"Ratna! Setrika yang bener. Jangan melamun. Itu baju mahal. Memangnya kamu sanggup menggantinya kalau baju itu sampai gosong?!" sentak mama yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku.
Entah sejak kapan aku melamun sampai nggak tahu kalau mama sudah berdiri di ambang pintu. Mungkin terlalu lelah membuatku lupa jika detik ini ada tumpukan baju yang harus kusetrika secepatnya. Baru seminggu ditinggal Mbak Sarti, badanku rasanya sudah tak karuan. Nggak selamanya aku hidup seperti ini kan?"Melamun lagi, Na!" sentak mama membuatku mendongak seketika."Buruan setrika! Kerja yang bener, jangan melamun terus!" tukas mama sembari menunjuk tumpukan baju yang masih acak-acakan di depanku."Iy-- iya, Ma. Maaf," balasku cepat lalu kembali fokus menyetrika satu persatu baju milik mama, ipar dan keponakanku itu.Semua orang di rumah ini sibuk mau hajatan ke kerabat, katanya. Hanya saja, aku tak tahu dimana lokasinya. Aku juga tak tahu apakah akan diajak atau disuruh jaga rumah, tapi dari gelagat mama dan Mbak Rani barusan sepertinya aku memang tak diajak ke sana. Entahlah.Beberapa menit kemudian, urusan persetrikaan kelar. Aku buru-buru menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Seandainya nanti diajak ke sana, setidaknya aku sudah siap-siap dan mereka tak menunggu lama. Aku nggak mau Mas Azka kembali mengomel saat melihatku belum siap-siap.Baru saja memasuki kamar mandi, mobil Mas Azka sudah memasuki garasi. Seperti biasa mama, ipar dan keponakanku menyambutnya dengan ceria. Mas Azka mengucap salam lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa ruang tengah. Bersamaan dengan itu, Nina keluar kamar dengan dress berwarna peach dan rambut terurai."Ayo, Ka. Kita sudah telat ini. Acara kumpul keluarga bakda dzuhur. Seharusnya kita sudah sampai sana, ini malah baru mau berangkat," ucap mama sembari menarik lengan Mas Azka.Aku masih mematung di depan pintu kamar mandi menyaksikan obrolan mereka."Ratna nggak ikut, Ma?" tanya Mas Azka singkat tanpa menoleh. Dia masih memijit keningnya sembari memejamkan mata."Istrimu itu lelet. Bukannya buru-buru urus pekerjaan rumah dan mandi malah sibuk melamun sedari tadi. Sudah, biar dia di rumah. Lagipula ngapain juga dia ikut bikin cemburu Viona saja. Kamu juga pasti malu kalau ajak dia kondangan. Secara beda jauh sama Viona. Sudahlah, kita berangkat sekarang. Malu kalau sampai serombongan telat semua," ucap mama lagi disertai anggukan Mbak Rani dan Nina."Iya sih, Ma. Ucapan mama ada benarnya juga, tapi kalau nggak diajak, masa iya dia ditinggal di rumah sendirian, Ma?" tanya Mas Azka lagi sembari menatap mama dan Mbak Rani bergantian."Memangnya kenapa? Justru biar ada yang jagain rumah. Jadi, kita bisa lebih santai dan nggak terburu-buru di sana. Kamu juga bisa bertemu dengan Viona. Iya kan?" Mama menghela napas sembari melirik ke arahku."Sudahlah, Ka. Istrimu memang lelet. Sepertinya dia juga nggak niat mau ikut. Biar saja di rumah." Mbak Rani menimpali."Kamu di rumah, Na! Jangan kelayapan!" ucap mama saat menutup pintu kamarnya.Aku tak membalas. Membiarkan bulir bening di mataku menetes sesukanya. Akhirnya kulihat laki-laki itu beranjak dari sofa. Dia benar-benar meninggalkanku tanpa pamit. Bahkan sekadar mengucap sepatah kata pun tak ada.Aku tak tahu kenapa Mas Azka bisa sedingin