Aku ditolak keluarga kekasihku ketika melamarnya dikarenakan usahaku yang tengah bangkrut. Saat aku berhasil bangkit, aku bertemu kembali dengan gadis lugu bernama Jelita dan jatuh cinta padanya. Siapa sangka, gadis itu ternyata adalah adik mantan kekasih yang telah menolak lamaranku! Dan ketika Mama melarang keras hubungan kami dengan ancaman akan menyita seluruh hartaku, mana yang harus kupilih? Mamaku ... atau istriku?
View More"Kalau gak cantik, setidaknya jual mahal sedikit. Lihat kakakmu, bisa nikah sama bos besar. Lah, kamu? Malah nikah sama bekasnya yang jelas-jelas kere. Lihat sekarang, tetap jadi beban!"
Aku yang baru saja memarkirkan sepeda motor di depan pelataran rumah, seketika tertegun mendengar suara Bu Nani, Ibu mertuaku. Tampaknya dia sedang mengomeli Jelita, istriku, seperti biasanya.Aku membuka helm berwarna hijau khas ojek online, lalu berjalan pelan menuju samping rumah. Sengaja aku tidak lewat pintu depan, karena suara Ibu mertuaku terdengar dari arah sumur yang letaknya berada di sudut belakang rumah tua itu.Benar saja, begitu sampai di sana, kulihat Ibu mertua berkacak pinggang di depan Lita yang sedang mencuci setumpuk pakaian. Tampak Lita hanya diam mendengarkan omelan sang Ibu, dengan sesekali menyeka peluh di keningnya."Mau sampai kapan kamu menumpang di rumah Ibuk, dengan suamimu yang tidak berguna itu, Lita?!" ucap Bu Nani lagi dengan suara yang meninggi."Insya Allah nanti kalau tabungan kami cukup, kami gak akan merepotkan Ibuk lagi, kok." Lita akhirnya menjawab dengan nada suara pelan."Halah! Memangnya kalian punya tabungan? Buat makan aja gak cukup!""Allah Maha Kaya, Buk. Tidak ada yang tidak mungkin," jawab Lita lagi."Sok-sokan kamu, Lita! Mau berdoa sampai air matamu kering, kalau dasarnya suamimu kere ya kere aja! Kamu saja yang bodoh mau dinikahi sama dia!""Semua itu bukan salah Lita, Buk. Itu salah saya." Aku yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka, akhirnya tak tahan lagi untuk menyahut, karena tak tega melihat Lita terus dipojokkan.Mereka berdua seketika tersentak, lalu menoleh padaku. Wajah Lita terlihat memucat, cepat-cepat dia berdiri dan mengusap kedua tangannya yang penuh sabun ke daster lusuhnya."Mas Damar sudah pulang?" Dengan wajah yang terlihat gugup dia berjalan cepat ke arahku, lalu meraih tanganku dan menciumnya.Ibu mertuaku terlihat merengut, lalu melenggang begitu saja meninggalkan kami berdua yang masih berada di sumur."Mas Damar mendengar ucapan Ibuk? Maafkan Ibuk ya, Mas? Dia tidak bermaksud seperti itu." Lita menatapku dengan pandangan berkaca, sepertinya takut sekali aku terluka dengan ucapan Ibu mertua.Aku menarik napas panjang, lalu mengusap kepalanya yang tertutup jilbab lusuh, yang sebagian basah oleh air."Justru Mas yang harusnya minta maaf, Dek. Mas belum bisa berbuat banyak untuk Adek," jawabku kemudian, membalas tatapannya dengan sendu.Seketika Lita menggeleng cepat. "Nggak, Mas. Bagiku Mas Damar adalah sosok imam yang aku idamkan selama ini," ucapnya kemudian. "Mas Damar pasti lapar. Adek tadi masak sayur bening. Ayo makan, Mas."Wanita yang kunikahi beberapa bulan yang lalu itu menarik tanganku