Share

Jalan lain

last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-21 16:20:28

"Damar!" Mama ikut berdiri, menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Sejak kapan kamu menjadi begitu kasar?!" lanjutnya, terlihat jelas jika dia tengah gusar.

Aku mengatupkan bibir, tubuhku sedikit melemah. Diam-diam menyesal karena tidak bisa menahan emosiku. Padahal selama ini aku sudah banyak belajar bersabar dalam menghadapi sikap Bu Nani, ibu mertuaku. Kenapa sekarang justru kehilangan kontrol saat berhadapan dengan Mamaku sendiri?

"Jadi ini yang kamu dapat selama tinggal di kampung, Damar? Apa istrimu yang mengajarimu seperti itu?" Giliran Mama yang tampak emosi dengan napas yang naik turun.

"Ma, Maafkan aku," ucapku kemudian dengan suara memelan. "Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Lita. Aku yang kehilangan kontrol atas diriku sendiri."

Mama terlihat membuang napas kesal, aku pun menghela napas panjang.

"Ma, aku tahu rasa sakit hati Mama pada Ibu dan Kakak Lita masih belum bisa hilang," ucapku kemudian. "Tapi Lita sama sekali tidak bersalah, Ma."

Mama menoleh padaku, masih dengan muka masam.

"Lihat dirimu, Damar. Kamu kelihatan kurus, kelihatan tidak terurus. Apa kamu masih belum menyerah? Apa kamu masih teguh dengan pendirianmu?" tanyanya.

"Aku baik-baik saja, Ma," sahutku.

"Mama hanya khawatir padamu, Damar. Tidak ada ibu di dunia yang tega melihat anaknya menderita."

"Aku tahu, Ma."

"Kamu sudah berubah, Damar. Kamu bukan lagi anak Mama yang penurut seperti dulu!"

"Justru Mama lah yang berubah," sahutku lagi, disambut oleh wajah Mama yang terlihat kaget.

"Dulu Mama pernah bilang padaku, tidak masalah menikahi gadis paling miskin sekalipun. Mama bilang kita sudah merasakan bagaimana saat terjatuh. Tapi sekarang, Mama merasa tinggi sehingga memperkenalkan gadis dari keluarga kaya padaku. Mama bahkan sanggup membandingkannya dengan istriku, merasa istriku tidak sepadan dengan kita," lanjutku.

Mama terlihat terdiam mendengar ucapanku, dan mengalihkan pandangannya dariku. Mungkin dia tak bisa menyangkalnya. Saat itulah aku sadar, mungkin aku memang harus melepas semuanya. Aku tidak ingin lagi mengandalkan apa yang aku miliki saat ini, karena semua ini memang berasal dari bantuan Mama.

"Maaf, Ma ... kita batalkan saja perjanjian kita," ucapku kemudian.

Mama terlihat tersentak, lalu menatap lagi padaku seraya membulatkan mata.

"Apa maksudmu, Damar?" tanyanya kemudian, dengan suara yang terdengar bergetar.

Aku menelan saliva, lalu membalas tatapan Mama.

"Aku akan membahagiakan Lita dengan caraku sendiri, Ma. Aku akan berusaha dari awal lagi. Aku rela melepaskan semuanya," jawabku. "Aku tidak butuh lagi semua ini. Ambillah semuanya untuk Mama sendiri."

"Damar!"

"Sampai jumpa lagi, Ma. Aku pamit."

Aku memutar badan, tak mempedulikan lagi teriakan Mama. Dengan langkah mantap aku meninggalkan ruang makan, meninggalkan Mama yang masih berada di sana bersama Celyn. Aku juga tak menyentuh masakan Mama sama sekali. Tidak, aku tidak akan pernah bisa menelan makanan enak, sementara istriku sering menahan lapar saat mengungguku pulang kerja.

Tanpa menoleh lagi aku segera mengendarai motorku, lalu meluncur meninggalkan rumah. Aku langsung menuju tempat di mana Lita dulu berjualan kue dagangannya. Benar saja, dari jauh kulihat dia sudah dikerubuti para ibu-ibu yang berebut kue tradisional buatannya.

