"Sudah Mama duga, pasti ada yang tidak beres! Orang seperti Dahlia itu selamanya tidak akan pernah bertobat!" ucap Mama."Ya Allah, tega sekali Mbak Lia menipu Ibuk seperti ini." Lita menutup mulut dengan kedua tangan."Aduh, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu-menahu tentang masalah keluarga kalian. Saya hanya membeli rumah ini secara sah, tidak mau ikut campur masalah lainnya," ucap Ibu itu, wajahnya juga terlihat cemas."Tapi jika nanti kami membutuhkan Ibu sebagai saksi, kami harap ibu bersedia," ucapku."Saya mengerti, Mas," jawab Ibu itu lagi.Aku menarik napas panjang. Biar bagaimapun kami terpaksa melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Apalagi Dahlia membawa kabur semua uang penjualan rumah, di mana ada hak ibunya di sana."Ibuk! Ibuk!"Aku kaget ketika mendengar suara Lita berteriak. Saat aku menoleh, tubuh Bu Nani sudah mengejang. Kepalanya mendongak ke atas, dan kedua matanya terbelalak."Mas, ibuk kenapa ini, Mas?" Lita terlihat panik melihat keadaan ibunya, sampai har
"Astaghfirullah! Mbak Lia melakukan perbuatan senekad itu?" Lita seketika berdiri dengan wajah tak percaya."Padahal wajah Dahlia sudah masuk data laporan kepolisian. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah mengambil Vivi dari sekolah?" tanyaku pada David."Entahlah, tapi pihak sekolah paud itu tadinya tidak curiga karena yang menjemput memang Mamanya. Saat mereka sadar, Dahlia sudah pergi membawa lari Vivi," jawab David sambil mengacak rambut."Minta rekaman CCTV dari setiap sudut sekolah, Bang. Jadi kita bisa tahu dengan siapa Dahlia datang, atau kendaraan yang dia naiki! Jangan lupa buat laporan ke pihak kepolisian juga," ucapku lagi."Iya, baik, Damar," jawab David lagi. Dia kemudian sibuk membuat panggilan telepon dengan wajah panik.Aku kemudian menatap ke arah Lita."Dek, kamu tidak punya kerabat atau saudara jauh yang kemungkinan bisa menjadi tempat Dahlia bersembunyi?" tanyaku padanya.Lita terdiam mendengar pertanyaanku. Dia tampak berpikir keras."Ibuk punya saudara jauh, M
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Lita seraya menatapku."Ibuk ... ibuk sudah tersadar dari koma, Dek," jawabku."Benarkah? Alhamdulillah, ya Allah." Lita mengusap wajahnya penuh syukur. "Kalau begitu kita pulang sekarang, Mas.""B-baiklah, Dek." Aku ragu-ragu untuk mengatakan jika kondisi Bu Nani sudah kritis, takut membuat Lita gelisah.Kami semua akhirnya berpamitan pada Bu Narti untuk pulang, meskipun hari sudah mulai malam. Kami tidak bisa menunggu lagi sampai besok pagi, karena takut terjadi apa-apa nanti di rumah sakit.Perjalanan di malam hari terasa lebih lama. David menggantikanku menyetir ketika tahu aku kelelahan. Dia mengantarkanku dan Lita ke rumah sakit lebih dulu, sebelum mengantarkan Nadia untuk pulang. Vivi sudah tidur sepanjang perjalanan. Kasihan anak itu, seharian tertekan karena ulah Dahlia.Begitu sampai di rumah sakit, aku dan Lita langsung bergegas menuju ruangan tempat Bu Nani dirawat. Seorang Suster menyambut kami di sana."Ibu saya bagaimana, Sus?" tanya Lita
"Ya Allah, Mbak Lia. Kenapa jadi seperti ini?"Lita mengelus nisan Kakaknya dengan raut wajah penuh kesedihan. Pihak kepolisian bertanggung jawab penuh atas proses pemakaman, dan jenazah Dahlia diurus oleh pihak rumah sakit, dan makam Dahlia bisa bersandingan dengan makam Bu Nani.Aku menatap tanah merah tempat Dahlia berada di pembaringan abadi itu. Padahal sudah beberapa kali pihak kepolisian membawakan Dahlia seorang psikiater, dan saat ini juga sedang menjalani perawatan non medis. Dahlia depresi, itu yang kami dengar. Namun aku tak menyangka jika dia akan bertindak seperti itu.Dahlia tidak pernah mau menerima tamu sejak terakhir kali aku dan Lita mengunjunginya waktu itu. Kami masih menitipkan beberapa barang untuknya, termasuk Alquran dan mukena untuk salat. Tapi ternyata ....Saat aku masih terdiam dalam lamunan, tiba-tiba terlihat David dan Nadia datang ke pemakaman itu. Mereka berdua langsung berjongkok di depan nisan, berseberangan dengan Lita."Ya Allah, Lia." David juga t
