Share

Jalan lain

"Damar!" Mama ikut berdiri, menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Sejak kapan kamu menjadi begitu kasar?!" lanjutnya, terlihat jelas jika dia tengah gusar.

Aku mengatupkan bibir, tubuhku sedikit melemah. Diam-diam menyesal karena tidak bisa menahan emosiku. Padahal selama ini aku sudah banyak belajar bersabar dalam menghadapi sikap Bu Nani, ibu mertuaku. Kenapa sekarang justru kehilangan kontrol saat berhadapan dengan Mamaku sendiri?

"Jadi ini yang kamu dapat selama tinggal di kampung, Damar? Apa istrimu yang mengajarimu seperti itu?" Giliran Mama yang tampak emosi dengan napas yang naik turun.

"Ma, Maafkan aku," ucapku kemudian dengan suara memelan. "Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Lita. Aku yang kehilangan kontrol atas diriku sendiri."

Mama terlihat membuang napas kesal, aku pun menghela napas panjang.

"Ma, aku tahu rasa sakit hati Mama pada Ibu dan Kakak Lita masih belum bisa hilang," ucapku kemudian. "Tapi Lita sama sekali tidak bersalah, Ma."

Mama menoleh padaku, masih dengan muka masam.

"Lihat dirimu, Damar. Kamu kelihatan kurus, kelihatan tidak terurus. Apa kamu masih belum menyerah? Apa kamu masih teguh dengan pendirianmu?" tanyanya.

"Aku baik-baik saja, Ma," sahutku.

"Mama hanya khawatir padamu, Damar. Tidak ada ibu di dunia yang tega melihat anaknya menderita."

"Aku tahu, Ma."

"Kamu sudah berubah, Damar. Kamu bukan lagi anak Mama yang penurut seperti dulu!"

"Justru Mama lah yang berubah," sahutku lagi, disambut oleh wajah Mama yang terlihat kaget.

"Dulu Mama pernah bilang padaku, tidak masalah menikahi gadis paling miskin sekalipun. Mama bilang kita sudah merasakan bagaimana saat terjatuh. Tapi sekarang, Mama merasa tinggi sehingga memperkenalkan gadis dari keluarga kaya padaku. Mama bahkan sanggup membandingkannya dengan istriku, merasa istriku tidak sepadan dengan kita," lanjutku.

Mama terlihat terdiam mendengar ucapanku, dan mengalihkan pandangannya dariku. Mungkin dia tak bisa menyangkalnya. Saat itulah aku sadar, mungkin aku memang harus melepas semuanya. Aku tidak ingin lagi mengandalkan apa yang aku miliki saat ini, karena semua ini memang berasal dari bantuan Mama.

"Maaf, Ma ... kita batalkan saja perjanjian kita," ucapku kemudian.

Mama terlihat tersentak, lalu menatap lagi padaku seraya membulatkan mata.

"Apa maksudmu, Damar?" tanyanya kemudian, dengan suara yang terdengar bergetar.

Aku menelan saliva, lalu membalas tatapan Mama.

"Aku akan membahagiakan Lita dengan caraku sendiri, Ma. Aku akan berusaha dari awal lagi. Aku rela melepaskan semuanya," jawabku. "Aku tidak butuh lagi semua ini. Ambillah semuanya untuk Mama sendiri."

"Damar!"

"Sampai jumpa lagi, Ma. Aku pamit."

Aku memutar badan, tak mempedulikan lagi teriakan Mama. Dengan langkah mantap aku meninggalkan ruang makan, meninggalkan Mama yang masih berada di sana bersama Celyn. Aku juga tak menyentuh masakan Mama sama sekali. Tidak, aku tidak akan pernah bisa menelan makanan enak, sementara istriku sering menahan lapar saat mengungguku pulang kerja.

Tanpa menoleh lagi aku segera mengendarai motorku, lalu meluncur meninggalkan rumah. Aku langsung menuju tempat di mana Lita dulu berjualan kue dagangannya. Benar saja, dari jauh kulihat dia sudah dikerubuti para ibu-ibu yang berebut kue tradisional buatannya.

Aku turun dari motor, lalu melepas helm. Masih kuperhatikan Lita yang sibuk melayani para pelanggannya tak jauh dari situ. Tangannya dengan lincah memasukkan kue-kue itu ke dalam kantong plastik, sesuai permintaan.