menuju dapur. Dengan sigap dia mengambilkan sepiring nasi dan sayur bening bayam untukku, juga membuatkanku segelas teh hangat."Adek sudah makan?" tanyaku padanya sebelum memulai suapan."Sudah, Mas." Lita tampak tersenyum manis.Aku menarik napas, lalu memperhatikan istriku sekali lagi. Jelita memang tidak secantik kakaknya, yang selalu dibandingkan ibunya dengan dia. Lebih tepatnya mungkin kurang perawatan saja. Jelita pada dasarnya sangat manis, tapi kulitnya terbakar sinar matahari karena sebelum menikah denganku, dia berjualan kue keliling kampung.Setelah menikah denganku pun, tak ada yang banyak berubah darinya. Aku belum bisa memberikan lebih untuknya, dengan pekerjaanku yang hanya sebagai ojek online. Namun tak pernah sedikitpun dia mengeluh dengan keadaan kami saat ini."Oh iya, Dek." Aku cepat-cepat merogoh saku jaketku, dan mengulurkan beberapa lembar uang padanya. "Alhamdulillah, hari ini Mas dapat rejeki yang lumayan.""Alhamdulillah, Mas." Kedua mata Lita tampak berbinar ketika menerimanya. "Ibuk pasti senang jika kita bisa memberinya lebih. Aku berikan ini pada Ibuk dulu ya, Mas?"Aku tersenyum getir ketika melihat istriku itu dengan wajah bahagia meninggalkanku untuk memberikan jatah uang pada sang Ibu. Tak peduli jika sang Ibu selalu mengomelinya setiap hari, Lita tetap dengan tulus ingin berbakti pada sang Ibu. Meskipun dia tahu, apa yang dia berikan tak akan pernah mendapatkan penghargaan."Cuma segini kamu bilang lebih? Kakakmu saja bisa ngasih ibuk tiga juta tiap bulan! Lah, kamu? Buat beli beras aja kurang!"Aku menahan napas, urung memasukkan sendok nasi ke dalam mulut. Meskipun sudah terbiasa mendengar semua itu, tapi rasanya tetap saja menyesakkan hati. Ingin rasanya aku bisa cepat-cepat membawa Lita pergi dari rumah ini, hidup mandiri."Maaf ya, Buk. Kalau nanti Mas Damar dapat rejeki lebih, pasti ....""Ah, sudahlah Lita! Berdoa saja terus sana, biar suamimu bisa kaya!"Akhirnya aku berdiri dari tempatku duduk, lalu berjalan ke arah depan. Lita masih berdiri membelakangiku di tempatnya dengan kepala menunduk, sedangkan Ibu mertua sudah meninggalkannya."Dek ...." Aku memegang pundak Lita pelan.Lita tampak tersentak, lalu mengusap wajahnya dan menoleh padaku. Dia seketika tersenyum, yang dengan jelas amat sangat dipaksakan."Adek nangis?" Suaraku hampir tercekat ketika melihat kedua matanya yang memerah."Nggak kok, Mas," jawab Lita cepat. "Mas Damar sudah selesai makannya? Mas istirahat saja dulu, aku mau salat ashar."Lita cepat-cepat meninggalkanku sebelum sempat aku bertanya lebih jauh lagi. Sebagai seorang suami, aku merasa amat sangat gagal. Aku bahkan tidak bisa membawa istriku pergi dari rumah yang hanya membuatnya menderita ini."Ya Allah, Engkau Maha Kaya. Karena itulah titipkan sedikit saja harta untuk suamiku ... agar tidak ada lagi orang-orang yang bisa menghinanya."Hatiku bergetar hebat ketika mendengar doa istriku selepas sujud terakhirnya. Aku urung masuk ke dalam kamar, hanya bisa berdiri di sisi pintu dengan hati yang hancur. Padahal dia begitu menderita, tapi dia selalu melantunkan doanya hanya untukku.Maafkan Mas, Dek. Mas berjanji akan secepatnya membawamu keluar dari penderitaan ini ....Tiba-tiba saja ponsel dalam sakuku bergetar. Satu pesan masuk dari nomer yang tak asing. Aku cepat-cepat membukanya.