Share

MEMBUKTIKAN JANJI

Author: Bawah Tanah
last update Last Updated: 2025-10-16 13:38:42

"Ya Mak, ayo aku pun ingin belajar sini berasnya aku cuci Mak, tapi kasih tahu bagaimana cara mencucinya."

Ibu Sarti mengangguk langsung menyerahkan beras tersebut ke Parman, kemudian Parman cuci di baskom kecil dengan arahan ibunya. Setelah itu, Parman segera menyalakan api di tungku tak lama beras pun sudah mulai dimasak, malam itu betul-betul Parman belajar tata cara masak dari awal hingga akhir.

5 menit kemudian mereka telah makan bersama walaupun hanya dengan ikan asin dan timun, namun tidak menghilangkan rasa nikmat yang mereka rasakan dan tentu saja, kini dibarengi rasa bahagia yang luar biasa tidak seperti sebelumnya, ibu Sarti selalu dibuat pusing oleh Parman.

Keesokan harinya Parman segera membeli kail pancing bersama benangnya, kalau joran ya buat sendiri dari bambu. begitu selesai segera pamitan terhadap ibunya ingin memulai pekerjaan yang ingin dijalaninya setiap harinya sesuai janjinya terhadap ibunya.

"Silakan Mak doakan, semoga kamu berhasil walaupun dengan cara kecil seperti ini, tapi kan tidak menutup kemungkinan jalan kecil inilah yang akan membuat kamu berhasil menggapai cita-citamu yang ingin kaya raya." Parman mengangguk.

"Sebab yang namanya pekerjaan itu walaupun terlihat besar keuntungannya gede, belum tentu bisa membuat kita kaya, tapi dengan jalan sekecil apapun contohnya kamu memancing ikan dikali, namun kalau yang maha kuasa telah mentakdirkan kamu harus kaya raya, mau apapun caranya pasti akan terjadi." Tangan keriput wanita setengah baya itu menepuk-nepuk pundak Putra kesayangan.

"Jadinya, jangan putus asa lakukan-lakukan dan lakukan terus apapun keahlianmu."

"Baik Mak, kalau begitu aku permisi, mudah-mudahan hari ini aku berhasil mendapatkan ikan banyak."

"Amin... Doa Mak selalu menyertaimu Parman."

Sesudah itu Parman segera melangkahkan kaki keluar dari rumah panggungnya menuju sungai besar yang ada di daerah kampung tersebut. sepanjang perjalanan Parman selalu berpikir mulai dari mana dan seperti apa nanti di sungai.

"Huh..." Menarik nafas dalam-dalam. "Mudah-mudahan, jalan ini yang terbaik untukku bisa membuat aku menggapai keinginan seperti kata Mak, mau seperti apapun pekerjaan harus aku jalankan." Gumamnya lirih penuh pengharapan.

Parman melangkah mantap menyusuri jalan setapak yang berkelok di pinggir kampungnya, tangan kanannya erat menggenggam joran pancing hasil buatannya sendiri dari bambu pilihan.

Setiap langkahnya penuh harap, membawa kenangan masa kecil yang selalu dihabiskan di tepi sungai besar itu walaupun hanya sekedar main. Sesampainya di bibir air, matanya menelusuri arus yang mengalir pelan, mencari sudut yang menurutnya paling berpotensi menyimpan ikan.

Ia berjalan perlahan ke arah hulu, melewati bebatuan yang licin dan akar-akar pohon yang menjuntai ke air. Setelah menemukan sebuah cekungan yang tenang, Parman segera membongkar kantong kecil di pinggangnya untuk mencari cacing. Jari-jarinya terampil menggenggam cacing merah yang masih bergerak, lalu memasangnya dengan hati-hati di kail pancing.

Duduk bersila di batu besar, ia melemparkan kailnya ke air dengan harapan besar. Waktu berlalu, namun permukaan sungai tetap tenang tanpa riak tanda ikan menyambar umpan. Wajah Parman mulai menampakkan kerut kebingungan, matanya terus memandang ke titik yang sama, berharap ada perubahan.

Namun, sampai senja mulai merunduk, belum ada satu pun ikan yang diperolehnya. Heningnya suasana sungai seolah menggambarkan keteguhan hatinya yang tak mudah menyerah.

"Aduh hari sudah mulai sore..." Telapak tangannya menepuk jidat. "Kenapa belum juga ada satupun ikan yang menyangkut ke kail sedangkan umpan terus dimakan? Aneh ini tempat apaan sesungguhnya, kalau dari gerakan airnya sepertinya terlihat banyak ikan, tapi tidak ada satupun yang aku dapatkan?"

Akhirnya setelah lama duduk Parman berdiri di tepi sungai itu, tatapannya kosong menatap langit jingga yang mulai merona, pertanda senja segera menyapa. Angin sore menyapu wajahnya yang lelah, namun hatinya lebih berat dari beban di pundak.

Ia tahu, pulang dengan tangan kosong akan membuat Mak-nya kecewa, bahkan mungkin sedih. Harapannya menangkap ikan hari itu begitu besar, untuk membeli beras dan lauk agar mereka tidak kelaparan malam ini. Namun, ikan tak satu pun menyambar kailnya.

Matanya terpaku pada sebuah pohon besar di seberang sungai, ranting-rantingnya merambat ke langit, seakan menantang waktu yang terus berjalan. Parman seolah menatap sesuatu yang tak kasat mata, harapan yang tak kunjung datang, atau mungkin mimpi yang mulai pudar.

Nafasnya berat, dan jari-jarinya menggenggam benang pancing dengan kaku, seolah itu satu-satunya pegangan di tengah kebingungan dan keputusasaan yang menggerogoti hatinya. Sesekali ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun dalam hatinya ada gelombang kegelisahan yang tak bisa dihalau.

Parman kembali duduk terpaku di atas batu besar di tepi sungai itu, wajahnya memerah akibat panas terik dan rasa frustrasi yang menggunung. Dari pagi hingga sore, kail pancingnya tak satu pun disentuh ikan, padahal umpan cacing yang ia bawa hampir habis.

Dengan napas terengah, ia akhirnya melepaskan suara lantang yang pecah di udara: "Siapapun yang bisa menolongku, kalau wanita akan aku nikahi, kalau laki-laki akan ku jadikan saudara baik!" Teriakannya menggema, bercampur dengan gemuruh deras air sungai yang mengalir tak henti.

Setelah berulang kali memekik, Parman terdiam, menunduk dan menatap benang pancing yang tetap diam, seolah mengejek kesabarannya.

Matanya menyiratkan keputusasaan, namun di balik itu ada bara tekad yang tak kunjung padam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gelombang kemarahan yang menggerogoti hatinya, lalu kembali menunggu, berharap keajaiban datang sebelum cacing terakhir habis termakan waktu.

Parman menghela napas panjang, tubuhnya terkulai lemas di atas batu besar yang dingin. Matanya terpejam, menahan lelah dan kecewa karena hari hampir gelap, namun kailnya belum juga mendapat satu ekor ikan pun. Angin sungai yang sepoi-sepoi menyapu rambutnya yang mulai basah oleh keringat, seolah ingin menghibur kegagalannya.

Di seberang sungai, tersembunyi di balik dedaunan rimbun pohon besar, entah dari mana munculnya tiba-tiba ada seorang wanita. Sosok wanita itu duduk tenang di atas cabang yang kokoh.

Bajunya putih seperti salju rambutnya hitam tergerai diterpa angin sore, dan matanya merah menyala, menyiratkan aura misterius yang sulit dijelaskan. Wajahnya cantik, namun ada kesan dingin yang menusuk setiap kali tatapannya menyorot ke arah Parman.

Tiba-tiba, suara lembut yang tak seperti manusia biasa terdengar, mengalun halus dari arah wanita itu, memecah kesunyian sore itu, “Angkat jorannya...” Bisikan itu seperti melayang di udara, penuh pesona, namun juga membawa sesuatu yang ganjil.

Parman yang masih terpejam, tak menyadari ada suara asing yang memanggilnya. Dia hanya merasakan hawa aneh yang merayap di kulitnya, membuat tubuhnya sedikit tegak, namun matanya tetap terpejam, belum siap menerima kenyataan hari itu pulang dengan tangan hampa.

"Mas... Jangan malah diam aja, segera angkat jorannya, itu ikan udah banyak berkumpul."

Kali ini telinga Parman mendengar dengan jelas suara wanita itu, sontak membuka matanya dan bangun dari tidurnya, ia menggilirkan tatapannya ke segala arah.

"Suara siapa yang menyuruhku mengangkat joran?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   MEMBUKTIKAN JANJI

    "Ya Mak, ayo aku pun ingin belajar sini berasnya aku cuci Mak, tapi kasih tahu bagaimana cara mencucinya." Ibu Sarti mengangguk langsung menyerahkan beras tersebut ke Parman, kemudian Parman cuci di baskom kecil dengan arahan ibunya. Setelah itu, Parman segera menyalakan api di tungku tak lama beras pun sudah mulai dimasak, malam itu betul-betul Parman belajar tata cara masak dari awal hingga akhir. 5 menit kemudian mereka telah makan bersama walaupun hanya dengan ikan asin dan timun, namun tidak menghilangkan rasa nikmat yang mereka rasakan dan tentu saja, kini dibarengi rasa bahagia yang luar biasa tidak seperti sebelumnya, ibu Sarti selalu dibuat pusing oleh Parman. Keesokan harinya Parman segera membeli kail pancing bersama benangnya, kalau joran ya buat sendiri dari bambu. begitu selesai segera pamitan terhadap ibunya ingin memulai pekerjaan yang ingin dijalaninya setiap harinya sesuai janjinya terhadap ibunya. "Silakan Mak doakan, semoga kamu berhasil walaupun dengan cara

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   TIDAK TEGA

    Parman hanya berdiri sambil menatap beras dalam kantong plastik itu. "Hmm... harus gimana sekarang, apa main cuci aja atau gimana ya?" Akhirnya Parman kembali duduk di bangku bambu yang sudah reot. Belum bergerak apapun selain menatap beras yang masih dipegangnya, benar-benar saking malasnya bekerja, tidak tahu cara memasak beras. yang dia tahu hanyalah cara makannya saja seperti biasa, membuatnya saat itu hanya terdiam penuh kebingungan sambil merasakan perut semakin perih. "Parman, kamu dari tadi ngapain aja malah bengong begitu, kenapa beras dipegang tanpa dicuci lalu dimasak, kamu ini punya otak atau tidak?" Pada akhirnya, Ibu Sarti setelah dari tadi hanya diam di kamar keluar juga, nampaknya kasihan terhadap Parman meski bagaimanapun tetap saja, naluri seorang ibu lebih kuat dari apapun. "Ya mau bagaimana aku tidak diam aja Mak, kan bingung cara masaknya gimana, masa harus dicuci lalu ditaruh di panci gitu aja Mak?" Mendengar jawaban itu Ibu Sarti sampai menggeleng-gel

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   BINGUNG CARA MASAK

    "Hah... Diam aja di sini tidak mungkin, sekarang kalau pulang tidak membawa apa-apa Mak pasti marah, selain itu perut sudah mulai keroncongan, harus makan apa jika tetap diam di sini? sudah masak belum ya Mak?" Parman memegangi perutnya yang terasa sudah meminta diisi. "Huh terpaksa kayaknya walaupun sedikit aku harus mendapatkan kayu bakar." Parman saat itu mengeluarkan korek api dari dalam saku celana, ia nyalakan berusaha mencari daun dan ranting kering, mau membuat api unggun kecil agar bisa menerangi tempat tersebut, supaya bisa mencari kayu bakar untuk ia bawa pulang. "Untung aja di depanku banyak ranting kering kayaknya cukup nih buat masak malam ini." Gumamnya sambil mengeluarkan golok dari sarungnya, kemudian mulai mengambil satu persatu ranting kayu yang sudah pada kering itu. Entah apa yang dipikirkan Parman saat ini, dalam kondisi sudah malam begini tentunya seperti apa kondisi ibunya di rumah, setelah menanti kepulangannya dari sore hingga malam tiba belum kunju

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   KEMARAHAN IBU SARTI

    "Mas, jangan bengong aja dong. Apakah kamu lupa terhadapku?" Wanita itu kembali memanggilnya, senyumannya kian menggoda. "Memangnya siapa kamu? Aku belum mengenal kamu." Ucap Parman sambil melangkahkan kaki mendekat ke arah wanita cantik itu yang tengah berdiri begitu santai di atas batu besar yang ada di tengah kali. "Ah jangan begitu Mas, kenapa kamu jadi seperti ini, bukankah kamu sudah berjanji ingin menikahiku?" "Kapan aku berjanji ingin menikahimu? Jangankan berjanji untuk menikahi mengenal namamu pun, belum." Jawab Parman, kembali langkahnya terhenti. "Ih sayang, kenapa malah diam? Terus dong ke sini aku merindukanmu." Entah ada kekuatan apa, kaki Parman yang sebelumnya berhenti kembali melangkah. Namun begitu sampai di pinggir kali, tiba-tiba kakinya terpeleset, tubuhnya basah kuyup tercebur ke kali yang dirasakannya, sekaligus terbangun dari mimpinya, ternyata sesungguhnya ia disiram air satu gayung oleh ibunya yang telah kembali dari kali. "Parman!

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   SANG PEMALAS INGIN KAYA

    "Parman, kamu lagi apa?" Tanya seorang ibu yang lagi berdiri sambil menggendong bakul nasi yang terisi piring dan cangkir kotor, ibu tersebut nampaknya ingin mencucinya di kali, tempat masyarakat kampung itu mandi, mencuci pakaian, piring dan lain-lain. "Seperti biasa, Mak, aku lagi terbang ke bulan terus aku petik bulan itu, nanti di sini kita jual kan bisa kaya kali kita, Mak." Jawab Pemuda yang bernama Parman, anak ibu paruh baya tersebut. "Ya ampun. Parman-Parman... Kamu ini bicara apa? lagi mimpi apa sudah sedeng kamu Parman. Sudah! Daripada kamu melamun yang gak jelas begitu tolong cariin kayu bakar, Mak mau masak sudah tidak ada kayu bakar di rumah." Ujar ibu tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah mendengar ucapan anaknya, semakin lama khayalan anaknya semakin tidak jelas. Bahkan terkadang ibunya, yang bernama Sarti selalu mengelus-ngelus dada. Setelah mendengar dan melihat kelakuan anaknya seperti saat itu. Parman. Selalu berpikir ingin kaya-raya, tetapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status