"Kue buatan Mbak Lita itu enak loh. Jauh lebih enak dari yang ada di toko-toko besar. Sempat sedih Mbak Lita berhenti berjualan setelah menikah. Syukurlah sekarang bisa berlangganan lagi," ucap salah satu ibu yang berjilbab hitam.

"Betul itu, Lita. Besok buat yang lebih banyak, ya? Kebetulan anak Ibu yang dari kota datang besok," sahut ibu berbaju merah di sebelahnya.

"Saya juga mau, Mbak Lita. Buat simpanan di kulkas," sahut yang lain.

Lita terlihat tersenyum mendengar permintaan para pelanggannya itu.

"Insya Allah mulai besok saya akan berjualan setiap hari, Bu," jawabnya sembari mengulurkan kantong kue pada mereka.

"Kenapa gak buka toko kue saja sih, Lita? Sayang loh kue seenak ini cuma dijajakan di sekitar sini."

"Betul itu, Mbak Lita. Pasti makin laris."

Lita lagi-lagi tersenyum manis mendengar ucapan mereka.

"Doakan suami saya rejekinya lancar ya, Bu? Biar bisa membuka toko kue seperti yang ibu-ibu katakan."

"Aamiinnn." Mereka menjawab hampir bersamaan.

Akhirnya ibu-ibu itu pamit pergi setelah mendapatkan kue yang mereka inginkan. Lita akhirnya duduk di bongkahan batu yang ada di sana, seraya mengusap peluh yang membasahi keningnya. Dia kemudian terlihat merogoh kantongnya, mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari sana dan menghitungnya. Tampak wajah Lita berseri-seri seraya mendongakkan kepala ke atas, mengucapkan syukur atas rejeki yang dia dapatkan hari ini.

Aku yang masih berdiri di tempatku, menatap pemandangan itu dengan hati hancur. Entah apa yang harus aku lakukan untuknya setelah ini. Padahal saat berada di rumah Mama, aku begitu mantap ingin berusaha kembali dari enol, ingin membahagiakan Lita murni dari hasil usahaku sendiri.

Namun melihatnya seperti itu, rasanya ingin menarik kembali ucapanku pada Mama. Ingin mendapatkan kembali aset milikku, dan secepat mungkin bisa membahagiakan istriku itu dengan jalan yang singkat.

"Loh, Mas Damar?"

Aku tersentak dari lamunan, ketika menyadari Lita menatap ke arahku.

"Mas Damar sudah lama di sana? Kok berdiri saja sambil bengong?" Lita cepat-cepat berdiri, lalu menghampiriku.

"Oh, Mas baru datang kok, Dek." Aku seketika salah tingkah. "Tadi Mas lihat pelanggan Adek rame, jadi Mas tunggu sebentar."

"Alhamdulillah, Mas. Kue hari ini ludes," ucap Lita dengan wajah sumringah. "Besok bisa buat yang lebih banyak."

"Alhamdulillah, Dek." Aku tersenyum, lalu mengusap keringat yang masih membekas di pelipisnya dengan ujung jempolku.

Lagi-lagi kutatap wajah manis Lita dengan lekat. Hatiku masih terasa teriris-iris. Maafkan Mas, Dek. Mungkin kamu akan menunggu lebih lama. Tapi Mas janji akan membahagiakanmu suatu hari kelak. Dengan hasil keringatku sendiri. Aku yakin Allah akan mengabulkan semua doamu melalui jalan lain, ucapku dalam hati.

"Ada sesuatu di wajahku ya, Mas? Kok Mas Damar menatapku seperti itu?" tanya Lita kemudian dengan wajah penuh tanya.

"Ah, tidak kok, Dek. Mas hanya ...." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, tiba-tiba ponselku berdering.

Panggilan masuk dari Rudi, sahabat yang selama ini cukup banyak membantuku. Aku segera menggesek layar ponselku, mengangkatnya.

"Halo, Rudi. Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Besok kamu bisa datang ke kantorku tidak, Damar?" Rudi balik bertanya dari seberang telepon.

"Ada masalah apa, Rud?" tanyaku lagi seraya mengerutkan kening.

"Proyek kita berhasil, Damar! Kita mendapatkan keuntungan besar bulan ini!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status