Catarina duduk di sudut ruangan, menatap dinding batu lembap dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Lorenzo. Tawaran pria itu masih terngiang di telinganya, bekerja sebagai mata-mata, atau menjadi barang permainan para mafia.
Waktu terus berjalan, dan batas dua puluh empat jam semakin dekat. Hatinya berperang. Ia tahu, menerima tawaran itu berarti menyerahkan dirinya pada dunia yang penuh dosa dan kekejaman. Namun, menolak berarti kematian dan mungkin, kematian yang lebih buruk daripada sekadar mati. Catarina memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Ingatan akan ibunya yang terbunuh di depan matanya kembali menghantuinya. Luka itu masih terlalu segar. Namun di balik semua penderitaan, bara api kecil mulai menyala dalam dirinya, api balas dendam. Suara derit pintu besi membuyarkan lamunannya. Seorang pria bertubuh besar masuk, membawa sepotong roti dan segelas air. Ia meletakkannya di atas meja tanpa sepatah kata, lalu keluar kembali, meninggalkan Catarina dalam kesunyian. Gadis itu menatap makanan tersebut tanpa nafsu. Tubuhnya lelah, namun pikirannya terus bekerja. Ia tahu, Lorenzo tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Jika ingin bertahan hidup, ia harus cerdik. Catarina mengambil segelas air dan meminumnya perlahan. Setiap tegukan terasa pahit, namun ia memaksakan diri. Tubuhnya membutuhkan tenaga jika ingin melawan. Beberapa jam berlalu, hingga akhirnya pintu terbuka kembali. Kali ini, Lorenzo masuk dengan langkah tenang. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Catarina. "Sudah membuat keputusan?" tanyanya singkat. Catarina menatap pria itu dengan mata membara, meskipun hatinya gemetar. "Aku terima... tapi dengan syarat." Lorenzo mengangkat alis, tampak terkejut oleh keberanian gadis itu. "Syarat?" Catarina menelan ludah, mencoba menegakkan tubuhnya. "Aku tidak akan melayani siapa pun... Aku hanya akan bekerja sebagai mata-mata. Jika kau atau anak buahmu menyentuhku, lebih baik aku mati." Lorenzo menatap gadis itu lama, seolah menilai apakah keberanian itu sungguh nyata atau hanya pura-pura. Setelah beberapa saat, ia menyeringai tipis. "Kau punya nyali, Catarina... Baiklah. Aku setuju." Catarina menarik napas lega, meskipun rasa takut masih mencengkeram hatinya. "Tapi ingat," lanjut Lorenzo dengan nada dingin, "pengkhianatan hanya berujung pada kematian." Catarina mengangguk pelan. Ia tahu risikonya, namun ini adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Lorenzo memberi isyarat kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di luar pintu. Pria itu membawa setumpuk pakaian sederhana dan sebuah ponsel kecil. "Ganti pakaianmu. Mulai sekarang, kau bekerja untukku." Catarina mengambil pakaian itu dengan tangan gemetar. Tatapannya bertemu dengan mata dingin Lorenzo sebelum pria itu keluar dari ruangan, meninggalkannya sendirian. Gadis itu mengganti gaun lusuhnya dengan pakaian baru, celana jins, kaus putih, dan jaket kulit hitam. Pakaian itu sederhana, namun memberinya sedikit rasa nyaman. Saat menatap bayangannya di cermin kecil yang tergantung di dinding, Catarina hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Mata hijau yang dulu penuh kelembutan kini memancarkan tekad dan kebencian. Ia menyelipkan ponsel kecil itu ke dalam saku jaket, lalu duduk di kursi, menunggu instruksi selanjutnya. Tak lama kemudian, Lorenzo kembali dengan wajah tanpa ekspresi. "Kau akan bekerja di bar milikku," katanya singkat. "Tugasmu sederhana — dengarkan, amati, dan laporkan setiap pembicaraan yang mencurigakan." Catarina menggigit bibir, menahan rasa jijik yang bergolak di dalam hatinya. Dunia ini benar-benar berlawanan dengan semua yang ia impikan. Namun, ia tidak punya pilihan. "Aku mengerti." Lorenzo menyeringai, puas dengan jawaban gadis itu. "Bagus... Mulai malam ini, kau adalah bagian dari keluarga Vargas." Kata-kata itu membuat bulu kuduk Catarina meremang. Ia tahu ini bukan keluarga... ini adalah perangkap yang tidak akan mudah dilepaskan. Malam itu, Catarina dibawa ke sebuah bar mewah