[Istri yang selalu disebut miskin dan dijadikan pembantu oleh keluargaku, bahkan kusia-siakan itu ternyata memiliki warisan yang fantastis]
"Jangan di kamar terus, Na! Keluar sekarang!" teriak mama mertua dari luar kamar.Tak ingin mendengar teriakannya yang berulang, aku buru-buru menutup pintu lemari dan keluar kamar. Kulihat suasana rumah lumayan sepi. Tak ada siapapun kecuali mama di ruang keluarga."Ngapain di kamar terus? Kamu bukan menantu gedongan. Beberes rumah sana!" sentak mama lagi. Meski sedikit terheran, aku kembali memberanikan diri untuk bertanya tentang Mbak Sarti.Dia adalah asisten rumah tangga di sini. Biasanya, Mbak Sarti yang mengurus rumah, sementara aku hanya membantunya memasak atau pekerjaan ringan lainnya, tapi kenapa aku yang disuruh membereskan rumah?"Memangnya Mbak Sarti kemana, Ma?" tanyaku pada mama mertua yang masih tiduran di sofa. Kedua matanya masih fokus menikmati sinetron favoritnya. Mama menoleh sekilas ke arahku lalu kembali dengan camilan di tangannya."Ngapain nanya Sarti segala. Dia sudah mama pecat," ucapnya singkat sontak membuat kedua alisku mengerut seketika.Aku kembali menatap mama dengan beragam pertanyaan. Mengapa Mbak Sarti dipecat? Apa salahnya sampai mama memecat Mbak Sarti yang katanya sudah bekerja lebih dari dua tahun di sini? Bukannya rumah ini butuh asisten karena terlalu banyak orang dan pekerjaan yang harus diurus?Jika Mbak Sarti sudah dipecat, lantas siapa yang akan menggantikannya mengurus rumah? Nggak mungkin aku kan?"Kenapa diam?" tanya mama singkat tanpa menoleh sedikitpun. Aku kembali menatapnya."Kenapa Mbak Sarti dipecat, Ma?" tanyaku masih keheranan.Aku benar-benar tak mengerti alasan yang masuk akal dari mama sampai bisa memecat asisten serajin Mbak Sarti."Kan sekarang sudah ada kamu yang menggantikannya," balas mama lagi membuatku terbatuk seketika.Mama kembali melirikku lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkannya di meja."Maksud mama gimana?" tanyaku lagi pura-pura tak mengerti.Detik ini, dadaku berdegup kencang. Sepertinya dugaanku benar. Sepertinya mama memang akan menjadikanku sebagai pengganti Mbak Sarti. Mendengar pertanyaanku, mama menghela napas kasar lalu menunjukku dengan salah satu jarinya."Ya kamu yang gantiin Mbak Sarti beberes di rumah ini. Gitu aja kok nggak paham. Jangan lemot jadi orang," jawabnya tanpa basa-basi.Jawaban mama kali ini benar-benar di luar nalar. Bagaimana mungkin seorang menantu hanya dijadikan sebagai pengganti pembantu di rumah ini?"Maaf, Ma. Aku dilamar Mas Azka untuk dijadikan istri, bukan untuk dijadikan pembantu," jawabku begitu kesal.Baru sebulan menjadi menantu mama, watak aslinya sudah begitu kelihatan. Aku tahu, mama memang tak menyukaiku sejak awal. Mama bilang, tempo hari hanya pura-pura merestui pernikahanku dengan Mas Azka karena dia menginginkan cucu dariku. Cucu yang tak bisa dia dapatkan dari istri pertama Mas Azka, katanya.Kupikir semua yang dikatakannya saat itu hanya gurauan semata. Namun, kini kutahu jika dia memang tak menginginkan kehadiranku sepenuhnya. Bahkan kini kebenciannya terlalu ketara. Aku tak dijadikan menantu seutuhnya melainkan akan dijadikan pembantu juga. Keterlaluan! Dia benar-benar hanya memanfaatkanku saja."Sudahlah, jangan membantah. Anggap saja itu sebagai balasan karena aku sudah memberikan uang lima puluh juta untuk membayar hutang ibumu pada rentenir itu. Kalau nggak, hari ini pasti ibumu sudah tidur di kolong jembatan," ucap mama membuat kedua mataku berkaca.Tak terasa, bulir bening menetes dari kedua sudut mataku. Kalimat yang mama ucapkan benar-benar membuat hati ini terasa perih. Teringat kembali kejadian dua bulan yang lalu, saat dua laki-laki kekar itu teriak-teriak di depan rumah sederhana ibu."Lunasi satu minggu lagi. Kalau tidak, kami akan mengusir kalian dari sini!" teriak mereka lantang dan garang.Bentakan mereka membuat beberapa tetanggaku keluar rumah. Mereka ikut menyaksikan adegan itu seperti sedang menonton bioskop.Ibu menangis dan mengiba agar diberi waktu lebih lama. Namun, mereka tak mau peduli. Tetap mengancam akan datang satu minggu lagi untuk mengambil pelunasannya, kalau nggak? Terpaksa akan mengusir aku dan ibu dari rumah itu.Pikiranku kalut. Gajiku sebagai buruh cuci jelas tak cukup untuk melunasi hutang sebesar itu. Sebenarnya bisa saja aku bekerja di kota dengan gaji lebih besar seperti sebelumnya, tapi ibu selalu melarang.Ibu tak ingin aku kembali ke kota. Dia lebih senang jika aku selalu bersamanya dan bekerja apa saja yang penting halal di desa. Ibu hanya tak ingin jauh dariku karena akhir-akhir ini sering sakit-sakitan.Mendengar permintaan ibu itu, aku pun menurut saja. Aku tak ingin mengecewakannya karena hanya dia yang aku punya. Bahkan, saat Mas Azka tiba-tiba datang melamar pun, aku tak kuasa menolak karena ibu sudah menerima lamarannya.Ibu pikir, Mas Azka laki-laki yang baik, perhatian dan mapan. Tak salah jika aku menikah dengannya sekalipun sudah duda. Boleh jadi hidupku akan lebih tertata dan bahagia saat bersamanya.Awalnya aku pikir juga begitu. Namun ternyata, dugaanku salah besar. Sepertinya Mas Azka dan keluarganya hanya memanfaatkanku saja.Meski sedikit kecewa, aku tak bisa berbuat apa-apa karena uang lima puluh juta pemberian dari mama sudah ibu serahkan ke rentenir itu untuk melunasi semua hutangnya."Buruan ngepelnya! Masih ada pekerjaan lain yang menunggu. Bukannya buru-buru malah bengong di situ!" sentak mama membuatku terlonjak. Aku kembali menghela napas panjang."Aku menantu, bukan pembantu, Ma," ucapku lagi.Aku hanya bisa protes, tapi tak bisa membantah perintahnya. Bagiku, mama seperti ibu yang harus kuhormati dan kucintai. Sayangnya, rasa cintaku tak ada timbal baliknya."Siapa bilang? Itu kan hanya alasan konyol pada ibumu agar dia menerima lamaran anakku. Sebenarnya tanpa alasan macam-macam pun, ibumu pasti setuju sih. Siapa juga yang nggak mau punya besan sepertiku? Iya, kan?" tanya mama lagi seolah begitu merendahkan ibu dan aku."Kalau ibu tahu mama hanya memperlakukanku seperti pembantu, dia pasti nggak akan setuju," tukasku cepat."Siapa bilang? Kamu aja yang bodoh. Jelas ibumu mata duitan begitu. Dia bahkan rela menjual anak gadisnya hanya untuk uang lima puluh juta!" ucap mama terlihat kesal. Entah kenapa mama yang kesal, padahal seharusnya aku yang berada di posisi itu."Mas Azka pasti akan protes jika dia tahu mama memperlakukanku seperti ini," ucapku lagi. Bukannya kaget, mama justru terbahak mendengar ucapanku."Azka? Marah karena kamu kuperlakukan selayaknya pembantu?" cibir mama lagi."Baca ini! Pesan dari suamimu!" perintah mama padaku. Kubaca sebuah pesan yang dikirimkan Mas Azka untuk mama.