"Mama katanya mau jengungin Bapak Nabila. Ayo, dong." Mas Arfan datang lagi mencari Mama yang masih bersamaku. Plakk! Aku terkejut Mama menamparnya. "Mama kenapa tam-par Arfan?" kesalnya. Menatap Mama tak mengerti. "Kamu jangan menyakiti Nabila." Mas Arfan tetuju padaku menatap tajam. Tangannya yang mengusap pipi lalu diturunkan. Aku menunduk. "Awas kamu kalau sampai meninggalkan, Nabila.""Mama ini kenapa, sih. Mana mungkin aku ninggalin istri aku. Lihat aja, aku masih bersamanya kan?" "Mama cuma mau menantu seperti Nabila. Ayo, Bila, antar Mama lihat Bapakmu." Tanganku di raih Mama. Diajak pergi bersamanya. Aku melihat Mas Arfan yang mematung menatapku curiga serta tak suka. Kemudian tertuju ke depan lagi terus mengikuti Mama. . "Kamu pikir Mama diam aja? Tidak, Nabila. Mama awasi Arfan." Tante Reni rupanya sudah mengawasi Mas Arfan sejak lama. "Maafin Mama ...." Menetes air matanya, karna rasa bersalah terhadapku yang tidak memberitahu dari awal. "Bukan maksud Mama menyakiti
"Kenapa Satya bisa tahu Bapak kamu dirawat?" Mas Arfan mencegah saat aku mau masuk ke ruangan Bapak lagi. Menahan di depan pintu. "Kenapa si orang kaku dan formal itu bisa tau?" ulangnya tak sabar. "Mungkin dari orang tua kamu, Mas." Menghindari tatapannya aku tidak ingin berkata jujur. Kalau aku masih menjalin komunikasi dengannya. "Tidak mungkin." "Mungkin saja. Mamamu cerita." "Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" selidiknya. "Tidak, Mas." Tidak mau terus diintrogasi aku memilih masuk ke dalam. Membiarkan ia dengan kekesalannya sendiri di luar. Malam saat Ibu dan Bapak terlelap, aku mencoba mengirimi Mas Satya pesan.[Maaf atas kejadian tadi, Mas. Kamu jadi terkena pukulan Mas Arfan.]Langsung centang dua biru. [Bukan salah kamu, Nabila. Tidak usah minta maaf.] Aku bernapas lega membaca balasan pesan yang baru masuk. Rupanya dia pun belum tidur. Aku baru bisa kontekan dengannya setelah menunggu Mas Arfan pulang. Aku akan menginap di sini, menemani Ibu. Karna Nizar di rumah da
"Cukup, Mas." Aku menjauhkan tubuh Mas Arfan pelan. Lumatan lembut itu pun berhenti. Menyisakan debar halus karna kali ini dia melakukannya hati-hati. Sampai aku merasa nyaman, namun terpaksa harus dihentikan. "Kenapa. Kamu mau kita langsung ke kamar. Di kamarku atau di kamarmu? Aku mengikut saja maumu." Lelaki itu tersenyum seraya mengusap pipiku lagi. Berbinar matanya oleh rasa senang atas penyerahanku. Dia tertuju lagi pada bibirku karna masih belum puas. Lalu melum-at bibirnya sendiri. "Tidak, Mas. Malam ini kita tetap tidur terpisah. Aku belum mau menyerahkan seutuhnya diriku sebelum Mas Arfan menyanggupi operasi Bapak. Membicarakan dengan orang tua aku dan dokter." "Gampang, Sayang. Besok aku akan ke rumah sakit mengurus semuanya. Dan Dokter akan menjadwalkan kapan operasinya." Yakin dia katakan. "Kamu tidak usah hawatir." "Terimakasih, Mas. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu sekarang aku mau kembali ke kamarku."Sejenak Mas Arfan melongo tak terima. "Tapi, Nabila?""Mas, lak
"Saskia lepas." Panik Mas Arfan menjauhkan tangan istri sirinya. "Kamu apaan jangan teriak di sini.""Kamu bohong! Katamu pergi urusan pekerjaan, tapi pergi bersama pelakor ini!" Saskia memarahi sambil menunjuk-nunjuk aku. Seketika orang berdatangan melihat. "Aku bukan pelakor, aku istri sah. Kamu istri siri yang disembunyikan statusmu lemah dan tidak berhak mengaturku." Semakin meradang perempuan itu mendengarku bicara seperti itu. Hendak menamparku jika Mas Arfan telat menahan tangannya. Lelaki itu menurunkan tangan wanitanya membujuk dengan menggenggam erat. Pemandangan yang membuat panas mata. "Aku minta kamu pulang sekarang. Ya?" "Kamu juga harus pulang, Mas. Kalian tidak boleh pergi!" Aku membuang muka saat Mas Arfan menatapku, pertanda keberangkatan ini tidak mau dibatalkan. Petugas yang membawakan koper kami memberi tahu pesawat kami akan segera Take Off. "Mas Arfan cepat, pesawat mau berangkat." Kuikuti langkah petugas itu setelah memberitahunya. "Dasar pelakor kamu! Gan