[ Damar, pulanglah. Ada yang ingin Mama bicarakan. ]Kedua mataku seketika membulat sempurna, sedangkan tanganku bergetar hebat. Ya Allah, apakah ini pertanda Engkau mengabulkan doa istriku?"Ya Allah, Mbak Lia. Kenapa jadi seperti ini?"Lita mengelus nisan Kakaknya dengan raut wajah penuh kesedihan. Pihak kepolisian bertanggung jawab penuh atas proses pemakaman, dan jenazah Dahlia diurus oleh pihak rumah sakit, dan makam Dahlia bisa bersandingan dengan makam Bu Nani.Aku menatap tanah merah tempat Dahlia berada di pembaringan abadi itu. Padahal sudah beberapa kali pihak kepolisian membawakan Dahlia seorang psikiater, dan saat ini juga sedang menjalani perawatan non medis. Dahlia depresi, itu yang kami dengar. Namun aku tak menyangka jika dia akan bertindak seperti itu.Dahlia tidak pernah mau menerima tamu sejak terakhir kali aku dan Lita mengunjunginya waktu itu. Kami masih menitipkan beberapa barang untuknya, termasuk Alquran dan mukena untuk salat. Tapi ternyata ....Saat aku masih terdiam dalam lamunan, tiba-tiba terlihat David dan Nadia datang ke pemakaman itu. Mereka berdua langsung berjongkok di depan nisan, berseberangan dengan Lita."Ya Allah, Lia." David juga t
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Lita seraya menatapku."Ibuk ... ibuk sudah tersadar dari koma, Dek," jawabku."Benarkah? Alhamdulillah, ya Allah." Lita mengusap wajahnya penuh syukur. "Kalau begitu kita pulang sekarang, Mas.""B-baiklah, Dek." Aku ragu-ragu untuk mengatakan jika kondisi Bu Nani sudah kritis, takut membuat Lita gelisah.Kami semua akhirnya berpamitan pada Bu Narti untuk pulang, meskipun hari sudah mulai malam. Kami tidak bisa menunggu lagi sampai besok pagi, karena takut terjadi apa-apa nanti di rumah sakit.Perjalanan di malam hari terasa lebih lama. David menggantikanku menyetir ketika tahu aku kelelahan. Dia mengantarkanku dan Lita ke rumah sakit lebih dulu, sebelum mengantarkan Nadia untuk pulang. Vivi sudah tidur sepanjang perjalanan. Kasihan anak itu, seharian tertekan karena ulah Dahlia.Begitu sampai di rumah sakit, aku dan Lita langsung bergegas menuju ruangan tempat Bu Nani dirawat. Seorang Suster menyambut kami di sana."Ibu saya bagaimana, Sus?" tanya Lita
"Astaghfirullah! Mbak Lia melakukan perbuatan senekad itu?" Lita seketika berdiri dengan wajah tak percaya."Padahal wajah Dahlia sudah masuk data laporan kepolisian. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah mengambil Vivi dari sekolah?" tanyaku pada David."Entahlah, tapi pihak sekolah paud itu tadinya tidak curiga karena yang menjemput memang Mamanya. Saat mereka sadar, Dahlia sudah pergi membawa lari Vivi," jawab David sambil mengacak rambut."Minta rekaman CCTV dari setiap sudut sekolah, Bang. Jadi kita bisa tahu dengan siapa Dahlia datang, atau kendaraan yang dia naiki! Jangan lupa buat laporan ke pihak kepolisian juga," ucapku lagi."Iya, baik, Damar," jawab David lagi. Dia kemudian sibuk membuat panggilan telepon dengan wajah panik.Aku kemudian menatap ke arah Lita."Dek, kamu tidak punya kerabat atau saudara jauh yang kemungkinan bisa menjadi tempat Dahlia bersembunyi?" tanyaku padanya.Lita terdiam mendengar pertanyaanku. Dia tampak berpikir keras."Ibuk punya saudara jauh, M
