Share

Bab 4

Setelah beberapa hari janin ini tak juga mau keluar. Aku mulai merasa frustrasi. Apakah harus mencari klinik aborsi ilegal? Tapi di mana? 

Aku mondar-mandir di kamar sambil berpikir. Apa aku minum obat-obatan saja ya, biar bayi sialan ini keracunan?

 'Iihh kenapa kamu gak mati saja, sih!' umpatku dalam hati. 

Aku mengendap keluar. Kulihat Mama sedang asik menonton acara TV kesayangannya. Aku segera ke bufet di mana obat-obatan berada. Kuambil semua yang ada dan segera mengembalikan kotaknya ke tempat semula. 

Berbagai obat pereda nyeri dan entah obat apalagi ýang ada di depanku. Aku mengambil beberapa butir dan menelannya bersama segelas air putih. 

'Semoga kau mati bayi sialan! Aku tidak jngin terikat denganmu, apalagi dengan ayahmu.' 

Beberapa saat kemudian jantungku berdetak semakun kencang, mulutku terasa semakin pahit dan kesadaranku mulai hilang. Semuanya gelap, sangat gelap. 

**

Entah apa yang terjadi, saat kubuka mata, aku kembali berada di ruangan serba putih. Aku memindai sekeliling, terlihat Mama sedang terisak di sampingku. Selang infus tampak tersambung ke tangan kiriku.

"Ma ...," panggilku pelan. 

""Aline, kamu sudah sadar, Sayang? Kenapa kamu nekad? Kamu mau ninggalin Mama sendiri?" cecarnya disertai tangisan. Aku tak bisa menjawab. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang kuingat, aku hanya ingin melenyapkan bayi sialan yang bersarang dalam rahimku. 

Terdengar suara ketukan dari luar, Mama berdiri dan menyambut tamu yang datang. 

"Aline ...." Terdengar suara maminya Mas Rangga. Aku hanya menoleh sekilas lalu kembali memejamkan mata. Tubuhku tiba-tiba gemetar saat melihat manusia terkutuk itu di sebelah Mami. 

Bisa kudengar langkahnya mendekat. Mungkin dia sekarang tengah berdiri di samping ranjangku. 

"Aline, kenapa kamu lakukan ini?  Kenapa kamu gak bilang kalau kamu hamil? Aku akan tanggung jawab. Kamu jangan menyakiti diri kamu sendiri. Untung saja bayinya masih bisa diselamatkan," ucapnya yang membuatku semakin jijik. Tak sudi aku mendengarnya. Aku membuang muka. 

Jadi ternyata bayi sialan itu masih ada di perutku. Kuat juga, kamu!

"Om, tolong, terimalah niat baik saya. Saya bersedia menikahi Aline, Om. Biar saya menebus semua kesalahan saya." Terdengar kembali suara dari manusia bajingan itu. Aku tersenyum miring. Betapa beraninya dia melamarku setelah kejadian mengerikan itu. 

"Berdirilah, Nak. Om tidak bisa memutuskan sebelah pihak. Semua itu harus berdasarkan persetujuan dari Aline," jawab Papa.  

Bajingan itu kembali menghampiri ranjangku. Dia berlutut sambil menangkupkan kedua tangannya. 

"Aline, aku mohon. Terimalah lamaranku. Aku janji tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku akan merawatmu dan juga bayi itu. Aku mohon! Aku mohon!" 

Dengan sudut mata, aku bisa melihat, jika bajingan itu bersujud di lantai. Heh, baiklah. Akan aku buat neraka  untukmu, nanti. 

"Baik, aku terima lamaranmu," ujarku yang mampu membuat semua mata yang berada di ruangan ini terbelalak. 

"Aline?" 

Semuanya kompak menyebut namaku. Terkecuali bajingan itu. Dia bangkit dari sujudnya dan menciumi tanganku sambil berulang kali mengucapkan terima kasih. Aku tepis tangan itu kasar.

"Nikahkan saja kami sekarang, di sini, Pa," ujarku memberi saran. 

Mata mereka semakin terbelalak. 

