Share

BAB 3

"Ratna! Setrika yang bener. Jangan melamun. Itu baju mahal. Memangnya kamu sanggup menggantinya kalau baju itu sampai gosong?!" sentak mama yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku.

Entah sejak kapan aku melamun sampai nggak tahu kalau mama sudah berdiri di ambang pintu. Mungkin terlalu lelah membuatku lupa jika detik ini ada tumpukan baju yang harus kusetrika secepatnya. Baru seminggu ditinggal Mbak Sarti, badanku rasanya sudah tak karuan. Nggak selamanya aku hidup seperti ini kan?

"Melamun lagi, Na!" sentak mama membuatku mendongak seketika.

"Buruan setrika! Kerja yang bener, jangan melamun terus!" tukas mama sembari menunjuk tumpukan baju yang masih acak-acakan di depanku.

"Iy-- iya, Ma. Maaf," balasku cepat lalu kembali fokus menyetrika satu persatu baju milik mama, ipar dan keponakanku itu.

Semua orang di rumah ini sibuk mau hajatan ke kerabat, katanya. Hanya saja, aku tak tahu dimana lokasinya. Aku juga tak tahu apakah akan diajak atau disuruh jaga rumah, tapi dari gelagat mama dan Mbak Rani barusan sepertinya aku memang tak diajak ke sana. Entahlah.

Beberapa menit kemudian, urusan persetrikaan kelar. Aku buru-buru menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Seandainya nanti diajak ke sana, setidaknya aku sudah siap-siap dan mereka tak menunggu lama. Aku nggak mau Mas Azka kembali mengomel saat melihatku belum siap-siap.

Baru saja memasuki kamar mandi, mobil Mas Azka sudah memasuki garasi. Seperti biasa mama, ipar dan keponakanku menyambutnya dengan ceria. Mas Azka mengucap salam lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa ruang tengah. Bersamaan dengan itu, Nina keluar kamar dengan dress berwarna peach dan rambut terurai.

"Ayo, Ka. Kita sudah telat ini. Acara kumpul keluarga bakda dzuhur. Seharusnya kita sudah sampai sana, ini malah baru mau berangkat," ucap mama sembari menarik lengan Mas Azka.

Aku masih mematung di depan pintu kamar mandi menyaksikan obrolan mereka.

"Ratna nggak ikut, Ma?" tanya Mas Azka singkat tanpa menoleh. Dia masih memijit keningnya sembari memejamkan mata.

"Istrimu itu lelet. Bukannya buru-buru urus pekerjaan rumah dan mandi malah sibuk melamun sedari tadi. Sudah, biar dia di rumah. Lagipula ngapain juga dia ikut bikin cemburu Viona saja. Kamu juga pasti malu kalau ajak dia kondangan. Secara beda jauh sama Viona. Sudahlah, kita berangkat sekarang. Malu kalau sampai serombongan telat semua," ucap mama lagi disertai anggukan Mbak Rani dan Nina.

"Iya sih, Ma. Ucapan mama ada benarnya juga, tapi kalau nggak diajak, masa iya dia ditinggal di rumah sendirian, Ma?" tanya Mas Azka lagi sembari menatap mama dan Mbak Rani bergantian.

"Memangnya kenapa? Justru biar ada yang jagain rumah. Jadi, kita bisa lebih santai dan nggak terburu-buru di sana. Kamu juga bisa bertemu dengan Viona. Iya kan?" Mama menghela napas sembari melirik ke arahku.

"Sudahlah, Ka. Istrimu memang lelet. Sepertinya dia juga nggak niat mau ikut. Biar saja di rumah." Mbak Rani menimpali.

"Kamu di rumah, Na! Jangan kelayapan!" ucap mama saat menutup pintu kamarnya.

Aku tak membalas. Membiarkan bulir bening di mataku menetes sesukanya. Akhirnya kulihat laki-laki itu beranjak dari sofa. Dia benar-benar meninggalkanku tanpa pamit. Bahkan sekadar mengucap sepatah kata pun tak ada.

Aku tak tahu kenapa Mas Azka bisa sedingin itu padaku. Apakah sebenarnya dia kecewa sudah menikah denganku yang tak cantik ini? Apa dia menyesal sudah meninggalkan mantan istrinya itu?

Viona. Aku tercekat mendengar nama itu disebut mama dua kali. Aku tahu siapa perempuan yang disebut mama barusan. Viona adalah mantan istri Mas Azka. Mama bilang, dia mandul makanya Mas Azka menceraikannya dan memilihku sebagai istri.

Namun, aku pun tak tahu apakah itu alasan sebenarnya atau mama hanya mengada-ada.

Kini, aku masih mematut diri di depan cermin di kamar.

Entah mengapa mendadak insecure melihat tubuhku yang lebih berisi dan wajah kusam tak terawat. Apakah karena aku tak secantik mantan istrinya itu sampai Mas Azka malu untuk mengajakku ke hajatan kerabatnya?

Apa dia nggak ingin memperkenalkanku pada keluarga besarnya? Padahal saat menikah dulu tak banyak saudaranya yang hadir. Hanya beberapa orang saja karena memang diadakan dengan sangat sederhana. Aku kembali menghela napas panjang.

Semakin hari semakin berpikir, sebenarnya pernikahan seperti apa yang kujalani saat ini. Kenapa tak seperti pernikhan-pernikahan orang lain yang begitu membahagiakan dan menyenangkan. Kenapa aku di sini seperti orang asing yang justru dipaksa menjadi pembantu rumah tangga.

Suasana semakin terasa hening. Kurebahkan diri di atas ranjang dengan air mata berlinang. Sesak ini kembali menjalar. Kupikir Mas Azka akan membelaku tiap kali mama dan kedua saudara perempuannya menyakiti hatiku.

Namun ternyata, dia justru ikut menjatuhkanku dan membela keluarganya. Statusku sebagai istri seolah tak pernah ada gunanya. Mas Azka tetap bungkam dan membiarkan keluarganya memperlakukanku semena-mena.

Entah sampai kapan aku harus bersabar. Sebulan lebih tinggal di rumah ini, rasanya seperti setahun. Mungkin jika aku bisa memiliki penghasilan sendiri, mereka tak akan meremehkanku seperti ini. Setidaknya aku bisa mengembalikan uang mama untuk menebus hutang ibu waktu itu. Lima puluh juta bukanlah uang yang sedikit.

Sampai usiaku nyaris dua puluh tahun ini, tak pernah sekalipun aku melihat uang sebanyak itu. Jangankan dua puluh juta, nolnya hilang satu saja aku belum pernah memilikinya. Saat kerja dulu, gajiku tak sampai dua juta. Tiap bulan pas-pasan karena habis untuk kebutuhan. Jangankan beli skincare, bisa makan dan mencicil hutang ibu saja sudah bersyukur.

Sepertinya aku memang harus bekerja, tapi di mana? Aku tak memiliki keahlian apa-apa karena dulu lebih memilih masuk SMA daripada SMK. Alasannya karena sekolahku dulu tak jauh dari rumah.

Selain itu aku juga bisa sambil membantu Bi Laras untuk menjaga kantin saat istirahat tiba. Ada upah yang bisa kudapatkan untuk membayar buku atau membeli peralatan sekolah. Setelah pulang pun, aku membantunya mengurus warung di rumah. Nyaris tak ada jam main saat mudaku dulu. Semua kugunakan untuk sekolah sembari bekerja.

Kini, aku bingung bagaimana caranya mendapatkan penghasilan sementara Mas Azka tak pernah mengizinkanku bekerja di luar rumah. Lagipula pekerjaanku di sini sudah teramat banyak, rasanya nggak sanggup kalau harus cari kerja lagi di luar rumah. Badanku tak sekuat itu. Aku bisa tumbang kalau terus dipaksa mengerjakan semuanya.

"Kamu bisa jualin daganganku, Mbak. Nanti kalau laku biar aku yang kirim barangnya. Gimana? Jadi kamu cuma promosi aja lewat medsos. Nanti upahnya aku transfer tiap awal bulan."

Mendadak teringat ucapan Mbak Santi, tetanggaku dulu yang jualan hijab online. Sepertinya aku harus menghubunginya. Mungkin dia bisa mengajariku untuk cari uang secara online. Setidaknya aku punya penghasilan sendiri meski sekadar beli pembalut atau sabun mandi.

Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik buatku. Jika memang begini takdir yang harus kujalani, aku nggak boleh mengeluh. Aku pasti bisa melewati semuanya dengan baik. Allah Maha Pengasih. Tak mungkin memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambaNya. Aku yakin itu!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
B I
Masih bodoh aja si azka, disetirin ma emaknya. Cerita lanjutan dari si Alya bukan ?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status