Share

Bab 3

ISTRI SEKSI MAS SANTRI

BAB 3

Broto menunggu kedatangan Rama dengan diliputi rasa cemas. Seolah-olah takut jika anak angkatnya itu menolak permintaannya untuk menikahi Anggi.

Rama memang berkata akan memikirkan permintaan Broto dan meminta petunjuk kepada Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, entah mengapa pria paruh baya itu merasa jika Rama akan menolak. Terlebih karena pria itu merupakan lulusan pesantren dan seorang penghafal Al-Qur'an. Tentu seleranya adalah wanita baik-baik yang soleha dan berhijab. 

Rasa gugup Broto semakin menjadi-jadi tatkala mendengar suara ketukan di pintu ruang kerjanya.

"Masuk," sahut Broto mempersilahkan pria itu masuk.

Dengan segera Rama memasuki ruangan sembari melemparkan senyuman ke arah ayah angkatnya itu. Tidak lupa pula dia meraih tangan kanan pria itu, lalu mengalaminya.

Setelah dipersilakan duduk, keduanya terdiam beberapa saat. 

"Jadi, maksud kedatanganku ke sini adalah untuk memberikan jawaban atas permintaan Papi tempo hari," ucap Rama memecah keheningan yang mencekam di antara mereka.

Broto menautkan kedua tangan berusaha meredam gugup. "Jadi apa jawabanmu?"

"Bismillahirrahmanirrahim. Semoga ini adalah jawaban yang terbaik. Maaf ...." Rama menggantung ucapannya dan Broto segera kehilangan semangatnya, "maaf karena sudah membuat Papi menunggu lama. Aku setuju untuk menikahi Anggi, Pi."

Mendengar hal itu sontak wajah Broto berubah berbinar. Ah, rasa gugup yang tadi menguasainya bukanlah sebuah pertanda buruk rupanya. Dia sangat senang karena Rama menerima permintaannya.

"Terima kasih, Nak. Papi senang sekali," ujar Broto menghampiri Rama dan memeluknya dengan erat.

Meski itu adalah pilihan yang sulit bagi Rama, tetapi dia senang melihat Broto bahagia. Setidaknya pria itu bisa membalas semua kebaikan yang telah diberikan oleh ayah angkatnya itu.

Broto meregangkan pelukannya, lalu berkata, "aku akan mengatur pernikahan kalian secepat mungkin."

"Aku serahkan semua kepada Papi," jawab Rama tersenyum ramah.

***

Gelap masih menguasai bumi saat seorang wanita cantik baru saja keluar dari diskotik setelah berpesta bersama para sahabatnya. Dari caranya berjalan, tampak jelas jika dia dalam penguasaan minuman memabukkan.

Berjalan linglung ke kiri dan ke kanan, dengan setengah sadar dia melajukan kendaraannya dengan sangat kencang. beruntung wanita itu tidak terlibat kecelakaan lalu lintas karena kondisi jalanan yang sangat lengang malam itu.

Mobil sport mewah itu berhenti tepat di sebuah rumah mewah dengan gaya klasik berwarna putih. Hampir saja Anggi menabrak pagar. Beruntung security yang berjaga sigap membukanya terlebih dahulu. 

"Fiuh, untung saja," ucap Pak Sapri–security yang berjaga–mengusap keningnya dengan kasar seolah-olah membuang keringatnya.

Pak Sapri berlari tergopoh-gopoh menghampiri majikannya itu saat baru saja keluar dari mobilnya dan hampir terjatuh.

"Hati-hati, Non Anggi. Ya Allah, hampir saja jatuh, Non." Sapri memegangi bahu Anggi dengan gemas. Saat giliran jaga malam, selalu saja pria tua itu menemukan majikannya itu pulang dalam keadaan mabuk.

"Eh, Pak Sapri ... ngapain di sini, Pak?" tanya Anggi cengengesan.

"Kerja, dong, Non." Sapri menjawab dengan cepat. "Kenapa, sih, Non Anggi demen banget mabuk-mabukan. Udah gitu bajunya pakai punya waktu masih kecil, ya? Baju sama roknya kok ngegantung gini, Non."

"Lepas!"

Anggi melepaskan tangan Sapri dalam sekali hentakan. Wanita muda itu kesal dengan Sapri yang mengomentari hidup dan cara berpakaiannya. Padahal orang tuanya saja membebaskan dirinya untuk berekspresi. Seenaknya saja.

"Nanti Non Anggi jatuh, loh," protes Sapri. Akan tetapi, wanita muda itu tetap saja menolak bantuan darinya.

Dengan terhuyung Anggi berusaha berjalan menuju pintu rumah yang entah kenapa terasa sangat jauh malam itu. Baru saja dia mengeluarkan kedua tangan untuk menggapai gagang pintu, tiba-tiba saja kedua daun pintu itu terbuka dengan lebar membuat Anggi jatuh terjerembab.

Beruntung Anggi sempat menopang tubuhnya dengan kedua tangan, hingga jatuhnya tidak terlalu sakit. Wanita itu memalingkan wajah menetap kesal ke arah orang yang membuka pintu seenaknya itu.

Namun, jadinya menciut seketika begitu mendapati wajah sang ayah yang terlihat sangat kesal menatapnya.

"Eh, Papi ... kok, Papi ada di sini? Masih bangun, Pi?" tanya Anggi tanpa rasa bersalah sedikit pun disertai senyuman lebar di wajah cantiknya.

Broto mengerjapkan mata sembari menahan napas. Ah, harus dia apakan lagi anak gadisnya itu. Pria paruh baya itu mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan.

"Kamu dari mana jam segini baru pulang, Anggi? Ingat kalau kamu itu anak gadis!" 