[Daripada bayar Mbak Sarti mahal, mungkin lebih baik minta tolong Ratna saja untuk menggantikannya, Ma. Lagian dia juga nggak ada kerjaan. Tiap hari cuma tiduran di kamar kan? Bukannya lebih baik beberes rumah, biar hidupnya lebih bermanfaat]Aku hanya beristighfar dalam hati. Cukup shock membaca pesan dari Mas Azka barusan. Teganya dia bicara seperti itu. Aku benar-benar tak menyangka jika sikapnya tak jauh berbeda dengan mama yang hanya ingin memanfaatkanku saja.Kupikir selama ini dia masih cuek karena belum terbiasa dan belum terlalu mengenalku, ternyata dia memang tak sepeduli itu."Bagaimana, Na? Sudah jelas kata suamimu, kan? Buruan kerja! Dia cukup perfeksionis. Jadi, semuanya harus rapi sebelum dia pulang. Kalau nggak, dia akan bad mood semalaman," ucap mama lagi sembari melotot kecil ke arahku. Aku kembali menunduk."Buruan sana. Malah bengong di situ!" perintah mama ketus membuatku berlalu darinya.Rumah ini ada dua lantai. Lantai atas hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi serta halaman untuk bermain basket, sedangkan lantai bawah ada tiga kamar. Ada ruang keluarga yang cukup besar dan ruang tamu dan teganya mama menyuruhku untuk membersihkan semuanya sendirian.Entah kegilaan macam apa yang mama lakukan! Padahal jelas di rumah ini ada Mbak Rani dan adik iparku, Nina. Mereka sama-sama perempuan yang seharusnya bisa membantuku mengurus rumah. Sayangnya, hanya aku yang dijadikan pembantu, sementara mereka bebas beraktivitas seperti biasanya."Jangan khawatir! Urusan cuci dan setrika ada Mbak Meli. Kamu cuma bersih-bersih rumah ini aja," teriak mama dari tempatnya.Cuma bersih-bersih, katanya? Dia kira beberes rumah sebesar ini nggak capek? Enak aja dibilang cuma! Lihat saja Ma, suatu hari nanti mama pasti menyesal sudah memperlakukanku seperti ini.Sekarang mungkin aku masih diam dan patuh karena belum punya bekal untuk memberontak, tapi nanti aku akan mencari cara agar mama tak semakin semena-mena. Aku pasti bisa membuat mama menghargaiku sebagai menantu!***"Mau kemana, Na?" tanya ibu saat melihatku siap-siap di kamar. "Mau ke rumah Yesha makan malam, Bu. Hari ini dia rayakan ulang tahun pernikahan." Ibu tak membalas ucapanku. Wanita paruh baya itu melangkah mendekat lalu duduk di tepi ranjang sembari mengamatiku yang sedang berdandan. "Nggak usah berias. Nggak elok buat perempuan yang masih dalam masa iddahnya. Kalau saja bisa kamu bahkan tak diperkenankan keluar rumah, takut ada fitnah," ujar ibu kemudian. Kuhela napas panjang. Seperti yang kukhawatirkan sedari tadi soal iddah, ternyata benar jika masa ini adalah masa pingitan. Dipingit supaya tak berbuat aneh-aneh di luar rumah karena masih dalam masa berkabung akibat perceraian. Tapi, rasanya aku tak sesedih itu bahkan bahagia bisa terlepas dari belenggu yang sebelumnya menimpaku. "Baiklah, Bu. Ratna akan hapus make up-nya, tapi izinkan Ratna ke rumah Ayesha ya? Ratna diundang ke sana. Bukankah salah satu kewajiban seorang muslim itu memenuhi undangan dari sesama muslim lainnya?
[Mas, bagaimana urusan perceraian itu? Sudah bereskah?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Latif. Kemarin dia bilang, urusan persidangan sudah beres tinggal menunggu surat perceraian saja. Kalau benar begitu, syukurlah. Semua memang lebih mudah dan cepat karena Mas Azka benar-benar tidak datang dalam persidangan. Mungkin dia pikir, ketidakdatangannya itu akan membuatku berpikir ulang atau bahkan mempersulit jalannya persidangan. Tanpa dia sadari, tindakannya itu justru membuat persidangan lebih cepat dan tak berbelit-belit. Mas Latif pun berusaha keras agar kasus perceraian ini berjalan lancar tanpa hambatan. Dia memang sangat bisa diandalkan. [Alhamdulillah sudah selesai, Mbak. Semua lancar seperti yang Mbak Ratna harapkan. Kapan kita bertemu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan] Balasan dari Mas Latif masuk ke aplikasi hijauku. Alhamdulillah, akhirnya aku benar-benar bebas dari keluarga ajaib itu. Mereka nggak akan bisa menggangguku lagi setelah ini karena perceraianku
Urusan perceraian sudah ditangani Mas Latif. Aku hanya menunggu kabar baiknya saja. Sejak tadi pagi, seolah ponselku tak berhenti berdering. Beberapa menit hening, beberapa menit kemudian kembali nyaring. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Azka. Sudah dua minggu lebih aku tak bertemu dengannya dan sejak itu pula aku rajin perawatan di salon. Biar saja, sengaja akan kubuat dia shock saat melihat penampilanku nanti. Di pasti tak pernah menyangka jika istri yang sering dia maki-maki karena jelek, buluk, kucel, miskin, tak berpendidikan dan tak berkelas itu kini berubah drastis. Aku tak akan membiarkan mereka menghinaku lagi. Dua hari yang lalu, aku sengaja membuat akun baru di sebuah aplikasi berwarna merah. Satu akun untuk jualan sepatu-sepatu dari pabrikku itu dan satu lagi akun pribadi. Sengaja aku tautkan antar keduanya biar orang-orang yang akan menjadi distributor, agen atau pun resellerku tahu siapa ownernya. Yang nggak kalah penting, aku sengaja mengikuti akun Mas Azka, Nina
Kuucapkan salam saat memasuki rumah. Rupanya, Mas Latif sudah datang terlebih dahulu. Dia masih asyik mengobrol dengan ibu di ruang tamu. Kulihat ibu sedikit kaget melihat kedatanganku. "Darimana? Terlihat lebih segar dan cantik," bisik ibu setelah membalas salamku. Bisikan ibu membuatku meringis kecil. "Maaf sudah menunggu, Mas." Aku menangkupkan kedua tangan sebagai perkenalan. "Oh nggak apa-apa, Mbak. Saya juga baru datang," jawabnya dengan senyum tipis. Kulihat Bik Anah sudah membawakan tiga gelas minuman dingin dan camilan lalu meletakkannya di meja. Aku meminta ibu untuk menemani obrolan kami."Langsung saja ya, Mas. Jadi aku sama suami baru menikah dua bulanan secara siri. Aku sudah minta dia agar mau menceraikanku, tapi dia menolak dengan alasan macam-macam. Apa boleh buat, mau nggak mau aku yang menggugat karena selama ini dia dan keluarganya memang hanya memanfaatkanku saja. Apa Yesha sudah menjelaskannya kemarin?" "Iya, Mbak. Garis besarnya memang sudah diceritakan Mba
"Kamu dapat warisan, Na?" tanya mama menyela. "Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa? Sudahlah. Bukan urusan mama dan Mas Azka," jawabku lagi. "Jelas masih urusan Azka dong, Na. Kalian masih sah suami istri," ucap mama cepat. Giliran urusan harta saja kalian gerak cepat. Dasar keluarga mata duitan!"Benar kata mama, Na. Kita masih sah suami istri. Jadi, apa yang kamu miliki itu juga milikku." Mas Azka begitu bersemangat. "Enak aja! Kamu nggak ada hak di sana ya, Mas. Lagipula aku sudah bilang kemarin sama kamu. Aku mau kita cerai. Aku nggak sudi lagi punya suami dan mertua dzalim seperti kalian. Jadi, jangan coba-coba mengambil keuntungan," jawabku lagi. Kutekankan kata dzalim dan keuntungan di sini agar mereka tahu diri. Aku yakin Mas Azka sengaja menyalakan speaker handphonenya agar mama atau mungkin Nina bisa ikut mendengar obrolan ini. "Nggak akan! Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak mau cerai, Ratna!" ucap Mas Azka tegas. "Terserah kamu, Mas. Kalau kamu me
"Nin ... Nina!" Viona menggoyang-goyangkan tubuh Nina yang mendadak pingsan. Aku diam saja, masih asyik membaca majalah yang kubawa dari mobil tadi sambil menunggu karyawan salon yang akan membersihkan rambutku. Ini salon khusus perempuan, jadi tak ada laki-laki keluar masuk sembarangan. "Tanggung jawab kamu, Na! Pakai acara menghalu segala. Pingsan 'kan dia," ucap Viona tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan kesal, sementara aku hanya mengernyit.Menghalu, katanya? Rupanya dia masih nggak percaya dengan cerita Anggun barusan. Mungkin masih begitu yakin kalau aku sesuai dengan prasangkanya. Oh, yasudahlah terserah apa maunya. Lagipula aku juga malas berdebat dengan perempuan sepertinya. Buang-buang waktu dan tenaga saja. "Heh, malah enak-enakan baca majalah. Bantuin nih adik iparmu. Bikin ribet aja pakai pingsan segala. Mau perawatan jadi gagal," sungut perempuan itu lagi. Aku masih bergeming dan hanya melirik sekilas. "Kamu nggak tuli kan?!" sentak Viona sembari berusaha
"Berani-beraninya mengancamku! Heh, kamu nggak tahu siapa aku?!" sentak Viona tak mau kalah. "Tahu. Kamu hanya mantan suamiku yang kini berusaha mendekatinya lagi setelah dia berusaha move on dari perempuan tukang selingkuh sepertimu," balasku sekenanya. Wajah Viona memerah. Dia pasti tak terima dengan jawabanku. Aku tak peduli."Asal kamu tahu, Mas Azka nggak mungkin bisa move on! Dia terlalu mencintaiku. Dasar perempuan tak tahu diri. Mimpimu terlalu tinggi untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Mengerti!" Aku menatapnya sembari tersenyum miring. "Mengerti, Nona Viona. Silakan ambil suamiku kalau kamu mau. Aku tak membutuhkannya lagi," bisikku dengan sedikit penekanan. Dua karyawan salon itu berusaha menenangkan Viona yang makin meradang. Mereka menarik tangan Viona yang nyaris melemparku dengan vas bunga. Malas berdebat, aku sengaja keluar salon agar mereka tahu jika aku bukanlah Ratna yang dulu. Aku yakin mereka akan mengintip dan mengikuti kemana aku pergi. Benar saja, dua per
Sejak dua hari yang lalu, aku sudah mencari salon terbaik di kota ini untuk melakukan perawatan wajah dan badan. Mulai detik ini, aku tak ingin lagi diremehkan oleh Mas Azka soal penampilan apalagi dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya itu. Setidaknya agar dia sadar jika ingin melihat istrinya cantik dan modis dia juga harus mengeluarkan modal. Sekiranya tak sanggup memberikan dana, mungkin lebih baik jika diam. Semakin dia menghina istrinya, semakin membuatnya terlihat buruk karena menguliti aib sendiri. Selain itu, aku juga akan membuktikan pada keluarga dzalim itu jika hidupku jauh lebih bahagia setelah tak bersama dengan mereka. Mereka pasti menyesal dan shock saat melihatku mendadak kaya. Bukan soal dendam dan sebagainya, aku hanya ingin mereka sadar jika Allah bisa mengubah kehidupan hambaNya dengan mudah dalam sekejap mata jika DIA berkehendak. Jadi, buat apa merasa paling tinggi bahkan merendahkan yang lainnya?[Kenapa nggak kirim nomor rekeningnya, Mas?] Kukirimkan
"Ratna ... jawab pertanyaan ibu. Apa benar kabar yang ibu dengar itu?" ulang ibu dengan cemasnya." Kuhela napas panjang lalu mengusap pelan lengan ibu untuk sedikit menenangkan. "Desas-desus itu memang benar, Bu. Sudahlah. Ibu tak perlu merisaukan kabar itu. Pokoknya sekarang Ratna ingin membuka lembaran baru. Ratna tak sanggup lagi menjadi istri Mas Azka. Ratna capek. Hampir semua pekerjaan rumah, Ratna yang kerjakan. Sepertinya mereka sengaja mencari menantu sekaligus untuk dijadikan pembantu. Beruntung Ratna belum hamil, jadi bisa benar-benar bebas dan lepas jika sudah bercerai dengan Mas Azka nanti. Coba kalau sudah hamil, apalagi memiliki buah hati. Mereka pasti melakukan berbagai cara untuk merecoki kehidupan Ratna di kemudian hari." Terpaksa kuceritakan semua alasan perceraianku pada ibu. Aku nggak ingin ibu makin berpikir macam-macam. Aku akan merasa amat bersalah kalau sampai tensi ibu naik lagi hanya gara-gara memikirkan masalahku ini. "Astaghfirullah ... astaghfirullah .