Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu.
Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid. Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu. Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu. Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan. Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh sangar saja terkapar dibuat dua orang itu, apalagi dirinya yang hanyalah orang tua yang tak berdaya. "Tenang dulu, Tuan-Tuan ... kita bisa bicarakan ini baik-baik," ucap Juragan Hamid mencoba bernegoisasi. "Baik-baik katamu? Kenapa tidak dari tadi saja, Pak Tua?" ejek orang itu lagi sembari terkekeh. "Sebenarnya, Tuan-Tuan ini mau apa? Kenapa menghalangi jalan saya?" tanya Juragan Hamid menatap orang-orang asing itu bergantian. "Lepaskan dia!" titah salah satu pemuda yang mengenakan kemeja berwarna biru tua itu tegas dan terdengar dingin. Dia menunjuk Naima yang berada tak jauh di belakang Juragan Hamid. "Dia? Dia tawanan saya, dia adalah jaminan karena tidak bisa bayar hutang," sahut Juragan Hamid tak tahu malu. "Bohong! Saya sudah bayar lunas hutang saya pada Tua Bangka itu!" teriak Naima membuat wajah Juragan Hamid mengeras. "Eh, Tuan, Anda ini siapa? Dan ada urusan apa dengan perempuan j4l4ng itu!" Seketika tubuh tuanya terpental ke belakang sesaat setelah mengatakan Naima seorang j4l4ng. Ya, pelakunya adalah pemuda berkemeja biru. Dengan kaki jenjangnya, sekali ayunan saja pria tua itu terjengkang ke belakang. Mau tak mau anak buahnya melepaskan tangan Naima untuk menolong Juragan mereka. Naima segera berlari dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu. "B4ngs4t!" desis Juragan Hamid sembari memegangi dadanya. "Pergilah atau kupatahkan lehermu di hadapan mereka!" hardiknya pelan tetapi tajam. Juragan Hamid mengedarkan tatapannya kepada orang-orang ramai yang menyaksikan kekalahannya. Wajahnya merah padam, tetapi dia tak berdaya. Dia tak ada kekuatan apapun untuk melawan. Akhirnya dengan dibantu anak buahnya, dia meninggalkan tempat itu diiringi sorakan para warga. Sepeninggal Juragan Hamid, para warga membubarkan diri. "Kakak!" buru Bela sambil berlari membelah kerumunan warga. Gadis yang masih duduk di bangku SMP itu menangis menyongsong sang kakak, lalu memeluknya erat. "Bapak pingsan, Kak!" adunya dipelukan sang kakak. "Apa, Bel?" ulang Naima karena suara Bela tak begitu terdengar jelas. "Bapak pingsan lagi pas mau ngejar Kakak, sekarang masih di teras rumah, Kak!" lapor Bela sembari mengusap kasar air matanya. "Kenapa?" tanya pria berkemeja biru yang berdiri tak jauh darinya. Melihat raut khawatir di wajah Naima. "Bapak saya pingsan, Tuan," sahut Naima. Dia paham, lalu meminta Naima segera pulang. Naima mempercepat langkah beriringan dengan Bela, sedangkan dua pria itu mengikuti di belakangnya. Sampai di dekat kontrakan, Naima berlari. Miris sekali, meski Naima tinggal di kawasan padat penduduk tetapi rasa empati sesamanya sepertinya sangat kurang. Terbukti, ayah Naima pingsan di luar rumah saja tidak ada yang datang menolong. Dengan segera, dua pria itu membantu Naima mengangkat ayahnya yang tergeletak di teras untuk dibawa ke dalam rumah. "Terimakasih banyak, Tuan," ucap Naima tulus setelah memastikan ayahnya baik-baik saja. "Sama-sama," balas pria yang mengenakan kaos merah. Sedangkan pria yang berkemeja biru sedang mencuci tangannya yang berdarah di luar rumah. "Sebaiknya, bawa Ayahmu ke dokter saja. Takutnya lukanya parah," saran lelaki itu. "Iya, rencananya tadi juga begitu tetapi orang-orang itu keburu datang," jawab Naima sejujurnya. "Oh, kalau begitu bareng kami saja bagaimana? Kebetulan kami juga akan jalan pulang ke kota," tawar pemuda berkemeja biru yang baru saja bergabung dengan mereka. "Tidak usah, Tuan, merepotkan nanti," jawab Naima sungkan. "Tak apa, kami hanya berdua saja. Mobil kami masih cukup untuk membawa kalian." sergah lelaki itu lagi. "Tapi--" Naima nampak ragu meski sebenarnya dia mau. Dia tak mungkin membawa ayahnya naik angkutan umum dalam kondisi seperti itu. "Tidak papa, mari kami bantu," yakin lelaki berkaos merah. Akhirnya, Naima mengangguk setuju. Toh, semakin cepat dia meninggalkan rumah itu semakin baik untuknya dan ayahnya. Naima berencana akan pulang ke kampung halaman setelah kondisi ayahnya membaik. Sepanjang perjalanan, Naima begitu bersyukur mendapat pertolongan dari dua orang yang akhirnya dia tahu bernama Altav dan Athar, dua bersaudara yang katanya tak sengaja lewat di sana saat terjadi kericuhan akibat perbuatan Juragan Hamid padanya tadi."Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya. "Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri. Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana. "Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal. "Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati. "Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain. "Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya. "Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima.
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai