bibir Anya. Begitu pelan, begitu lembut, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. Ciuman pertama itu seperti helaan napas yang tertahan terlalu lama. Hangat, tapi juga mengejutkan. Bibir mereka menyatu dalam gerakan ragu namun tulus. Anya mengerjapkan mata, jantungnya berdegup tidak beraturan. Detik itu, waktu seolah berhenti. Anya menutup matanya, membalas perlahan. Rasa hangat menjalar dari bibir ke lehernya, hingga ke ujung jari. Sentuhan lembut Reynard di pinggangnya membuatnya mendekat tanpa sadar. Angin malam yang menyelinap dari jendela kini tak lagi terasa dingin karena tubuh Reynard di sampingnya memancarkan kehangatan yang membungkus. Ciuman itu berkembang. Lebih dalam, lebih menuntut. Napas mereka membur
Anya duduk di sofa, menatap ke luar jendela sambil memikirkan tentang apa yang terjadi pada Dion dan Clara. Ia merasa bingung dan khawatir, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba, ia teringat tentang Reynard. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya sendiri. Ia telah mencoba untuk tidak mencintainya, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang kuat antara mereka. Anya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya. "Tidak mungkin," kata Anya pada dirinya sendiri, "Aku tidak bisa mencintainya. Ia terlalu dingin, terlalu keras." Tapi ketika ia melihat dirinya sendiri di cermin, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat seorang wanita yang lemah, yang tidak bisa menyangkal perasaannya sendiri. Anya merasa seperti terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu apa yang harus dipilih. Ia hanya tahu bahwa ia harus membua
Anya melangkah masuk ke ruang kerja pribadi Reynard di lantai 52. Dinding kaca membingkai kota Jakarta, tapi suasananya hening—terlalu hening.Reynard berdiri membelakangi jendela, jas sudah dilepas, kemeja hitamnya terbuka dua kancing teratas. Satu tangan menyelip di saku celana, yang lain memegang selembar berkas."Laporan terakhir dari investor Jepang. Presentasimu membuat mereka yakin," katanya tanpa menoleh.Anya mengangguk, tetap menjaga jarak. “Terima kasih sudah memfasilitasi semuanya.”"Aku tak fasilitasi siapa pun," ucapnya pelan, kini menoleh. Tatapannya menusuk."Aku hanya pastikan kau tidak membuat kesalahan lagi. Termasuk soal siapa yang kau percaya."Anya membalas tatapan itu. tatapannya dari Reynard."Aku tidak butuh perlindungan, Reynard."Senyum tipis menyentuh bibir Reynard—dingin, nyaris sinis."Salah. Kau hanya belum sadar seberapa banyak musuhmu, dan seberapa keras dunia bisa menghancurkanmu tanpa ampun."Ia berjalan perlahan mendekat. Langkahnya tenang. Tapi aur
Restoran itu tenang, berkelas, dengan cahaya temaram dan interior modern minimalis.Anya mengenakan setelan semi-formal, rambut digelung rapi, sepatu hak tak terlalu tinggi. Tidak untuk menggoda. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia datang dengan kepala tegak.Seorang pelayan mengantarnya ke meja sudut paling privat. Ketika Anya sampai di sana, ia... sudah melihat Reynard. Pria itu duduk santai, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan perak yang mencerminkan lampu gantung di atasnya. Tatapannya langsung menancap begitu Anya datang.“Kau datang.”Anya duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, lalu meletakkan clutch-nya di atas meja.“Kupikir ini soal kerja sama. Ternyata restoran bintang lima?”Reynard menyeringai tipis, tidak menjawab langsung. Pelayan datang membawakan dua gelas wine merah, yang satu ditaruh persis di depan Anya.“Kau masih ingat yang ini?” tanyanya sambil menoleh ke Anya.“Prancis, tahun yang sama dengan ulang tahun Andristy yang keempat.”Anya tertegun. Ia tidak men