Urusan memasak sudah beres. Aku melanjutkan pekerjaan lain yang belum usai. Menyapu halaman, menjemur baju dan membersihkan kamar mandi. Rencananya setelah semua kelar aku akan fokus promosi dagangan Mbak Santi. Semoga saja hari ini ada barang yang terjual, jadi bisa menabung sedikit demi sedikit untuk melunasi hutang.
Tak banyak hal yang kuinginkan saat ini. Aku hanya berharap ibu baik-baik saja di sana dan aku bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Jika mereka memiliki rencana lain untuk menjebakku di sini, aku juga memiliki rencana berbeda dan tak sepolos sebelumnya.Jarum jam menunjuk angka sembilan saat semu urusan pekerjaan kelar. Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, aku beranjak ke ranjang. Sedikit menyelonjorkan kaki lalu merebahkan badan. Rasanya cukup lelah, tapi mendadak semangat itu hadir saat kulihat sebuah pesan masuk di layar. Bukan pesan dari nomor nggak dikenal itu lagi, tapi dari nomor baru yang menanyakan daganganku.[Mbak, hijab model ini warna hitam masih ada? Kalau masih mau pesan tiga ya]Rasanya terharu saat membaca orderan pertama dari jualanku itu. Tak terasa kedua mataku berkaca-kaca karenanya. Aku yakin jika ditelateni akan menghasilkan juga suatu saat nanti. Lima puluh juta memang bukan uang yang sedikit, tapi dengan kerja keras aku yakin akan mendapatkannya.Mungkin jika aku memilih berpisah dan bekerja akan lebih cepat menghasilkan uang. Hanya saja aku tak ingin membebani ibuku lagi. Ibu pasti akan semakin kepikiran jika aku pergi dari Mas Azka di usia pernikahanku yang baru seumur jagung. Sungguh, aku hanya ingin melihat ibuku lebih tenang di usia senjanya.[Mbak Santi, hijab model ini yang hitam stoknya masih ada atau nggak ya? Ada yang tanya soalnya, kalau masih ada dia minta tiga. Nanti alamatnya aku kirim ke Mbak Santi ya, sekalian dipaketkan.]Kukirimkan pesan panjang itu pada Mbak Santi. Seperti perjanjian di awal, dia yang akan mengurus pengiriman karena tugasku hanya promosi saja. Jika nanti terjual tiga potong, itu artinya aku mendapatkan komisi lima belas ribu rupiah. Lumayan untuk awal jualan dan aku akan mensyukuri berapapun rezeki yang dilimpahkanNya untukku.[Masih ada lima, Mbak. Oke, ditunggu alamatnya ya. Semoga deal. Nomor rekeningnya sudah aku kirim kemarin ya, Mbak. Semangat selalu Mbak Ratna!]Aku tersenyum tipis membaca pesan dari Mbak Santi. Lega saat melihat stok di tokonya yang masih cukup. Gegas kukirimkan pesan pada calon pembeli sesuai balasan dari Mbak Santi barusan.Tak selang lama, calon pembeli itu mengiyakan. Dia mengirimkan alamat rumahnya dan minta totalan. Lagi-lagi aku tersenyum dan terharu karena pesanan perdana ini bukan dari pembeli yang terlalu banyak drama.[Sudah aku kirim ya, Mbak. Silakan dicek dulu, ini bukti transfernya. Kalau mau kirim paketnya kabari aku ya, Mbak. Sekalian minta bukti kirimnya juga biar bisa dilacak. Makasih Mbak Ratna]Obrolan usai dengan bukti transfer yang terkirim di layar. Lega rasanya mendapatkan pesanan pertama ini. Pesanan yang membuatku semakin bersemangat untuk menjual lebih banyak lagi. Aku yakin tak akan ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan dan doa.[Alhamdulillah, akhirnya pesanan perdana datang ya, Mbak. Sudah aku cek transferannya, Mbak. Aku catat penjualan Mbak Ratna ya. Awal bulan nanti aku kirim ke Mbak Ratna komisinya. Hari ini lima belas ribu. Makasih, Mbak Ratna. Semakin semangat ya!]Aku tersenyum membaca pesan dari Mbak Santi. Dia memang selalu menyemangatiku untuk mempromosikan dagangannya. Semangat darinya itu membuatku semakin yakin akan ada hasil jika benar-benar mau berusaha.Nyatanya dia juga berhasil mengirimkan puluhan paket setiap harinya, padahal awal jualan dulu nyaris tak ada yang laku. Berkat kegigihan dan doanya setiap hari, kini dia mulai memetik hasilnya.