Aku tahu ... mungkin setelah ini aku akan kehilangan segalanya. Namun aku tidak bisa melepaskan orang yang terlanjur kucintai begitu saja. Orang yang mampu mengobati luka dan membuatku bangkit dari keterpurukan selama ini.
"Sudah cukup, Dahlia!"Wanita yang dulunya sempat mengisi hatiku selama bertahun-tahun itu menoleh. Kedua matanya terlihat membola sesaat ketika beradu pandang denganku."Damar?" Wajahnya kentara sekali jika kaget, tapi sesaat kemudian kembali terganti dengan keangkuhan."Ngapain kamu di sini?" Dahlia seketika melipat kedua tangannya di dada, lalu menatapku dengan pandangan sinis."Mas Damar." Lita berdiri, seraya berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya juga terlihat bingung, mungkin tak mengira jika aku mengenal kakaknya.Wajah Dahlia juga lagi-lagi terlihat kaget, lalu menatap ke arah kami berdua satu-persatu."Loh, kalian berdua saling kenal?" tanyanya. "Kalian ....""Lita ini calon istriku, Dahlia," sahutku seraya meraih pinggang Lita dan mendekatkannya ke arahku.Kedua mata Dahlia membulat sempurna, tapi kemudian dia menatap ke arah adiknya dan mengangkat telunjuknya ke arahku."Gak salah kamu, Lita?! Kamu mau menikah dengan lelaki kere ini?!" ucapnya kemudian dengan nada suara meninggi. "Kamu tahu siapa dia?!"Lita mengatupkan bibir, lalu menatap ke arahku dengan pandangan penuh tanya."Maafkan aku, Lita. Aku sungguh tidak tahu kalau Dahlia itu Kakakmu. Selama kami bersama dulu, aku sama sekali tidak pernah melihat dan bertemu denganmu," ucapku kemudian, mencoba menjelaskan."Dan aku menolaknya menjadi suamiku karena dia tidak punya apa-apa, Lita! Sekarang kamu mau menikah dengannya? Gi--la kamu!" sahut Dahlia dengan senyum meremehkan."Harta itu bukan jaminan seseorang akan hidup bahagia, Mbak," jawab Lita seraya menatap ke arah Kakaknya."Halah, gak usah munafik! Segala sesuatu di dunia ini itu butuh duit, Lita! Lihat apa yang Ibuk lakukan jika dia tahu kalau kamu akan menikah dengan dia!" Dahlia mengacungkan telunjuknya ke arahku lagi."Aku sendiri yang akan bicara dengan Ibuk, Mbak," jawab Lita lagi."Terserah lah! Memang susah bicara dengan orang yang hidupnya tidak mau diajak berkembang sepertimu!" Dahlia membuang muka dari adiknya.Sesaat kemudian sebuah mobil Pajero berjalan pelan dan berhenti di dekat kami. Ketika kaca jendela mobil terbuka, seorang anak perempuan melongok dari dalam mobil."Mama, sudah beli kuenya? Kita pulang, yuk," ucap anak itu, sehingga kuketahui kalau dia adalah anak dari Dahlia."Gak jadi, Sayang," jawab Dahlia seraya berjalan mendekat ke arah mobil. "Kuenya ternyata banyak lalatnya."Dadaku seketika terasa sesak dengan ucapannya, dan melirik ke arah Lita yang hanya terdiam. Mungkin dia sudah terbiasa diperlakukan kakaknya seperti itu."Ayo kita pulang, Sayang." Dahlia membuka pintu mobil, lalu menoleh ke arah kami sebentar. Dengan senyum miring, dia kemudian masuk dan mobil pun berjalan meninggalkan kami begitu saja.Aku menarik napas panjang, lalu memegang kedua pundak Lita yang sejak tadi masih terdiam."Maafkan aku ya, Lita?" ucapku lirih.Lita mengangkat wajahnya, membalas tatapanku."Kenapa Mas Damar minta maaf?" tanyanya."Aku pikir kamu terluka ketika akhirnya mengetahui tentang masa lalu kami," jawabku lirih.Lita terlihat menarik napas, lalu tersenyum."Memang aku sedikit kaget saat tahu jika Mas Damar itu ternyata mantan kekasih Mbak Dahlia. Mungkin saat kalian masih bersama, aku masih berada di pesantren, dan lulus setelah Mbak Dahlia menikah," jawabnya kemudian.Aku terdiam, pantas saja kami tidak pernah saling bertemu."Hubungan Mas Damar dengan Mbak Dahlia hanya masa lalu, aku tidak akan pernah mempermasalahkannya," lanjutnya.Aku membuang napas lega mendengar ucapan Lita."Tapi, Mas ...." Lita mengehentikan ucapannya sesaat, lalu sedikit menunduk. "Aku justru lebih takut jika Mas Damar tidak akan bisa menghadapi Ibuk dan Mbak Dahlia nantinya jika kita menikah.""Tidak apa-apa, Lita. Aku janji akan berusaha menjadi suami dan menantu yang baik," jawabku kemudian, meyakinkan Lita sekali lagi. "Tunggulah. Aku akan secepatnya menemui Ibumu."Kedua mata Lita seketika berbinar penuh keharuan. Bibirnya mengukir senyum manis."Terima kasih, Mas."..."Nggak! Mama tetap tidak akan setuju!"Aku sudah menduga Mama akan tetap pada pendiriannya, meskipun aku sudah mencoba meyakinkannya dengan cara apapun."Lita berbeda dari Dahlia, Ma ...," ucapku sekali lagi."Mereka lahir dari rahim yang sama! Mereka akan tetap mewarisi sifat ibunya!""Tapi selama dua tahun ini, Lita tidak pernah tahu identitasku. Dia sama sekali tidak memandang harta, Ma.""Tidak ada wanita di dunia ini yang mau diajak susah, Damar!""Tapi Lita mau, Ma.""Baiklah kalau begitu!" Mama seketika menatap tajam ke arahku."Setahun! Mama beri kamu waktu setahun untuk hidup bersama dia, tanpa harta sedikitpun! Apa kamu sanggup?!"Aku seketika terdiam mendengar ucapan Mama. Hidup dengan Jelita tanpa mendapatkan aset sedikitpun? Apakah aku sanggup?"Kenapa diam saja, Damar? Kamu bilang Jelita bukan wanita yang memandang harta bukan? Kalau begitu buktikan pada Mama!"Aku masih bungkam. Namun lagi-lagi terbayang wajah Jelita yang mencoba tetap tersenyum saat menjajakan kue, meskipun dengan peluh mengalir deras. Terbayang pula penghinaan sang Kakak yang selalu dia terima dengan ikhlas.Satu tahun. Hanya satu tahun saja, itu tidak akan lama. Akan kupastikan membuat Lita bahagia setelahnya."Aku bersedia, Ma," jawabku kemudian."Ya Allah, Mbak Lia. Kenapa jadi seperti ini?"Lita mengelus nisan Kakaknya dengan raut wajah penuh kesedihan. Pihak kepolisian bertanggung jawab penuh atas proses pemakaman, dan jenazah Dahlia diurus oleh pihak rumah sakit, dan makam Dahlia bisa bersandingan dengan makam Bu Nani.Aku menatap tanah merah tempat Dahlia berada di pembaringan abadi itu. Padahal sudah beberapa kali pihak kepolisian membawakan Dahlia seorang psikiater, dan saat ini juga sedang menjalani perawatan non medis. Dahlia depresi, itu yang kami dengar. Namun aku tak menyangka jika dia akan bertindak seperti itu.Dahlia tidak pernah mau menerima tamu sejak terakhir kali aku dan Lita mengunjunginya waktu itu. Kami masih menitipkan beberapa barang untuknya, termasuk Alquran dan mukena untuk salat. Tapi ternyata ....Saat aku masih terdiam dalam lamunan, tiba-tiba terlihat David dan Nadia datang ke pemakaman itu. Mereka berdua langsung berjongkok di depan nisan, berseberangan dengan Lita."Ya Allah, Lia." David juga t
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Lita seraya menatapku."Ibuk ... ibuk sudah tersadar dari koma, Dek," jawabku."Benarkah? Alhamdulillah, ya Allah." Lita mengusap wajahnya penuh syukur. "Kalau begitu kita pulang sekarang, Mas.""B-baiklah, Dek." Aku ragu-ragu untuk mengatakan jika kondisi Bu Nani sudah kritis, takut membuat Lita gelisah.Kami semua akhirnya berpamitan pada Bu Narti untuk pulang, meskipun hari sudah mulai malam. Kami tidak bisa menunggu lagi sampai besok pagi, karena takut terjadi apa-apa nanti di rumah sakit.Perjalanan di malam hari terasa lebih lama. David menggantikanku menyetir ketika tahu aku kelelahan. Dia mengantarkanku dan Lita ke rumah sakit lebih dulu, sebelum mengantarkan Nadia untuk pulang. Vivi sudah tidur sepanjang perjalanan. Kasihan anak itu, seharian tertekan karena ulah Dahlia.Begitu sampai di rumah sakit, aku dan Lita langsung bergegas menuju ruangan tempat Bu Nani dirawat. Seorang Suster menyambut kami di sana."Ibu saya bagaimana, Sus?" tanya Lita
"Astaghfirullah! Mbak Lia melakukan perbuatan senekad itu?" Lita seketika berdiri dengan wajah tak percaya."Padahal wajah Dahlia sudah masuk data laporan kepolisian. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah mengambil Vivi dari sekolah?" tanyaku pada David."Entahlah, tapi pihak sekolah paud itu tadinya tidak curiga karena yang menjemput memang Mamanya. Saat mereka sadar, Dahlia sudah pergi membawa lari Vivi," jawab David sambil mengacak rambut."Minta rekaman CCTV dari setiap sudut sekolah, Bang. Jadi kita bisa tahu dengan siapa Dahlia datang, atau kendaraan yang dia naiki! Jangan lupa buat laporan ke pihak kepolisian juga," ucapku lagi."Iya, baik, Damar," jawab David lagi. Dia kemudian sibuk membuat panggilan telepon dengan wajah panik.Aku kemudian menatap ke arah Lita."Dek, kamu tidak punya kerabat atau saudara jauh yang kemungkinan bisa menjadi tempat Dahlia bersembunyi?" tanyaku padanya.Lita terdiam mendengar pertanyaanku. Dia tampak berpikir keras."Ibuk punya saudara jauh, M
"Sudah Mama duga, pasti ada yang tidak beres! Orang seperti Dahlia itu selamanya tidak akan pernah bertobat!" ucap Mama."Ya Allah, tega sekali Mbak Lia menipu Ibuk seperti ini." Lita menutup mulut dengan kedua tangan."Aduh, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu-menahu tentang masalah keluarga kalian. Saya hanya membeli rumah ini secara sah, tidak mau ikut campur masalah lainnya," ucap Ibu itu, wajahnya juga terlihat cemas."Tapi jika nanti kami membutuhkan Ibu sebagai saksi, kami harap ibu bersedia," ucapku."Saya mengerti, Mas," jawab Ibu itu lagi.Aku menarik napas panjang. Biar bagaimapun kami terpaksa melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Apalagi Dahlia membawa kabur semua uang penjualan rumah, di mana ada hak ibunya di sana."Ibuk! Ibuk!"Aku kaget ketika mendengar suara Lita berteriak. Saat aku menoleh, tubuh Bu Nani sudah mengejang. Kepalanya mendongak ke atas, dan kedua matanya terbelalak."Mas, ibuk kenapa ini, Mas?" Lita terlihat panik melihat keadaan ibunya, sampai har
"Alhamdulillah, akhirnya kita pulang."Mobil berhenti tepat di depan rumah Mama. Hari ini Lita sudah diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah. Mama memaksa agar kami pulang ke rumah yang ditempati Mama. Aku setuju saja, karena memang nanti ada yang menjaga Lita jika di sana."Aku takut nanti akan merepotkan Mama," ucap Lita, yang awalnya menolak."Repot apanya? Di rumah ada beberapa ART, gak akan repot," jawab Mama."Tapi, rumah kami ....""Rumah itu khusus dipakai untuk produksi saja. Jangan lagi dipakai untuk tinggal. Mama akan meminta orang untuk merenovasinya, menjadi pabrik kecil. Bau minyak dan mentega setiap hari mana bagus untuk kesehatanmu?" ucap Mama lagi, menyela."Mama gak bakal bisa dibantah, Dek ...," ucapku kemudian pada Lita. "Kita menurut saja."Akhirnya Lita bersedia untuk pulang ke rumah yang Mama tempati. Rumah kami. Baru pertama kali ini Lita menginjakkan kaki di sini. Dulu saat aku masih menjadi kekasih Dahlia, kami masih menempati rumah sederhana yang tak
"Katakan, Bu Nani!"Saat Mama membentak Bu Nani sekali lagi, aku tak bisa menahan diriku lagi untuk masuk ke dalam. Kulihat Mama menoleh dan langsung tersentak kaget ketika aku membuka pintu. Wajahnya seketika memucat."Damar?"Aku tak langsung bicara, tapi melayangkan pandanganku pada Bu Nani. Hatiku berdesir miris menatap keadaan wanita yang tadinya selalu berucap dengan nada tinggi itu.Badan Bu Nani yang terbaring itu tampak kaku, dengan sebelah tangan mengerut di dadanya. Bibirnya juga sudah tak lagi lurus, bergerak-gerak seperti akan berbicara sesuatu, namun tak sanggup. Hanya kedua matanya yang melebar menyempit mewakili bahasa tubuhnya."Astaghfirullah, Buk." Aku menelan ludah, seketika rasa sedih menyergap dada.Ya, meskipun ibu mertuaku itu selalu melontarkan kata-kata hinaan padaku, tapi melihatnya dalam kondisi yang demikian rasanya hatiku juga tak tega."Damar ...." Mama mendekat ke arahku. "Kamu ... sejak kapan ada di situ?"Aku masih menatap ke arah Bu Nani sekali lagi,