di pusat kota — El Diablo. Musik berdentum, aroma alkohol bercampur asap rokok memenuhi ruangan. Para pria berjas dan wanita dengan gaun minim memenuhi tempat itu, berbicara dalam bisikan penuh rahasia. Catarina berdiri di balik bar, memperhatikan setiap orang dengan saksama. Tugasnya sederhana, namun berbahaya. Satu kesalahan kecil bisa membuatnya kehilangan nyawa. Di sudut ruangan, Lorenzo duduk di sofa kulit hitam, mengawasi semua yang terjadi dengan tatapan elangnya. Sesekali, tatapannya bertemu dengan mata Catarina, seolah mengingatkannya bahwa ia selalu diawasi. Malam semakin larut, namun Catarina tetap waspada. Setiap bisikan, setiap tatapan, dan setiap gerakan terekam dalam ingatannya. Ia mungkin tawanan saat ini... Namun, permainan baru saja dimulai. Dan Catarina bersumpah... Ia akan menemukan jalan keluar dari dunia ini, meskipun harus menari di atas bara api. Di tengah kegelapan, mata hijaunya bersinar penuh kebencian, penuh tekad. Karena di dunia mafia, hanya ada dua pilihan, Menjadi mangsa…atau menjadi pemburuLorenzo duduk di kursi roda, dengan lengan kirinya diperban tebal. Meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, sorot matanya tajam dan penuh tekad. Di depannya, terbentang peta kota New York dengan beberapa titik merah yang ditandai dengan lingkaran. Jacob dan Marco berdiri di sisinya, menunggu instruksi.“Aku yakin dia menyembunyikan Catarina di salah satu properti bawah tanahnya,” ujar Lorenzo, menunjuk sebuah area di Midtown. “Gedung ini milik salah satu perusahaan cangkangnya. Dulu aku pernah menelusurinya, tapi tidak pernah menemukan apa pun… sampai sekarang.”Jacob mengangguk, lalu menyerahkan berkas hasil penyelidikan terakhir. “Kami menyadap komunikasi beberapa anak buah Nigel. Ada lalu lintas kendaraan mencurigakan ke gedung ini dua malam terakhir. Aktivitas tinggi, tapi tidak mencolok. Seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.”“Catarina,” gumam Lorenzo. Matanya menyipit. “Kita harus menyusup malam ini. Aku akan ikut.”Marco langsung menol
Lorenzo terus membawa Catarina menuju pesawat pribadinya. Hari ini, dia memutuskan untuk membawa Catarina pulang ke Manila. Catarina setuju tanpa ragu karena ketakutannya terhadap Nigel semakin besar. Dia tak menyangka bahwa pria yang selama ini dikenalnya sebagai pengusaha ternama ternyata seorang mafia.Tanpa sempat membawa pakaian atau barang-barangnya, mereka langsung menuju bandara. Namun, situasi semakin kacau saat mereka tiba di landasan. Sekelompok pria bersenjata muncul dari berbagai arah, dan peperangan antara Lorenzo dan anak buah Nigel pun pecah.Peluru berdesingan di udara, dan Lorenzo berusaha melindungi Catarina dengan tubuhnya. Namun, sebuah tembakan mengenai bahunya, membuatnya mundur selangkah dengan wajah menahan sakit."Lari ke pesawat sekarang!" perintahnya dengan suara tegas meskipun darah mulai mengalir dari lukanya.Catarina ragu sejenak, tetapi Lorenzo mendorongnya agar segera pergi. Namun, sebelum dia bisa mencapai pesawat, Nigel tiba-tiba muncul dengan beber
Suasana di dalam apartemen semakin tegang. Catarina memegang pistol dengan tangan gemetar, sementara Lorenzo berdiri di depannya, melindunginya dari ancaman di luar.DOR!Satu tembakan terdengar, diikuti suara pecahan kaca jendela. Lorenzo langsung menarik Catarina ke sudut ruangan, menjauhkannya dari jalur tembakan."Sial," gumam Lorenzo. "Mereka tidak main-main."Lorenzo mengintip dari balik dinding dan melihat beberapa pria Nigel telah berhasil masuk. Dia tahu dia tidak bisa menghadapi mereka semua sendirian, apalagi dengan Catarina di sini."Kita harus keluar dari sini sekarang," bisiknya kepada Catarina."Tapi bagaimana?" Catarina berbisik panik.Lorenzo menoleh ke arah jendela yang sebagian kacanya sudah hancur. Itu satu-satunya jalan keluar."Lompat.""Apa? Kau gila?""Kita di lantai dua. Aku akan lebih memilih lompat daripada mati di tangan mereka."Catarina menelan ludah. Dia tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Lorenzo membuka jendela lebih lebar dan melompat lebih dulu.
Pagi itu, Nigel tiba di apartemen Catarina dengan ekspresi bingung. Biasanya, perempuan itu selalu ada di sana setiap pagi sebelum berangkat kerja. Namun, kali ini, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.Nigel segera mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Catarina. Nada sambung terdengar, namun tidak ada jawaban. Berkali-kali dia menelepon, tetapi hasilnya tetap sama. Ponselnya bahkan sudah tidak aktif lagi.Rasa curiga mulai menyelimuti pikirannya. Tanpa membuang waktu, dia segera menghubungi anak buahnya dan memberikan perintah tegas.“Cari tahu keberadaan Angeline (Catarina) sekarang juga! Aku ingin laporan dalam waktu secepat mungkin!” suaranya dingin dan tajam.Dalam benaknya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu musuh lamanya, Lorenzo. Jika benar pria itu menculik Catarina, maka ini adalah sebuah tantangan perang.Namun, yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa Nigel Ramirez bukan hanya seorang pengusaha fashion ternama. Di balik citra elegan dan bisnis mewahnya, dia ju
Catarina terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa berat seolah ada seseorang yang menindihnya. Saat matanya terbuka sepenuhnya, ia mendapati Lorenzo berada di atasnya, menatapnya dengan mata penuh obsesi. "Apa yang kau lakukan?!" Catarina berusaha memberontak, tetapi tangannya masih terikat di kepala ranjang. Lorenzo menyeringai, jemarinya yang kasar mengusap pipi Catarina dengan lembut. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan pergi ke mana-mana lagi, sayang." Catarina menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi rasa takut dan kemarahan. "Lorenzo, ini salah. Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini." Lorenzo mendekatkan wajahnya, napas hangatnya mengenai wajah Catarina. "Kau milikku, Catarina. Aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhmu, bahkan menatapmu pun tidak." Catarina meronta lagi, tapi usahanya sia-sia. "Aku bukan milikmu! Kau sudah menikahi Carmela, Lorenzo! Lepaskan aku!" Sebuah kilatan kemarahan muncul di mata Lorenzo, tetapi ia segera mengendalikanny
Catarina berjalan keluar dari gedung dengan langkah yang sedikit gontai. Hari ini sangat melelahkan baginya. Ia ingin segera pulang, mandi air hangat, lalu tidur dengan nyenyak. Namun, malam ini ia tidak pulang bersama Nigel. Pria itu harus pulang lebih awal untuk menyambut keluarganya yang baru saja tiba dari luar negeri.Karena itu, Catarina memutuskan untuk pulang dengan taksi. Ia berdiri di tepi jalan, menunggu kendaraan yang dipesannya tiba. Suasana di sekitar cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang.Namun, sebelum sempat menyadari sesuatu, tiba-tiba sebuah tangan besar menutup mulutnya dengan kain yang berbau menyengat. Catarina terkejut. Ia mencoba meronta, tetapi tubuhnya dengan cepat melemah. Pandangannya mulai kabur, dan beberapa detik kemudian, semuanya menjadi gelap.Lorenzo duduk di kursi kayu dengan kaki terentang, matanya tajam menatap wanita yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis."Akhirnya k