Share

Bab 3

Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata ini berusaha kubuka. Perlahan kubuka mata dan memindai ruangan serba putih ini.

"Aline?" terdengar suara Mama.

"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya lagi. Tak kuhiraukan. 

"Mereka benar-benar tidak punya perasaan," ucap Papa. 

"Terutama si Rangga itu. Dia pengecut," timpal Mama. 

"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ya, Ma?" terdengar Papa bertanya. 

"Jangan, Pa. Kalau kita lapor polisi, nanti semua keluarga besar kita akan tau. Belum lagi jika ada orang mulut ember yang membuat viral kasus ini. Pasti Aline akan kembali jadi korban. 

"Dia sudah sakit hati karena perceraiannya, lalu trauma karena diperkosa. Apakah harus ditambah lagi dengan nama baiknya yang tercemar? Kita harus pikirkan semua ini baik-baik, Pa, jangan sampai Aline, terluka untuk kesekian kalinya" jawab Mama. 

Aku hanya bisa menitikan air mata. Benar kata Mama. Jika aku lapor polisi, semua orang akan tahu. Aibku semakin menyebar. Betapa menderitanya seorang korban perkosaan. 

Aku sungguh membenci manusia biadab itu hingga ke ubun-ubun. 

*

 Dua bulan berlalu, aku tentu saja kembali tinggal di rumah orang tua. Aku tidak mau keluar rumah. Tak ingin rasanya bertemu siapa pun. Aku takut jika mereka bertanya tentang pernikahanku yang hancur dalam hitungan jam. 

Aku berusaha menghilangkan trauma, walau sulit untuk melupakan. Bayangan menjijikan itu, kerap kali hadir dalam mimpi dan membuatku susah untuk memejamkan mata kembali.

"Aline!" Suara Mama terdengar dari balik pintu. Aku rasanya enggan untuk bangun. Diri ini bagaikan tak bertenaga. 

"Ya, Ma," jawabku enggan. 

"Bangun, ayo makan dulu. Papa udah nunggu di meja makan." Wajah Mama menyembul dari balik pintu dengan senyum manisnya.

Aku bangkit. Wajahku rasanya lengket sekali. Tubuhku pun, tercium bau tak enak. Rasanya aku ingin muntah. 

Mulut ini tak biasanya terasa pahit. Aku segera ke kamar mandi. Guyuran air sepertinya akan membuat tubuhku kembali segar. 

Kutuangkan sedikit shampo ke telapak tangan. Wanginya mendadak tercium begitu menyengat. Aku tak kuasa menahan gejolak dari dalam perut. Kucoba keluarkan, tapi hanya cairan pahit yang keluar. 

Aku segera menyudahi mandi yang sudah pasti tak bersih ini. Rasanya kamar mandi ini mendadak bau tak enak. Segala wewangian yang tercium, begitu membuatku pusing dan mual. 

Setelah berganti baju, aku segera ke ruang makan. Papa terlihat sedang menikmati secangkir kopi. Wanginya begitu menggoda, padahal biasanya aku tak suka. 

"Udah mandi, Sayang? Ayo sini makan. Mama udah buatkan nasi goreng seafood kesukaan kamu," ujar Mama sambil menyendok nasi godeng ke piring, lalu menaruhnya di depanku. 

Wangi udang yang biasanya sangat kusuka, tiba-tiba membuatku mual. Aku segera berlari ke wastafel. Rasa ingin muntah, tapi tak bisa keluar.

"Kamu kenapa, Lin?" tanya Mama dari meja makan.

"Entahlah, Ma. Mungkin masuk angin," jawabku sambil membersihkan mulut. Kulihat pantulan wajah di cermin.  Pucat. 

"Mau ke dokter?" tanya Mama di sela suapannya. Aku bisa melihat bayangannya dari dalam cermin. 

Aku menggeleng.

"Aline gak apa-apa, Ma. Aline cuma mau minum tolak angin aja," jawabku sambil berlalu menuju bufet, di mana kotak obat berada. Mama selalu sedia obat masuk angin itu, karena Papa sering ke luar kota. Obat andalan yang harus selalu dibawa. 

Terlihat selintas di deretan paling bawah, di mana biasanya Mama suka menyimpan persediaan pembalut untukku. 

Deg! 

Rasanya aku sudah lama tidak menggunakannya. Kenapa sampai lupa? Saking fokus ingin menghilangkan kenangan buruk itu, aku sampai lupa dengan hal yang satu itu. 

Aku mendadak lemas, lalu luruh ke lantai. Aku tak mengharapkan jika semua ini benar terjadi. Jantungku berdegup makin kencang. 

'Ya, Tuhan, semoga hanya gangguan hormon saja.' Aku berdoa dalam hati. 

Aku segera bangkit dan ingin kembali ke kamar. 

"Lin, mau ke mana? Makan dulu," teriak Mama yang kuabaikan begitu saja. 

Dengan hati yang kacau, aku mengambil dompet dan memakai jaket. Tubuhku mendadak terasa dingin. 

Aku ambil kunci mobil di atas nakas dan segera menuju garasi. Tak kupedulikan teriakan Mama juga Papa yang menanyakan aku akan pergi ke mana. 

Wangi parfum kopi dalam mobil sedikit mengobati rasa pusing juga mual yang melanda. 

Ah, kenapa aku mendadak suka dengan aroma kopi? 

Aku segera menjalankan mobil tanpa tujuan. Saat menemukan sebuah apotik, aku segera memarkir mobil dan turun untuk membeli benda itu. 

"Cari apa, Mbak?" tanya penjaga apotik. 

Aku melirik ke kiri dan kanan. Tak begitu banyak orang. Kenapa rasanya menjadi sebuah hal yang menakutkan saat hendak membelinya. Mungkin hal itu akan menjadi hal membanggakan jika aku dan Mas Rangga masih berstatus suami istri. Tapi ini ... ah menjijikan sekali saat aku mengingatnya. 

Setelah membeli alat itu, aku membeli sebungkus besar permen kopi untuk menetralisir rasa pahit di lidah. Entahlah, kenapa hanya wangi kopi yang aku suka. 

Saat melihat minuman bersoda, entah mengapa terlintas aku ingin membelinya. 

Sekantung kresek besar dengan isi permen kopi juga minuman bersoda kutenteng ke dalam mobil, lalu menyimpannya di jok belakang.

Aku terdiam di balik kemudi, membayangkan yang akan aku hadapi selanjutnya jika hasil dari alat itu menunjukkan sesuatu yang tidak aku harapkan. 

"Calm down, Aline. Tenang dulu. Semuanya akan baik-baik saja," hiburku pada diri sendiri. 

Sejenak aku berpikir, lalu memutuskan untuk kembali pulang. 

Sesampainya di rumah aku segera masuk kamar, tak lupa membawa barang belanjaan. 

Aku mencari benda kecil itu dari kresek kecil. Membuka bungkusnya dan segera ke kamar mandi. Sengaja aku beli beberapa. Sekarang aku akan mencobanya. Walaupun katanya urin pertama di pagi hari yang paling akurat. 

Aku bergegas mencelupkan benda itu pada wadah yang telah kuisi urin. Beberapa saat menunggu, dan .... 

Tubuhku luruh. Rasanya tak percaya jika Tuhan malah menakdirkan ini untukku. Janin terkutuk itu sepertinya benar tumbuh dalam rahimku. 

Kenapa Tuhan? Kenapa harus seperti ini? 

Tidak Aline. Kamu jangan lemah! Masih banyak cara untuk melenyapkan bayi sialan ini. 

Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu! 

Aku membereskan peralatan dan membuangnya ke tempat sampah. Aku bergegas   mengambil ponsel dan  mencari informasi dari internet tentang hal-hal yang bisa menyebabkan keguguran. Mumpung janin ini masih kecil, pasti mudah untuk melenyapkannya. 

Aku hidupkan musik sekeras-kerasnya. Dengan menggunakan headset aku mendengarkan musik itu sambil jejingkrakan. Sebuah minuman bersoda aku teguk beberapa kali hingga tandas. Berharap janin sialan ini akan pergi dan mati. 

Sayup terdengar suara Mama yang memanggilku beberapa kali. Tak kuhiraukan. Aku menari mengikuti suara musik yang memekakkan telinga. 

Aku hanya ingin sendiri dan menyuruhnya pergi untuk mati. 

Salahmu sendiri tercipta dari seorang ayah yang durjana. Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu!

Berulang kali kalimat itu kuucapkan dalam hati. Berharap dia mau mengerti. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status