"Kalau gak cantik, setidaknya jual mahal sedikit. Lihat kakakmu, bisa nikah sama bos besar. Lah, kamu? Malah nikah sama bekasnya yang jelas-jelas kere. Lihat sekarang, tetap jadi beban!"Aku yang baru saja memarkirkan sepeda motor di depan pelataran rumah, seketika tertegun mendengar suara Bu Nani, Ibu mertuaku. Tampaknya dia sedang mengomeli Jelita, istriku, seperti biasanya.Aku membuka helm berwarna hijau khas ojek online, lalu berjalan pelan menuju samping rumah. Sengaja aku tidak lewat pintu depan, karena suara Ibu mertuaku terdengar dari arah sumur yang letaknya berada di sudut belakang rumah tua itu.Benar saja, begitu sampai di sana, kulihat Ibu mertua berkacak pinggang di depan Lita yang sedang mencuci setumpuk pakaian. Tampak Lita hanya diam mendengarkan omelan sang Ibu, dengan sesekali menyeka peluh di keningnya."Mau sampai kapan kamu menumpang di rumah Ibuk, dengan suamimu yang tidak berguna itu, Lita?!" ucap Bu Nani lagi dengan suara yang meninggi."Insya Allah nanti kal
( flash back )"Ditolak sama kakaknya, tapi mau nikah sama adiknya! Apa kamu sudah gak waras, Damar?!""Ma, aku juga baru tahu ternyata Jelita itu adiknya Dahlia.""Mama tidak peduli! Kamu kan tahu kalau Mama sudah tidak sudi lagi berurusan dengan keluarga itu, Damar! Mau ditaruh mana muka Mama jika bertemu dengan mereka lagi? Kamu lupa penghinaan mereka dulu?!""Damar tahu, Ma. Tapi ...." Aku menghentikan ucapanku sesaat. Aku tahu akan sangat sulit meyakinkan Mama tentang niatku.Jelita, gadis yang dua tahun lalu kukenal, yang rencananya ingin aku nikahi. Gadis berjilbab sederhana, yang mampu mengobati luka yang bahkan tak bisa aku obati sendiri. Aku tak menyangka, ternyata dia adalah adik dari wanita yang selama ini telah menghancurkan hatiku dan dan mempermalukan Mamaku. Wanita yang menjadi kekasihku selama bertahun-tahun, tapi akhirnya memilih menikah dengan lelaki lain yang jauh lebih kaya, di saat usahaku sedang jatuh-jatuhnya.Ya, aku terlalu naif. Aku yang berpikir bahwa akan
Aku tahu ... mungkin setelah ini aku akan kehilangan segalanya. Namun aku tidak bisa melepaskan orang yang terlanjur kucintai begitu saja. Orang yang mampu mengobati luka dan membuatku bangkit dari keterpurukan selama ini."Sudah cukup, Dahlia!"Wanita yang dulunya sempat mengisi hatiku selama bertahun-tahun itu menoleh. Kedua matanya terlihat membola sesaat ketika beradu pandang denganku."Damar?" Wajahnya kentara sekali jika kaget, tapi sesaat kemudian kembali terganti dengan keangkuhan."Ngapain kamu di sini?" Dahlia seketika melipat kedua tangannya di dada, lalu menatapku dengan pandangan sinis."Mas Damar." Lita berdiri, seraya berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya juga terlihat bingung, mungkin tak mengira jika aku mengenal kakaknya.Wajah Dahlia juga lagi-lagi terlihat kaget, lalu menatap ke arah kami berdua satu-persatu."Loh, kalian berdua saling kenal?" tanyanya. "Kalian ....""Lita ini calon istriku, Dahlia," sahutku seraya meraih pinggang Lita dan mendekatkannya ke arahku.
"Punya apa kamu berani melamar anak saya?"Pertanyaan yang sama, yang Bu Nani ajukan padaku dua tahun yang lalu ketika melamar Dahlia. Wanita itu sama sekali tidak berubah. Entah apa yang membuatnya begitu angkuh, padahal kehidupannya biasa saja, bahkan jauh dari kata berada.Aku melirik ke arah Jelita yang duduk tak jauh dariku. Tampaknya dia gelisah, terlihat dari bagaimana dia memilin jemarinya sejak tadi. Mungkin juga takut jika aku dipermalukan untuk kedua kali oleh sang Ibu."Damar ... Damar. Dulu kamu berani melamar Dahlia, padahal tidak punya apa-apa. Sekarang apa masih tetap sama dengan yang dulu? Kamu pikir putriku bisa hidup hanya dengan makan batu?" ucap Bu Nani lagi sambil menatap tajam padaku."Kamu juga, Lita!" Pandangan Bu Nani beralih pada putrinya. "Sejak kecil kamu gak pernah menurut sama Ibuk! Waktu lulus dari pesantren kemarin, bukannya Ibuk sudah bilang ada yang ingin menikahimu? Alasan saja kamu ingin kerja dulu, belajar berjualan dulu! Rupanya ngebet sama manta