LOGIN"Nina? Siapa Nina?" Wanita itu menoleh, tatapannya menuntut jawaban pada Darren.
Darren menggaruk tengkuk yang tidak gatal, lalu segera merangkul bahu wanita itu. Melihat sikap agresif Darren, wanita cantik itu justru tidak nyaman. Yuda memperhatikan interaksi pasangan itu, dengan alis terangkat sebelah. Sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. Tiba-tiba, Yuda curiga dengan wanita bernama Nina itu. Darren segera menarik tangan Nina dan membawanya menyingkir. Meskipun sedikit terkejut, Nina hanya menurut saja. "Pa-Pak Darren, kenapa Anda begitu aneh?" tanya Nina palsu bingung dan tidak nyaman. Darren mengerutkan bibir, lalu tertawa kecil seolah tidak terjadi sesuatu. Dengan sengaja, dia merangkul dan mengusap kepala Nina palsu. "Dista, maaf, ada yang salah. Seharusnya, tadi aku katakan dulu padamu. Please, kita harus menjalankan sandiwara ini sebaik mungkin!" "Saya belum mengerti!" Wanita bernama Dista itu mengernyitkan dahi. "Di depan semua orang, kamu kenalkan namamu Dista Karenina, panggilan sayangku Nina!" bisik Darren sambil menekan kata "sayangku". Dista mengangguk mengerti. "Baiklah, Pak! Hanya sandiwara, kan?" Darren langsung mengangguk. Ya, hanya sandiwara. Meskipun tidak dipungkiri, pesona Darren membuat Dista berulang kali menahan napas. "Jangan memanggilku Bapak! Panggil aku apa pun, asal bukan resmi. Kamu ingin tas branded terbaru, kan?" Darren mengedipkan sebelah mata. "Aku akan kasih bonus sepuluh juta, kalau Yuda percaya kita pasangan kekasih." Hanya disuruh pura-pura menjadi pacar laki-laki tampan dan kaya. Tidak sulit. Lalu, dapat imbalan tas branded dan uang sepuluh juta? Dista langsung mengangguk setuju. Maka, mereka pun menjalankan sandiwara dadakan sebagai pasangan kekasih. Namun, palsu. "Ahh, dasar pelupa! Sudah kubilang, aku tidak suka dipanggil Nina, namaku Dista Karenina. Nina itu, kucing kesayangan Mama yang suka merusak sofa! Nyebelin!" Dista memberengut. Darren kembali tertawa kecil, lalu mengusap gemas kepala Dista. "Bagus. Seperti ini terus sampai kita pulang!" bisiknya. Lalu, Darren melirik pada Yuda yang mendekat. "Berapa lama kalian pacaran? Darren ini aneh, punya pacar malah disembunyikan!" "Ah, iya. Maaf, saya agak introvert soalnya." "Iya, Nina banyak tugas di kampus juga." Yuda mengangguk samar. Tatapannya tertuju pada jemari Darren dan Nina yang bertaut erat. Yuda menoleh, ketika Renata mendekat sambil membawa dua mangkuk kecil puding. "Ini puding eksperimen. Silakan dicicipi, Kak Nina, Mas Darren!" "Hm, thanks Rena. Puding leci?" "Iya, ternyata Mas Yuda bawa banyak leci juga dari Bandung." "Oh, aku coba, ya!" Renata mengangguk antusias. Bibirnya melekuk senyum. Sesekali, Darren memperhatikan Renata. Senyum itu terlihat lepas, tidak seperti biasanya. Tanpa sadar, Darren menarik napas lega. "Ehm, masih ada leci segar. Nanti kamu bisa bawa pulang, Ren! Aku tidak mungkin habiskan semua sendiri!" "Baiklah, aku bisa bawa ke kantor besok!" "Apa kamu tidak suka? Seingatku, kamu tidak pantangan buah!" Darren terkekeh pelan, lalu ingat masih punya dua kotak leci di kulkasnya. "Ah, bukan! Kebetulan aku beli kemarin lusa!" Tatapan Yuda menajam pada sahabatnya