Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata ini berusaha kubuka. Perlahan kubuka mata dan memindai ruangan serba putih ini.
"Aline?" terdengar suara Mama.
"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya lagi. Tak kuhiraukan.
"Mereka benar-benar tidak punya perasaan," ucap Papa.
"Terutama si Rangga itu. Dia pengecut," timpal Mama.
"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ya, Ma?" terdengar Papa bertanya.
"Jangan, Pa. Kalau kita lapor polisi, nanti semua keluarga besar kita akan tau. Belum lagi jika ada orang mulut ember yang membuat viral kasus ini. Pasti Aline akan kembali jadi korban.
"Dia sudah sakit hati karena perceraiannya, lalu trauma karena diperkosa. Apakah harus ditambah lagi dengan nama baiknya yang tercemar? Kita harus pikirkan semua ini baik-baik, Pa, jangan sampai Aline, terluka untuk kesekian kalinya" jawab Mama.
Aku hanya bisa menitikan air mata. Benar kata Mama. Jika aku lapor polisi, semua orang akan tahu. Aibku semakin menyebar. Betapa menderitanya seorang korban perkosaan.
Aku sungguh membenci manusia biadab itu hingga ke ubun-ubun.
*
Dua bulan berlalu, aku tentu saja kembali tinggal di rumah orang tua. Aku tidak mau keluar rumah. Tak ingin rasanya bertemu siapa pun. Aku takut jika mereka bertanya tentang pernikahanku yang hancur dalam hitungan jam.Aku berusaha menghilangkan trauma, walau sulit untuk melupakan. Bayangan menjijikan itu, kerap kali hadir dalam mimpi dan membuatku susah untuk memejamkan mata kembali.
"Aline!" Suara Mama terdengar dari balik pintu. Aku rasanya enggan untuk bangun. Diri ini bagaikan tak bertenaga.
"Ya, Ma," jawabku enggan.
"Bangun, ayo makan dulu. Papa udah nunggu di meja makan." Wajah Mama menyembul dari balik pintu dengan senyum manisnya.
Aku bangkit. Wajahku rasanya lengket sekali. Tubuhku pun, tercium bau tak enak. Rasanya aku ingin muntah.
Mulut ini tak biasanya terasa pahit. Aku segera ke kamar mandi. Guyuran air sepertinya akan membuat tubuhku kembali segar.
Kutuangkan sedikit shampo ke telapak tangan. Wanginya mendadak tercium begitu menyengat. Aku tak kuasa menahan gejolak dari dalam perut. Kucoba keluarkan, tapi hanya cairan pahit yang keluar.
Aku segera menyudahi mandi yang sudah pasti tak bersih ini. Rasanya kamar mandi ini mendadak bau tak enak. Segala wewangian yang tercium, begitu membuatku pusing dan mual.
Setelah berganti baju, aku segera ke ruang makan. Papa terlihat sedang menikmati secangkir kopi. Wanginya begitu menggoda, padahal biasanya aku tak suka.
"Udah mandi, Sayang? Ayo sini makan. Mama udah buatkan nasi goreng seafood kesukaan kamu," ujar Mama sambil menyendok nasi godeng ke piring, lalu menaruhnya di depanku.
Wangi udang yang biasanya sangat kusuka, tiba-tiba membuatku mual. Aku segera berlari ke wastafel. Rasa ingin muntah, tapi tak bisa keluar.
"Kamu kenapa, Lin?" tanya Mama dari meja makan.
"Entahlah, Ma. Mungkin masuk angin," jawabku sambil membersihkan mulut. Kulihat pantulan wajah di cermin. Pucat.
"Mau ke dokter?" tanya Mama di sela suapannya. Aku bisa melihat bayangannya dari dalam cermin.
Aku menggeleng.
"Aline gak apa-apa, Ma. Aline cuma mau minum tolak angin aja," jawabku sambil berlalu menuju bufet, di mana kotak obat berada. Mama selalu sedia obat masuk angin itu, karena Papa sering ke luar kota. Obat andalan yang harus selalu dibawa.
Terlihat selintas di deretan paling bawah, di mana biasanya Mama suka menyimpan persediaan pembalut untukku.
Deg!
Rasanya aku sudah lama tidak menggunakannya. Kenapa sampai lupa? Saking fokus ingin menghilangkan kenangan buruk itu, aku sampai lupa dengan hal yang satu itu.
Aku mendadak lemas, lalu luruh ke lantai. Aku tak mengharapkan jika semua ini benar terjadi. Jantungku berdegup makin kencang.
'Ya, Tuhan, semoga hanya gangguan hormon saja.' Aku berdoa dalam hati.
Aku segera bangkit dan ingin kembali ke kamar.
"Lin, mau ke mana? Makan dulu," teriak Mama yang kuabaikan begitu saja.
Dengan hati yang kacau, aku mengambil dompet dan memakai jaket. Tubuhku mendadak terasa dingin.
Aku ambil kunci mobil di atas nakas dan segera menuju garasi. Tak kupedulikan teriakan Mama juga Papa yang menanyakan aku akan pergi ke mana.
Wangi parfum kopi dalam mobil sedikit mengobati rasa pusing juga mual yang melanda.
Ah, kenapa aku mendadak suka dengan aroma kopi?
Aku segera menjalankan mobil tanpa tujuan. Saat menemukan sebuah apotik, aku segera memarkir mobil dan turun untuk membeli benda itu.
"Cari apa, Mbak?" tanya penjaga apotik.
Aku melirik ke kiri dan kanan. Tak begitu banyak orang. Kenapa rasanya menjadi sebuah hal yang menakutkan saat hendak membelinya. Mungkin hal itu akan menjadi hal membanggakan jika aku dan Mas Rangga masih berstatus suami istri. Tapi ini ... ah menjijikan sekali saat aku mengingatnya.
Setelah membeli alat itu, aku membeli sebungkus besar permen kopi untuk menetralisir rasa pahit di lidah. Entahlah, kenapa hanya wangi kopi yang aku suka.
Saat melihat minuman bersoda, entah mengapa terlintas aku ingin membelinya.
Sekantung kresek besar dengan isi permen kopi juga minuman bersoda kutenteng ke dalam mobil, lalu menyimpannya di jok belakang.
Aku terdiam di balik kemudi, membayangkan yang akan aku hadapi selanjutnya jika hasil dari alat itu menunjukkan sesuatu yang tidak aku harapkan.
"Calm down, Aline. Tenang dulu. Semuanya akan baik-baik saja," hiburku pada diri sendiri.
Sejenak aku berpikir, lalu memutuskan untuk kembali pulang.
Sesampainya di rumah aku segera masuk kamar, tak lupa membawa barang belanjaan.
Aku mencari benda kecil itu dari kresek kecil. Membuka bungkusnya dan segera ke kamar mandi. Sengaja aku beli beberapa. Sekarang aku akan mencobanya. Walaupun katanya urin pertama di pagi hari yang paling akurat.
Aku bergegas mencelupkan benda itu pada wadah yang telah kuisi urin. Beberapa saat menunggu, dan ....
Tubuhku luruh. Rasanya tak percaya jika Tuhan malah menakdirkan ini untukku. Janin terkutuk itu sepertinya benar tumbuh dalam rahimku.
Kenapa Tuhan? Kenapa harus seperti ini?
Tidak Aline. Kamu jangan lemah! Masih banyak cara untuk melenyapkan bayi sialan ini.
Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu!
Aku membereskan peralatan dan membuangnya ke tempat sampah. Aku bergegas mengambil ponsel dan mencari informasi dari internet tentang hal-hal yang bisa menyebabkan keguguran. Mumpung janin ini masih kecil, pasti mudah untuk melenyapkannya.
Aku hidupkan musik sekeras-kerasnya. Dengan menggunakan headset aku mendengarkan musik itu sambil jejingkrakan. Sebuah minuman bersoda aku teguk beberapa kali hingga tandas. Berharap janin sialan ini akan pergi dan mati.
Sayup terdengar suara Mama yang memanggilku beberapa kali. Tak kuhiraukan. Aku menari mengikuti suara musik yang memekakkan telinga.
Aku hanya ingin sendiri dan menyuruhnya pergi untuk mati.
Salahmu sendiri tercipta dari seorang ayah yang durjana. Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu!
Berulang kali kalimat itu kuucapkan dalam hati. Berharap dia mau mengerti.
Setelah beberapa hari janin ini tak juga mau keluar. Aku mulai merasa frustrasi. Apakah harus mencari klinik aborsi ilegal? Tapi di mana? Aku mondar-mandir di kamar sambil berpikir. Apa aku minum obat-obatan saja ya, biar bayi sialan ini keracunan? 'Iihh kenapa kamu gak mati saja, sih!' umpatku dalam hati. Aku mengendap keluar. Kulihat Mama sedang asik menonton acara TV kesayangannya. Aku segera ke bufet di mana obat-obatan berada. Kuambil semua yang ada dan segera mengembalikan kotaknya ke tempat semula. Berbagai obat pereda nyeri dan entah obat apalagi ýang ada di depanku. Aku mengambil beberapa butir dan menelannya bersama segelas air putih. 'Semoga kau mati bayi sialan! Aku tidak jngin terikat denganmu, apalagi dengan ayahmu.' Beberapa saat kemudian jantungku berdetak semakun kencang, mulutku terasa semakin pahit dan kesadaranku mulai hilang. Semuanya gelap, sangat gelap. **Entah apa yang terjadi, saat kubuka mata, aku kembali berada di ruangan serba putih. Aku memindai se
"Lin, aku kerja dulu ya," pamit Rimba yang kujawab dengan gumaman. Rasanya tak penting banget dia harus pamit. Mau pergi ke neraka pun aku tak peduli. Dia ulurkan tangannya padaku. Alisku bertaut."Apaan?" tanyaku ketus. "Salim. Doain supaya aku dapat rejeki yang halal buat kamu juga anak kita," ucapnya yang membuatku merasa ... entah. Selama aku pacaran dengan kakaknya, Mas Rangga bahkan tidak pernah bersikap semanis ini. Cih! Modus ini, pasti.Aku melengos."Ya sudah kalau gak mau salim. Aku pergi dulu, ya," ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku. Dia berlalu setelah menenteng tas besar. Entah apa isinya. Sepertinya sebuah gitar. Suami? Hah! Aku bahkan tidak tau dia bekerja di mana dan sebagai apa. Dan aku pun tak peduli. Menjelang pukul sepuluh malam orang itu baru pulang. Aku sengaja tak menghiraukannya. Saat dia mengucapkan salam pun, hanya Mama yang menjawabnya. Acara di TV rasanya lebih menarik daripada harus melihat kehadiran orang itu. Orang itu? Aku mulai menyebutnya
Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu."Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami."Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.Aku menggeleng."Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku."Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku."Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam."Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus."Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah,
"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku."Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku."Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."Aku dan Rimba saling melempar pandangan."Ah, gak pap
"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke
"Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi."Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati."Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam."Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—""Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku.**"Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku."Beneran kamu mau beli peralatan bayi?"
"Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku."Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.Aku mendengkus."Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku. Dia menunduk dan mengangguk pelan."Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya.""Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring."Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sam
Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos."Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih susu formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin,