Share

TERKABULNYA DOA ISTRIKU
TERKABULNYA DOA ISTRIKU
Penulis: Ariesa Yudistira

Doa Istriku

"Kalau gak cantik, setidaknya jual mahal sedikit. Lihat kakakmu, bisa nikah sama bos besar. Lah, kamu? Malah nikah sama bekasnya yang jelas-jelas kere. Lihat sekarang, tetap jadi beban!"

Aku yang baru saja memarkirkan sepeda motor di depan pelataran rumah, seketika tertegun mendengar suara Bu Nani, Ibu mertuaku. Tampaknya dia sedang mengomeli Jelita, istriku, seperti biasanya.

Aku membuka helm berwarna hijau khas ojek online, lalu berjalan pelan menuju samping rumah. Sengaja aku tidak lewat pintu depan, karena suara Ibu mertuaku terdengar dari arah sumur yang letaknya berada di sudut belakang rumah tua itu.

Benar saja, begitu sampai di sana, kulihat Ibu mertua berkacak pinggang di depan Lita yang sedang mencuci setumpuk pakaian. Tampak Lita hanya diam mendengarkan omelan sang Ibu, dengan sesekali menyeka peluh di keningnya.

"Mau sampai kapan kamu menumpang di rumah Ibuk, dengan suamimu yang tidak berguna itu, Lita?!" ucap Bu Nani lagi dengan suara yang meninggi.

"Insya Allah nanti kalau tabungan kami cukup, kami gak akan merepotkan Ibuk lagi, kok." Lita akhirnya menjawab dengan nada suara pelan.

"Halah! Memangnya kalian punya tabungan? Buat makan aja gak cukup!"

"Allah Maha Kaya, Buk. Tidak ada yang tidak mungkin," jawab Lita lagi.

"Sok-sokan kamu, Lita! Mau berdoa sampai air matamu kering, kalau dasarnya suamimu kere ya kere aja! Kamu saja yang bodoh mau dinikahi sama dia!"

"Semua itu bukan salah Lita, Buk. Itu salah saya." Aku yang sejak tadi berdiri tak jauh dari mereka, akhirnya tak tahan lagi untuk menyahut, karena tak tega melihat Lita terus dipojokkan.

Mereka berdua seketika tersentak, lalu menoleh padaku. Wajah Lita terlihat memucat, cepat-cepat dia berdiri dan mengusap kedua tangannya yang penuh sabun ke daster lusuhnya.

"Mas Damar sudah pulang?" Dengan wajah yang terlihat gugup dia berjalan cepat ke arahku, lalu meraih tanganku dan menciumnya.

Ibu mertuaku terlihat merengut, lalu melenggang begitu saja meninggalkan kami berdua yang masih berada di sumur.

"Mas Damar mendengar ucapan Ibuk? Maafkan Ibuk ya, Mas? Dia tidak bermaksud seperti itu." Lita menatapku dengan pandangan berkaca, sepertinya takut sekali aku terluka dengan ucapan Ibu mertua.

Aku menarik napas panjang, lalu mengusap kepalanya yang tertutup jilbab lusuh, yang sebagian basah oleh air.

"Justru Mas yang harusnya minta maaf, Dek. Mas belum bisa berbuat banyak untuk Adek," jawabku kemudian, membalas tatapannya dengan sendu.

Seketika Lita menggeleng cepat. "Nggak, Mas. Bagiku Mas Damar adalah sosok imam yang aku idamkan selama ini," ucapnya kemudian. "Mas Damar pasti lapar. Adek tadi masak sayur bening. Ayo makan, Mas."

Wanita yang kunikahi beberapa bulan yang lalu itu menarik tanganku menuju dapur. Dengan sigap dia mengambilkan sepiring nasi dan sayur bening bayam untukku, juga membuatkanku segelas teh hangat.

"Adek sudah makan?" tanyaku padanya sebelum memulai suapan.

"Sudah, Mas." Lita tampak tersenyum manis.

Aku menarik napas, lalu memperhatikan istriku sekali lagi. Jelita memang tidak secantik kakaknya, yang selalu dibandingkan ibunya dengan dia. Lebih tepatnya mungkin kurang perawatan saja. Jelita pada dasarnya sangat manis, tapi kulitnya terbakar sinar matahari karena sebelum menikah denganku, dia berjualan kue keliling kampung.

Setelah menikah denganku pun, tak ada yang banyak berubah darinya. Aku belum bisa memberikan lebih untuknya, dengan pekerjaanku yang hanya sebagai ojek online. Namun tak pernah sedikitpun dia mengeluh dengan keadaan kami saat ini.

"Oh iya, Dek." Aku cepat-cepat merogoh saku jaketku, dan mengulurkan beberapa lembar uang padanya. "Alhamdulillah, hari ini Mas dapat rejeki yang lumayan."

"Alhamdulillah, Mas." Kedua mata Lita tampak berbinar ketika menerimanya. "Ibuk pasti senang jika kita bisa memberinya lebih. Aku berikan ini pada Ibuk dulu ya, Mas?"

Aku tersenyum getir ketika melihat istriku itu dengan wajah bahagia meninggalkanku untuk memberikan jatah uang pada sang Ibu. Tak peduli jika sang Ibu selalu mengomelinya setiap hari, Lita tetap dengan tulus ingin berbakti pada sang Ibu. Meskipun dia tahu, apa yang dia berikan tak akan pernah mendapatkan penghargaan.

"Cuma segini kamu bilang lebih? Kakakmu saja bisa ngasih ibuk tiga juta tiap bulan! Lah, kamu? Buat beli beras aja kurang!"

Aku menahan napas, urung memasukkan sendok nasi ke dalam mulut. Meskipun sudah terbiasa mendengar semua itu, tapi rasanya tetap saja menyesakkan hati. Ingin rasanya aku bisa cepat-cepat membawa Lita pergi dari rumah ini, hidup mandiri.

"Maaf ya, Buk. Kalau nanti Mas Damar dapat rejeki lebih, pasti ...."

"Ah, sudahlah Lita! Berdoa saja terus sana, biar suamimu bisa kaya!"

Akhirnya aku berdiri dari tempatku duduk, lalu berjalan ke arah depan. Lita masih berdiri membelakangiku di tempatnya dengan kepala menunduk, sedangkan Ibu mertua sudah meninggalkannya.

"Dek ...." Aku memegang pundak Lita pelan.

Lita tampak tersentak, lalu mengusap wajahnya dan menoleh padaku. Dia seketika tersenyum, yang dengan jelas amat sangat dipaksakan.

"Adek nangis?" Suaraku hampir tercekat ketika melihat kedua matanya yang memerah.

"Nggak kok, Mas," jawab Lita cepat. "Mas Damar sudah selesai makannya? Mas istirahat saja dulu, aku mau salat ashar."

Lita cepat-cepat meninggalkanku sebelum sempat aku bertanya lebih jauh lagi. Sebagai seorang suami, aku merasa amat sangat gagal. Aku bahkan tidak bisa membawa istriku pergi dari rumah yang hanya membuatnya menderita ini.

"Ya Allah, Engkau Maha Kaya. Karena itulah titipkan sedikit saja harta untuk suamiku ... agar tidak ada lagi orang-orang yang bisa menghinanya."

Hatiku bergetar hebat ketika mendengar doa istriku selepas sujud terakhirnya. Aku urung masuk ke dalam kamar, hanya bisa berdiri di sisi pintu dengan hati yang hancur. Padahal dia begitu menderita, tapi dia selalu melantunkan doanya hanya untukku.

Maafkan Mas, Dek. Mas berjanji akan secepatnya membawamu keluar dari penderitaan ini ....

Tiba-tiba saja ponsel dalam sakuku bergetar. Satu pesan masuk dari nomer yang tak asing. Aku cepat-cepat membukanya.

[ Damar, pulanglah. Ada yang ingin Mama bicarakan. ]

Kedua mataku seketika membulat sempurna, sedangkan tanganku bergetar hebat. Ya Allah, apakah ini pertanda Engkau mengabulkan doa istriku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status