Share

Bab 3

last update Last Updated: 2022-06-18 13:03:07

Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata ini berusaha kubuka. Perlahan kubuka mata dan memindai ruangan serba putih ini.

"Aline?" terdengar suara Mama.

"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya lagi. Tak kuhiraukan. 

"Mereka benar-benar tidak punya perasaan," ucap Papa. 

"Terutama si Rangga itu. Dia pengecut," timpal Mama. 

"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ya, Ma?" terdengar Papa bertanya. 

"Jangan, Pa. Kalau kita lapor polisi, nanti semua keluarga besar kita akan tau. Belum lagi jika ada orang mulut ember yang membuat viral kasus ini. Pasti Aline akan kembali jadi korban. 

"Dia sudah sakit hati karena perceraiannya, lalu trauma karena diperkosa. Apakah harus ditambah lagi dengan nama baiknya yang tercemar? Kita harus pikirkan semua ini baik-baik, Pa, jangan sampai Aline, terluka untuk kesekian kalinya" jawab Mama. 

Aku hanya bisa menitikan air mata. Benar kata Mama. Jika aku lapor polisi, semua orang akan tahu. Aibku semakin menyebar. Betapa menderitanya seorang korban perkosaan. 

Aku sungguh membenci manusia biadab itu hingga ke ubun-ubun. 

*

 Dua bulan berlalu, aku tentu saja kembali tinggal di rumah orang tua. Aku tidak mau keluar rumah. Tak ingin rasanya bertemu siapa pun. Aku takut jika mereka bertanya tentang pernikahanku yang hancur dalam hitungan jam. 

Aku berusaha menghilangkan trauma, walau sulit untuk melupakan. Bayangan menjijikan itu, kerap kali hadir dalam mimpi dan membuatku susah untuk memejamkan mata kembali.

"Aline!" Suara Mama terdengar dari balik pintu. Aku rasanya enggan untuk bangun. Diri ini bagaikan tak bertenaga. 

"Ya, Ma," jawabku enggan. 

"Bangun, ayo makan dulu. Papa udah nunggu di meja makan." Wajah Mama menyembul dari balik pintu dengan senyum manisnya.

Aku bangkit. Wajahku rasanya lengket sekali. Tubuhku pun, tercium bau tak enak. Rasanya aku ingin muntah. 

Mulut ini tak biasanya terasa pahit. Aku segera ke kamar mandi. Guyuran air sepertinya akan membuat tubuhku kembali segar. 

Kutuangkan sedikit shampo ke telapak tangan. Wanginya mendadak tercium begitu menyengat. Aku tak kuasa menahan gejolak dari dalam perut. Kucoba keluarkan, tapi hanya cairan pahit yang keluar. 

Aku segera menyudahi mandi yang sudah pasti tak bersih ini. Rasanya kamar mandi ini mendadak bau tak enak. Segala wewangian yang tercium, begitu membuatku pusing dan mual. 

Setelah berganti baju, aku segera ke ruang makan. Papa terlihat sedang menikmati secangkir kopi. Wanginya begitu menggoda, padahal biasanya aku tak suka. 

"Udah mandi, Sayang? Ayo sini makan. Mama udah buatkan nasi goreng seafood kesukaan kamu," ujar Mama sambil menyendok nasi godeng ke piring, lalu menaruhnya di depanku. 

Wangi udang yang biasanya sangat kusuka, tiba-tiba membuatku mual. Aku segera berlari ke wastafel. Rasa ingin muntah, tapi tak bisa keluar.

"Kamu kenapa, Lin?" tanya Mama dari meja makan.

"Entahlah, Ma. Mungkin masuk angin," jawabku sambil membersihkan mulut. Kulihat pantulan wajah di cermin.  Pucat. 

"Mau ke dokter?" tanya Mama di sela suapannya. Aku bisa melihat bayangannya dari dalam cermin. 

Aku menggeleng.

"Aline gak apa-apa, Ma. Aline cuma mau minum tolak angin aja," jawabku sambil berlalu menuju bufet, di mana kotak obat berada. Mama selalu sedia obat masuk angin itu, karena Papa sering ke luar kota. Obat andalan yang harus selalu dibawa. 

Terlihat selintas di deretan paling bawah, di mana biasanya Mama suka menyimpan persediaan pembalut untukku. 

Deg! 

Rasanya aku sudah lama tidak menggunakannya. Kenapa sampai lupa? Saking fokus ingin menghilangkan kenangan buruk itu, aku sampai lupa dengan hal yang satu itu. 

Aku mendadak lemas, lalu luruh ke lantai. Aku tak mengharapkan jika semua ini benar terjadi. Jantungku berdegup makin kencang. 

'Ya, Tuhan, semoga hanya gangguan hormon saja.' Aku berdoa dalam hati. 

Aku segera bangkit dan ingin kembali ke kamar. 

"Lin, mau ke mana? Makan dulu," teriak Mama yang kuabaikan begitu saja. 

Dengan hati yang kacau, aku mengambil dompet dan memakai jaket. Tubuhku mendadak terasa dingin. 

Aku ambil kunci mobil di atas nakas dan segera menuju garasi. Tak kupedulikan teriakan Mama juga Papa yang menanyakan aku akan pergi ke mana. 

Wangi parfum kopi dalam mobil sedikit mengobati rasa pusing juga mual yang melanda. 

Ah, kenapa aku mendadak suka dengan aroma kopi? 

Aku segera menjalankan mobil tanpa tujuan. Saat menemukan sebuah apotik, aku segera memarkir mobil dan turun untuk membeli benda itu. 

"Cari apa, Mbak?" tanya penjaga apotik. 

Aku melirik ke kiri dan kanan. Tak begitu banyak orang. Kenapa rasanya menjadi sebuah hal yang menakutkan saat hendak membelinya. Mungkin hal itu akan menjadi hal membanggakan jika aku dan Mas Rangga masih berstatus suami istri. Tapi ini ... ah menjijikan sekali saat aku mengingatnya. 

Setelah membeli alat itu, aku membeli sebungkus besar permen kopi untuk menetralisir rasa pahit di lidah. Entahlah, kenapa hanya wangi kopi yang aku suka. 

Saat melihat minuman bersoda, entah mengapa terlintas aku ingin membelinya. 

Sekantung kresek besar dengan isi permen kopi juga minuman bersoda kutenteng ke dalam mobil, lalu menyimpannya di jok belakang.

Aku terdiam di balik kemudi, membayangkan yang akan aku hadapi selanjutnya jika hasil dari alat itu menunjukkan sesuatu yang tidak aku harapkan. 

"Calm down, Aline. Tenang dulu. Semuanya akan baik-baik saja," hiburku pada diri sendiri. 

Sejenak aku berpikir, lalu memutuskan untuk kembali pulang. 

Sesampainya di rumah aku segera masuk kamar, tak lupa membawa barang belanjaan. 

Aku mencari benda kecil itu dari kresek kecil. Membuka bungkusnya dan segera ke kamar mandi. Sengaja aku beli beberapa. Sekarang aku akan mencobanya. Walaupun katanya urin pertama di pagi hari yang paling akurat. 

Aku bergegas mencelupkan benda itu pada wadah yang telah kuisi urin. Beberapa saat menunggu, dan .... 

Tubuhku luruh. Rasanya tak percaya jika Tuhan malah menakdirkan ini untukku. Janin terkutuk itu sepertinya benar tumbuh dalam rahimku. 

Kenapa Tuhan? Kenapa harus seperti ini? 

Tidak Aline. Kamu jangan lemah! Masih banyak cara untuk melenyapkan bayi sialan ini. 

Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu! 

Aku membereskan peralatan dan membuangnya ke tempat sampah. Aku bergegas   mengambil ponsel dan  mencari informasi dari internet tentang hal-hal yang bisa menyebabkan keguguran. Mumpung janin ini masih kecil, pasti mudah untuk melenyapkannya. 

Aku hidupkan musik sekeras-kerasnya. Dengan menggunakan headset aku mendengarkan musik itu sambil jejingkrakan. Sebuah minuman bersoda aku teguk beberapa kali hingga tandas. Berharap janin sialan ini akan pergi dan mati. 

Sayup terdengar suara Mama yang memanggilku beberapa kali. Tak kuhiraukan. Aku menari mengikuti suara musik yang memekakkan telinga. 

Aku hanya ingin sendiri dan menyuruhnya pergi untuk mati. 

Salahmu sendiri tercipta dari seorang ayah yang durjana. Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu!

Berulang kali kalimat itu kuucapkan dalam hati. Berharap dia mau mengerti. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 197

    Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 196

    “Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 195

    Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 194

    Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 193

    “Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 192

    Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status