"Assalamu'alaikum, Bu Ratna. Maaf ini Aisyah." Aisyah? Siapa? Aku masih mengingat-ingat namanya. "Saya Aisyah, karyawan Bu Ratna di RANS." "Oh iya, Syah. Ada apa?" tanyaku cepat. Sepertinya ada kabar penting yang akan dia katakan. "Pak Erdi manager kita, Bu. Beliau kecelakaan beberapa jam yang lalu," ucapnya terbata sembari menahan tangis. "Innalillahi wainna illaihi roji'un.""Beliau meninggal, Bu. Sedangkan istrinya masih hamil anak kedua." Air mataku meleleh begitu saja. Aku bisa membayangkan betapa sedih istrinya Pak Erdi. Dia pasti bingung bagaimana cara mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya nanti setelah kepergian suaminya. "Kenapa, Na?" tanya Mas Latif yang terlihat begitu khawatir saat melihatku terisak. "Ada kabar duka, Mas," balasku pendek. "Pak, kita langsung ke rumah ya? Saya mau jemput ibu. Kita takziah ke rumah Pak Erdi, manajer di RANS."Mas Latif terlihat sedikit kebingungan. Mungkin tak paham apa yang kumaksudkan. Aku pun tak akan menjelaskan apa-apa
"Ratna, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Mas Latif saat aku dan dia pindah ke warung bakso seberang jalan untuk makan siang. Hatiku masih berdebar-debar setelah membuat Mas Azka dan Viona merah padam di acara reuni barusan. Mereka terlihat begitu kaget dan tak menyangka aku bisa melakukan itu di depan banyak orang.Kuatur napas agar bisa tenang kembali, meski rasanya masih dag dig dug tak karuan. Kulirik Mas Latif yang masih menatapku tajam. Sepertinya dia begitu menghawatirkanku. Dia masih menatapku tak berkedip beberapa saat lamanya."Doooorrrrrr!" Mas Latif sedikit terlonjak. Bukannya marah dia justru pasang wajah kocak yang membuatku tak mampu menahan tawa. Kututup mulut agar tawaku tak begitu didengar oranglain. "Lagi serius malah becanda. Bisa ngelawak juga kamu, Na," ucap Mas Latif pelan sembari tersenyum. Senyum yang manis! Ucapannya barusan membuatku sedikit tersedak. Dia buru-buru memberikan es jeruknya untukku. Manis sekali, seperti di film-film. "Nah kan. Kualat udah n
"Jangan pulang malam ya, Mas." Pesan ibu pada Mas Latif saat aku mulai masuk ke dalam mobil. Pak Odi dan Mas Latif duduk di jok depan sedangkan aku di belakang. [Cieee yang mau reunian sama Latif] Kubuka pesan dari Yesha. Mulutku membulat seketika membaca deretan kata yang dikirimnya. Jadi, dia tahu kalau aku ikut reuni Mas Latif? Jangan-jangan dia yang sengaja kasih saran Mas Latif untuk mengajakku ke acara itu? Dasar Ayesha![Mau nolak nggak enak sama adik iparmu, Sha. Dia kan udah bantuin aku duluan]Gegas kubalas pesan Ayesha, daripada nanti kena terornya.[Adik iparku baik kok, Na. Bukan promo loh yaaa. Tapi, dia emang bukan tipe yang suka ngobral-ngobral cinta. 11-12 lah sama kakaknya. Tipe setia] Aku mendengkus. [Kan ... kan ... promo]Aku yakin Yesha makin ngelantur kemana-mana nanti kalau kubalas terus. Sudahlah nggak usah kutanggepin lagi. Kumatikan ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Mas Latif masih asyik ngobrol soal bola dengan Pak Odi. Tak berselang la
Kubuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar yang putih. Suara ketukan ibu sudah tak terdengar lagi. Aku sengaja bangun agak telat pagi ini karena semalaman belajar membuat aplikasi yang sedikit membuatku pusing. Lagipula hari ini aku tak ada kewajiban untuk salat subuh. Lagi datang bulan jadi tak apalah sesekali bangun telat. Kulihat jam dinding hampir menunjuk angka enam. Segera kubereskan selimut, membuka jendela dan menghirup udara pagi yang masih cukup segar. Aku duduk di samping jendela, menikmati pagi sambil mengingat permintaan Mas Latif kemarin. Masih nggak habis pikir, kenapa dia mengajakku untuk menemaninya ke acara itu? Aku yang bahkan baru beberapa minggu dikenalnya. Ponsel di atas nakas bergetar, pertanda ada pesan yang masuk. Kuusap layar pelan. Pesan dari Mas Latif. Aku membacanya dari notifikasi di layar. [Mbak, reuninya bakda dzuhur di Sendang Ayu Resto. Nanti saya jemput ya?]Aku kembali terdiam. Teringat pesan ibu semalam soal masa iddah. Tak elok rasanya k
Beberapa hari ini, aku cukup sibuk belajar membuat aplikasi android dengan Yesha. Cukup sulit memang, tapi aku nggak akan menyerah begitu saja. Sambil rebahan di atas sofa, kubuka akun baru dari aplikasi merah itu. Ada komen Lita di sana. Menanyakan bagaimana caranya menjadi reseller sepatu-sepatuku. Dia juga ikut mengomentari foto di akun pribadiku. Dan yang membuatku kaget, ada komen Mas Azka di sana. [Cantik] Hanya satu kata yang dia tulis. Mungkinkah dia benar-benar nggak tahu kalau itu aku? Apa karena aku terbiasa dengan daster lusuh, sedangkan di foto itu aku memakai kaca mata hitam dan gamis branded hingga membuatnya tak lagi mengenaliku? Aku yang pernah menjadi istrinya dan selalu menjadi bahan caciannya? [Cantik rumahnya atau cantik orangnya, nih?] Sengaja kububuhkan emoticon smile di akhir kalimat. Aku ingin tahu apakah dia terjebak dengan permainan ini. Lelaki sepertinya memang pantas mendapatkan balasan supaya bisa menghargai perempuan. Aku juga ingin dia sadar dan
Ayesha menyambut di depan pintu saat aku sampai di halaman rumahnya. Sepertinya mereka hanya menungguku saja karena aku datang paling akhir. Mas Latif pun sudah datang. Dia menatapku beberapa saat lalu tersenyum tipis. Mungkin shock melihatku yang berpenampilan ala kadarnya ini. Entah. "Hei, si paling natural. Tetap cantik kok." Ayesha memuji sembari mengedipkan sebelah matanya. Ayesha melirikku sambil tersenyum. Kami berpelukan beberapa saat. "Ratna yang dulu memang cantik, tapi yang sekarang lebih segar dan bersinar. Perawatan di mana?" bisik Ayesha dengan senyum jahilnya. "Dasar rese! Nggak usah ngeledek!" seruku cepat. "Siapa yang ngeledek? Serius ini." Ayesha kembali meyakinkan. Aku hanya menggeleng pelan. Beberapa minggu ini aku memang fokus perawatan badan dan wajah. Sakit hati rasanya dibilang jelek dan kucel, bukan hanya oleh suami tapi mertua dan adik ipar sendiri. Mereka pikir, aku tak bisa tampil cantik? Semua orang bisa asalkan ada dananya. Dulu, boro-boro perawata