LOGIN
Malam itu, hujan turun tanpa jeda.
Langit seolah ikut menangis. Tapi anehnya, air mata Arga kecil terus mengalir. Dia hanya anak kecil tak berdosa yang sedang dalam saat hancurnya. Ia duduk di pojok kamarnya, memeluk boneka singa yang bulunya sudah mulai rontok. Di balik matanya yang sembab, ada satu pertanyaan yang terus ia ulang-ulang: "Kenapa aku harus ada di sini?" Sejak ibunya pergi, semua berubah. Rumah menjadi asing. Ayah menjadi dingin. Dunia menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Dan malam itu, di antara suara hujan dan sunyi yang menggigit tulang, seseorang datang membuka pintu. Seseorang yang berdiri di tengah kamar dengan wajah kabur, seperti diselimuti kabut. Rambutnya hitam, tubuhnya tinggi, matanya buram seperti kaca berembun. Arga kecil menatap orang itu dengan mata membesar. "Siapa...?" Orang itu tidak menjawab. Hanya berlutut di hadapannya, lalu memeluknya erat-erat. "Maafkan aku... karena aku hampir menyerah padamu." Bisik orang itu. Anak kecil tak bicara. Tapi air matanya jatuh-dan untuk pertama kalinya, Orang itu memeluk Arga kecil. Pelukan yang aneh. Hangat, tapi berat. Seperti menelan semua rasa sakit tanpa perlu dijelaskan. "Kenapa kamu sedih?" bisik orang itu. Arga kecil menggigit bibir. Matanya kembali memanas. "Karena aku nggak tau caranya berhenti sakit." Orang itu mengelus kepalanya, pelan. Suaranya berat, seperti suara yang pernah Arga dengar tapi lupa dari mana. "Nggak apa-apa sedih." "Nggak apa-apa takut." "Nggak apa-apa nggak ngerti kenapa hidup begini." "Maafkan aku... karena aku hampir menyerah padamu." Arga kecil menatapnya dengan mata bingung. Arga kecil memeluk boneka singanya lebih erat. "Tapi kenapa? Semua orang bilang aku beban. Kalau aku hilang, dunia lebih baik." Orang itu tersenyum samar-meski wajahnya tetap kabur. "Kamu nggak perlu kuat sekarang, kamu berguna suatu hari nanti meskipun kamu harus melewati ribuan masalah, ribuan hinaan, ribuan kebencian." "Tugasmu cuma satu: jangan lepasin pelukan ini. Jangan lepasin dirimu sendiri. Dunia ini tidak pernah berkata tidak membutuhkanmu, itu hanya perkataan orang-orang yang membenci dirimu." "Aku hanya ingin bilang... Jangan pernah menyerah." Arga kecil tersenyum mendengar kata-kata orang misterius tersebut. Hanya beberapa kata penyemangat membuat perasaan Arga kecil kini menjadi lebih baik. Belum pernah ia mendengar kata-kata tersebut diberikan kepadanya. Pelan-pelan, dunia di sekitarnya memudar. Suara hujan lenyap, kamar kembali seperti semula, dan Arga kecil terbangun dengan peluh membasahi wajahnya. Ia masih memeluk boneka singa itu. Tapi anehnya, ada rasa yang berbeda. Ada sesuatu yang tersisa di dadanya. Sesuatu yang tidak ia mengerti saat itu. Sebuah janji. Janji yang akan dia bawa sampai dewasa, dia tak akan melupakan orang itu. ----------------------------------------------------------- Hujan deras mengguyur atap rumah sakit itu. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Arga duduk di bangku lorong, menggenggam erat ponselnya yang bergetar, namun tak sanggup ia jawab. Dalam ruangan ICU, detak jantung ayahnya perlahan melemah, hingga akhirnya-garis lurus muncul di layar monitor yang berada di samping ayahnya yang terbujur kaku. "Maaf, kami sudah berusaha semampu kami, tapi tuhan berkehendak lain." ujar dokter dengan suara pelan. Arga tak menjawab, hanya terdiam. Matanya nanar menatap tubuh ayahnya yang kini tak bergerak. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Langit gelap dan hujan petir membuat suasana semakin hancur. Beberapa hari setelah pemakaman, Arga berdiri di depan pintu apartemen kontrakan mereka. Sepi. Tak ada lagi suara ayahnya. Ibunya telah lama meninggalkan mereka karena masalah keluarga, dan kini, hanya ada dirinya. Kehidupan suram masa lalunya selalu mengekang dan menguncinya. "Jadi sekarang aku benar-benar sendiri...," gumamnya lirih. Arga berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh pabrik yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka, sementara ibunya pergi meninggalkan mereka ketika Arga masih kecil. Ayahnya selalu mengajarkan Arga untuk mandiri walaupun terkadang ia tidak memperdulikan Arga, ayahnya selalu mendidiknya untuk tidak bergantung pada siapa pun. Namun, dengan kepergiannya, Arga merasa seperti kehilangan tiang penopang terakhir dalam hidupnya. Tak ingin larut dalam kesedihan, Arga memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen yang lumayan murah-ruangan bernomor 201, hasil dari sedikit warisan yang ditinggalkan ayahnya. Hidup sendiri di ibu kota bukanlah hal mudah, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia harus bertahan. --- Arga heaven adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah di salah satu universitas negeri. Sejak kecil, ia selalu tertarik pada kisah masa lalu, pada bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah membentuk dunia saat ini. Namun, beban hidup tak mengizinkannya hanya fokus pada kuliah. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah kafe pusat kota. Jadwal kerjanya tidak menentu, kadang ia bekerja malam hari, kadang ia mendapatkan hari libur di sela-sela kesibukannya. Setiap kali mendapat giliran kerja, ia mengenakan seragam putih-hitamnya dan mulai bekerja. Mengantar pesanan, melayani pelanggan, mencatat orderan, dan membersihkan meja menjadi rutinitasnya. Gaji yang didapatnya tak besar, tapi cukup untuk bertahan hidup. "Arga, ada pesanan meja tiga!" panggil Rendi, rekan kerjanya. "Siap, kak!" Arga segera membawa nampan berisi makanan ke meja yang dimaksud. Kadang, di sela kesibukannya, Arga termenung. Ia sering bertanya-tanya, apakah kehidupannya akan selalu seperti ini? Berjuang sendirian di tengah kota yang tak pernah tidur? Namun, di balik keraguan itu, ada tekad dalam dirinya untuk menyelesaikan kuliah, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan membuktikan bahwa ia bisa bertahan, meski sendirian. Jam 11:00. Malam itu, setelah menutup kafe, Arga berjalan pulang melewati trotoar yang basah karena hujan. Ia menatap langit yang penuh dengan cahaya lampu gedung. Ia memikirkan masa depan, tentang bagaimana ia akan melewati hari-hari mendatang tanpa ayahnya. Sesampainya di apartemen, ia merogoh sakunya untuk mengambil kunci. Saat membuka pintu, ia mendapati surat dari pihak kampus terselip di bawahnya. Surat itu berisi pemberitahuan tentang pembayaran uang kuliah yang segera jatuh tempo. Arga mendesah. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang tambahan, atau ia berisiko harus menunda kuliahnya. "Besok adalah hari baru," bisiknya kepada diri sendiri. "Aku pasti bisa."Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi
Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang
Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa
“Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat
Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men
Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de