itu. Lantas, dia melirik pada Renata yang tampak salah tingkah meskipun pura-pura tidak mendengar pembicaraan mereka. Tangan Renata mengambang, urung mengambil nasi. Lalu, dia meletakkan kembali centong nasi dan meninggalkan tempat itu. Renata bergegas mendekati teman-temannya. Tidak lupa, dia juga mengajak Dista. Menjelang jam 10 malam, para tamu mulai berpamitan. Tinggal Darren dan Dista. Yuda mengambil satu kantong plastik leci segar untuk Darren. Semua orang juga membawa satu kantong. Kemarin lusa, Yuda memborong dua karung leci dari warga untuk dibagikan pada tetangga dan teman kantor. Yuda mengantar Darren dan Dista sampai di teras. "Wah, thank you, Bro! Kami pulang dulu!" Darren menepuk pelan bahu Yuda. Segera, Darren meletakkan kantong plastik di bagasi mobil. Darren urung menutup pintu bagasi, saat melihat Renata berdiri di ambang pintu. Tatapan wanita itu kosong pada Darren. Di tangannya ada dua buah paper bag. Yuda mengikuti arah pandangan Darren, lalu menatap sekilas paper bag di tangan Renata. "Ah, iya. Kalian bawa pulang!" Yuda, mengambil alih paper bag dari tangan istrinya. "Wow, malah ngrepoti kamu, Ren!" "Ah, tidak, Mas!" Setelah meletakkan dua paper bag itu, Darren bergegas memasuki mobil diikuti oleh Dista. Dari teras, Renata dan Yuda menunggu mobil itu pergi. Darren sengaja membuat sandiwaranya terkesan sempurna. Dia mencondongkan tubuh lebih dekat pada Dista, seolah mencium pipi wanita itu. Yuda menatap tanpa ekspresi interaksi mereka. Berbeda dengan Renata yang langsung membuang pandangan. Darren melihat itu. Namun, lepas dari perhatian Yuda yang berdiri di samping Renata. "Semoga Darren tidak main-main, dan segera menikahi Nina!" ucap Yuda, begitu mobil Darren sudah keluar dari halaman. Renata menanggapi dengan anggukan kecil, lalu bergegas meninggalkan suaminya. Dia segera membereskan meja makan dibantu Yuda. Beberapa kali, Renata mendengus lirih dengan gusar. "Huuf!" Renata mengembungkan mulutnya, lalu membuang napas dengan kasar. Hal itu tidak lepas dari perhatian Yuda. "Kamu kenapa? Sejak tadi murung, padahal ide makan malam ini kamu yang buat!" selidiknya. "Aku hanya capek, Mas! Tidak apa-apa, kok!" Bergegas, Renata membawa beberapa piring kotor ke dapur. Dia kembali lagi mengambil lap. Namun, sama sekali tidak mau menatap Yuda. Yuda mengambil alih lap dari tangan istrinya. "Kamu istirahat saja! Biar aku yang kerjakan!" "Tidak apa-apa, Mas. Hanya mengelap ini saja!" "Rena, sebenarnya kamu kenapa? Aku perhatikan sikapmu aneh begini!" Renata menatap sekilas pada Yuda, lalu menggeleng. "Tidak ada yang aneh, Mas. Sudahlah, aku hanya sedikit lelah saja!" dalihnya. Berulang kali, Renata mengutuk diri. Tidak seharusnya dia terlena oleh perhatian Darren. Renata sudah punya suami dan Darren juga memiliki kekasih. Mungkin saja, perhatian Darren hanya karena bersahabat dengan Yuda. Tidak! Renata berusaha menolak hatinya. Itu tidak benar. Penilaian Alina di supermarket itu hanya fitnah. Darren bukan perhatian, tetapi sekadar kasihan. Namun, ciuman Darren dan genggaman eratnya pada Nina, membuat sudut hati Renata tidak nyaman. "Baiklah, semoga kali ini kamu jujur, Sayang!" Yuda tersenyum miris. "Kenapa Mas