***Suara salam terdengar cukup keras dari luar pagar. Aku buru-buru beranjak dari kursi makan lalu melangkah tergesa ke teras rumah. Seorang laki-laki berdiri di depan pagar dengan membawa sebuah paket dan buket bunga.Sepertinya dia kurir yang mungkin ingin mengirimkan paket untuk mama atau saudara iparku karena aku sendiri tak pernah belanja apapun. Kenapa ada buket bunga segala? Ah, entah. Mungkin juga buat Nina dari kekasihnya."Maaf, apa benar ini rumahnya Mbak Nina?" tanya laki-laki itu ramah. Mungkin kurir baru karena aku belum pernah melihat dia sebelumnya."Benar, Mas. Saya kakak iparnya. Ada yang bisa dibantu?" tanyaku kemudian. Laki-laki itu memperlihatkan paket dan buket bunga yang dibawanya."Ini ada kiriman untuk Mbak Nina. Saya foto sebagai bukti terima ya, Mbak," ucapnya ramah.Aku pun mengiyakan lalu mempersilakannya untuk memotretku sembari membawa paket kecil dan buket yang baru saja kuterima.Setelah kepergian kurir itu, aku kembali masuk ke rumah dan mengunci pintu seperti biasanya. Kusimpan paket Nina di dalam lemari, sementara buket bunganya kuletakkan di atas meja rias. Akan kuberikan padanya kalau sudah pulang dari hajatan.Seperti biasa, aku mulai menyetrika baju-baju yang menumpuk. Biasanya ini tugas Mbak Meli, hanya saja dia cuti selama seminggu. Jadi, mama memintaku untuk menggantikannya. Sejak beberapa hari lalu, aku memang menyetrika semua baju yang ada, tak hanya milik suamiku melainkan milik mama dan saudara-saudaranya juga.Namun, kali ini aku tak akan melakukan hal yang sama. Aku pilih baju dan celana milikku, punya mama dan Mas Azka saja. Baju lainnya hanya aku lipat dan kutata di tempat semula. Jika memang mau distetrika, biar saja Nina dan Mbak Rani yang melakukannya sendiri. Mereka juga punya kedua tangan yang bisa dipakai untuk mengurus kebutuhannya sendiri.Tugasku di sini hanya berbakti pada Mas Azka dan mama, untuk urusan lain aku tak akan peduli lagi. Aku tahu bagaimana sikap mama dan Mas Azka padaku, tapi seperti apapun perlakuan mereka, selama statusku masih menjadi istri aku akan tetap berusaha untuk menghormatinya. Kecuali jika aku sudah tak kuat dan menyerah, aku akan pergi dan tak akan pernah kembali.Suara mobil Mas Azka terdengar di luar. Aku buru-buru mencuci tangan lalu melangkah sedikit tergesa ke luar rumah. Suara celoteh Arga, anaknya Mbak Rani mulai terdengar. Dia membawa mobil-mobilan cukup besar lalu berlari ke dalam rumah.Melihat mama dan Mbak Rani sedikit kerepotan, aku buru-buru melangkah ke garasi untuk membantu mereka membawakan beberapa barang yang entah apa isinya.Saat aku mendekat, kedua wanita itu melengos lalu mendorongku kasar.Aku tak tahu mengapa sikap mereka semakin terasa berbeda. Aku rasa mereka kesambet saat perjalanan pulang. Tak ada angin tak ada hujan kenapa keduanya semakin terlihat menyeramkan."Aku bantu, Ma," ulangku sembari berusaha membawakan tas mama. Namun, lagi-lagi dia menangkis tanganku."Nggak usah bantu apa-apa. Mama bisa bawa sendiri," ketusnya."Mama kenapa sih? Baru pulang sudah marah-marah?" tanyaku kemudian.Biasanya aku tak seberani itu untuk bertanya sesuatu padanya. Hanya saja, kali ini aku tak tahan lagi. Aku berusaha memberanikan diri. Iya, mulai saat ini aku memang ingin lebih berani agar tak selalu dianggap remeh dan dimanfaatkan oleh mereka. Mungkin dengan begitu mereka bisa sedikit menjaga sikap. Lagipula, aku punya hak untuk menghargai diriku sendiri bukan?"Urus saja lelaki itu. Baru ditinggal dua hari, sudah bermain api!" sentak mama membuatku bertanya-tanya apa maksudnya.***Kulangkahkan kaki menuju ruang direktur utama. Ruangan yang dulu papa tempati. Tak terlalu luas, namun cukup nyaman. Sudah beberapa kali duduk di kursi ini namun kadang aku masih merasa tak percaya bahwa akulah yang kini memiliki perusahaan ini. Masih teringat beberapa bulan yang lalu saat aku menitipkan lamaranku di pos satpam, sangat berharap agar bisa diterima dan bekerja di sini namun ternyata kabar baik itu tak kunjung tiba hingga kini. Mungkin memang ditolak karena tak membutuhkan karyawan produksi lagi. Sungguh sulit dipercaya jika sekarang justru akulah pemiliknya.Begitulah hidup, kadang di bawah kadang di atas. Tak perlu congkak saat seolah bisa menggenggam dunia karena esok atau lusa bisa saja terhempas begitu saja. Begitu juga sebaliknya. Tak perlu merasa paling buruk sedunia, karena jika DIA berkehendak keajaiban bisa datang tiba-tiba. Kulihat Aisyah mengetuk pintu. Dia masuk sambil tersenyum kecil sesaat kemudian. "Kenapa Ais?" tanyaku singkat setelah mempersilakannya
