Masuk"Kenapa, Rena? Aku sudah cerita tentang kamu pada Ibuk!" Darren tampak kecewa.Renata menggeleng samar. "Kenapa kamu tidak tanya dulu sebelumnya, Mas?" balasnya tidak kalah kecewa."Ah, Rena, tolong jangan dibuat bingung! Positive thinking!"Darren tersenyum dan mengusap kepala Renata dengan sayang. Namun, tidak membuat Renata balas tersenyum. Renata justru mengalihkan pandangan dari Darren.Diabaikan, Darren menarik napas pelan. Dia segera mengambil makanan dari atas nakas yang baru diantar petugas rumah sakit."Makan dulu, Sayang!" Darren membuka kotak makan dan menatanya di depan Renata.Renata mengangguk samar dan menatap Darren. "Kamu juga harus makan, Mas!""Kamu duluan. Aku sudah pesan!" Tatapan Darren mengembun, melihat Renata yang makan tanpa mual-mual lagi. Sekali lagi, dia menarik napas panjang. Harus ikhlas. Janin malang itu tidak bersedia hidup lebih lama. Mungkin apa yang dikatakan Renata benar. Dia malu terlahir sebagai anak di luar pernikahan.Entahlah. Namun, Darren
"Permintaan apa, Mas? Aku tidak punya apa-apa!" Suara Renata parau dengan tatapan bingung, lalu beralih pada map di tangan Yuda. Mendadak Renata cemas jika Yuda menuntut sesuatu padanya. Melihat Renata tidak nyaman, Darren segera mengajak Yuda duduk di sofa. Renata mengikuti dan segera dibantu Alina. Akhirnya, mereka semua duduk di sofa. Yuda mengulurkan map pada Renata dan minta wanita itu membacanya. Yuda juga menyerahkan semua milik Renata, tanpa satu pun tertinggal. Dengan ragu, Renata mengambil kertas dari dalam map. Keningnya berkerut beberapa kali. Lalu dia menatap heran pada Yuda. "Mas, aku tidak minta apa pun. Kenapa kamu memberiku ini?" "Kamu memang tidak pernah minta apa pun, Rena. Tapi aku memberimu ini. Ini nafkah mut'ah. Lalu, kamu juga harus terima ini!" Yuda memberinya selembar sertifikat tanah atas nama Renata Mardanina. Renata langsung menatap Darren dan Alina yang menyaksikan itu. Dia tidak enak hati jika menerima sertifikat itu karena posisinya sudah ma
"Mas Yuda?" Alina menatap terkejut pada laki-laki gagah itu. "Apa yang Mas Yuda lakukan di sini?" Tatapan Yuda datar pada Alina, lalu sedikit mengangkat map di tangannya. Alina mengikuti arah pandangan Yuda. Yuda tersenyum samar sekilas, lalu memindai sekeliling. "Aku dengar Renata kecelakaan. Hari ini aku hendak menemuinya di sekolah, tapi ..." Alina langsung mengangguk. "Ya, itu benar! Apa Mas merencanakan sesuatu?" tanyanya curiga. Kening Yuda mengerut tipis. "Merencanakan sesuatu?" ulangnya. "Aku hanya ingin mengantar berkas dan bicara beberapa hal padanya. Jadi, bisakah kamu mengantarku ke sana?" "Tidak sekarang!!" sahut Alina sambil menggeleng tegas hingga kerutan di kening Yuda bertambah dalam. "Dia hanya diam. Jangankan bicara, menangispun tidak!" "Apa sebenarnya yang terjadi? Bukannya Darren selalu bersamanya?" Alina mengangguk samar, lalu mulai meneteskan air mata. "Dia sengaja ditabrak, Mas. Orang itu mencelakai Renata dan Mas Darren. Tapi Renata malah menub
"Rena, Mas Darren, awas!"Alina berteriak histeris. Namun, terlambat. Kejadian itu sangat cepat. Sebuah motor melaju kencang ke arah Darren dan Renata. Mereka berdua terkejut, tetapi tidak sempat menyelamatkan diri.Bruk!"Ya Allah, Rena!" Paper bag berisi baju bayi itu, terlempar dari tangan Renata. Bersamaan dengan itu, sebuah benturan keras mengenai tubuh Renata yang langsung ambruk.Darren yang meringkuk di samping Renata sangat terkejut. Mengabaikan rasa perih di lengannya yang tergores aspal. Bergegas dia duduk dan menepuk pelan pipi Renata. Mata wanita itu terpejam, wajahnya pun terluka.Sepertinya, pengendara motor tadi sengaja menabrak Darren dan Renata. Dia sempat melihat spion, memastikan sekali lagi sudah tepat sasaran. "Mas Darren, Renata!" Alina tertunduk lemas. Dia memeluk Renata dengan panik. "Renata, bangun! Ya, Tuhan, Mas ... darah!"Pandangan Darren tertuju pada kaki Renata. Mendadak, wajah Darren pucat melihat darah segar di kaki Renata. Dengan tangan gemetar, Al
Ketakutan itu muncul lagi di hati Renata. "Bagaimana, kalau ditentang keluarga kalian?" ulangnya sangat lirih. "Sudah beberapa kali aku katakan padamu. Ini hidup dan tentang masa depanku. Ibuk tidak menyukai Almira!" Ucapan tenang Darren membuat Renata langsung menatapnya. Manik hitam dan cokelat itu beradu dalam diam beberapa detik. Sampai pada akhirnya, Darren terkekeh geli melihat ekspresi Renata. Diraupnya wajah Renata hingga memejamkan mata sejenak. Renata ingin meyakinkan pendengaran sekali lagi tentang ucapan Darren. Almira saja yang anak pemilik pesantren tidak disukai ibunya Darren, apalagi dia? Wanita yang sudah hancur karena perceraian dan selingkuh. Ditambah lagi aib besar menghantui Renata. Hamil di luar nikah! "Lalu, bagaimana denganku nanti?" Tiba-tiba Renata kembali ragu. "Padahal, Almira menantu sholihah, Mas!" "Jangan over thinking, Rena!" tegur Darren mematahkan keraguan Renata. "Yang paham sifat Ibuk hanya anak-anaknya. Kamu nanti juga tahu." Darren tersenyu
"Jangan mencari alasan, Mas! Apa maksudmu melibatkan Bu Ayu?" Almira mulai emosi.Dia tidak terima ayahnya dijelekkan, padahal sudah meninggal. Almira berasumsi, Darren sengaja mencari alasan untuk mengakhiri pernikahan mereka.Namun, Darren masih bersikap datar dan tidak terpancing dengan reaksi Almira. Menjadi orang miskin yang punya cita-cita tinggi memang harus siap diremehkan. Tidak peduli, orang itu berprestasi.Itulah yang dialami Darren dan keluarganya dulu. Jika bukan karena ingin mengangkat derajat keluarga, Darren tidak mungkin memasuki keluarga Zulkifli. Semua orang memandang hormat pada Zulkifli sebagai penerus pemilik pesantren. Status sosial Zulkifli memang terpandang.Apalagi, setelah Darren masuk ke keluarga terpandang itu. Zulkifli semakin dihormati. Pasalnya, status Darren lulusan luar negeri yang jarang ditemui di pedesaan.Sering, dengan bangga Zulkifli memamerkan sang menantu pada rekan-rekannya. Diabaikannya perasaan Darren dan Almira yang tidak nyaman. Hanya