itu padaku. Apakah sebenarnya dia kecewa sudah menikah denganku yang tak cantik ini? Apa dia menyesal sudah meninggalkan mantan istrinya itu?Viona. Aku tercekat mendengar nama itu disebut mama dua kali. Aku tahu siapa perempuan yang disebut mama barusan. Viona adalah mantan istri Mas Azka. Mama bilang, dia mandul makanya Mas Azka menceraikannya dan memilihku sebagai istri.Namun, aku pun tak tahu apakah itu alasan sebenarnya atau mama hanya mengada-ada.Kini, aku masih mematut diri di depan cermin di kamar.Entah mengapa mendadak insecure melihat tubuhku yang lebih berisi dan wajah kusam tak terawat. Apakah karena aku tak secantik mantan istrinya itu sampai Mas Azka malu untuk mengajakku ke hajatan kerabatnya?Apa dia nggak ingin memperkenalkanku pada keluarga besarnya? Padahal saat menikah dulu tak banyak saudaranya yang hadir. Hanya beberapa orang saja karena memang diadakan dengan sangat sederhana. Aku kembali menghela napas panjang.Semakin hari semakin berpikir, sebenarnya pernikahan seperti apa yang kujalani saat ini. Kenapa tak seperti pernikhan-pernikahan orang lain yang begitu membahagiakan dan menyenangkan. Kenapa aku di sini seperti orang asing yang justru dipaksa menjadi pembantu rumah tangga.Suasana semakin terasa hening. Kurebahkan diri di atas ranjang dengan air mata berlinang. Sesak ini kembali menjalar. Kupikir Mas Azka akan membelaku tiap kali mama dan kedua saudara perempuannya menyakiti hatiku.Namun ternyata, dia justru ikut menjatuhkanku dan membela keluarganya. Statusku sebagai istri seolah tak pernah ada gunanya. Mas Azka tetap bungkam dan membiarkan keluarganya memperlakukanku semena-mena.Entah sampai kapan aku harus bersabar. Sebulan lebih tinggal di rumah ini, rasanya seperti setahun. Mungkin jika aku bisa memiliki penghasilan sendiri, mereka tak akan meremehkanku seperti ini. Setidaknya aku bisa mengembalikan uang mama untuk menebus hutang ibu waktu itu. Lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit.Sampai usiaku nyaris dua puluh tahun ini, tak pernah sekalipun aku melihat uang sebanyak itu. Jangankan dua puluh juta, nolnya hilang satu saja aku belum pernah memilikinya. Saat kerja dulu, gajiku tak sampai dua juta. Tiap bulan pas-pasan karena habis untuk kebutuhan. Jangankan beli skincare, bisa makan dan mencicil hutang ibu saja sudah bersyukur.Sepertinya aku memang harus bekerja, tapi di mana? Aku tak memiliki keahlian apa-apa karena dulu lebih memilih masuk SMA daripada SMK. Alasannya karena sekolahku dulu tak jauh dari rumah.Selain itu aku juga bisa sambil membantu Bi Laras untuk menjaga kantin saat istirahat tiba. Ada upah yang bisa kudapatkan untuk membayar buku atau membeli peralatan sekolah. Setelah pulang pun, aku membantunya mengurus warung di rumah. Nyaris tak ada jam main saat mudaku dulu. Semua kugunakan untuk sekolah sembari bekerja.Kini, aku bingung bagaimana caranya mendapatkan penghasilan sementara Mas Azka tak pernah mengizinkanku bekerja di luar rumah. Lagipula pekerjaanku di sini sudah teramat banyak, rasanya nggak sanggup kalau harus cari kerja lagi di luar rumah. Badanku tak sekuat itu. Aku bisa tumbang kalau terus dipaksa mengerjakan semuanya."Kamu bisa jualin daganganku, Mbak. Nanti kalau laku biar aku yang kirim barangnya. Gimana? Jadi kamu cuma promosi aja lewat medsos. Nanti upahnya aku transfer tiap awal bulan."Mendadak teringat ucapan Mbak Santi, tetanggaku dulu yang jualan hijab online. Sepertinya aku harus menghubunginya. Mungkin dia bisa mengajariku untuk cari uang secara online. Setidaknya aku punya penghasilan sendiri meski sekadar beli pembalut atau sabun mandi.Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik buatku. Jika memang begini takdir yang harus kujalani, aku nggak boleh mengeluh. Aku pasti bisa melewati semuanya dengan baik. Allah Maha Pengasih. Tak mungkin memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya. Aku yakin itu!***Pagi-pagi sekali aku sudah membersihkan diri. Membuatkan cokelat panas dan roti panggang untuk Mas Latif. Ibu juga sudah selesai mandi dan mulai menyeruput jahe buatan Bi Siti. Sesekali melirikku lalu tersenyum tipis. Entah apa yang ada di benak ibu saat ini. Tapi, sepertinya ibu tersenyum saat melihat rambutku basah. Pikiran orang tua yang melihat anaknya baru menikah sepertinya sama saja. Mungkin bahagia melihat rambut anak dan menantunya yang basah tiap pagi, mengira tiap malam ada pertempuran khusus di antara mereka. "Ibu kenapa?" tanyaku akhirnya. Tak tahan melihat ibu yang terus melirikku lalu melihatku dari atas ke bawah. "Nggak apa-apa. Bagus," balasnya singkat membuatku mengernyit. "Bagus apanya sih, Bu?" "Rambutnya bagus, piyamanya bagus. Semua bagus." Ibu tersenyum lagi lalu mengedipkan matanya. "Rambut basah bukan berarti ada pertempuran tiap malam ya, Bu. Aduh, ibu pasti pikirannya ke mana-mana. Nggak sabaran banget pengin gendong cucu," omelku sontak membuat ibu te
Pov : Latif [Latif, aku nggak tahu nomer ponsel istrimu. Tolong sampaikan permintaan maaf dan ucapan terima kasihku padanya. Aku tahu dia sudah menyelamatkan nyawaku]Sebuah pesan dari Viona muncul di aplikasi hijauku. Aku tahu itu nomornya meskipun tak kusimpan, karena aku dan dia berada dalam satu grup whatsapp yang sama. Tumben sekali dia mau mengucap maaf dan terima kasih. Setahuku dari dulu dia sangat anti dengan hal-hal seperti itu. Dia selalu merasa paling baik, paling cantik dan paling benar. Hingga hampir tak pernah kudengar kata maaf atau pun terima kasih terucap dari bibirnya. Detik ini rasanya sangat istimewa, aku lihat sendiri dia mengetikkan kata itu untuk Ratna. Perempuan yang selama ini selalu dia benci dan dia hina. Apa mungkin dia sudah sadar atau terketuk hatinya sampai rela mengucapkan kalimat itu untuk rivalnya? Atau dia merasa tak enak hati karena Ratna sudah menyelamatkan nyawanya, padahal sebelumnya dia sendiri tega akan mencelakakan Ratna?[Latif, kamu tahu
Pov : Viona Aku masih membuntuti perempuan itu. Sampai kapan pun rasanya nggak rela jika Latif jatuh di pelukan perempuan lain apalagi perempuan sepertinya. Aku sendiri nggak habis pikir kenapa Mas Azka dan Latif bisa jatuh cinta sama dia. Bagusnya apa coba? Apa karena dia sekarang sudah kaya? Kalau masalah cantik, jelas aku lebih cantik daripada dia. Sudah kubilang, jika memang aku nggak bisa dapetin Latif, Ratna pun nggak boleh. Meski mereka sudah menikah sekali pun, aku akan tetap melanjutkan rencanaku sebelumnya. Nggak akan kubiarkan Ratna tertawa dan bahagia di atas lukaku.Aku tak peduli pesan terakhir dari Mas Azka waktu itu untuk menjauhi Ratna. Dia juga bilang, jangan sampai aku menyakiti dia lagi karena bisa saja aku dijebloskan ke penjara. Memangnya dia siapa bisa mengancamku seperti itu? Apa Mas Azka lupa siapa papa? Papa bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Kalau aku sampai berurusan dengan polisi, Papa pasti juga tak akan membiarkanku begitu saja masuk penjara. Ja
Pov : Azka"Gimana, Ka? Sudah dapat biaya untuk rumah sakit?" tanya mama tiba-tiba. Dia tampak begitu khawatir. Mungkin takut jika aku tak mendapatkan uang untuk membayar perawatannya."Mama tenang aja, udah ada uangnya kok bahkan lebih. Alhamdulillah," ucapku sambil tersenyum. Mama menghembuskan napas lega."Syukurlah." Mama berucap lirih."Mama tahu nggak siapa yang sudah membantu kita?"Mama masih berpikir. Terlihat kedua alisnya hampir menyatu."Pasti Viona. Siapa lagi? Cuma dia yang selalu care sama keluarga kita. Iya, kan?" tebak mama penuh keyakinan."Mama yakin Viona yang membantu memecahkan masalah kita?""Iya. Biasanya kan memang cuma dia. Viona memang menantu terbaik. Meski sudah tak lagi menjadi bagian dari keluarga kita, tapi dia masih begitu peduli," ujar mama lagi. Mama kembali menatapku begitu yakin.Aku tahu mama pasti menebak Viona karena memang cuma dia yang biasanya selalu membantu keluargaku. Tapi, sejak aku memutuskan ingin menikah dengan Tyas waktu itu, dia tak
Pov : Azka [Viona yang melakukannya, Na]Pesan singkat itu kukirimkan pada Ratna di malam pertamanya. Bukan maksud hati untuk mengganggu kebahagiaannya. Hanya saja aku berharap dari kejadian kemarin dia bisa lebih berhati-hati. Mungkin dia tak mengenal bagaimana Viona, tapi aku sudah hafal karakternya. Dia memang tipe yang tak suka disaingi, ingin selalu nomer satu dan tak suka jika ada yang mengalahkannya dari segi apa pun itu, apalagi urusan percintaan.Aku tahu Latif adalah cinta pertamanya, meski dulu sudah melupakannya saat menikah denganku. Tapi, mungkin cinta itu tumbuh lagi saat mereka kembali bertemu dalam reuni itu. Apalagi saat itu aku dan Viona juga sudah resmi berpisah. Jadi, tak ada halangan untuknya mencintai laki-laki lain.Meski aku tahu sebesar apa cinta Viona pada Latif yang hanya bertepuk sebelah tangan, tapi aku tak pernah menyangka jika Viona bisa melakukan hal bodoh seperti kemarin. Dia tak pernah berpikir panjang jika melakukan segala sesuatu. Pikirannya begi
Pov : Viona Rasa sakit hatiku pada perempuan itu juga belum sirna. Dari awal aku memang benci dengan dia karena sudah merebut tempatku sebagai menantu di keluarga Mas Azka. Meski dia tak pernah dianggap ada, tapi tetap saja gara-gara dia aku bercerai dengan Mas Azka. Apalagi sejak pertemuan tak disengaja dalam reuni itu, dia justru dekat dengan Latif. Membuat kebencian itu rasanya semakin membuncah. Dia pasti tak tahu siapa Latif dalam hidupku. Pulang dari reuni itu, beberapa kali Mas Azka bilang kalau Ratna berubah jadi cantik. Seolah berubah 180 derajat. Dia bilang sampai takjub melihat perubahan dalam diri mantan istrinya itu. Apa dia pikir, hatiku nggak sakit saat pujian itu terlontar dari bibirnya? Sakit! Selama ini aku selalu menjadi primadona dan tak pernah terkalahkan. Banyak orang bilang aku sangat cantik, tapi Mas Azka justru memuji kecantikan mantan istrinya di depanku. Benar-benar definisi lelaki tak tahu diri. Menyebalkan sekali. Aku memang malas balikan sama dia, kar