"Mbak Ratna!" Panggilan Mbak Meli cukup mengagetkanku. Buru-buru kuletakkan alat pel di tembok dan berjalan ke arahnya.
Mbak Meli adalah asisten rumah tangga di sini, hanya saja dia tak menginap. Biasanya berangkat agak siang dan pulang setelah pekerjaannya selesai karena dia hanya membantu mencuci baju dan menyetrika pakaian saja.Dia tak membantu hal lain karena memang hanya itu tugasnya. Bi Sarti biasanya juga tak pernah minta tolong padanya kecuali ada hal-hal tertentu yang tak bisa dilakukannya sendiri."Ada apa, Mbak?" tanyaku pelan saat dia tengak-tengok takut ketahuan oranglain."Biar saya saja yang ngepel, Mbak. Saya nggak tega lihat Mbak Ratna diperlakukan seperti ini di rumah suaminya sendiri," ucap Mbak Meli pelan seperti berbisik.Aku cukup terharu mendengar ucapannya. Tak ingin terlihat sedih, aku mencoba untuk tetap tersenyum saat bersirobok dengannya."Jangan, Mbak. Pekerjaan Mbak Meli di sini hanya cuci setrika saja. Gajinya pasti juga sudah disesuaikan dengan pekerjaan Mbak Meli. Kalau tambah ngepel nanti saya dzolim ke mbak kalau nggak ada penambahan gaji," ucapku pelan.Lagi-lagi aku berusaha tetap tersenyum meski di dalam hati terasa nyeri. Ada gemuruh luka yang tak tampak oleh mata. Kutahan sedemikian rupa agar air mataku tak tumpah."Lagipula, semua akan semakin ruwet kalau mama tahu Mbak Meli membantuku. Aku hanya nggak mau Mbak Meli kena semprot mama lagi seperti waktu itu," tambahku kemudian.Mbak Meli mendunduk diam. Teringat kejadian lima hari yang lalu saat Mbak Meli membantuku mencuci piring. Mama tampak sangat murka. Dia ingin Mbak Meli mengerjakan apa yang diperintahkannya saja, tak perlu mengambil pekerjaan lain yang tak dia perintahkan atau mau dipecat sekalian.Di tengah ketakutannya, aku berusaha menenangkan Mbak Meli agar tak terlalu mengkhawatirkanku. Aku berusaha meyakinkannya jika saat ini baik-baik saja. Kuminta agar dia mengikuti perintah mama saja daripada benar-benar dipecat."Tapi, Mbak ...." Mbak Meli mencekal tanganku."Nggak apa-apa, Mbak. Tenang saja. Sebelum menjadi menantu di rumah ini, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini kok, Mbak. Jangan khawatir, ya? Ingat pesan mama. Aku hanya nggak ingin Mbak Meli dipecat seperti Mbak Sarti," ucapku pelan.Mbak Meli kembali terdiam lalu mengangguk pelan. Dia menatapku nanar sembari mengusap punggungku seolah menguatkan."Kalau ada apa-apa atau Mbak Ratna butuh bantuan, jangan segan panggil aku ya, Mbak. Aku siap membantu mbak kapan pun," ucap Mbak Meli lagi.Dia melangkah pergi meninggalkanku dan kembali ke kamar khusus setrika setelah melihatku mengangguk dan tersenyum tipis membalas ucapannya."Belum beres juga?!" tanya mama membuatku menoleh ke belakang.Wanita bertubuh sedikit gemuk itu melipat kedua tangannya ke dada sembari menatapku lekat. Meski sikapnya terlalu menyakitkan, aku masih mencoba untuk tetap tersenyum dan memberinya penghormatan. Harapkan dia bisa berubah dan tak memperlakukanku seperti ini lagi. Meski entah kapan."Belum, Ma. Sedikit lagi," ujarku kembali melanjutkan mengepel area dapur."Sedikit lagi gimana? Teras juga belum kamu pel kan?!""Belum, Ma. Baru selesai kamar dan teras belakang. Ini mau pel dapur, ruang tengah nanti sekalian ruang tamu sampai teras," ujarku menjelaskan."Seharusnya teras sama ruang tamu dulu sebelum ngepel tempat lain. Kalau ada tamu biar kelihatan bersih dan enak dipandang. Gimana sih kamu kok malah ngepel dari belakang duluan?!" Mama menarik pel yang kubawa lalu membawanya ke teras.Lagi-lagi aku hanya mengikutinya dengan tergesa. Aku tak ingin mama semakin ngomel-ngomel di teras yang akan memancing perhatian tetangga. Lebih baik mengalah dan mengikuti semua perintahnya. Lagipula percuma debat, bukannya dapat solusi justru dapat omelan lebih banyak lagi."Makanya kalau ada orang kerja itu diperhatikan bukan tiduran di kamar terus setiap hari. Nggak lihat Mbak Sarti kerja ini dan itu kan?"Mama memutar bola matanya sebagai pertanda jika sebenarnya dia malas bicara denganku. Aku merasakan sikapnya yang tak baik-baik saja itu."Di kamar aku nggak tiduran terus kok, Ma. Aku coba cari kerja sampingan biar punya penghasilan sendiri," balasku tak terima."Halah alasan! Buktinya mana? Kamu nggak dapat duit juga kan? Mending beberes rumah, lumayan jatah gaji Mbak Sarti bisa buat kebutuhan lain," balas mama lagi lalu meninggalkanku begitu saja.Aku tak ingin berdebat. Kubiarkan mama dengan segala omelannya. Yang pasti, aku tetap yakin jika suatu saat nanti bisa mematahkan keangkuhannya. Akan kubuat mama menyesal sudah meremehkan dan memperlakukanku seperti ini. Lihat saja nanti.***"Hari ini Mbak Meli izin nggak masuk kerja, Na. Dia pulang kampung sampai seminggu ke depan. Jadi, kamu yang urus tugasnya sekalian," ucap mama yang baru keluar dari kamar mandi.Aku tahu itu. Mbak Meli juga sudah bilang padaku kemarin. Hanya saja, aku masih tak mengira jika pekerjaan Mbak Meli dibebankan padaku juga.Kupikir, mama akan meminta Mbak Rani atau Nina untuk membantuku. Paling tidak, mereka bisa mencuci dan menyetrika pakaiannya masing-masing. Sayangnya, harapanku sia-sia belaka. Mama tetap menjadikan anak-anak perempuannya seperti ratu."Kenapa diam?" tanya mama kembali membalikkan badan."Biar Mbak Rani dan Nina mengurus pakaiannya sendiri, Ma. Nggak mungkin aku semuanya. Aku bukan robot," ujarku tanpa menoleh.Aku mengusap pelan peluh yang membanjiri kening setelah selesai menyapu halaman dan menyiram tanaman."Rani sibuk urus Arga. Kamu nggak lihat? Nina sibuk belajar mau ujian semester. Gimana sih kamu! Habis masak, nyetrika baju dulu," pungkas mama sebelum menutup pintu kamarnya.Aku kembali menghela napas panjang. Sampai sekarang masih terheran-heran kenapa ada model mertua seperti mama. Pantas saja ketiga anaknya nggak ada yang benar, ternyata semua memang mengikuti jejak mamanya yang tak punya hati dan suka semena-mena."Na, bajuku udah disetrika belum?" tanya Mbak Rani saat aku baru mengambil secentong nasi.Tenagaku sudah terkuras sejak pagi. Aku ingin mengisi perut dulu sebelum melakukan pekerjaan lainnya. Namun, baru saja duduk di kursi Mbak Rani sudah datang dengan tatapan tajam."Belum, Mbak. Aku baru kelar nyapu dan ngepel. Habis itu masak sambil menyiram tanaman di depan. Maaf belum sempat," ucapku cepat sembari mengambil tumis kacang dan sepotong ayam."Gimana sih, Na?! Itu baju mau aku pakai sekarang kok malah belum disetrika? Harusnya nyetrika baju dulu. Kalau pekerjaanmu sudah selesai baru makan. Atau kalau nggak, makannya nanti belakangan kalau kita sudah pergi ke hajatan," ucap Mbak Rani lagi.Dia bersungut kesal. Kedua matanya melotot tajam ke arahku yang masih fokus dengan nasi dan lauk di piring."Aku lagi makan, Mbak. Mbak Rani nggak sibuk kan? Setrika sendiri bisalah. Arga juga masih di kamar sama papanya. Aku bukan pembantu di sini. Jadi, kuharap penghuni rumah ini tak terlalu memperbudakku," ujarku cepat."Enak saja! Aku mau mandiin Arga. Lagian kerjaan belum kelar kok sudah sarapan! Kamu menantu di sini, bukan ratu. Wajar kalau disuruh ini itu. Lagipula sudah untung kamu dipungut jadi menantu daripada dijadikan istri keempat bandot tua itu. Baju mama juga sudah ditungguin itu. Buruan makannya. Lelet banget kaya putri Solo!" sentak Mbak Rani lagi sembari menghentakkan kakinya.Tak ingin semakin runyam, kuletakkan sisa sarapanku di rak. Nanti saja kulanjutkan lagi setelah mereka semua pergi daripada mendapatkan omelan mama lagi. Aku malas mendengarnya. Capek.Meski badan rasanya tak karuan karena mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, tapi aku berusaha menyemangati diri agar tak menyerah. Aku yakin takdirNya tak pernah salah.Aku percaya akan ada kebahagiaan setelah kepedihan dan akan ada kemudahan setelah kesulitan. Seperti dalam firmanNya, Qur'an surah Al Insyirah ayat lima dan enam,"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."***"Mau kemana, Na?" tanya ibu saat melihatku siap-siap di kamar. "Mau ke rumah Yesha makan malam, Bu. Hari ini dia rayakan ulang tahun pernikahan." Ibu tak membalas ucapanku. Wanita paruh baya itu melangkah mendekat lalu duduk di tepi ranjang sembari mengamatiku yang sedang berdandan. "Nggak usah berias. Nggak elok buat perempuan yang masih dalam masa iddahnya. Kalau saja bisa kamu bahkan tak diperkenankan keluar rumah, takut ada fitnah," ujar ibu kemudian. Kuhela napas panjang. Seperti yang kukhawatirkan sedari tadi soal iddah, ternyata benar jika masa ini adalah masa pingitan. Dipingit supaya tak berbuat aneh-aneh di luar rumah karena masih dalam masa berkabung akibat perceraian. Tapi, rasanya aku tak sesedih itu bahkan bahagia bisa terlepas dari belenggu yang sebelumnya menimpaku. "Baiklah, Bu. Ratna akan hapus make up-nya, tapi izinkan Ratna ke rumah Ayesha ya? Ratna diundang ke sana. Bukankah salah satu kewajiban seorang muslim itu memenuhi undangan dari sesama muslim lainnya?
[Mas, bagaimana urusan perceraian itu? Sudah bereskah?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Latif. Kemarin dia bilang, urusan persidangan sudah beres tinggal menunggu surat perceraian saja. Kalau benar begitu, syukurlah. Semua memang lebih mudah dan cepat karena Mas Azka benar-benar tidak datang dalam persidangan. Mungkin dia pikir, ketidakdatangannya itu akan membuatku berpikir ulang atau bahkan mempersulit jalannya persidangan. Tanpa dia sadari, tindakannya itu justru membuat persidangan lebih cepat dan tak berbelit-belit. Mas Latif pun berusaha keras agar kasus perceraian ini berjalan lancar tanpa hambatan. Dia memang sangat bisa diandalkan. [Alhamdulillah sudah selesai, Mbak. Semua lancar seperti yang Mbak Ratna harapkan. Kapan kita bertemu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan] Balasan dari Mas Latif masuk ke aplikasi hijauku. Alhamdulillah, akhirnya aku benar-benar bebas dari keluarga ajaib itu. Mereka nggak akan bisa menggangguku lagi setelah ini karena perceraianku
Urusan perceraian sudah ditangani Mas Latif. Aku hanya menunggu kabar baiknya saja. Sejak tadi pagi, seolah ponselku tak berhenti berdering. Beberapa menit hening, beberapa menit kemudian kembali nyaring. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Azka. Sudah dua minggu lebih aku tak bertemu dengannya dan sejak itu pula aku rajin perawatan di salon. Biar saja, sengaja akan kubuat dia shock saat melihat penampilanku nanti. Di pasti tak pernah menyangka jika istri yang sering dia maki-maki karena jelek, buluk, kucel, miskin, tak berpendidikan dan tak berkelas itu kini berubah drastis. Aku tak akan membiarkan mereka menghinaku lagi. Dua hari yang lalu, aku sengaja membuat akun baru di sebuah aplikasi berwarna merah. Satu akun untuk jualan sepatu-sepatu dari pabrikku itu dan satu lagi akun pribadi. Sengaja aku tautkan antar keduanya biar orang-orang yang akan menjadi distributor, agen atau pun resellerku tahu siapa ownernya. Yang nggak kalah penting, aku sengaja mengikuti akun Mas Azka, Nina
Kuucapkan salam saat memasuki rumah. Rupanya, Mas Latif sudah datang terlebih dahulu. Dia masih asyik mengobrol dengan ibu di ruang tamu. Kulihat ibu sedikit kaget melihat kedatanganku. "Darimana? Terlihat lebih segar dan cantik," bisik ibu setelah membalas salamku. Bisikan ibu membuatku meringis kecil. "Maaf sudah menunggu, Mas." Aku menangkupkan kedua tangan sebagai perkenalan. "Oh nggak apa-apa, Mbak. Saya juga baru datang," jawabnya dengan senyum tipis. Kulihat Bik Anah sudah membawakan tiga gelas minuman dingin dan camilan lalu meletakkannya di meja. Aku meminta ibu untuk menemani obrolan kami."Langsung saja ya, Mas. Jadi aku sama suami baru menikah dua bulanan secara siri. Aku sudah minta dia agar mau menceraikanku, tapi dia menolak dengan alasan macam-macam. Apa boleh buat, mau nggak mau aku yang menggugat karena selama ini dia dan keluarganya memang hanya memanfaatkanku saja. Apa Yesha sudah menjelaskannya kemarin?" "Iya, Mbak. Garis besarnya memang sudah diceritakan Mba
"Kamu dapat warisan, Na?" tanya mama menyela. "Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa? Sudahlah. Bukan urusan mama dan Mas Azka," jawabku lagi. "Jelas masih urusan Azka dong, Na. Kalian masih sah suami istri," ucap mama cepat. Giliran urusan harta saja kalian gerak cepat. Dasar keluarga mata duitan!"Benar kata mama, Na. Kita masih sah suami istri. Jadi, apa yang kamu miliki itu juga milikku." Mas Azka begitu bersemangat. "Enak aja! Kamu nggak ada hak di sana ya, Mas. Lagipula aku sudah bilang kemarin sama kamu. Aku mau kita cerai. Aku nggak sudi lagi punya suami dan mertua dzalim seperti kalian. Jadi, jangan coba-coba mengambil keuntungan," jawabku lagi. Kutekankan kata dzalim dan keuntungan di sini agar mereka tahu diri. Aku yakin Mas Azka sengaja menyalakan speaker handphonenya agar mama atau mungkin Nina bisa ikut mendengar obrolan ini. "Nggak akan! Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak mau cerai, Ratna!" ucap Mas Azka tegas. "Terserah kamu, Mas. Kalau kamu me
"Nin ... Nina!" Viona menggoyang-goyangkan tubuh Nina yang mendadak pingsan. Aku diam saja, masih asyik membaca majalah yang kubawa dari mobil tadi sambil menunggu karyawan salon yang akan membersihkan rambutku. Ini salon khusus perempuan, jadi tak ada laki-laki keluar masuk sembarangan. "Tanggung jawab kamu, Na! Pakai acara menghalu segala. Pingsan 'kan dia," ucap Viona tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan kesal, sementara aku hanya mengernyit.Menghalu, katanya? Rupanya dia masih nggak percaya dengan cerita Anggun barusan. Mungkin masih begitu yakin kalau aku sesuai dengan prasangkanya. Oh, yasudahlah terserah apa maunya. Lagipula aku juga malas berdebat dengan perempuan sepertinya. Buang-buang waktu dan tenaga saja. "Heh, malah enak-enakan baca majalah. Bantuin nih adik iparmu. Bikin ribet aja pakai pingsan segala. Mau perawatan jadi gagal," sungut perempuan itu lagi. Aku masih bergeming dan hanya melirik sekilas. "Kamu nggak tuli kan?!" sentak Viona sembari berusaha
"Berani-beraninya mengancamku! Heh, kamu nggak tahu siapa aku?!" sentak Viona tak mau kalah. "Tahu. Kamu hanya mantan suamiku yang kini berusaha mendekatinya lagi setelah dia berusaha move on dari perempuan tukang selingkuh sepertimu," balasku sekenanya. Wajah Viona memerah. Dia pasti tak terima dengan jawabanku. Aku tak peduli."Asal kamu tahu, Mas Azka nggak mungkin bisa move on! Dia terlalu mencintaiku. Dasar perempuan tak tahu diri. Mimpimu terlalu tinggi untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Mengerti!" Aku menatapnya sembari tersenyum miring. "Mengerti, Nona Viona. Silakan ambil suamiku kalau kamu mau. Aku tak membutuhkannya lagi," bisikku dengan sedikit penekanan. Dua karyawan salon itu berusaha menenangkan Viona yang makin meradang. Mereka menarik tangan Viona yang nyaris melemparku dengan vas bunga. Malas berdebat, aku sengaja keluar salon agar mereka tahu jika aku bukanlah Ratna yang dulu. Aku yakin mereka akan mengintip dan mengikuti kemana aku pergi. Benar saja, dua per
Sejak dua hari yang lalu, aku sudah mencari salon terbaik di kota ini untuk melakukan perawatan wajah dan badan. Mulai detik ini, aku tak ingin lagi diremehkan oleh Mas Azka soal penampilan apalagi dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya itu. Setidaknya agar dia sadar jika ingin melihat istrinya cantik dan modis dia juga harus mengeluarkan modal. Sekiranya tak sanggup memberikan dana, mungkin lebih baik jika diam. Semakin dia menghina istrinya, semakin membuatnya terlihat buruk karena menguliti aib sendiri. Selain itu, aku juga akan membuktikan pada keluarga dzalim itu jika hidupku jauh lebih bahagia setelah tak bersama dengan mereka. Mereka pasti menyesal dan shock saat melihatku mendadak kaya. Bukan soal dendam dan sebagainya, aku hanya ingin mereka sadar jika Allah bisa mengubah kehidupan hambaNya dengan mudah dalam sekejap mata jika DIA berkehendak. Jadi, buat apa merasa paling tinggi bahkan merendahkan yang lainnya?[Kenapa nggak kirim nomor rekeningnya, Mas?] Kukirimkan
"Ratna ... jawab pertanyaan ibu. Apa benar kabar yang ibu dengar itu?" ulang ibu dengan cemasnya." Kuhela napas panjang lalu mengusap pelan lengan ibu untuk sedikit menenangkan. "Desas-desus itu memang benar, Bu. Sudahlah. Ibu tak perlu merisaukan kabar itu. Pokoknya sekarang Ratna ingin membuka lembaran baru. Ratna tak sanggup lagi menjadi istri Mas Azka. Ratna capek. Hampir semua pekerjaan rumah, Ratna yang kerjakan. Sepertinya mereka sengaja mencari menantu sekaligus untuk dijadikan pembantu. Beruntung Ratna belum hamil, jadi bisa benar-benar bebas dan lepas jika sudah bercerai dengan Mas Azka nanti. Coba kalau sudah hamil, apalagi memiliki buah hati. Mereka pasti melakukan berbagai cara untuk merecoki kehidupan Ratna di kemudian hari." Terpaksa kuceritakan semua alasan perceraianku pada ibu. Aku nggak ingin ibu makin berpikir macam-macam. Aku akan merasa amat bersalah kalau sampai tensi ibu naik lagi hanya gara-gara memikirkan masalahku ini. "Astaghfirullah ... astaghfirullah .