Share

BAB 2

"Mbak Ratna!" Panggilan Mbak Meli cukup mengagetkanku. Buru-buru kuletakkan alat pel di tembok dan berjalan ke arahnya.

Mbak Meli adalah asisten rumah tangga di sini, hanya saja dia tak menginap. Biasanya berangkat agak siang dan pulang setelah pekerjaannya selesai karena dia hanya membantu mencuci baju dan menyetrika pakaian saja.

Dia tak membantu hal lain karena memang hanya itu tugasnya. Bi Sarti biasanya juga tak pernah minta tolong padanya kecuali ada hal-hal tertentu yang tak bisa dilakukannya sendiri.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku pelan saat dia tengak-tengok takut ketahuan oranglain.

"Biar saya saja yang ngepel, Mbak. Saya nggak tega lihat Mbak Ratna diperlakukan seperti ini di rumah suaminya sendiri," ucap Mbak Meli pelan seperti berbisik.

Aku cukup terharu mendengar ucapannya. Tak ingin terlihat sedih, aku mencoba untuk tetap tersenyum saat bersirobok dengannya.

"Jangan, Mbak. Pekerjaan Mbak Meli di sini hanya cuci setrika saja. Gajinya pasti juga sudah disesuaikan dengan pekerjaan Mbak Meli. Kalau tambah ngepel nanti saya dzolim ke mbak kalau nggak ada penambahan gaji," ucapku pelan.

Lagi-lagi aku berusaha tetap tersenyum meski di dalam hati terasa nyeri. Ada gemuruh luka yang tak tampak oleh mata. Kutahan sedemikian rupa agar air mataku tak tumpah.

"Lagipula, semua akan semakin ruwet kalau mama tahu Mbak Meli membantuku. Aku hanya nggak mau Mbak Meli kena semprot mama lagi seperti waktu itu," tambahku kemudian.

Mbak Meli mendunduk diam. Teringat kejadian lima hari yang lalu saat Mbak Meli membantuku mencuci piring. Mama tampak sangat murka. Dia ingin Mbak Meli mengerjakan apa yang diperintahkannya saja, tak perlu mengambil pekerjaan lain yang tak dia perintahkan atau mau dipecat sekalian.

Di tengah ketakutannya, aku berusaha menenangkan Mbak Meli agar tak terlalu mengkhawatirkanku. Aku berusaha meyakinkannya jika saat ini baik-baik saja. Kuminta agar dia mengikuti perintah mama saja daripada benar-benar dipecat.

"Tapi, Mbak ...." Mbak Meli mencekal tanganku.

"Nggak apa-apa, Mbak. Tenang saja. Sebelum menjadi menantu di rumah ini, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini kok, Mbak. Jangan khawatir, ya? Ingat pesan mama. Aku hanya nggak ingin Mbak Meli dipecat seperti Mbak Sarti," ucapku pelan.

Mbak Meli kembali terdiam lalu mengangguk pelan. Dia menatapku nanar sembari mengusap punggungku seolah menguatkan.

"Kalau ada apa-apa atau Mbak Ratna butuh bantuan, jangan segan panggil aku ya, Mbak. Aku siap membantu mbak kapan pun," ucap Mbak Meli lagi.

Dia melangkah pergi meninggalkanku dan kembali ke kamar khusus setrika setelah melihatku mengangguk dan tersenyum tipis membalas ucapannya.

"Belum beres juga?!" tanya mama membuatku menoleh ke belakang.

Wanita bertubuh sedikit gemuk itu melipat kedua tangannya ke dada sembari menatapku lekat. Meski sikapnya terlalu menyakitkan, aku masih mencoba untuk tetap tersenyum dan memberinya penghormatan. Harapkan dia bisa berubah dan tak memperlakukanku seperti ini lagi. Meski entah kapan.

"Belum, Ma. Sedikit lagi," ujarku kembali melanjutkan mengepel area dapur.

"Sedikit lagi gimana? Teras juga belum kamu pel kan?!"

"Belum, Ma. Baru selesai kamar dan teras belakang. Ini mau pel dapur, ruang tengah nanti sekalian ruang tamu sampai teras," ujarku menjelaskan.

"Seharusnya teras sama ruang tamu dulu sebelum ngepel tempat lain. Kalau ada tamu biar kelihatan bersih dan enak dipandang. Gimana sih kamu kok malah ngepel dari belakang duluan?!" Mama menarik pel yang kubawa lalu membawanya ke teras.

Lagi-lagi aku hanya mengikutinya dengan tergesa. Aku tak ingin mama semakin ngomel-ngomel di teras yang akan memancing perhatian tetangga. Lebih baik mengalah dan mengikuti semua perintahnya. Lagipula percuma debat, bukannya dapat solusi justru dapat omelan lebih banyak lagi.

"Makanya kalau ada orang kerja itu diperhatikan bukan tiduran di kamar terus setiap hari. Nggak lihat Mbak Sarti kerja ini dan itu kan?"

Mama memutar bola matanya sebagai pertanda jika sebenarnya dia malas bicara denganku. Aku merasakan sikapnya yang tak baik-baik saja itu.

"Di kamar aku nggak tiduran terus kok, Ma. Aku coba cari kerja sampingan biar punya penghasilan sendiri," balasku tak terima.

"Halah alasan! Buktinya mana? Kamu nggak dapat duit juga kan? Mending beberes rumah, lumayan jatah gaji Mbak Sarti bisa buat kebutuhan lain," balas mama lagi lalu meninggalkanku begitu saja.

Aku tak ingin berdebat. Kubiarkan mama dengan segala omelannya. Yang pasti, aku tetap yakin jika suatu saat nanti bisa mematahkan keangkuhannya. Akan kubuat mama menyesal sudah meremehkan dan memperlakukanku seperti ini. Lihat saja nanti.

***

"Hari ini Mbak Meli izin nggak masuk kerja, Na. Dia pulang kampung sampai seminggu ke depan. Jadi, kamu yang urus tugasnya sekalian," ucap mama yang baru keluar dari kamar mandi.

Aku tahu itu. Mbak Meli juga sudah bilang padaku kemarin. Hanya saja, aku masih tak mengira jika pekerjaan Mbak Meli dibebankan padaku juga.

Kupikir, mama akan meminta Mbak Rani atau Nina untuk membantuku. Paling tidak, mereka bisa mencuci dan menyetrika pakaiannya masing-masing. Sayangnya, harapanku sia-sia belaka. Mama tetap menjadikan anak-anak perempuannya seperti ratu.

"Kenapa diam?" tanya mama kembali membalikkan badan.

"Biar Mbak Rani dan Nina mengurus pakaiannya sendiri, Ma. Nggak mungkin aku semuanya. Aku bukan robot," ujarku tanpa menoleh.

Aku mengusap pelan peluh yang membanjiri kening setelah selesai menyapu halaman dan menyiram tanaman.

"Rani sibuk urus Arga. Kamu nggak lihat? Nina sibuk belajar mau ujian semester. Gimana sih kamu! Habis masak, nyetrika baju dulu," pungkas mama sebelum menutup pintu kamarnya.

Aku kembali menghela napas panjang. Sampai sekarang masih terheran-heran kenapa ada model mertua seperti mama. Pantas saja ketiga anaknya nggak ada yang benar, ternyata semua memang mengikuti jejak mamanya yang tak punya hati dan suka semena-mena.

"Na, bajuku udah disetrika belum?" tanya Mbak Rani saat aku baru mengambil secentong nasi.

Tenagaku sudah terkuras sejak pagi. Aku ingin mengisi perut dulu sebelum melakukan pekerjaan lainnya. Namun, baru saja duduk di kursi Mbak Rani sudah datang dengan tatapan tajam.

"Belum, Mbak. Aku baru kelar nyapu dan ngepel. Habis itu masak sambil menyiram tanaman di depan. Maaf belum sempat," ucapku cepat sembari mengambil tumis kacang dan sepotong ayam.

"Gimana sih, Na?! Itu baju mau aku pakai sekarang kok malah belum disetrika? Harusnya nyetrika baju dulu. Kalau pekerjaanmu sudah selesai baru makan. Atau kalau nggak, makannya nanti belakangan kalau kita sudah pergi ke hajatan," ucap Mbak Rani lagi.

Dia bersungut kesal. Kedua matanya melotot tajam ke arahku yang masih fokus dengan nasi dan lauk di piring.

"Aku lagi makan, Mbak. Mbak Rani nggak sibuk kan? Setrika sendiri bisalah. Arga juga masih di kamar sama papanya. Aku bukan pembantu di sini. Jadi, kuharap penghuni rumah ini tak terlalu memperbudakku," ujarku cepat.

"Enak saja! Aku mau mandiin Arga. Lagian kerjaan belum kelar kok sudah sarapan! Kamu menantu di sini, bukan ratu. Wajar kalau disuruh ini itu. Lagipula sudah untung kamu dipungut jadi menantu daripada dijadikan istri keempat bandot tua itu. Baju mama juga sudah ditungguin itu. Buruan makannya. Lelet banget kaya putri Solo!" sentak Mbak Rani lagi sembari menghentakkan kakinya.

Tak ingin semakin runyam, kuletakkan sisa sarapanku di rak. Nanti saja kulanjutkan lagi setelah mereka semua pergi daripada mendapatkan omelan mama lagi. Aku malas mendengarnya. Capek.

Meski badan rasanya tak karuan karena mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, tapi aku berusaha menyemangati diri agar tak menyerah. Aku yakin takdirNya tak pernah salah.

Aku percaya akan ada kebahagiaan setelah kepedihan dan akan ada kemudahan setelah kesulitan. Seperti dalam firmanNya, Qur'an surah Al Insyirah ayat lima dan enam,"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status