Share

Rejeki tak Terduga

Mataku membola lebar, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Proyek kami berhasil? Proyek yang kami garap bersama di sela waktuku menjadi tukang ojek, ternyata membuahkan hasil? Allahuakbar.

"Ka ... kamu serius, Rudi?" tanyaku kemudian, masih belum bisa percaya dengan pendengaranku sendiri.

"Untuk apa aku bercanda, Damar? Datanglah ke kantorku secepatnya. Kalau bisa sekarang juga. Ada banyak hal yang harus ditanda tangani," jawab Rudi dengan suara yang jelas terdengar sumringah.

"I-iya, Rud. Aku akan ke sana setelah mengantar istriku pulang," ucapku kemudian.

Badanku gemetar hebat setelah menutup telepon dari Rudi, saking bahagianya. Tak menyangka jika akan mendapatkan hadiah luar biasa saat aku hampir putus asa.

"Ada apa, Mas? Kok wajah Mas kelihatan bahagia sekali?" Lita menatap ke arahku dengan pandangan heran.

Aku tak menjawab, namun langsung memeluknya erat. Ternyata inilah jawaban atas doa-doa yang Lita langitkan. Sungguh, Allah tidak akan mengambil sesuatu, melainkan akan menggantinya dengan yang lebih baik.

"Mas Damar?" Sepertinya Lita masih bingung dengan apa yang terjadi, karena dia tetap menatapku penuh tanya saat melepasnya dari pelukan.

"Alhamdulillah, Mas mendapatkan rejeki besar, Dek," jawabku kemudian.

"Rejeki?" Kedua mata Lita membulat. "Alhamdulillah, Mas. Tapi ... rejeki apa, Mas?"

"Nanti, Dek. Nanti Mas akan cerita kalau sudah benar-benar deal dengan sahabat Mas. Sekarang kita pulang dulu ya, Dek?" jawabku kemudian sambil meraih lengannya dan membawanya menuju motor. Lita menurut saja.

Kami berdua melaju menuju rumah, meskipun mungkin dalam hati Lita masih bertanya-tanya. Aku sudah tidak sabar lagi menemui Rudi. Jika benar proyek kami berhasil, ini adalah awal yang baik untuk bisa membahagiakan Lita.

Motor yang kami naiki akhirnya sampai juga di depan pelataran rumah. Kami sedikit tertegun ketika melihat sebuah mobil sudah terparkir di sana. Mobil Dahlia.

Aku dan Lita saling berpandangan sejenak, sebelum turun dari motor dan memasuki teras rumah. Terdengar suara Ibu mertua dan Dahlia sedang tertawa-tawa dari dalam.

"Assalamualaikum, Buk." Lita mengucap salam, sebelum kami memasuki rumah.

Suara tawa berhenti, lalu sesaat kemudian terdengar sahutan yang datar, cenderung ketus. "Waalaikumsalam."

Aku dan Lita berjalan masuk, dan terlihat Dahlia sedang duduk di samping ibunya di ruang tengah.

"Astaga, Lita. Kamu berjualan kue lagi?" Dahlia langsung menyambut kami dengan pertanyaan ketus ketika melihatku meletakkan keranjang kue Lita di sudut ruangan.

"Iya, Mbak. Alhamdulillah," jawab Lita dengan tersenyum.

"Suamimu tidak bisa mencukupi kebutuhanmu, kan? Apa kami bilang, habis nikah hidup makin susah. Lama-lama nyesel kan kamu?" Dahlia menatap adiknya itu dengan pandangan mengejek.

"Itu gak benar, Mbak. Mas Damar masih sanggup memenuhi kebutuhan kami, kok. Aku mau jualan lagi karena bosan setiap hari di rumah terus," jawab Lita lagi, masih dengan senyumnya.

"Halah, alasan kamu!" Dahlia mencibir.

"Oh iya, Buk." Lita merogoh kantong gamis panjangnya, lalu mengeluarkan sejumlah uang dan mengulurkannya pada ibunya. "Ini hasil untung jualan Lita hari ini. Alhamdulillah, langsung ludes, Buk."

Bu Nani terlihat menatap sinis ke arah Lita, lalu beralih ke uang yang urung dia terima. Sesaat kemudian dia tampak tersenyum mengejek.

"Untung jualan gak seberapa aja kamu pamerkan ke Ibuk, Lita! Lihat ini." Bu Nanti menunjuk ke arah lehernya, dan terlihat sebuah kalung emas yang ukurannya cukup besar menggantung di sana.

"Kakakmu membelikan Ibuk kalung sebagai hadiah ulang tahun. Padahal masih masih Minggu depan kami akan merayakannya, tapi kakakmu sudah memberikannya," sambungnya.

Wajah Lita yang tadinya masih berseri-seri dan penuh senyuman, kini berangsur berubah menjadi muram. Hatiku ikut teriris melihatnya. Aku tahu tadinya Lita pasti berharap Ibunya akan sedikit memberinya pujian atas kerja kerasnya hari ini. Namun untuk ke sekian kalinya hatinya kembali dipatahkan.

"Dek," panggilku kemudian karena sudah tak tahan lagi melihat pemandangan di depanku. Bukan aku tak ingin membela istriku di depan keluarganya, tapi aku posisiku kurang tepat saat ini.

"Baju batik yang dulu Mas punya ada di mana, ya? Mas mau pakai," ucapku kemudian, mengalihkan pembicaraan mereka.

"Ah, akan aku siapkan sebentar, Mas," jawab Lita kemudian, lalu cepat-cepat berjalan menuju ke belakang.

Aku berjalan menyusul Lita, bersiap membersihkan diri sebelum pergi menemui Rudi. Tapi masih bisa kudengar Bu Nani dan Dahlia membicarakan kami.

"Sudah kere, apa-apa minta dilayani pula. Seperti raja saja."

"Lita saja yang bodoh, Buk. Mau saja dinikahi pria yang tak mau maju itu. Masih mending dia dulu menerima pinangan juragan Darsa. Ibu juga tidak ikut susah seperti sekarang."

"Memang tidak beres otak adikmu itu, Lia! Sudahlah, biarkan saja mereka tetap seperti itu seumur hidup."

Aku menarik napas panjang, lalu meneruskan langkah dan tak ingin mendengarkan pembicaraan mereka lagi. Sampai kapanpun penilaian mereka terhadapku dan Lita tak akan pernah berubah.

"Mas berangkat dulu ya, Dek?" pamitku pada Lita begitu aku selesai bersiap-siap.

"Hati-hati di jalan, Mas." Lita meraih tanganku lalu menciumnya.

Aku akhirnya berangkat saat itu juga, tak mempedulikan pandangan sinis Bu Nani dan Dahlia saat aku melewati mereka. Yang aku pikirkan sekarang hanya cara agar mereka sudah tak bisa lagi melontarkan penghinaan pada istriku. Itu saja.

Jarak dari rumah menuju kantor Rudi butuh waktu setengah jam. Dia adalah temanku sejak SMA dulu, dan satu-satunya orang yang bisa kupercaya untuk berbagi semua masalahku.

Beberapa tahun yang lalu, saat usahaku sudah mulai pulih, dia datang untuk meminta bantuanku. Dia yang saat itu masih belum memiliki pekerjaan tetap, akhirnya kubantu modal untuk membangun usaha. Sekarang saat aku butuh bantuan, giliran dia yang datang menawarkan bantuan. Bahkan motor yang saat ini kupakai untuk ojek online, adalah pemberian darinya juga.

Aku tak bisa melamar pekerjaan lagi, karena semua dataku disita oleh Mama, termasuk kartu bank. Hanya KTP saja yang bisa aku bawa. Bahkan ketika Rudi menawarkan jabatan di kantornya, aku tak bisa terima. Aku tidak mau mendapatkan pekerjaan secara curang dan lewat jalur dalam. Karena itulah aku hanya bisa membantu Rudi menjalankan proyek besar yang digarapnya secara tak kasat mata. Tak kusangka, rupanya usaha yang kami lakukan tidak sia-sia.

"Damar!"

Baru saja aku sampai dan memasuki lobi kantornya yang tidak terlalu besar itu, Rudi sudah menyambutku. Dia langsung merangkul dan menepuk-nepuk pundakku dengan bahagia.

"Ayo masuk!" Tanpa basa-basi lagi dia menarik tanganku, mengajakku memasuki ruangannya.

"Duduklah, Damar," ucapnya lagi, lalu membuka laci meja di depannya.

Begitu aku duduk, dia langsung mengulurkan selembar cek padaku.

"Ini hanya uang muka. Sisanya akan aku transfer begitu semua pembayaran beres. Aku sangat berterima kasih padamu, Damar. Berkat bantuanmu, akhirnya perusahaan kecilku ini mendapatkan banyak sekali investor." Rudi tersenyum seraya menatapku.

Ragu-ragu aku menerima selembar cek itu. Mataku seketika membulat begitu melihat nominal yang ada di sana. Alhamdulillah, ya Allah!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status