"Lin, aku kerja dulu ya," pamit Rimba yang kujawab dengan gumaman. Rasanya tak penting banget dia harus pamit. Mau pergi ke neraka pun aku tak peduli.
Dia ulurkan tangannya padaku. Alisku bertaut.
"Apaan?" tanyaku ketus.
"Salim. Doain supaya aku dapat rejeki yang halal buat kamu juga anak kita," ucapnya yang membuatku merasa ... entah. Selama aku pacaran dengan kakaknya, Mas Rangga bahkan tidak pernah bersikap semanis ini. Cih! Modus ini, pasti.
Aku melengos.
"Ya sudah kalau gak mau salim. Aku pergi dulu, ya," ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku.
Dia berlalu setelah menenteng tas besar. Entah apa isinya. Sepertinya sebuah gitar.
Suami? Hah! Aku bahkan tidak tau dia bekerja di mana dan sebagai apa. Dan aku pun tak peduli.
Menjelang pukul sepuluh malam orang itu baru pulang. Aku sengaja tak menghiraukannya.
Saat dia mengucapkan salam pun, hanya Mama yang menjawabnya. Acara di TV rasanya lebih menarik daripada harus melihat kehadiran orang itu.
Orang itu? Aku mulai menyebutnya 'orang itu'? Bukankah biasanya aku pun ikut menyebutnya bajingan, berandalan dan segudang nama buruk lainnya? Please Aline. Jangan sampai kamu tergoda dengan sikapnya yang pura-pura baik.
"Rimba, sudah pulang? Sudah makan belum?" tanya Mama. Sok perhatian banget sih, Mama. Bikin tuh orang makin besar kepala aja. Aku mencebik.
"Belum, Tante," jawabnya lirih. Dih, emang gue pikirin. Aku memutar bola mata.
"Aline, ayo sana temenin Rimba makan," pinta Mama. Aku mendelik sebal.
"Gak papa, Tante, biar nanti aku ambil sendiri," jawabnya sambil menaruh tas besarnya di kursi, lalu melangkah ke meja makan.
"Ngomong-ngomong, kamu kerja di mana sih, Rimba?" tanya Mama.
"Mmh, aku cuma ngamen, Tan," jawabnya. Terdengar denting sendok dan piring. Sepertinya dia sudah mulai makan.
Pantas saja berandalan, pasti maennya di terminal. Gaul sama copet, maling, huh gak ada keren-kerennya. Jauh banget jika dibanding sama kakaknya yang seorang pengusaha sukses.
Sejenak aku kembali teringat dengan mantan suamiku itu. Apakah aku masih mencintainya? Ah, entahlah. Yang jelas aku belum bisa melupakannya.
Mataku rasanya mulai mengantuk. Mulutku beberapa kali menguap. Aku tinggalkan saja orang itu mengobrol dengan Mama.
Aku merebahkan tubuh di kasur. Rasanya nyaman sekali. Tak lama orang itu ikut masuk ke kamar. Aku bisa melihat, wajahnya terlihat lelah.
Setelah menyimpan taa besarnya, dia menghampiriku. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaketnya, lalu memberikannya padaku.
"Ini, gajiku bulan ini. Kebetulan tadi aku gajian. Ya ... memang tak sebanyak penghasilan Kak Rangga. Tapi aku jamin ini halal."
Aku menatapnya tajam. Uang? Gaji? Jadi, sepertinya dia benar-benar menganggap jika pernikahan ini sungguh-sungguh. Dia menganggap aku istrinya? Hahhah. Aku tertawa dalam hati. Kusunggingkan senyuman sinis.
"Uang jajanku bahkan lebih banyak dari itu," cibirku, bahkan sebelum membuka isi amplop itu. Rimba menghela napas kasar.
"Kan sudah kubilang, gajiku memang tidak sebanyak penghasilan Kak Rangga, apalagi jika dibandingkan dengan uang orang tuamu. Tapi aku ikhlas memberikan uang ini pada istriku," ucapnya penuh percaya diri.
"Aku wajib memberikan nafkah padamu, Lin. Barangkali kamu mau membeli peralatan bayi, nanti," ucapnya lagi.
Aku mengambil amplop itu dan melemparkannya ke lantai. Mata lelaki itu membulat. Haha. Aku kembali tertawa dalam hati.
"Aku gak butuh!" ucapku ketus. Dia membungkuk dan memungut amplop itu dari lantai, lalu menyimpannya di atas nakas.
"Aku simpan di sini," ucapnya pelan dan berlalu ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di bagian bawah tubuhnya. Sekilas aku bisa melihat roti sobek di perutnya. Hhmm, masih jauh kerenan Mas Rangga, gumamku dalam hati.
"Kamu kenapa gak ganti baju di kamar mandi aja, sih? Risih tau!"
Dia yang sedang mengambil baju di tasnya menoleh sekilas.
"Tadi aku lupa, saking capenya. Lagian di sini kan gak ada siapa-siapa lagi selain kamu. Jangankan begini, gak pake baju pun, gak masalah," jawabnya sambil terkekeh yang membuat aku bertambah kesal.
Aku berdecak sebal.
"Lin, aku tidur di kasur, ya? Sakit badan karena tidur sambil duduk terus," tawarnya. Mataku terbelalak.
"Enak aja! Kalau mau selonjoran, tidur di lantai kan bisa!" sergahku.
Rimba menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sepertinya dia tengah menahan kesal.
Mampus! Semoga aja kamu sakit dan mati. Gerutuku dalam hati.
Dia mengambil bed cover dari bawah kakiku, lalu menggelarnya di lantai. Setelah itu dia merebahkan diri di atasnya. Perlahan mulai meringkuk dan mengdengkur halus. Meninggalkan aku yang merasa kesal karena harus sekamar dengan dia.
**
Esoknya, Mama dan Papa harus menghadiri acara pernikahan anaknya klien Papa di Bandung. Otomatis aku ditinggal sendirian. ART yang biasa membantu Mama hanya datang di siang hari.
Mama dan Papa mewanti-wanti pada Rimba agar menjagaku. Dih, rasanya seperti anak kecil saja dititip-titipin ke orang.
Sore hari, orang itu tampak bersiap akan pergi. Aku tak peduli.
"Lin, ayok bersiap," ajaknya padaku. Dahiku mengerut.
"Ke mana?"
"Ikut ke tempat kerjaku. Aku gak tega ninggalin kamu sendirian di sini. Tapi, aku juga tidak bisa mangkir begitu saja dari tempat kerja," ucapnya.
"Gak mau!" jawabku ketus.
"Aline. Please. Aku takut terjadi apa-apa saat kamu sendirian di sini," ajaknya lagi setengah memaksa.
"Aku bukan anak kecil!" jawabku lagi.
"Aku tau kamu bukan anak kecil, tapi bukan berarti kamu aman di sini sendirian. Kamu itu tanggung jawabku, sekarang. Tolong, mengertilah posisiku," pintanya memelas.
Dengan berat hati akhirnya aku menuruti kemauannya.
"Memangnya kamu kerja di mana, sih?" tanyaku.
"Eits, jangan GR dulu, aku cuman gak mau kalau sampai salah kostum," lanjutku. Orang itu tersenyum. Membuatku makin kesal.
"Aku kerja di kafe, dari jam lima sampai jam delapan suka ngadain live musik. Aku—"
"Sudah-sudah aku tidak mau tau. Aku hanya tanya kamu kerja di mana, nggak perlu detail juga," timpalku ketus. Terlihat Rimba menghela napas kasar. Sepertinya aku selalu berhasil membuatnya kesal di setiap kesempatan.
Dengan menaiki motor Ninja-nya kami sampai di sana dalam waktu kurang dari sejam. Kafe tempat kerja Rimba ternyata unik. Terlihat sangat cozy. Interiornya yang minimalis modern membuatku terkesan.
"Ayo, masuk!" ajaknya sambil membukakan pintu. Aku menurut.
"Hai, Rimba. Sama siapa?" tanya salah seorang di kafe itu.
"Sama ... emh, ini Aline."
Sepertinya Rimba hendak mengatakan seauatu, tetapi diralatnya. Akhirnya dia mengenalkanku pada teman-temannya.
"Ini cewek lu, ya, Rim?" tanya salah satu dari mereka. Aku hanya diam memperhatikan. Kulihat Rimba hanya tersenyum.
"Hai, Rimba, udah dateng?" Terdengar suara seorang perempuan yang keluar dari salah satu ruangan.
"Kamu sama siapa? Udah makan belum? Biar aku siapkan?" tawar perempuan yang menurutku ... cantik.
"Eh ya, aku ke sini sama Aline," jawab Rimba sambil menarik tanganku.
"Hai, Aline. Aku Cindy." Perempuan itu mengulurkan tangan sembari menyunggingkan senyum sinis. Aku menyambut uluran tangannnya sekilas lalu segera menariknya kembali.
"Panggung udah siap, sebentar lagi pasti tamu banyak yang datang." Perempuan itu menunjuk ke arah panggung yang berada di sudut ruangan.
"Lin, ayo. Kamu tunggu di sebelah sana saja," ajak Rimba.
Sebelum mengekori Rimba aku melirik pada perempuan yang bernama Cindy itu. Bisa kulihat, dia pun menatapku dengan tatapan ... nyalang.
Aku tak peduli. Toh kenal pun nggak.
"Tunggu di sini ya, aku naik panggung dulu," ujar Rimba. Aku mengangguk malas.
Tak lama, live musik pun dimulai. Ternyata Rimba selain pemain gitar juga sebagai vokalis. Tak kusangka, ternyata suaranya merdu juga. Aku bisa melihat tatapan kagum dari para tamu yang datang.
"Vokalisnya ganteng, ya."
"Heem. Siapa sihz namanya. Dia kan selalu main band di sini setiap weekend."
Aku bisa mendengar bisik-bisik dari tamu yang berada tak jauh dariku. Sepertinya mereka sengaja ingin melihat permainan musik dari dekat.
Sih, menurutku sih biasa aja.
"Hai, Aline, kamu siapanya Rimba?" Tiba-tiba terdengar pertanyaan dari swbelah kiriku. Aku menoleh. Cindy.
"Aku ... cuma sodaranya," ucapku bohong.
"Oh, aku pikir kamu ceweknya," ucap Cindy dengan wajah mulai bersahabat.
Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu."Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami."Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.Aku menggeleng."Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku."Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku."Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam."Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus."Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah,
"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku."Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku."Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."Aku dan Rimba saling melempar pandangan."Ah, gak pap
"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke
"Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi."Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati."Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam."Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—""Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku.**"Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku."Beneran kamu mau beli peralatan bayi?"
"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku."Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.Aku mendengkus."Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku. Dia menunduk dan mengangguk pelan."Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya.""Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring."Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sam
Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos."Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih susu formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin,
Aline POVSengaja aku menawarkan harga segitu padanya. Agar harga dirinya semakin jatuh. Dari mana pula, dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kecuali jika dia minjem sama kakaknya.Cih, pake acara nangis segala. Bikin aku jengkel aja.Jujur, sebenernya aku juga merasa kasihan dengan anak itu, tapi aku telanjur benci dengan bapaknya. Apalagi saat kulihat bayi itu mirip sekali dengan bapaknya, bertambahlah rasa benciku padanya.Ya Tuhan, seandainya saja anak itu perempuan, dan mirip aku, pasti aku tidak akan sebenci itu pada anakku sendiri. Tapi ... ya Tuhan ... dia plek ketiplek banget sama bapaknya. Pantesan, saat hamil dulu aku begitu menyukai bau tubuhnya. Apa itu pengaruh ya? Ah, aku gak peduli.Ataukah karena aku begitu membenci Rimba, hingga bayi itu begitu mirip dengan dia? Bukankah kata orang kalau benci suka jadi mirip?Satu syarat lagi, aku mau memberikan ASI, tapi dengan menggunakan pompa ASI. Aku tidak mau menyusuinya secara langsung. Aku tidak mau kalau sampai merasa
"Kasian, ini, nangisnya udah kejer-kejer begini." Rimba menawar. Aku mencebik kesal. Ya sudahlah, mungkin akan lebih gampang juga jika aku langsung menyusuinya sekali-kali."Ya sudah, sini," ujarku padanya. Wajah Rimba tampak semringah. Dia lalu menyerahkan bayi yang baru berumur tiga minggu itu padaku. Aku risi dan kaku. Kok bisa ya, dia laki-laki tapi menggendong bayi dengan nyaman? Aku aja merasa kerepotan."Begini, Lin," katanya sambil membetulkan posisi tubuhku juga Rasya. Ada benernya juga. Posisiku sekarang jauh lebih nyaman.Aku mulai membuka baju bagian atas. Terlihat Rasya langsung mengemut payudaraku. Rimba melihat kami dengan tatapan haru."Heh, sana jauh-jauh. Mau ngintip, ya, kamu?" tuduhku. Dia melengos."Kita ini kan suami istri, Lin. Tidak ada batasan aurat," sanggahnya."Itu kan menurutmu, buatku, kamu itu bukan siapa-siapa!""Ya sudah, aku tunggu di luar saja kalau kamu gak suka aku di sini." Dia berbalik. Aku hanya bisa mendelik kesal. Rasya menyedot dengan kuat,