Anggi segera menempelkan jari telunjuknya di bibir Broto. "Sstt, jangan ribut, Pi. Gak enak didenger tetangga."

Rahang Broto mengeras. "Kamu–"

Belum sempat Broto memarahi anak semata wayangnya itu, dia memuntahkan seluruh isi perutnya, lalu tumbang dan kehilangan kesadarannya. 

"Cepat bawa Anggi ke kamarnya dan bersihkan muntahannya itu," titah Broto kepada Sapri dan dua orang asisten rumah tangga yang juga terbangun karena kedatangan Anggi yang menimbulkan suara gaduh.

Memijat keningnya dengan tangan kanan, Broto memilih menghempaskan tubuh di sofa di ruang tamu. Dia kesal karena semakin hari kelakuan Anggi semakin tidak terkendali. Bukan hanya mabuk-mabukan, anaknya itu juga memakai pakaian kekurangan bahan yang menampilkan lekuk tubuhnya. Sangat jauh berbeda dengan apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya.

Pria paruh baya itu sangat takut jika anaknya menjadi sasaran kejahatan di luaran sana dengan penampilan seperti itu.

Broto Chandra Permana, seorang pebisnis mebel dan properti yang sukses, tetapi tidak mampu mendidik anaknya. Semua karena hampir seluruh waktunya tersita untuk mengurus bisnisnya, hingga lupa jika anaknya butuh perhatian lebih.

Bukan salah Anggi, semua itu adalah salahnya yang tidak becus mendidik anak. Karena itu, untuk menebus segala kesalahan yang telah diperbuatnya, maka Broto memutuskan untuk menjodohkan Anggi dengan Rama yang tinggi ilmu agamanya.

***

Suasana di ruang keluarga pagi itu terasa mencekam. Ya, hari itu memang adalah hari Minggu, jadi semua bisa berkumpul tanpa halangan yang berarti.

Broto duduk di single sofa, Sinta dan Anggi duduk di sofa sebelah kanan, dan Rama duduk tepat di depan ayah angkatnya.

"Maksud Papi mengumpulkan kalian semua adalah untuk membicarakan tentang pernikahan Anggi dan Rama yang akan digelar secepat mungkin." Broto berkata dengan memberi penegasan pada akhir kalimatnya.

Anggi membulatkan mata dengan sempurna. Dia baru saja beranjak saat kedua.tangan ibunya telah menahan tubuhnya.

"Aku terima apa pun keputusan Papi. Aku–"

"Aku gak akan pernah sudi menikah dengan Rama, Pi. Dia itu cuma benalu di keluarga ini!" sentak Anggi tidak terima memotong perkataan Rama. 

Padahal semalam dia pergi ke klub dan mabuk-mabukan untuk melupakan perjodohan itu. Namun, kini masalah itu justru menyambutnya di pagi hari. Wanita itu bahkan belum sempat sarapan tadi.

"Keputusan Papi gak akan berubah, Anggi. Kalau kamu gak mau menikah dengan Rama, maka ucapkan selamat tinggal kepada semua fasilitas dan harta Papi. Karena semuanya akan Papi kasih ke Rama," tegas Broto penuh penekanan. Kali ini dia tidak akan mengalah kepada anak semata wayangnya itu.

"Tapi aku gak bisa menerima–"

"Halah, gak usah munafik. Aku yakin kamu pasti senang, 'kan?" tuding Anggi mengacungkan telunjuk ke arah Rama.

"Anggi! Kamu harus sopan sama Rama. Bagaimanapun dia segera akan menjadi suamimu." Broto tidak akan membiarkan anaknya itu berlalu tidak pantas kepada calon suaminya.

"Papi kamu benar, Sayang. Kamu harus sopan dan hormat kepada calon suamimu," timpal Sinta menenangkan anaknya.

Anggi menatap nanar ke arah ibunya. "Mi, apa Mami tega menikahkan aku dengan pria yang gak aku cintai. Mami mau lihat aku gak bahagia? Aku mohon jangan biarkan papi melakukan semua ini."

Namun sayangnya jurus Anggi itu tidak akan mempan kepada Sinta. Dia dan Broto telah mengukuhkan hati dan membulatkan tekad untuk tetap melaksanakan pernikahan itu.

"Papi gak akan maksa kamu lagi," ucap Broto dan sukses mengalihkan atensi Anggi. Dia segera melepaskan diri dari kungkungan ibunya dan menghambur ke arah ayahnya.

"Aku tahu Papi memang sayang sama aku," seru Anggi memeluk dan mengecup pipi Broto.

"Tapi silahkan angkat kaki dari rumah ini. Kalau kamu menolak artinya kamu siap untuk dikeluarkan dari daftar kartu keluarga ini," imbuh Broto dengan begitu santainya.

Bungkam. Anggi tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia tidak siap jika harus hidup tanpa membawa sepeser pun uang dari ayahnya. Selama ini dia lakukan hanyalah bermain-main sepanjang hidupnya dia tidak menyukai keahlian maupun usaha yang bisa menopang hidupnya nanti.

Anggi melepaskan pelukannya pada Broto. Kedua tangan wanita itu kehilangan tenaga seketika.

"Baiklah Anggi setuju untuk menikah dengan Rama," ucap Anggi pasrah. Dia tidak memiliki daya untuk menolak dan melawan keputusan sang Ayah.

Broto menampilkan senyum jumawa, seolah-olah telah memenangkan sebuah pertarungan. Memang uang adalah titik kelemahan putrinya itu. "Kalau kamu setuju untuk menikah kamu juga harus setuju dengan persyaratan yang Papi buat."

"Apa syaratnya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status