"Sudah Mama duga, pasti ada yang tidak beres! Orang seperti Dahlia itu selamanya tidak akan pernah bertobat!" ucap Mama."Ya Allah, tega sekali Mbak Lia menipu Ibuk seperti ini." Lita menutup mulut dengan kedua tangan."Aduh, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu-menahu tentang masalah keluarga kalian. Saya hanya membeli rumah ini secara sah, tidak mau ikut campur masalah lainnya," ucap Ibu itu, wajahnya juga terlihat cemas."Tapi jika nanti kami membutuhkan Ibu sebagai saksi, kami harap ibu bersedia," ucapku."Saya mengerti, Mas," jawab Ibu itu lagi.Aku menarik napas panjang. Biar bagaimapun kami terpaksa melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Apalagi Dahlia membawa kabur semua uang penjualan rumah, di mana ada hak ibunya di sana."Ibuk! Ibuk!"Aku kaget ketika mendengar suara Lita berteriak. Saat aku menoleh, tubuh Bu Nani sudah mengejang. Kepalanya mendongak ke atas, dan kedua matanya terbelalak."Mas, ibuk kenapa ini, Mas?" Lita terlihat panik melihat keadaan ibunya, sampai har
"Alhamdulillah, akhirnya kita pulang."Mobil berhenti tepat di depan rumah Mama. Hari ini Lita sudah diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah. Mama memaksa agar kami pulang ke rumah yang ditempati Mama. Aku setuju saja, karena memang nanti ada yang menjaga Lita jika di sana."Aku takut nanti akan merepotkan Mama," ucap Lita, yang awalnya menolak."Repot apanya? Di rumah ada beberapa ART, gak akan repot," jawab Mama."Tapi, rumah kami ....""Rumah itu khusus dipakai untuk produksi saja. Jangan lagi dipakai untuk tinggal. Mama akan meminta orang untuk merenovasinya, menjadi pabrik kecil. Bau minyak dan mentega setiap hari mana bagus untuk kesehatanmu?" ucap Mama lagi, menyela."Mama gak bakal bisa dibantah, Dek ...," ucapku kemudian pada Lita. "Kita menurut saja."Akhirnya Lita bersedia untuk pulang ke rumah yang Mama tempati. Rumah kami. Baru pertama kali ini Lita menginjakkan kaki di sini. Dulu saat aku masih menjadi kekasih Dahlia, kami masih menempati rumah sederhana yang tak
"Katakan, Bu Nani!"Saat Mama membentak Bu Nani sekali lagi, aku tak bisa menahan diriku lagi untuk masuk ke dalam. Kulihat Mama menoleh dan langsung tersentak kaget ketika aku membuka pintu. Wajahnya seketika memucat."Damar?"Aku tak langsung bicara, tapi melayangkan pandanganku pada Bu Nani. Hatiku berdesir miris menatap keadaan wanita yang tadinya selalu berucap dengan nada tinggi itu.Badan Bu Nani yang terbaring itu tampak kaku, dengan sebelah tangan mengerut di dadanya. Bibirnya juga sudah tak lagi lurus, bergerak-gerak seperti akan berbicara sesuatu, namun tak sanggup. Hanya kedua matanya yang melebar menyempit mewakili bahasa tubuhnya."Astaghfirullah, Buk." Aku menelan ludah, seketika rasa sedih menyergap dada.Ya, meskipun ibu mertuaku itu selalu melontarkan kata-kata hinaan padaku, tapi melihatnya dalam kondisi yang demikian rasanya hatiku juga tak tega."Damar ...." Mama mendekat ke arahku. "Kamu ... sejak kapan ada di situ?"Aku masih menatap ke arah Bu Nani sekali lagi,
Aku akhirnya kembali menuju kursi tunggu, dan sudah tidak kudapati Dahlia ada di sana. Aku duduk dengan lemah di salah satu sudut kursi. Pikiranku dipenuhi hal-hal yang membuatku bertanya-tanya. Allah, ada apa lagi ini?Entah berapa lama aku duduk di sana tanpa berbuat apapun. Hingga tiba-tiba Mama sudah muncul dan berjalan ke arahku."Syukurlah, kondisi Lita sudah jauh lebih baik," ucap Mama kemudian. Aku membuang napas lega mendengar itu semua. Tak henti-hentinya mulutku mengucap syukur. Ya, meskipun pada akhirnya kami harus kehilangan calon buah hati, setidaknya nyawa istriku sudah tertolong. Tinggal bagaimana nanti aku bertanggung jawab untuk menyembuhkan hatinya."Di mana wanita iblis itu?" tanya Mama kemudian seraya menatap ke sekeliling. "Jangan-jangan dia kabur?""Mungkin sedang bersama Ibunya, Ma," jawabku kemudian. "Bu Nani juga harus mendapat perhatian lebih.""Memang pantas mereka itu mendapatkan karma! Perbuatan mereka berdua benar-benar sudah tidak bisa dimaafkan!" ucap
Aku merengkuh tubuh Jelita, lalu membawanya lari sekencang mungkin. Tidak peduli lagi pada orang lain, yang kupikirkan hanya nasib istriku dan bayi yang ada dalam kandungannya. Lita masih merintih kesakitan dan pelukanku, sebelum akhirnya pingsan."Dek! Bertahanlah, Dek! Tolong, Dek! Bertahanlah!" Aku berteriak seperti orang gila."Ada apa ini, Mas Damar?" tanya Bu Tatik ketika aku sudah sampai di depan rumah dengan kondisi yang menyedihkan."Bu, tolong minta warga untuk membantu mencarikan mobil untuk Bu Nani. Saya harus membawa Lita ke rumah sakit," ucapku padanya sembari membaringkan Lita ke jok belakang mobil."Baik, Mas Damar." Bu Tatik akhirnya beranjak pergi meninggalkanku.Badanku gemetar hebat ketika menyalakan mesin dan memutar kemudi. Pikiran buruk sudah memenuhi kepala. Dengan kecepatan tinggi mobil melaju ke rumah sakit."Dokter! Tolong, Dokter!" Lagi-lagi aku berteriak seperti orang gila saat sudah tiba di rumah sakit. Apalagi ketika rembesan darah dari sela kaki Lita se
Dahlia menatap tak percaya pada suaminya, badannya terlihat gemetar. Dia pasti tak mengira, jika David bisa semudah itu mengucapkan talak padanya."Maksudmu apa, Mas?" tanyanya kemudian seraya menggoncang lengan David.David bungkam. Dia justru membuang mukanya dari Dahlia."Mas! Kamu tidak bisa melakukan itu! Kamu tidak bisa menceraikanku! Kamu ingat, aku punya Vivi, anakmu!" teriak Dahlia kemudian.David kemudian menatap ke arah Dahlia tajam."Kamu pikir bisa mendapatkan hak asuh setelah apa yang kamu lakukan pada Vivi?" tanyanya kemudian. "Lebih baik sekarang kamu membereskan semua barang-barangmu. Tinggalkan rumah ini secepatnya.""Kamu mengusirku, Mas?" Dahlia masih menatap tak percaya pada David. "Sudah kuduga, kamu pasti mau kembali pada mantan istrimu itu, kan? Pasti dia sengaja membalas dendam, menghancurkan rumah tangga kita!""Cukup, Dahlia. Aku sudah tidak mau mendengar apapun lagi darimu," ucap David lagi seraya beranjak pergi.Namun sebelum sempat dia melangkah, Dahlia l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments