Share

Rencana

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Rud," ucapku sambil mengusap wajahku penuh syukur.

Dengan uang itu, hal yang pertama ingin aku lakukan adalah mewujudkan impian Lita untuk memiliki toko kue. Aku ingin memberikan itu sebagai hadiah pertama nanti. Apalagi ulang tahun Lita tak lama setelah hari ulang tahun ibunya.

"Aku yang seharusnya berterima kasih, Damar. Aku juga minta maaf. Mungkin bagimu uang segitu pasti kecil mengingat usahamu yang jauh lebih besar. Apalagi sebentar lagi semuanya kembali padamu saat lulus ujian dari Mamamu," jawab Rudi sambil menepuk pundakku lagi.

Aku seketika terdiam mendengar ucapan Rudi. Aku memang sudah menceritakan padanya segalanya. Dia tahu bagaimana dulu aku begitu hancur saat dipermalukan oleh Dahlia dan ibunya, juga bagaimana Mama mengujiku saat ingin menikah dengan Lita.

"Aku sudah membatalkan perjanjian dengan Mama, Rud," ucapku kemudian.

Rudi seketika mengerutkan kening. "Maksud kamu gimana, Mar?"

Aku menarik napas panjang. "Aku sudah tidak ingin mengambil aset milikku lagi. Aku menyerahkan semuanya pada Mama."

"Yang benar saja kamu, Damar?" Wajah Rudi terlihat kaget.

"Gak apa-apa, Rud," jawabku sambil tersenyum. "Dua tahun mengenal Lita, dan hampir setahun hidup dengannya, mengajarkanku banyak hal. Dulu aku suka menghamburkan uang untuk hal yang sama sekali tidak penting. Sekarang sedikit uang saja bisa membuatku langsung bersyukur."

Rudi terlihat membuang napas. "Aku salut sama kamu, Mar. Tidak mudah melepaskan semuanya begitu saja. Aku tahu rasanya tidak punya apa-apa."

Aku menjawab ucapan Rudi dengan senyuman. "Ya sudah, aku pamit ya, Rud. Aku ingin mencarikan toko kue kecil-kecilan untuk istriku."

"Loh, istrimu masih berjualan kue, Rud?"

"Iya, Rud. Awalnya berat membiarkan dia kembali berjualan. Tapi sepertinya membuat kue adalah hobbynya sejak lama, yang bukan hanya menjadi penghasilan, tapi juga membuatnya bahagia."

"Wah, kebetulan sekali, Damar." Rudi seketika berdiri. "Istriku punya usaha katering, yang sering kewalahan melayani pesanan pelanggan. Apalagi urusan kue-kue tradisional, banyak yang kurang cocok dengan pembuatnya. Mungkin mereka bisa kerja sama nanti."

"Yang benar itu, Rud?" Kedua mataku membola karena bahagia. "Aku akan bicara dengan Lita kalau begitu. Tapi aku tidak janji ya, Rud. Aku gak mau istriku terlalu bekerja keras nantinya."

"Okelah, Damar. Kabari saja kalau sudah dapat tempat. Banyak ruko yang dijual tak jauh dari tempat istrimu biasa berjualan," ucap Rudi lagi. "Atau kau mau aku membantumu mencarikannya?"

"Tidak usah, Rud. Aku ingin mendapatkannya dengan usahaku sendiri. Aku ingin menjadikannya kejutan yang benar-benar berharga untuk Lita."

Rudi terlihat manggut-manggut mengerti. Akhirnya dia mengantarku sampai ke depan loby.

"Oh iya, Damar. Mulai sekarang bekerjalah di kantorku. Masalah identitas, kamu bisa menyetorkan terakhir nanti. Aku gak tega kamu jadi tukang ojek terus," ucap Rudi lagi sebelum kami berpisah.

"Akan aku pikirkan, Rud. Tapi kalau ngantor, aku tidak bisa membantu istriku nanti. Lihat dulu lah, kondisinya nanti bagaimana," jawabku.

"Oke lah. Pokoknya kapanpun kamu butuh bantuan, hubungi saja aku." Rudi lagi-lagi menepuk pundakku.

Aku mengangguk, lalu pamit dan meninggalkan Rudi menuju motor di area parkir. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung meluncur pulang. Hari sudah menjelang petang, jadi aku akan mulai mencari tempat besok pagi. Aku sungguh tidak sabar.

.

.

.

"Wajah Mas Damar sejak kemarin sepertinya bahagia sekali," ucap Lita seraya meletakkan secangkir kopi di depanku, dengan senyum di wajahnya.

Aku meraih cangkir di depanku, lalu menyeruput isinya. Setelah itu, aku menatap Lita sembari tersenyum.

"Duduk sini, Dek. Mas mau bicara sebentar," ucapku padanya seraya menepuk bangku di sebelahku.

