Di tempat lain, Dewa yang baru saja kembali dari meninjau lokasi proyek bersama Vero dan Julian mendapat kabar bahwa sang ibu tengah sakit dan mengharuskan dia pulang ke Jakarta secepatnya.
Dia menjatuhkan diri di sofa sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bro," tegur Vero yang melihat Dewa hanya termenung sejak beberapa menit yang lalu. "Hem," Dewa hanya bergumam sebagai jawaban. "Kusut amat tu muka, kenapa?" tanyanya lalu ikut manjatuhkan diri di sebelah Dewa. "Nyokap sakit," sahut Dewa singkat. "Yaudah, baliklah! Toh, kerjaan di sini udah kelar juga 'kan?" tanggap Vero santai. Helaan nafas besar keluar dari mulut Dewa, dia bukan tak khawatir ibunya sakit, tetapi dia malas saja bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Sudah beberapa bulan ini Dewa selalu menghindari ibunya. "Gue males, pasti sakitnya ini cuma akal-akalan Mami aja," celetuk Dewa membuat Vero mendelik. "Durhaka, Lu! Inget, dia nyokap Lu, yang udah banyak berkorban buat Lu!" tegur Vero mendorong pelan bahu Dewa. "Lu tahu sendiri gimana dia," "Kenapa? Masih disuruh cepet kawin?" Dewa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Vero. Karena memang itulah alasan yang membuat Dewa terasa enggan bertemu ibunya. Setiap bertemu, ibunya akan terus mendesak Dewa untuk menikah. Tak jarang, ibunya menjodohkannya dengan para gadis anak dari kenalan ibunya. "Yaudah, sih, emang masalahnya apa? Kawin tinggal kawin. Lu udah tua juga, Bro! Emang udah waktunya Lu mikirin pernikahan." wejang Vero enteng dan berhasil mendapat pelototan dari Dewa. Dewa yang kesal lantas bangkit berdiri kemudian meninggalkan kamar Vero diiringi gelak tawa sang pemilik kamar. Meski sedikit ragu, Dewa kembali ke kamarnya sendiri. Begitu membuka pintu, dia tertegun sejenak lalu menggelengkan kepalanya untuk mengusir ingatan tentang pagi tadi. Ada rasa bersalah yang sempat singgah di hatinya begitu mengetahui kalau gadis yang semalam bersamanya masih p3r4w4n. "Vero, Lu jebak gue hah?!" tuding Dewa begitu pintu kamar hotel Vero terbuka. Dengan amarah yang meluap, Dewa mendorong tubuh Vero yang belum sepenuhnya sadar karena terpaksa bangun oleh gedoran dan panggilan Dewa. "Apa, sih? Santai, Bro!" tepis Vero terkejut melihat kemarahan Dewa yang tak biasa. "Siapa perempuan di kamar gue?" desis Dewa menatap tajam sahabat baiknya itu. Vero sejenak mengingat, lalu terkekeh pelan setelah mengerti alasan kemarahan Dewa. "Tenang, Bro! Santai dulu," kekeh Vero hendak merangkul Dewa tetapi segera ditepis dengan kasar oleh Dewa. "Lu jebak gue, Hah?" tuding Dewa lagi yang semakin kesal mengingat ekspresi Vero yang begitu menjengkelkan. "Dewa, my bro! Itu bukan jebakan, man!" kekeh Vero tanpa merasa bersalah sedikitpun lalu menjatuhkan dirinya di sofa. "That's gift dari Pak Lukman atas kontrak kerjasama kita, Bro. Gimana? Are you enjoyed tonight?" Dewa mendengus kesal, dia ikut menjatuhkan diri di sofa single berhadapan dengan Vero. Meremas rambutnya sendiri berharap pening di kepalanya segera sirna. "What happen? Apakah dia tidak memv4skan?" tanya Vero heran melihat Dewa yang nampak frustasi. Padahal Dewa bukan baru pertama kalinya bermain dengan wanita panggilan. Bahkan di antara dia dan Julian, Dewalah yang cukup senior di bidang ini. Lagipula, hal seperti ini sudah sangat wajar terjadi di dunia bisnis. Dewa enggan menjawab tetapi dari ekspresinya, Vero bisa menebak kalau Dewa memang tidak menyukai hadiah dari rekan bisnis mereka itu. "Bagaimana kalau gue ganti dengan yang lebih senior?" tawar Vero sembari menaik-turunkan kedua alis tebalnya, berniat menggoda Dewa. Mendengar itu sontak Dewa menatapnya tajam. "Atau--" "Dapat dari mana dia?" tanya Dewa pada akhirnya. "Adalah, Bro ... yang gue dengar, sih, she still virgin, right?" Dewo hanya mengendikkan bahunya karena memang dia tak begitu ingat kejadian semalam. "Lu hoki kalau gitu! As you know, gue bayar mahal buat doi. Karena katanya she's not a whore, doi terima job semalam because of some reason. So, i think you very lucky, Bro!" Dewa melangkah menuju ranjang, kondisinya masih berantakan karena Dewa melarang petugas hotel yang ingin membersihkannya. Pagi tadi setelah melabrak Vero, Dewa kembali ke kamar tetapi sayangnya gadis itu sudah pergi. Dewa tak ambil pusing toh memang sudah pekerjaan perempuan itu untuk menemaninya, begitu pikir Dewa. Jadilah, dia hanya mandi dan bersiap ke lokasi proyek. Setelah seharian di luar dan menganggap kejadian semalam adalah hal yang biasa dia lakukan, tetapi saat ini dia merasa ada sesuatu yang lain yang singgah di hatinya. Dewa akui, dia memanglah pemain tetapi selama ini dia tak pernah merusak k3p3r4w4n4n anak orang. Dia selalu bermain dengan wanita yang memang berprofesi sebagai wanita panggilan dan selalu memakai pengaman. Sedangkan semalam? Dewa meraup wajahnya, berusaha membuang secuil rasa bersalah yang hadir di hatinya. "Dia hanya orang asing, Dewa! Dan dia dibayar untuk melakukan itu!" gumamnya sambil menyibak selimut karena dia ingin beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa peningnya. Namun matanya justru tertuju pada benda asing yang berada di kasur, dia mengambilnya dan mengamati dengan seksama. "Kayak pernah lihat," gumamnya menelisik gelang milik Naima yang tertinggal itu. Sayangnya, dia tak ingat pernah melihat gelang itu kapan dan di mana. Dewa mengendikkan bahunya, lalu meletakkan gelang Naima di meja samping ranjang. Kemudian dia merebahkan dirinya setelah melepas sepatu serta jam tangannya. Dia hanya butuh istirahat, bukan yang lain."Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya. "Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri. Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana. "Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal. "Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati. "Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain. "Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya. "Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima.
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai