Semakin lama bersama Hina, Arga mulai mengalami kejadian yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan dunia yang lain muncul dan menghilang begitu saja, seolah batas antara masa kini dan masa lalu semakin menipis.
Saat mereka berjalan bersama di sebuah jalan setapak yang dipenuhi keramaian kota, tiba-tiba, jalanan di bawah kaki mereka berubah. Batu-batu besar menggantikan aspal yang sebelumnya ada. Kereta kuda melintas, orang-orang mengenakan pakaian dari abad ke-19. Arga terperangah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, semuanya kembali seperti semula. Hina menggenggam lengannya erat. "Kamu lihat itu juga?" Hina bertanya dengan suara bergetar. Arga mengangguk, jantungnya berdetak kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Hina menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Aku juga tidak tahu... tapi ini bukan pertama kalinya." Suatu malam, Arga terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar tua dengan perabotan kayu antik, cahaya lampu minyak berkelip lembut di sudut ruangan. Aroma kayu dan kertas tua memenuhi udara. Bingung dan panik, Arga berusaha bangkit dari tempat tidur yang asing itu. "Hina?" panggilnya, berharap gadis itu ada di dekatnya. Tidak ada jawaban, gadis itu sedang tidur. Ia berjalan ke arah jendela dan melihat jalan berbatu di luar, dengan orang-orang berpakaian lawas berjalan dengan santai. Itu jelas bukan dunia yang ia kenal. Lalu, secepat kilat, ia kembali ke tempat tidurnya di apartemennya sendiri. Nafasnya terengah-engah, jantungnya berdebar keras. "Apa yang terjadi denganku?" gumamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh lain terjadi. Saat Arga membeli kopi di kios langganannya, seorang penjual koran tua yang biasa duduk di sudut jalan menatapnya tajam. "Penghubung dua dunia telah ditemukan," bisiknya sebelum perlahan menghilang, seolah dia tidak pernah ada. Arga tersentak mundur, menatap tempat di mana pria itu seharusnya berada. Orang-orang di sekitarnya tampak tak menyadari apa yang baru saja terjadi. Ketakutan mulai merayapi Arga. Dia tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa Hina bukan sekadar gadis yang tersesat. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Di sisi lain, Hina pun mengalami hal yang serupa. Malam itu, saat ia bercermin di kamar Arga, ia melihat sesuatu yang aneh. Bukan bayangannya sendiri, tapi seorang gadis dengan pakaian gaun panjang, duduk di ruangan yang megah dengan lampu minyak yang menyala redup. "Aku merasa seperti hidup di dua dunia sekaligus," ujarnya dengan suara gemetar. Arga menatapnya dengan serius. "Mungkin kita harus mencari tahu lebih banyak. Ini bukan sekadar kebetulan." Hina mengangguk pelan. "Aku takut, Arga." "Aku merasa aku tidak berasal dari sini, Arga. Sepertinya ada sesuatu yang menungguku di tempat lain... Tapi aku tidak tahu di mana." Arga menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. "Kita akan mencari tahu bersama." --- Malam itu, Arga sulit tidur. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian-kejadian aneh yang terus berulang. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke balkon apartemennya dan memandangi kota yang berkelip dengan lampu-lampu malam. 'Jika ini terus terjadi... apakah aku sedang kehilangan akal sehat?' pikirnya. Tiba-tiba, hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Udara yang tadinya hangat berubah drastis. Arga menggosok-gosokkan kedua tangannya, mencoba mengusir rasa dingin yang aneh itu. Saat ia menatap ke bawah, kota yang semula modern berubah menjadi pemandangan abad ke-19. Bangunan pencakar langit lenyap, digantikan oleh rumah-rumah kayu dengan atap runcing. Lentera minyak menggantikan lampu jalan. Arga mundur selangkah, keringat dingin membasahi punggungnya. "Hina?" panggilnya, berharap gadis itu ada di dekatnya. Tapi yang menjawab hanyalah kesunyian. Lalu, suara derap langkah kuda terdengar dari kejauhan, semakin mendekat. Sebelum Arga bisa bereaksi, penglihatannya menjadi buram dan dalam sekejap, ia kembali ke dunia asalnya. Kota modern kembali terlihat, suara klakson mobil menggantikan derap kuda barusan. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. 'Aku harus mencari tahu apa yang terjadi.' Keesokan harinya, Pagi itu, kamar Arga berubah jadi ruang belajar dadakan. Meja penuh dengan buku tulis dan kamus saku Hina duduk tegak, menatap buku seperti sedang meneliti peta harta karun. "Di dunia ini, semua orang bicara cepat... seperti peluru." Arga menaruh segelas teh. "Bukan cepat, kamu aja yang lambat nangkepnya." "Di Zamanku semuanya berbicara dengan lembut dan sopan, sangat berbeda dari zaman ini. Hina: (sambil menunjuk kata di buku) "Ini... 'makan'. Tapi di TV, ada orang bilang, 'Aku makan hati'. Apakah dia... seorang iblis?" Arga: (menghela napas panjang) "Itu perumpamaan. Maksudnya sedih, kesel. Bukan literally makan organ." Hina: "Literally? Organ? Dunia ini makin rumit." Setelah perbincangan itu Arga bersama Hina keluar apartemen, menuju taman dekat kampus. Gadis itu tampak lelah, seolah ia juga mengalami malam yang buruk. "Kamu baik-baik saja?" tanya Arga sambil duduk di sampingnya. Hina mengangguk pelan, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku... melihat lebih banyak hal aneh tadi malam. Aku merasa ada seseorang yang mengawasiku dari balik cermin." Arga menelan ludah. "Kita harus mencari tahu. Ini bukan sekadar kebetulan." Hina menatapnya, matanya dipenuhi kecemasan. "Bagaimana kalau kita mencari tahu sejarah tempat ini? Mungkin ada sesuatu yang bisa menjelaskan semuanya." Arga mengangguk. Itu ide yang masuk akal. Mereka harus memulai pencarian mereka dari suatu tempat. Bersama, mereka berjalan menuju perpustakaan kota untuk yang ke-2 kalinya setelah saat pertama kali mereka kesana mereka bertemu dengan sesosok misterius yang tak mereka kenali. Perpustakaan sejarah, tempat di mana sejarah masa lalu masih tersimpan dalam lembaran-lembaran buku tua. Saat mereka memasuki ruangan berdebu itu, atmosfernya terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik rak-rak kayu. Seorang pustakawan tua menatap mereka dari balik meja kayunya, senyum tipis tergurat di wajahnya. "Kalian mencari sesuatu yang telah lama terkubur, bukan?" Pustakawan tua itu ternyata orang yang pernah kutemui, aku lupa itu dimana tapi dia bilang tentang sesuatu yang berhubungan dengan Dua dunia, aku tidak terlalu memperdulikannya waktu itu. "melihat kalian yang membaca banyak buku sejarah, kalian sepertinya tertarik dengan sejarah yang lama terkubur ini." Arga dan Hina saling bertukar pandang. Perasaan waspada merayapi keduanya. Pustakawan tua itu menatap mereka dengan tatapan tajam, seolah mengetahui sesuatu yang tidak mereka pahami. "Apa maksud Anda?" tanya Arga dengan hati-hati. Pria itu tersenyum samar. "Kalian mencari sesuatu yang telah lama terkubur, bukan?" Suaranya serak namun penuh keyakinan. Hina menelan ludah. "Kami hanya ingin tahu tentang sejarah tempat ini..."Ia berdiri di tengah ruangan gelap itu, seolah tubuhnya bebas-tapi pikirannya masih terpenjara. Semua luka, semua rasa kehilangan, semua suara yang membekas dalam kepalanya tidak benar-benar pergi. Ia hanya berdamai dengan kenyataan bahwa sebagian dari dirinya telah mati sejak lama. "Manusia itu aneh, ya," gumamnya dalam hati, lirih. "Kita ingin sembuh... tapi sebagian dari kita juga takut sembuh. Karena saat sembuh, kita harus melepaskan luka yang sudah terlalu lama kita peluk." Arga menatap cermin retak di sudut kamar itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat dirinya bukan sebagai musuh... tapi sebagai satu-satunya saksi dari semua perjalanan dan perjuangan hidupnya. "Aku ini... bukan pecundang," bisiknya. "Aku ini..." Kepalanya mendongak. Napasnya berat, tapi kali ini bukan karena sesak. Melainkan karena sebuah kesadaran yang menghantam dirinya: Bahwa hidup i