Aku turun dari motor, lalu melepas helm. Masih kuperhatikan Lita yang sibuk melayani para pelanggannya tak jauh dari situ. Tangannya dengan lincah memasukkan kue-kue itu ke dalam kantong plastik, sesuai permintaan.

"Kue buatan Mbak Lita itu enak loh. Jauh lebih enak dari yang ada di toko-toko besar. Sempat sedih Mbak Lita berhenti berjualan setelah menikah. Syukurlah sekarang bisa berlangganan lagi," ucap salah satu ibu yang berjilbab hitam.

"Betul itu, Lita. Besok buat yang lebih banyak, ya? Kebetulan anak Ibu yang dari kota datang besok," sahut ibu berbaju merah di sebelahnya.

"Saya juga mau, Mbak Lita. Buat simpanan di kulkas," sahut yang lain.

Lita terlihat tersenyum mendengar permintaan para pelanggannya itu.

"Insya Allah mulai besok saya akan berjualan setiap hari, Bu," jawabnya sembari mengulurkan kantong kue pada mereka.

"Kenapa gak buka toko kue saja sih, Lita? Sayang loh kue seenak ini cuma dijajakan di sekitar sini."

"Betul itu, Mbak Lita. Pasti makin laris."

Lita lagi-lagi tersenyum manis mendengar ucapan mereka.

"Doakan suami saya rejekinya lancar ya, Bu? Biar bisa membuka toko kue seperti yang ibu-ibu katakan."

"Aamiinnn." Mereka menjawab hampir bersamaan.

Akhirnya ibu-ibu itu pamit pergi setelah mendapatkan kue yang mereka inginkan. Lita akhirnya duduk di bongkahan batu yang ada di sana, seraya mengusap peluh yang membasahi keningnya. Dia kemudian terlihat merogoh kantongnya, mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari sana dan menghitungnya. Tampak wajah Lita berseri-seri seraya mendongakkan kepala ke atas, mengucapkan syukur atas rejeki yang dia dapatkan hari ini.

Aku yang masih berdiri di tempatku, menatap pemandangan itu dengan hati hancur. Entah apa yang harus aku lakukan untuknya setelah ini. Padahal saat berada di rumah Mama, aku begitu mantap ingin berusaha kembali dari enol, ingin membahagiakan Lita murni dari hasil usahaku sendiri.

Namun melihatnya seperti itu, rasanya ingin menarik kembali ucapanku pada Mama. Ingin mendapatkan kembali aset milikku, dan secepat mungkin bisa membahagiakan istriku itu dengan jalan yang singkat.

"Loh, Mas Damar?"

Aku tersentak dari lamunan, ketika menyadari Lita menatap ke arahku.

"Mas Damar sudah lama di sana? Kok berdiri saja sambil bengong?" Lita cepat-cepat berdiri, lalu menghampiriku.

"Oh, Mas baru datang kok, Dek." Aku seketika salah tingkah. "Tadi Mas lihat pelanggan Adek rame, jadi Mas tunggu sebentar."

"Alhamdulillah, Mas. Kue hari ini ludes," ucap Lita dengan wajah sumringah. "Besok bisa buat yang lebih banyak."

"Alhamdulillah, Dek." Aku tersenyum, lalu mengusap keringat yang masih membekas di pelipisnya dengan ujung jempolku.

Lagi-lagi kutatap wajah manis Lita dengan lekat. Hatiku masih terasa teriris-iris. Maafkan Mas, Dek. Mungkin kamu akan menunggu lebih lama. Tapi Mas janji akan membahagiakanmu suatu hari kelak. Dengan hasil keringatku sendiri. Aku yakin Allah akan mengabulkan semua doamu melalui jalan lain, ucapku dalam hati.

"Ada sesuatu di wajahku ya, Mas? Kok Mas Damar menatapku seperti itu?" tanya Lita kemudian dengan wajah penuh tanya.

"Ah, tidak kok, Dek. Mas hanya ...." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, tiba-tiba ponselku berdering.

Panggilan masuk dari Rudi, sahabat yang selama ini cukup banyak membantuku. Aku segera menggesek layar ponselku, mengangkatnya.

"Halo, Rudi. Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Besok kamu bisa datang ke kantorku tidak, Damar?" Rudi balik bertanya dari seberang telepon.

"Ada masalah apa, Rud?" tanyaku lagi seraya mengerutkan kening.

"Proyek kita berhasil, Damar! Kita mendapatkan keuntungan besar bulan ini!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERKABULNYA DOA ISTRIKU   Akhir yang bahagia

    "Ya Allah, Mbak Lia. Kenapa jadi seperti ini?"Lita mengelus nisan Kakaknya dengan raut wajah penuh kesedihan. Pihak kepolisian bertanggung jawab penuh atas proses pemakaman, dan jenazah Dahlia diurus oleh pihak rumah sakit, dan makam Dahlia bisa bersandingan dengan makam Bu Nani.Aku menatap tanah merah tempat Dahlia berada di pembaringan abadi itu. Padahal sudah beberapa kali pihak kepolisian membawakan Dahlia seorang psikiater, dan saat ini juga sedang menjalani perawatan non medis. Dahlia depresi, itu yang kami dengar. Namun aku tak menyangka jika dia akan bertindak seperti itu.Dahlia tidak pernah mau menerima tamu sejak terakhir kali aku dan Lita mengunjunginya waktu itu. Kami masih menitipkan beberapa barang untuknya, termasuk Alquran dan mukena untuk salat. Tapi ternyata ....Saat aku masih terdiam dalam lamunan, tiba-tiba terlihat David dan Nadia datang ke pemakaman itu. Mereka berdua langsung berjongkok di depan nisan, berseberangan dengan Lita."Ya Allah, Lia." David juga t

  • TERKABULNYA DOA ISTRIKU   Pesan terakhir

    "Apa yang terjadi, Mas?" tanya Lita seraya menatapku."Ibuk ... ibuk sudah tersadar dari koma, Dek," jawabku."Benarkah? Alhamdulillah, ya Allah." Lita mengusap wajahnya penuh syukur. "Kalau begitu kita pulang sekarang, Mas.""B-baiklah, Dek." Aku ragu-ragu untuk mengatakan jika kondisi Bu Nani sudah kritis, takut membuat Lita gelisah.Kami semua akhirnya berpamitan pada Bu Narti untuk pulang, meskipun hari sudah mulai malam. Kami tidak bisa menunggu lagi sampai besok pagi, karena takut terjadi apa-apa nanti di rumah sakit.Perjalanan di malam hari terasa lebih lama. David menggantikanku menyetir ketika tahu aku kelelahan. Dia mengantarkanku dan Lita ke rumah sakit lebih dulu, sebelum mengantarkan Nadia untuk pulang. Vivi sudah tidur sepanjang perjalanan. Kasihan anak itu, seharian tertekan karena ulah Dahlia.Begitu sampai di rumah sakit, aku dan Lita langsung bergegas menuju ruangan tempat Bu Nani dirawat. Seorang Suster menyambut kami di sana."Ibu saya bagaimana, Sus?" tanya Lita

  • TERKABULNYA DOA ISTRIKU   Penangkapan

    "Astaghfirullah! Mbak Lia melakukan perbuatan senekad itu?" Lita seketika berdiri dengan wajah tak percaya."Padahal wajah Dahlia sudah masuk data laporan kepolisian. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah mengambil Vivi dari sekolah?" tanyaku pada David."Entahlah, tapi pihak sekolah paud itu tadinya tidak curiga karena yang menjemput memang Mamanya. Saat mereka sadar, Dahlia sudah pergi membawa lari Vivi," jawab David sambil mengacak rambut."Minta rekaman CCTV dari setiap sudut sekolah, Bang. Jadi kita bisa tahu dengan siapa Dahlia datang, atau kendaraan yang dia naiki! Jangan lupa buat laporan ke pihak kepolisian juga," ucapku lagi."Iya, baik, Damar," jawab David lagi. Dia kemudian sibuk membuat panggilan telepon dengan wajah panik.Aku kemudian menatap ke arah Lita."Dek, kamu tidak punya kerabat atau saudara jauh yang kemungkinan bisa menjadi tempat Dahlia bersembunyi?" tanyaku padanya.Lita terdiam mendengar pertanyaanku. Dia tampak berpikir keras."Ibuk punya saudara jauh, M