Yuda selalu curiga padaku, Mas?" Yuda tidak menjawab. Bergegas, dia ke luar rumah sambil membawa kantong sampah. Tangan Yuda urung menutup tong sampah, ketika ingat sesuatu. "Leci, Nina, sikap aneh mereka ..." Yuda tersenyum miring sekilas. "Aku akan cari bukti! Mulut kalian bisa mengelak, tapi tatapan dan bahasa tubuh, tidak bisa berbohong!" ****Cerai. Di usia 26 tahun dia akan menjadikan janda. Renata mematung menyadari permintaannya tadi. Bu Rasti mendekat, menatap miris pada Yuda."Ibu ..." Yuda menatap nanar ibunya, lalu berganti pada Renata."Ya, bukankah Rena sendiri yang minta kamu ceraikan? Yuda, tidak ada tradisi perselingkuhan dalam keluarga terpandang Hilmawan! Kamu masih muda, ganteng, dan kaya. Banyak perempuan yang antri, Yuda." Bu Rasti melirik sinis pada Renata. "Dan pastinya, akan memberimu anak, tidak seperti Renata!" lanjutnya jauh lebih menyakitkan."Astaghfirullah ..." Istighfar meluncur lirih dari bibir bergetar Renata.Bahu Renata berguncang dalam pelukan Bibi. Seandainya Bu Rasti tahu, bukan dia yang bermasalah. Namun, Yuda yang tidak ingin punya anak. Tentu, Bu Rasti tidak akan bicara seperti itu."Ibu benar, Mas! Ceraikan aku supaya kamu bisa punya anak, seperti keinginan mereka!"Renata melepaskan diri dari pelukan Bibi. Bergegas, dia menuju walk in closet. Renata mengambil koper dan menyambar baju-
Yuda yakin, kecurigaannya benar. Dia hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti hingga Renata dan Darren mengakuinya.Mobil Darren berhenti di dekat sebuah gang. Dista menoleh, lalu melepas seat belt. Darren menatap ke samping mobil. Berbeda dengan rumah Darren yang megah, bangunan di sekitar sini sangat sederhana."Kamu tinggal di sini, Dis?""Iya, Pak! Hanya kontrakan ini yang dekat dengan tempat kerja!"Darren mengangguk. "Oke, terima kasih atas kerja samanya! Sudah aku transfer. Coba dicek!"Dista segera membuka handphone. Matanya mendelik memperhatikan angka-angka yang masuk ke rekeningnya. Ternyata, Darren mentransfer lebih besar dari yang mereka sepakati."Pa-Pak, ini banyak sekali!""Untuk tambahan tabungan anakmu!" ucap Darren, lalu membuka lock bagasi. "Kamu ambil saja leci dan makanannya. Bisa kamu bagi sama keluargamu!""Tap-tapi itu punya Pak Darren!""Tidak apa-apa, Dista! Aku tidak mungkin makan lagi malam ini. Sudah, kamu ambil saja semuanya!""Ah, terima kasih, Pak! Bapak s
"Nina? Siapa Nina?" Wanita itu menoleh, tatapannya menuntut jawaban pada Darren.Darren menggaruk tengkuk yang tidak gatal, lalu segera merangkul bahu wanita itu. Melihat sikap agresif Darren, wanita cantik itu justru tidak nyaman.Yuda memperhatikan interaksi pasangan itu, dengan alis terangkat sebelah. Sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. Tiba-tiba, Yuda curiga dengan wanita bernama Nina itu.Darren segera menarik tangan Nina dan membawanya menyingkir. Meskipun sedikit terkejut, Nina hanya menurut saja. "Pa-Pak Darren, kenapa Anda begitu aneh?" tanya Nina palsu bingung dan tidak nyaman.Darren mengerutkan bibir, lalu tertawa kecil seolah tidak terjadi sesuatu. Dengan sengaja, dia merangkul dan mengusap kepala Nina palsu."Dista, maaf, ada yang salah. Seharusnya, tadi aku katakan dulu padamu. Please, kita harus menjalankan sandiwara ini sebaik mungkin!""Saya belum mengerti!" Wanita bernama Dista itu mengernyitkan dahi."Di depan semua orang, kamu kenalkan namamu Dista Karenina,
Kening Darren mengernyit tipis mendengar pertanyaan itu. Tatapannya pada Renata semakin dalam. Sedetik kemudian, Darren tertawa lirih. Menurut Darren pertanyaan Renata tergolong aneh."Mas Darren tahu juga tentang masa lalu Mas Yuda?" ulang Renata lirih. Meskipun tidak lazim, mengorek informasi dari Darren, Renata harus cari tahu tentang masa lalu Yuda. Seseorang yang memiliki fantasi seks nyleneh, biasanya dipicu oleh masa lalu. Karena orang normal tidak mungkin menyakiti pasangannya untuk mencapai puncak kepuasan."Aku belum mengerti, Rena! Maksudmu, tentang pacar Yuda sebelum bertemu denganmu?" Renata terdiam karena bimbang. Tidak mungkin dia menceritakan aib suaminya. Lantas, wanita itu menggigit bibir gugup.Di sampingnya, Darren terkekeh pelan. Sebelah alisnya terangkat, melihat sikap aneh Renata. Darren semakin yakin, kalau rumah tangga Renata dan Yuda tidak baik-baik saja."Yuda tidak selingkuh, kan?" canda Darren karena Renata masih diam. "Ha ha ha, aku cuma becanda, Rena!
"Rena, apa yang kamu bicarakan?""Kenapa kamu selalu kasar dan tidak ingin punya anak? Beri tahu aku alasan yang bisa kuterima!"Pertanyaan di luar perkiraan itu, sukses membuat Yuda termangu. Tatapannya berubah sendu, tetapi menyimpan teka teki. "Apa kamu tidak ingin cerita sesuatu, Mas? Mungkin kita butuh ke dokter! Aku yakin, kamu bisa berubah, Mas!"Tatapan sendu Yuda berubah tajam. "Tidak! Apa kamu pikir aku gila?"Yuda melengos, menghindari tatapan Renata. Dia enggan mengungkit masa lalu dan tidak tertarik membahasnya. Terdengar dengusan kecewa dari bibir mungil Renata. Jika Yuda sudah berkata begitu, apa yang diharapkan? Seumur hidup, Renata harus pasrah menerima siksaan."Baiklah, aku tidak memaksamu, Mas!" Renata memunggungi Yuda, lalu menggigit jari menahan luapan sedih."Apa kamu tidak mau menerima kekuranganku, Rena? Bukannya pernikahan itu harus saling menerima kekurangan pasangan?"Ucapan tanpa rasa bersalah itu, seolah menegaskan, Renata harus siap menanggung siksa seu
Renata langsung menatap Darren yang mengulurkan handphone padanya. Namun, tatapan Yuda justru tertuju ke lengan atas kemeja putih Darren."Ini ponselmu!" Darren mengulurkan handphone Renata.Dengan gerakan kaku, Renata menerima benda pipih itu. "Terima kasih, Mas!" "Tidak apa-apa. Hei, Bro!" Darren langsung menyapa Yuda. Namun, Yuda masih menatapnya datar. "Kenapa handphone Rena ada sama kamu?" selidiknya.Renata langsung menggigit bibir takut. Dia tidak berani menatap Yuda maupun Darren. Darren tersenyum sekilas, sambil mengusap tengkuknya."Oh, tadi kami berpapasan di depan toilet. Sepertinya, Rena buru-buru, sampai handphonenya jatuh!"Mata Yuda menyipit semakin curiga. Lalu, pandangannya kembali berhenti pada lengan atas Darren. Kemeja putih itu ternoda lipstick. Darren menunduk mengikuti arah pandangan Yuda. Dia baru menyadarinya, lalu menatap sekilas pada Renata yang masih mematung.Darren menelan ludah. Ternyata, pelukan tidak disengaja tadi meninggalkan bekas di sana. Senyum