"Tapi, Aline ... apa tidak sebaiknya kita persiapkan dulu semuanya? Setidaknya sebuah syukuran kecil-kecilan," ujar bajingan itu. 

"Tidak perlu. Kalau kamu mau, aku kasih kamu waktu satu jam untuk membawa penghulu ke sini. Jika tidak—" 

"Iya, Lin. Aku akan membawanya sekarang. Lalu mas kawin, kamu mau minta apa?" tanyanya. 

"Terserah kamu saja," jawabku ketus. 

Tanpa menunggu lama, dia segera berlalu. Aku hanya tersenyum sinis melihat kepergiannya. 

"Aline, apa kamu benar-benar mau menikah dengan Rimba?" tanya Papa. Aku mengangguk pasti. Terlihat mereka menarik napas lega. Berbeda jauh denganku. Aku merasakan dada yang semakin sesak. 

*

Satu jam kemudian, bajingan itu benar-benar berhasil membawa seorang penghulu dan beberapa saksi, mungkin temannya. 

Sebelum memulai akad, penghulu itu bertanya tentang statusku. Papa menjelaskan jika aku adalah janda yang belum sempat campur dengan mantan suami. 

Kulihat penghulu itu manggut-manggut dan mengatakan jika aku tidak ada masa idah, karena belum berhubungan. Lalu, pernikahanku dengan Rimba hanya sebatas pernikahan agama, karena persyaratan untuk pengajuan pernikahan belum ada. Aku dan Rimba menyetujuinya. 

Setelah semuanya jelas, Papa dan Rimba saling berjabat tangan. Papa mengucapkan ijab dan diterima oleh Rimba. Pernikahan kami dinyatakan sah oleh penghulu dan juga para saksi. 

Akhirnya bajingan itu menyandang gelar sebagai suamiku. Suami yang akan kubuatkan neraka sepanjang hidupnya. 

Sebuah cincin berlian sebagai mas kawin, Rimba sematkan di jari manisku. Lalu, dia mencium tanganku dengan penuh perasaan. Membuatku sangat muak. Namun, entah mengapa bau tubuhnya tercium begitu wangi. 

Ya, Tuhan ... apalagi ini? Apakah ayah dan anak ini benar-benar saling berhubungan? 

Sialan!

**

Seminggu dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Rimba dengan cekatan membawakan semua barang-barang untuk diangkut ke mobil. Lalu, dia kembali dan berniat mengangkatku ke kursi roda. Aku menolaknya. 

Akhirnya Mama-lah yang membantuku naik ke kursi roda dan mwndorongnya hingga parkiran. 

"Kamu bisa naik ke mobil, gak, Lin? Kalau gak kuat, biar Rimba aja yang gendong kamu ya?" tanya Mama. 

"Sini, biar saya gendong aja, Tante. Aline jangan banyak gerak dulu, takut ada apa-apa dengan janinnya," ujar Rimba yang tiba-tiba langsung mengangkatku dari kursi roda menuju jok. Aku hendak menolak, tapi lagi-lagi bau tubuh itu begitu menenangkan. Ah, sial!

*

Sampai rumah, aku langsung istirahat. Mungkin karena pengaruh obat, aku jadi mudah mengantuk. Entah pukul berapa aku terbangun. Saat kubuka mata, terlihat Rimba tertidur di sofa dengan posisi duduk. Jika saja membunuh itu diperbolehkan, rasanya ingin kubabat habis tubuhnya dengan gergaji mesin. 

Rasa haus menyerang. Aku lihat gelas di atas nakas telah kosong. Aku bangkit hendak mengambil air ke luar. 

"Aline, kamu mau ke mana?" 

"Bukan urusanmu!" jawabku ketus. 

Suara derit pintu rupanya telah membangunkan bajingan itu. Huh. Kenapa hidupku jadi rumit begini. Terjebak di antara orang yang begitu aku benci. 

"Kamu mau apa? Biar aku ambilkan. Kamu tinggal bilang saja padaku," ucapnya sambil mengekor. 

"Aku bukan anak kecil!" ucapku ketus. 

"Iya, tapi kondisi kamu belum pulih, kamu harus banyak istirahat," rayunya lagi. Hih, menyebalkan sekali, nih, orang! 

Aku berbalik. 

"Heh, ngapain kamu masih ada di sini? Pulang sana!" usirku. Aku bisa melihat tatapan Rimba berubah memelas. 

"Aline, kenapa ribut-ribut?" tanya Mama dari ruang tengah. Aku segera menghampirinya. 

"Gak ada apa-apa, Ma. Aline cuma mau ambil minum," jawabku sambil berlalu ke arah dispenser. 

"Aline bandel, Tante. Sudah kubilang biar aku yang ambil, tapi ngeyel."

"Hei, aku bukan anak kecil!" 

Prank. 

Gelas di tanganku terjatuh. Apa aku selemah itu? Ah, ternyata jemariku masih gemetar. 

Kupunguti pecahannya. Terdengar derap langkah menuju ke arahku. 

"Aku bilang juga apa. Kamu masih lemah, Lin. Kenapa ngeyel?!" ujarnya. Aku menoleh ke arahnya, dan .... 

Ah, jariku terasa perih. Gara-gara manusia satu ini, hidupku ditimpa banyak kesialan. Rupanya serpihan gelas itu tak sengaja menoreh jari telunjukku. Rimba secepat kilat meraih tanganku yang berdarah. Dia pandangi, mungkin mencari barangkali ada serpihan yang tertinggal. 

"Kenapa, Lin?" Mama menyusul ke arahku. 

"Sudah, tidak apa-apa, Tante, biar Rimba yang urus," cetusnya. Sok banget, nih, orang.

Karena masih lemas, aku hanya diam saat Rimba membalut jariku dengan plester. Sedekat ini dengan bajingan itu. Tubuhnya benar-benar tercium begitu wangi. Aku melengos.

"Sudah. Kamu tunggu di sini, aku ambilkan minum buat kamu," ucapnya setelah selesai memakaikan plester. Aku memasang wajah masam. 

Selang beberapa saat dia kembali dengan segelas air putih dan mendekatkannya ke mulutku. 

"Aku bisa sendiri," tolakku. 

"Nanti pecah lagi, mau?" ujarnya sambil tersenyum. Cih, menyebalkan sekali. Karena haus, terpaksa aku menerima air dari tangannya. 

"Udah, sekarang mau apa lagi?" tanyanya. 

"Ga ada! Sana kamu pergi!" jawabku ketus. 

"Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu. 

"Tante, aku pulang dulu, ya," pamit Rimba pada Mama. 

"Lho ... lho, kok pulang. Kamu kan sekarang udah jadi suaminya Aline, kenapa harus pulang?" tanya Mama yang membuatku kesal. 

"Aline tidak mau ada saya di sini, Tante."

Dih, pengaduan. Dasar pecundang. 

"Aline, gak boleh gitu. Bagaimana pun, Rimba itu suamimu. Masa kamu suruh pulang?" ujar Mama. Aku embuskan napas kasar. Bener-bener menyebalkan. 

Aku bangkit dan meningalkan mereka. 

Sayup kudengar Mama menghibur bajingan itu. 

"Sabar, Nak. Aline memang manja anaknya." 

Aku segera masuk kamar dan membanting pintu. 

Hari beranjak malam. Mataku belum bisa terpejam. Aku buka-buka media sosial yang sudah lama tak kubuka. 

Di status f******k-ku banyak sekali yang memberi selamat, saat aku mengunggah salah satu foto pernikahanku dengan Mas Rangga dua bulan yang lalu. Hatiku mendadak perih. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini.

Pernikahan yang hanya seumur jagung, hanya karena kebobrokan lelaki yang sekarang malah berstatus menjadi suamiku. 

Kriiet.

Terdengar  pintu dibuka. Aku menoleh. Lelaki itu dengan percaya diri masuk ke kamarku. 

"Heh, kenapa ke sini?" tanyaku sinis. 

"Mamamu menyuruhku tidur di sini, Lin. Aku gak enak menolaknya," jawabnya. Aku mencebik lalu melemparkan sebuah bantal padanya. 

"Tidur saja di kursi!" ucapku ketus. Aku bisa melihat wajahnya yang pasrah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status