  • TERKABULNYA DOA ISTRIKU   Ikhtiar

    "Sudah Mama duga, pasti ada yang tidak beres! Orang seperti Dahlia itu selamanya tidak akan pernah bertobat!" ucap Mama."Ya Allah, tega sekali Mbak Lia menipu Ibuk seperti ini." Lita menutup mulut dengan kedua tangan."Aduh, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu-menahu tentang masalah keluarga kalian. Saya hanya membeli rumah ini secara sah, tidak mau ikut campur masalah lainnya," ucap Ibu itu, wajahnya juga terlihat cemas."Tapi jika nanti kami membutuhkan Ibu sebagai saksi, kami harap ibu bersedia," ucapku."Saya mengerti, Mas," jawab Ibu itu lagi.Aku menarik napas panjang. Biar bagaimapun kami terpaksa melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Apalagi Dahlia membawa kabur semua uang penjualan rumah, di mana ada hak ibunya di sana."Ibuk! Ibuk!"Aku kaget ketika mendengar suara Lita berteriak. Saat aku menoleh, tubuh Bu Nani sudah mengejang. Kepalanya mendongak ke atas, dan kedua matanya terbelalak."Mas, ibuk kenapa ini, Mas?" Lita terlihat panik melihat keadaan ibunya, sampai har

  • TERKABULNYA DOA ISTRIKU   Istana

    "Alhamdulillah, akhirnya kita pulang."Mobil berhenti tepat di depan rumah Mama. Hari ini Lita sudah diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah. Mama memaksa agar kami pulang ke rumah yang ditempati Mama. Aku setuju saja, karena memang nanti ada yang menjaga Lita jika di sana."Aku takut nanti akan merepotkan Mama," ucap Lita, yang awalnya menolak."Repot apanya? Di rumah ada beberapa ART, gak akan repot," jawab Mama."Tapi, rumah kami ....""Rumah itu khusus dipakai untuk produksi saja. Jangan lagi dipakai untuk tinggal. Mama akan meminta orang untuk merenovasinya, menjadi pabrik kecil. Bau minyak dan mentega setiap hari mana bagus untuk kesehatanmu?" ucap Mama lagi, menyela."Mama gak bakal bisa dibantah, Dek ...," ucapku kemudian pada Lita. "Kita menurut saja."Akhirnya Lita bersedia untuk pulang ke rumah yang Mama tempati. Rumah kami. Baru pertama kali ini Lita menginjakkan kaki di sini. Dulu saat aku masih menjadi kekasih Dahlia, kami masih menempati rumah sederhana yang tak

  • TERKABULNYA DOA ISTRIKU   Dosa

    "Katakan, Bu Nani!"Saat Mama membentak Bu Nani sekali lagi, aku tak bisa menahan diriku lagi untuk masuk ke dalam. Kulihat Mama menoleh dan langsung tersentak kaget ketika aku membuka pintu. Wajahnya seketika memucat."Damar?"Aku tak langsung bicara, tapi melayangkan pandanganku pada Bu Nani. Hatiku berdesir miris menatap keadaan wanita yang tadinya selalu berucap dengan nada tinggi itu.Badan Bu Nani yang terbaring itu tampak kaku, dengan sebelah tangan mengerut di dadanya. Bibirnya juga sudah tak lagi lurus, bergerak-gerak seperti akan berbicara sesuatu, namun tak sanggup. Hanya kedua matanya yang melebar menyempit mewakili bahasa tubuhnya."Astaghfirullah, Buk." Aku menelan ludah, seketika rasa sedih menyergap dada.Ya, meskipun ibu mertuaku itu selalu melontarkan kata-kata hinaan padaku, tapi melihatnya dalam kondisi yang demikian rasanya hatiku juga tak tega."Damar ...." Mama mendekat ke arahku. "Kamu ... sejak kapan ada di situ?"Aku masih menatap ke arah Bu Nani sekali lagi,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status