"Ada apa, Mas?" Lita mengerutkan kening, tapi menurut saja.

Setelah Lita duduk, aku memegang kedua tangannya erat.

"Bagaimana kalau kita mengontrak rumah saja, Dek?" tanyaku kemudian.

Kedua mata Lita membulat sesaat, lalu membalas tatapanku.

"Tapi, Mas ... Mas kan tahu Ibuk punya darah tinggi. Tak tega kalau membiarkan Ibuk tinggal sendirian, Mas," jawab Lita kemudian.

"Kita cari kontrakan yang dekat sini, Dek. Jadi bisa setiap saat melihat kondisi Ibuk," ucapku lagi. "Adek tidak mau kan, terus-menerus dianggap beban oleh Ibuk?"

Lita akhirnya terdiam cukup lama, seperti sedang berpikir.

"Tapi ... dari mana kita mendapat uang untuk mengontrak rumah, Mas? Tabunganku sudah habis untuk modal membuat kue." Wajah Lita terlihat ragu-ragu.

"Alhamdulillah, seperti yang Mas bilang kemarin, Mas mendapatkan rejeki tak terduga. Jadi adek gak perlu khawatir."

"Benarkah, Mas? Alhamdulillah." Wajah Lita terlihat seketika berbinar.

"Jadi Adek mau kan? Mas akan langsung bicara pada pemilik kontrakan yang ada di dekat sini."

"Iya, Mas. Nanti Lita akan bicara pada Ibuk," jawab Lita kemudian.

Aku membuang napas lega. Setidaknya setelah ini kami bisa mendapatkan sedikit udara segar setelah pisah rumah dari Bu Nani.

"Lita! Sini sebentar!" Baru saja aku membatin tentang Ibu mertua, tahu-tahu dia sudah muncul dari balik pintu dapur. Di tangannya sudah ada keranjang yang penuh dengan pakaian kotor.

"Iya, Buk?" Lita langsung berdiri dan berjalan ke arah Ibunya.

"Cucikan baju ibuk. Yang bersih, soalnya besok mau Ibuk pakai ke acara ulang tahun Vivi," ucap Bu Nani sambil menyerahkan keranjang yang ada di tangannya pada Lita.

Aku membuang napas kesal. Di rumah ini Lita bukan seperti anak, tapi seperti pembantu.

"Oh iya, jangan lupa besok pagi-pagi kamu harus sudah berangkat ke rumah Kakakmu. Gak usah bawa-bawa kue seperti tahun lalu, yang ujung-ujungnya masuk ke tempat sampah. Malu-maluin saja," ucap Bu Nani lagi.

"Iya, Buk. Lita sudah menyiapkan kado kok, untuk Vivi," jawab Lita kemudian.

"Kalau cuma barang murahan mending gak usah, Lita. Cuma bikin malu kakakmu saja. Bikin malu ibuk. Seumur hidup kamu pasti bakal begitu terus, jadi beban terus." Bu Nani terus mengomel.

Kali ini aku berdiri, lalu menatap ke arah Bu Nani. Sepertinya percuma bicara baik-baik padanya.

"Tenang saja, Bu. Sebentar lagi kami tidak akan jadi beban Ibu lagi, kok," sahutku dengan suara yang kubuat sesopan mungkin meskipun dalam hati aku sudah geram.

Bu Nani terlihat kaget mendengar ucapanku, lalu menatap ke arah Lita. Sepertinya dia lebih suka mendengarkan penjelasan dari putrinya.

"Kami berencana mengontrak rumah, Buk. Dekat-dekat sini saja. Biar kami gak usah merepotkan Ibuk lagi," ucap Lita kemudian.

"Ngontrak?" Bu Nani langsung mendelik. "Memangnya kalian punya duit? Sok-sok mau ngontrak."

"Alhamdulillah, Mas Damar punya sudah punya rejeki, Buk. Jadi ...."

"Halah!" Tiba-tiba nada suara Bu Nani meninggi. "Bilang saja sekarang kamu sudah tidak peduli lagi sama Ibuk, kan? Kamu lebih memilih suamimu yang kere itu dibanding dengan Ibuk! Kamu sudah belajar jadi anak durhaka, Lita!"

"Bukan begitu, Buk. Kami ...."

"Sudah, gak usah ngomong apa-apa lagi! Memang sejak dulu kamu itu tidak pernah bisa bikin Ibuk bahagia! Gak pernah bisa berbakti pada Ibuk!" Bu Nani semakin menjadi.

"Buk!" Aku seketika menyahut.

"Bukankah Ibuk selalu menganggap kami beban?" lanjutku. "Seharusnya Ibuk bahagia kami sudah tidak lagi membebani Ibuk. Tapi kenapa sekarang sepertinya Ibuk justru gak rela Lita pergi dari sini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status