Malam itu, Arga tidak tidur. Ia duduk, memeluk lutut, seperti mayat yang menolak membusuk. Pandangannya kosong, tubuhnya dingin. Tapi pikirannya... penuh. Penuh dengan racun. Dan di dalam kekacauan itu, suara kecil dalam dirinya kembali berbisik-nyaris seperti doa yang kehilangan arah: "Kalau aku hilang... akankah dunia terasa lebih ringan?" Tidak ada jawaban. Hanya sunyi yang menatap balik-dan cermin yang merefleksikan luka yang tak bisa dilihat siapa pun. Arga masih kecil ketika pertama kali merasakan bahwa dunia ini bukan tempat yang aman. Ia duduk di pojok rumah, memeluk boneka singa kecil-hadiah terakhir dari ibunya. Malam itu hujan turun deras, membasahi jendela dengan gemuruh tak henti. Tapi yang lebih menusuk dari suara hujan adalah keheningan. Rumah itu terlalu sunyi... karena ibunya sudah tidak ada disana. Bukan karena meninggal
"Kenapa aku harus pergi?" Arga berpikir dalam... ...dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap. Ketika ia membuka mata, ia tak lagi berada di kamar. Ia berdiri di antara ladang bunga yang tak pernah ia lihat sebelumnya, di bawah langit ungu yang berkilauan. Angin berhembus pelan, membawa aroma yang menenangkan. Di kejauhan, seseorang berdiri membelakanginya-rambut panjang terurai, gaun putih berkibar. "Ibu?" bisiknya. Perempuan itu menoleh, tersenyum. Tapi sebelum ia sempat mendekat, dunia di sekitarnya mulai runtuh. Bunga-bunga layu, langit menjadi merah, dan suara tawa-tawa teman-temannya di sekolah-bergema di langit seperti gema neraka. "Kau anak buangan..." "Kenapa kamu masih hidup?" "Laki-laki macam apa kamu?" Arga menutup telinganya, tapi suara-suara itu terus menembus, seakan-akan berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia j
Hari-hari berjalan tanpa perubahan berarti, sampai suatu malam, saat ia menatap dirinya di cermin, ia mendengar suara lembut yang tak pernah ia duga. "Arga, aku di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi." Itu suara ibunya, tapi dari mana suara itu datang? Dalam cermin yang retak, ia bisa melihat sesuatu yang berbeda, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa... terhubung kembali dengan dunia. Hujan deras membasahi atap rumah. Suara air yang jatuh ke tanah terdengar seperti bisikan dunia yang tak mengerti. Arga menatap ke luar jendela, di mana langit yang kelabu menyelimuti segalanya. Ada rasa sunyi yang lebih dalam dari biasanya. Ada ruang kosong yang ia rasakan semakin luas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tak akan pernah keluar dari tempat ini. Kenapa dia hidup? Kenapa dia menderita? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benakny
Langit hari itu tak menangis, tapi hatinya sudah tenggelam. Arga duduk di depan jendela ketika ibunya berkemas cepat. Ibunya tak menjelaskan apa pun. Tak satu pun kata perpisahan, hanya sebuah bisikan. "Arga, maaf... jaga dirimu. Waktu akan menyatukan kita semua suatu saat nanti." Dan kemudian, suara pintu tertutup. Dan kemudian... sunyi. Selamanya. Ayahnya-seorang pria yang dulu penuh senyum-berubah seperti bayangan tembok. Ia tak pernah menanyakan kabar Arga di sekolah, tak pernah melihat wajahnya ketika makan malam. Sering kali, Arga berbicara sendiri, berharap suaranya cukup keras untuk menghidupkan kembali keluarganya. Tapi yang ia terima hanya: "Diam, Arga. Dunia ini tidak punya waktu untuk bocah lemah." Ayahnya bekerja sampai malam, pulang dalam keadaan mabuk, dan kadang melempar botol kosong ke temb
Sylvia menatapnya sejenak, lalu tersenyum nakal. "Kalau begitu, kau kalah telak. Rambutmu berantakan dan wajahmu… seperti orang habis putus cinta lima kali dalam sehari." "Rasanya lebih dari lima," balas Arga datar. Sylvia mengeluh pura-pura kecewa. "Yah, setidaknya kau masih bisa jawab candaan. Kupikir kau sudah berubah jadi batu." Arga tidak membalas. Tatapannya kosong, mengarah ke langit yang perlahan mulai dipenuhi warna senja. Sylvia menghela napas, lalu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Duduklah. Aku nggak akan gigit, meskipun kamu enak digoda." Arga menurut, duduk di sampingnya. Hening beberapa detik. "Kau tahu," ujar Sylvia, menoleh ke arahnya dengan senyum tipis, "aku sempat berpikir untuk meninju wajahmu agar kau sadar, tapi aku memutuskan membawakanku permen mint sebagai gantinya. Tapi, tentu, kamu tak mau."