MasukParman berdiri di tepi sungai dengan tubuh tegap, matanya menyapu sekeliling mencari sumber suara yang baru saja didengarnya. Suara air mengalir deras bergemuruh, bercampur desiran angin yang tiba-tiba membesar, membuat suasana semakin muram menjelang magrib. Tangannya erat menggenggam joran pancing, namun hingga saat itu belum ada tanda-tanda ikan menyambar. Hati Parman mulai gelisah, raut wajahnya menampakkan kelelahan dan sedikit kecewa.
Tiba-tiba, kembali lagi terdengar suara lembut seorang wanita menyapa telinganya, mengalun seolah dari balik semilir angin, "Angkat pancingmu..." Parman terpaku, matanya membelalak mencari sosok yang bicara. Namun di sekitar hanya ada riuh air dan bisikan angin, tak ada jejak manusia. Ia menelan ludah, campuran antara ragu dan penasaran menguasai hatinya. Dengan langkah mantap, Parman menarik tali pancingnya perlahan. Ketegangan mengalir di setiap ototnya saat tali itu menegang berat, memberi tahu bahwa ada sesuatu yang besar di ujung sana. Perlahan, seekor ikan tawes besar muncul ke permukaan, siripnya berkilauan terkena sinar remang senja. Wajah Parman berubah; awalnya bingung, kini bercampur antara takjub dan lega. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, seolah suara misterius itu adalah berkah yang mengantarkan keberuntungan di saat yang hampir putus asa. "Ya ampun... Apakah aku saat ini bukan sedang berada di alam mimpi?" Gumamnya sambil menatap ikan antara percaya dan tidak, bahkan tangan kirinya menepuk-nepuk wajah ingin memastikan, akankah ia merasa sakit. "Aduh benar ini bukan mimpi. Tapi siapa sesungguhnya dia, suara wanita itu yang aku dengar suara siapa?" Parman dengan hati berdebar memasukkan ikan tawes sebesar telapak tangannya ke dalam plastik bening yang sudah ia siapkan. Tangan kirinya masih menggenggam joran yang belum sempat ia turunkan kembali ke permukaan air sungai yang tenang. Suaranya tiba-tiba pecah, berteriak nyaring, "Terima kasih! Siapa pun kau yang barusan menyuruh aku angkat joran, tunjukkan dirimu!" Matanya menatap ke sekeliling, berharap menemukan sosok yang memberi petunjuk itu. Dengan penuh percaya diri, Parman menambahkan janjinya yang telah diikrarkan sebelumnya, walau tadinya hanya dikarenakan frustasi. Namun, dikarenakan saat ini terbukti dia mendapatkan ikan, apapun yang terjadi ia akan menepati janjinya. "Kalau kau wanita, aku janji akan menikahimu, aku ikrarkan itu!" Namun, yang terdengar hanyalah gemerisik daun dan debur air yang terus mengalir. Sunyi menyelimuti, tak ada balasan sedikit pun. Perlahan, senyum di wajah Parman menghilang, digantikan oleh keraguan dan keheningan yang menusuk hati. Ia termenung, merasakan betapa harapan yang tiba-tiba muncul itu lenyap begitu saja, meninggalkan sepi yang lebih dalam daripada air sungai di bawahnya. "Aneh benar-benar aneh. Tadi jelas-jelas aku dengar suara seorang wanita yang menyuruhku dua kali untuk mengangkat joran ini, tapi mengapa saat ini tak terdengar lagi? Atau jangan-jangan aku hanya berhalusinasi ya?" Pertanyaan semacam itu terus bergolak dalam batinnya, sehingga tangannya belum kembali bergerak memasang umpan dan memancing lagi. Cukup lama Parman termenung memikirkan masalah itu, namun akhirnya dia sadar tidak mungkin hanya diam saja tanpa melakukan apapun, akhirnya segera kembali memasang umpan dan melemparkan benang pancingnya kembali ke air, walau hatinya masih penuh tanda tanya. Benarkah, dia hanya berhalusinasi mendengar suara wanita. Parman menatap kail yang baru saja ia lemparkan ke dalam arus sungai dengan penuh harap. Tak lama, kail itu tersambar dengan cepat, dan tarikan kuat langsung membuat tubuhnya terkejut. "Astaga, ini ikan apa ini?" Gumamnya sambil tertawa lepas. Tarik-menarik dengan ikan besar yang berkilauan di permukaan air membuat hatinya melonjak penuh semangat. Wajahnya memerah, tangan dan kakinya bergerak lincah menahan tarikan, seolah waktu seketika berhenti dari segala kekhawatiran yang menghimpitnya sejak siang. Gelombang demi gelombang ikan-ikan besar muncul, membentuk riak-riak menari di permukaan. Parman yang biasanya sabar mulai kehilangan rasa lelahnya, matanya berbinar melihat satu per satu ikan itu berhasil ia tarik ke tepi sungai. Suara lembut seorang wanita yang memanggil dari kejauhan menembus kesunyian senja saat itu kembali seolah-olah masih didengar olehnya. "Mas, angkat jorannya, sudah banyak ikan yang berkumpul di sana!" Itulah suara yang terus terngiang dalam benaknya. Parman saat itu benar-benar tersenyum lebar, nampaknya tidak salah suara yang didengar olehnya itu yang menyebutkan ikan tidak berkumpul. Yakin saat itu ribuan ikan tampak betul-betul sudah berkumpul seperti menunggu saat untuk dimakan. Angin senja membawa aroma tanah basah dan segarnya air sungai, mengiringi kebahagiaan sederhana yang memenuhi dadanya. Dengan hati penuh syukur dan tangan yang mulai lelah, Parman perlahan mengangkat joran, membiarkan dirinya tenggelam dalam keindahan momen itu. Tanpa disadari oleh para pemain yang tengah sibuk memanen ikan. Di atas dahan pohon besar yang menjulang di tepi sungai seberang Parman, sosok wanita cantik itu masih duduk dahan dengan anggun. Rambut hitamnya yang panjang tergerai tertiup angin sore, wajahnya memancarkan senyum lebar penuh harap yang tak terlihat oleh Parman. Matanya menatap tajam ke arah lelaki itu yang tengah asyik menarik ikan tawes dan ikan bawal dengan joran di tangannya, tak sadar bahwa dirinya sedang diawasi. Dengan suara pelan yang nyaris seperti bisikan angin, wanita itu berkata pada dirinya sendiri, “Sebentar lagi, jika sudah waktunya tiba, kita akan bersatu, Mas Parman.” Ucapannya penuh keyakinan, sekaligus kerinduan yang mendalam. Sesaat setelah kalimat itu terucap, tubuhnya bergetar halus, kemudian perlahan-lahan menghilang tanpa jejak, seperti kabut yang tersapu angin pagi. Di bawah sana, Parman masih sibuk menarik ikan, wajahnya penuh fokus dan tanpa curiga sedikit pun. Joran di tangannya bergoyang mengikuti gerakan ikan yang melawan, sementara sosok wanita itu telah lenyap dari pandangan, meninggalkan senyum dan janji yang menggantung di udara sunyi. "Ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha." Parman tertawa terbahak-bahak saking gembiranya. "Malam ini kita akan makan besar Mak, selain aku akan dapat membeli beras banyak, kita pun akan makan dengan ikan tawes dan bawal yang aku tangkap." Ucapnya penuh semangat. Parman terus menarik kail pancingnya tanpa lelah, satu per satu ikan bawal dan tawes seukuran telapak tangan dewasa melompat ke dalam kantong plastik yang kian penuh beratnya. Tangan dan lengannya mulai keram, tapi matanya masih berbinar penuh semangat. Dua kantong besar sudah terisi penuh, baru ia angkat joran dan menarik napas panjang. Suasana mulai gelap, langit berwarna jingga keunguan, namun Parman tak bergeming. Dengan suara lantang yang menggema di tepi sungai, ia berteriak, “Siapapun yang sudah menolongku tadi, terima kasih banyak! Kamu yang bilang di sini banyak ikan, benar-benar membuat hariku jadi beruntung!” Suaranya dipenuhi rasa syukur yang tulus, diselingi senyum hangat yang terpancar dari wajahnya yang berkerut karena lelah. Matanya menatap ke arah semak-semak di seberang, seolah mencari sosok yang belum terlihat. “Kalau kamu memang seorang wanita, siapapun kamu, aku pasti akan menikahimu,” ucapnya dengan nada serius tapi penuh harapan, seakan kata-katanya bukan hanya ungkapan biasa, melainkan janji yang mengikat. Angin malam menyapu, membawa aroma sungai dan harapan baru yang bersemayam dalam hati Parman. Sejenak belum beranjak pergi walau sudah siap ingin pulang untuk segera menjual ikan-ikan tersebut dan akan membeli beras, matanya tetap memutar berusaha mencari sosok yang diharapkan tiba-tiba muncul. Namun tetap keadaannya sepi hanya suara gemuruh air dan hewan malam yang mulai terkenal. "Huh... Sayang banget tidak ada siapapun ternyata." Kepalanya menggeleng-geleng. "Sekarang lebih baik aku pulang, Mak, mulai detik ini dan seterusnya giliran aku yang membahagiakanmu. Terima kasih atas doa dan kasih sayangmu, Mak." Ucapnya lirih sambil melangkah menuju kampung, membawa dua kantong plastik besar yang terisi penuh ikan tawes dan bawal.Selesai mereka mengobrol di dalam dan menghitung jumlah uang yang telah terkumpul cukup banyak oleh ibunya. Parman duduk di teras kecil rumahnya, angin pagi menggerakkan lembut dedaunan di sekitar. Di sebelahnya, ibu tua itu dengan wajah penuh kasih kembali berbicara pelan tentang rencana mencari kolam untuk menernak ikan—sebuah harapan sederhana yang mengusir penat dari pikirannya. Parman mengangguk, sesekali menyeka keringat di dahinya, tubuhnya yang lelah masih terasa berat. Setelahnya, ia melangkah pelan ke kamar sederhananya, pintu kayu berderit halus saat ditutup. Tubuhnya kembali direbahkan di atas kasur tipis, mata yang mulai mengantuk menatap plafon yang kusam. Ia ingin mengumpulkan tenaga sebelum malam nanti harus kembali ke sungai, memancing dengan harapan rejeki sedikit lebih baik. Namun, pikiran Parman tidak bisa lepas dari kejadian semalam—detik-detik ketika nyawanya seakan terenggut saat terperosok ke arus deras. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat siapa yang sebe
"Tolong jawab panggilan saya, apabila kau mendengar teriakan saya!" Teriaknya lagi. Parman terus-menerus berteriak sampai akhirnya putus asa, suaranya membelah keheningan malam di tepi sungai yang gelap gulita. Matanya terpejam, lalu terbuka lebar, berputar-putar menatap kegelapan tanpa ada jawaban, hanya sunyi yang membungkam segala harapnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar oleh dingin dan rasa cemas yang semakin mencekam. Ia menoleh ke tumpukan ikan dalam karung besar yang hampir tak muat lagi, sisinya basah oleh embun dan percikan air sungai. Tiba-tiba wajahnya berubah—mata Parman membelalak saat ingat ibunya yang pasti tengah gelisah di rumah. Biasanya, pukul tiga pagi seperti ini ia sudah ada di balik pintu rumah, tapi malam ini tak juga kunjung pulang. "Aduh... Maafkan aku Mak, malam ini aku terlambat pulang, tapi mohon maaf, aku tidak akan menceritakan apa yang telah terjadi, walaupun sampai kini masih menjadi pertanyaan bagiku." Parman menghembuskan nafas panjang.
Betul-betul saat itu Parman terbaring lemah di lantai pondok kecil yang remang, tubuhnya masih basah dan dingin meski sudah dibuka pakaiannya setelah diseret arus sungai yang ganas. Matanya tertutup rapat, napasnya berat dan tidak beraturan, seolah-olah terjebak antara dunia nyata dan mimpi. Di sampingnya, wanita cantik dengan rambut hitam terurai lembut, mengenakan gaun putih tipis yang berkilauan dalam cahaya redup lilin, memeluknya dengan lembut. Tatapannya penuh kelembutan namun misterius, menembus kedalaman jiwa Parman yang masih terperangkap dalam ketidaksadarannya.“Sengaja aku belum mau menyadarkan kamu, Mas,” bisiknya pelan, suaranya seperti angin malam yang menyejukkan sekaligus mengundang rasa penasaran. “Aku ingin menemanimu terus sampai pagi menjelang. Nanti saat kamu bangun, kamu akan kembali ke tempat di mana kamu memancing... Tapi kamu pasti akan bingung, karena seolah-olah waktu tak pernah bergeser, dan kamu sudah berada di tempat semula.”Parman menggeliat kecil, n
"Aduh... Suara apaan itu?" Tanya salah satu di dari mereka sambil memutarkan tatapannya ke segala arah. "Mana aku tahu, kita kan sama di sini dan tak melihat ada siapapun, atau jangan-jangan hantu ya? Lagian ini ikan pada ke mana ? Jelas-jelas tadi kita melihat Parman terus-menerus menarik ikan dimasukkan ke dalam karung, tapi kok, kenapa sekarang isinya batu semua?" Jawab temannya tubuhnya bergetar hebat perlu ketakutan. Pria itu tak menyahuti ucapan temannya malah berteriak. "Woi! siapa kau, tunjukkan wujudmu, jangan main-main denganku!" Teriak pria tersebut, namun sayangnya, sudah tidak ada yang menyauti lagi selain suaranya seperti mutar-mutar bercampur dengan gemuruh air di sungai. "jangan-jangan benar hantu lebih baik kita pulang ayo." tanpa menunggu jawaban dari pria tersebut yang terus memutarkan tatapannya, temannya langsung lari terbirit-birit saking takutnya setelah dari tadi pria itu berteriak namun tak ada yang menyauti. Melihat temannya sudah berlari duluan, ten
Dua pria itu berjongkok di balik semak lebat, napas mereka tertahan saat mata tajam mengawasi Parman yang sibuk melemparkan kail ke sungai. Suara gemerisik daun menjadi saksi bisu rencana licik yang mulai mengendap di pikiran mereka. "Joran itu yang bikin dia hoki, kan?" Bisik pria berbadan kekar dengan mata penuh ambisi, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa sebaiknya kita habis saja dia agar kita mendapatkan joran itu?" Katanya.Pria yang satunya, dengan wajah penuh keraguan, menatap sekeliling, mencari cara yang tak terlalu berisiko. "Kalau harus membunuh, aku nggak sanggup... Tapi kalau cuma dorong ke sungai, mungkin bisa," gumamnya pelan, tangan gemetar menahan gelisah. Mereka saling bertukar pandang, ketegangan menguar di udara, sementara Parman tanpa sadar terus memasukkan ikan-ikan segar ke dalam karungnya, tak tahu bahwa nasibnya tengah dipertaruhkan oleh niat gelap dua sosok di balik semak.Sedangkan Parman dengan tenang duduk di tepi sungai, joran pancing di tangan kanannya
Rani belum menjawab apapun, Parman pun masih diam membiarkan wanita itu sedikit meluapkan emosionalnya dengan tangisan, walau tidak tahu penyebab Ranti menangis apa sesungguhnya. Di tengah dinginnya malam, semilir angin taman menyelinap lembut di antara dedaunan yang bergoyang pelan. Rani merapatkan pelukannya, tubuhnya terasa kaku namun tetap menempel erat di dada bidang Parman. Wajahnya tersembunyi rapat, seolah mencari perlindungan dari segala keraguan dan beban yang menghimpitnya. Parman yang masih merasakan denyut hangat dari tubuh Rani, menatapnya penuh kekhawatiran. “Ada apa, sayang? Apakah pertanyaanku tadi menyakitimu?” Suara Parman lirih namun penuh ketulusan. Rani menggeleng pelan, suaranya berat tapi tegas, “Bukan, sayang. Bukan berarti aku tidak ingin segera diperkenalkan pada Mak mu. Hanya saja… aku belum sempurna. Belum saatnya kita berjumpa secara langsung bersama menemui Mak.” Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk hati Parman yang seketika terkejut. Matan







