Share

Maaf, Ma

( flash back )

"Ditolak sama kakaknya, tapi mau nikah sama adiknya! Apa kamu sudah gak waras, Damar?!"

"Ma, aku juga baru tahu ternyata Jelita itu adiknya Dahlia."

"Mama tidak peduli! Kamu kan tahu kalau Mama sudah tidak sudi lagi berurusan dengan keluarga itu, Damar! Mau ditaruh mana muka Mama jika bertemu dengan mereka lagi? Kamu lupa penghinaan mereka dulu?!"

"Damar tahu, Ma. Tapi ...." Aku menghentikan ucapanku sesaat. Aku tahu akan sangat sulit meyakinkan Mama tentang niatku.

Jelita, gadis yang dua tahun lalu kukenal, yang rencananya ingin aku nikahi. Gadis berjilbab sederhana, yang mampu mengobati luka yang bahkan tak bisa aku obati sendiri. Aku tak menyangka, ternyata dia adalah adik dari wanita yang selama ini telah menghancurkan hatiku dan dan mempermalukan Mamaku. Wanita yang menjadi kekasihku selama bertahun-tahun, tapi akhirnya memilih menikah dengan lelaki lain yang jauh lebih kaya, di saat usahaku sedang jatuh-jatuhnya.

Ya, aku terlalu naif. Aku yang berpikir bahwa akan ada wanita yang menerimaku apa adanya, yang tidak ingin mengandalkan harta dari orang tua. Aku ingin membangun semuanya dari bawah, bersama dengan wanita yang aku cintai. Nyatanya, apa yang selama ini selalu Mama katakan ternyata benar. Tidak ada wanita yang mau diajak hidup susah.

"Punya apa kamu mau menikahi anak saya?"

Pertanyaan dari Bu Nani itu seketika langsung menusuk jantung. Benar, aku terlalu nekad melamar Dahlia di saat kondisiku sedang jatuh. Kukira, Dahlia akan membelaku, akan meyakinkan Ibunya. Nyatanya ....

"Maaf, Mas. Aku sudah menerima lamaran laki-laki lain, yang jauh lebih mapan daripada Mas Damar," ucap Dahlia waktu itu, tanpa mempedulikan perasaanku.

Rasa malu hampir tak dapat kami tanggung selama bertahun-tahun. Padahal Mama sudah berniat menjual tanah warisan Papa, untuk membangkitkan kembali usahaku setelah menikah nanti. Namun kami dijatuhkan begitu dalam tanpa diberi kesempatan.

Aku yang terpuruk, perlahan mulai bangkit. Aku akhirnya mampu bekerja keras dan mengembangkan usaha menjadi sebesar sekarang, selama dua tahun terakhir, dengan modal yang Mama berikan. Hingga seorang gadis sederhana mampu mencuri hatiku kembali. Gadis penjual kue yang hampir setiap hari duduk di samping lampu merah untuk menawarkan dagangannya.

Dua tahun lamanya aku berkenalan dengannya tanpa dia tahu identitasku. Waktu yang cukup lama untuk membuatku yakin jika dia adalah wanita yang benar-benar tulus, dan mau menerimaku apa adanya. Namun, saat aku berniat untuk mengutarakan keinginanku menikahinya, baru aku mengetahui siapa keluarganya, dari identitas yang Jelita serahkan padaku untuk diurus ke kantor agama.

"Mama tidak mempermasalahkan jika kamu mau menikahi gadis paling miskin sekalipun! Tapi tidak yang berasal dari keluarga itu, Damar!" Ucapan Mama seketika membuyarkan lamunanku.

Aku sudah pernah memperkenalkan Lita pada Mama di sebuah restoran, dan Mama tidak menentang hubungan kami. Selain sifatnya yang begitu lemah lembut, Lita juga sosok pekerja keras, dan dia selalu berkata jika dia melakukannya untuk menghidupi Ibunya. Dan sejak itu tumbuh niatku untuk mengeluarkan gadis pujaanku itu dari semua penderitaan.

Aku menatap Mama, yang kedua matanya telah basah oleh air mata. Aku mengerti rasa sakit di hatinya. Keluarga itu telah mempermalukan kami di depan begitu banyak orang, dengan berbagai hinaan yang mereka lontarkan. Saat itu Lita tidak ada di antara mereka, bahkan sampai detik ini aku masih bisa belum bisa percaya, jika gadis yang begitu sederhana itu adalah bagian dari keluarga itu.

"Maafkan aku, Ma," ucapku kemudian sambil memegang pundak Mama. "Mungkin memang lebih baik tidak berhubungan apapun lagi dengan keluarga itu," lanjutku dengan suara yang hampir tercekat di tenggorokan.

Benar, entah apa yang terjadi jika aku dan Mama datang kembali pada keluarga itu untuk meminang putri keduanya. Penghinaan yang mereka ucapkan dua tahun yang lalu belum bisa semudah itu kami lupakan, meskipun saat ini posisiku tak sama lagi dengan yang dulu.

Detik itu juga aku langsung menuju ke sudut lampu merah, tempat di mana dia berjualan kue seperti biasanya. Berat sekali rasanya memutuskan hubungan kami, tapi setidaknya aku masih bisa membantunya meskipun tidak berstatus suami istri.

"Ya ampun, Lita! Pantas saja Ibuk gak pernah bisa bangga sama kamu! Di saat yang lain sudah menjadi istri pengusaha mapan, kamu masih duduk berjualan di samping lampu merah!"

Aku menghentikan langkah, ketika melihat sosok wanita berdiri di depan Lita dengan berkacak pinggang. Wanita yang amat sangat kukenal, meskipun penampilannya sekarang jauh berubah dari yang dulu. Dahlia.

"Aku melakukan ini untuk menghidupi Ibuk juga, Mbak," jawab Lita, dengan wajah seperti menahan tangis.

"Halah! Ibuk pasti gak butuh uang receh dari kamu! Lakukan sesuatu yang membuatmu lebih berguna! Bahkan jual diri jauh lebih baik daripada jual beginian!"

"Astaghfirullah, Mbak!"

Aku yang sejak tadi menatap pemandangan di depanku, seketika ikut merasakan sakit hati. Bagaimana mungkin dia begitu tega mengucapkan hal seperti itu pada adiknya sendiri?

Tidak, aku tidak bisa membiarkan semua itu. Aku yakin, Jelita tidak seperti keluarganya. Selama ini dia terlihat begitu menderita, tidak seperti kehidupan Kakak dan ibunya.

Tanpa sadar, kakiku melangkah ke arah mereka, di mana Dahlia masih terus-menerus melontarkan hinaan pada sang adik.

Maafkan aku, Ma. Aku tetap ingin menjadikan Jelita sebagai istriku. Detik ini juga, aku ingin menikahinya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status