Rambut basah subuh-subuh pertanda kini aku telah menjadi istri seutuhnya. Membungkusnya dengan handuk kecil setelah disisir. Aku berbalik dari cermin melihat lelaki itu yang masih tidur. Berjalan dan duduk di sisinya. Dia suamiku. Mungkin keputusanku ini disayangkan bagi sebagian besar orang. Mau-maunya menyerahkan diri pada lelaki yang telah menipu dan memiliki perempuan lain. Pada awalnya aku pun tetap mempertahankan. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak hal yang kuketahui dan banyak hal terjadi, aku akhirnya merelakan. Aku melakukannya bukan tanpa pertimbangan. Biarlah orang lain mengatai perempuan bod-oh, mereka hanya tidak mengerti ada di posisi aku. Jika pun hal buruk itu terjadi nanti, soal dia yang akan melepasku. Sebenarnya bukan kerugian besar karna dia memberi imbalan tidak sedikit. Untuk orang biasa sepertiku bisa menjadi kaya mendadak meski jadi janda. Tapi, aku tidak akan mengalah untuk Saskia! Segala sakitku harus terbayar dengan meyingkirkannya. Dia tak pantas di s
"Kamu membuka blokirannya, Mas?" Aku menatapnya murka dan sangat kecewa."Tidak, Nabila.""Bohong! Buktinya Saskia bisa menghubungimu.""Dia memang menghubungiku tapi dengan nomor lain." Melihatku menggeleng tak percaya Mas Arfan mendekat. "Lihat, ini nomor baru di ponselku," tunjuknya pada kontak yang baru menghubungi dan sudah dimatikan. Lalu dia menunjukkan nomor ponsel Saskia yang masih dalam blokir. "Dan ini nomor Saskia, aku tidak bohong.""Kamu senang dia menghubungimu?""Aku tidak menyangka kalau itu dia, Nabila.""Dan dia memintamu pulang?""Kita sudahi honeymoon ini.""Kita baru tiga hari." "Aku harus pulang.""Kita habiskan dulu masa liburan kita." "Kita ke sini lagi lain waktu.""Kapan? Belum tentu itu terjadi. Apalagi dengan niatmu yang ingin meninggalkan aku." Lelaki itu tidak menimpali lagi beranjak ke dalam. Aku mengikutinya dengan menghentakkan kaki kesal. "Mas!""Siapkan barang-barang kamu. Kita pergi sekarang juga. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan Saskia.""Se
Saat Mas Arfan benar-benar tidur, kali ini aku tidak menyiakan kesempatan memotong rambutnya. Melakukan hati-hati memasukkan dalam kantong plastik kecil. Beres, berlahan aku bangkit dan turun dari ranjang. Ke luar kamar. Menyimpan sampel itu di kamarku sendiri. Disembunyikan dengan aman. Setelahnya baru aku bisa tidur nyenyak. Sampel Mas Arfan berhasil aku dapatkan tinggal sampel Savia. Aku akan mencari cara. "Ternyata kamu tidur di sini." Aku langsung terjaga dari tidur saat mendengar suara Mas Arfan. Lelaki itu sudah duduk di sisiku. "Mas?""Kenapa pindah?" "Mm ... nggak apa-apa. Pengen aja tidur di sini.""Baru satu malam kamu tidur denganku, sudah tidak mau?" "Mas, ini masih malam. Kamu tidur lagi." Kualihkan pertanyaannya ke hal lain. Tidak menyangka dia akan bangun. Aku terkejut mengetahuinya tiba-tiba sudah ada di sini. Beruntungnya sudah berhasil mengambil rambutnya, semoga dia tidak menyadari. "Aku mau tidur di sini." Jadi, dia tidak mau tidur tanpa aku? Sehingga datang
"Tidak apa-apa." Lelaki itu menatapku curiga dan mendekat. Astagfirullah, jantungku deg-dekkan kencang dan panas terasa saking takut ketahuan. Jangan sampai dia mengambil sampel itu. "Apa yang kamu sembunyikan di belakang.""Nggak nyembunyiin apa-apa." Aku semakin tegang dia sudah dekat di hadapan. Mas Arfan mencondongkan tubuhnya. Terus menelisik mencari sesuatu di kedalaman mataku. Aku menunduk menghindarinya. Harus melakukan apa? Takut dia tiba-tiba menarik tanganku.Tiba-tiba terlintas hal gila. Aku menarik kepalanya membungkam bibir lelaki itu. Sambil menyembunyikan sampel di bawahku dengan tangan yang lain. Tidak kupedulikan Mas Arfan yang terkejut. Terus aku menahannya. "Maass!!!" Terdengar lengkingan Saskia. Dia melangkah cepat menarik tubuh Mas Arfan hingga terlepas dariku. "Mas kenapa malah melakukan itu? Katanya hanya mau mengajak makan?!" Saskia memarahinya lalu tertuju padaku. "Pasti karna kamu rayu. Dasar gatal!" "Jangan, Saskia." Mas Arfan menahan tangannya yang su