Hari ini aku sengaja memakai make up cukup menor dan tak sesederhana biasanya yang hanya dengan lipstik tipis. Aku tahu sebenarnya Mas Azka tak terlalu suka melihat perempuan menor. Tapi aku sengaja melakukan itu untuk melengkapi penyamaranku. Kalau hanya lipstik tipis saja, dia pasti akan mudah menebak karena aku pernah bertemu dengannya saat reuni lalu. Detik ini, aku sudah memakai gamis branded dengan sepatu hak tinggi atau high heels, kaca mata, lipstik merah merona, pensil alis dan sedikit polesan blus on. Kurasa penyamaran ini cukup sempurna. Tak ada Ratna di sana. Yang terlihat adalah orang berbeda. Kulangkahkan kaki menuju ruang keluarga. Di sana ada Bi Anah yang masih memijit kaki ibu dan mengobrol entah apa. Seketika mereka terbelalak melihat gayaku. Aku terkekeh melihat ekspresi mereka. "Gimana Bu? Cantik nggak?" tanyaku sambil memutar-mutar badan. Ibu hanya geleng-geleng kepala. Demikian juga Bi Anah. Sepertinya mereka berdua cukup terkejut dengan penampilanku detik ini
Sebuah pesan masuk di aplikasi merahku. Mungkin dari Nina. Dia memang sok akrab dan sok dekat denganku semenjak menjadi agen online shopku. Biarlah sesukanya, yang penting dia semakin semangat mempromosikan usaha baruku ini. Sambil menonton film horror, kuambil ponsel di meja. Mengusapnya pelan dan membuka pesan yang masuk barusan. Ternyata dugaanku keliru. Itu bukan pesan dari Nina, melainkan dari Mas Azka. Benar saja, dia mulai tebar pesona! [Hai Tyas, aku Azka kakaknya Nina. Dia bilang sudah menjadi agen resmi rans ya? Makasih ya, sudah mengajak adikku untuk join. Sekarang dia sudah punya penghasilan sendiri jadi tak terlalu membuatku pusing kepala membayar kuliahnya]Dih! Kenapa dia jadi curhat? Baru pertama kali chat, sudah sok kenal sok dekat. Nina pasti sudah ngomong macam-macam soal chat palsuku kemarin. Bisa jadi dia sekarang merasa di atas awan, karena merasa ada peluang untuk menjadi teman dekatku. Amit-amittttt![Kenapa nggak balas, Yas? Lagi sibuk ya?] Sepertinya sand
Pesan balasan dari Nina muncul di layar. Aku kembali geleng-geleng kepala dibuatnya. Dia benar-benar nggak tahu malu. Bisa-bisanya mempromosikan kakaknya segetol itu. [Bener itu akun kakakku, Mbak. dia memang cocok dijadikan suami. Mbak kenalan aja sendiri sama kakakku. Dia orangnya enak diajak ngobrol kok. Aku yakin Mbak Tyas bakal nyaman ngobrol sama dia. Ini aja aku langsung cerita sama dia soal Mbak Tyas] Kuhela napas panjang. Rasanya malas membahas masalah laki-laki tak tahu diri itu. Tapi, biar saja. Aku punya rencana sendiri untuk membuatnya jera.[Iya deh, gampang soal itu. Ohya, untuk team resellermu bagaimana Nin? Bertambah atau nggak minggu ini?] Kualihkan pembicaraan soal manusia satu itu. Makin lama ngomongin dia, makin membuatku mau muntah saja rasanya. [Makin bertambah dong, Mbak. Teman kuliahku banyak yang join. Stokku juga makin tipis, Mbak. Kapan-kapan aku boleh datang langsung ke tempat Mbak, ya? Biar bisa tatap muka dan ngobrol banyak. Aku ajak kakakku sekalian
Kepergian Pak Erdi membuatku harus berpikir siapa kira-kira yang pantas untuk menggantikan posisinya. Apa mungkin lebih baik aku membuka lowongan pekerjaan saja yang sudah jelas berpengalaman di bidangnya. Segera kubuat lowongan pekerjaan dan syarat-syarat lamarannya. Tak lupa mempromosikannya di surat kabar dan media sosial yang aku punya. Aplikasi merah itulah yang utama. Targetku kali ini adalah Mas Azka. Barangkali dia belum mendapat pekerjaan, mungkin saja dia tertarik untuk melamar. Aku punya rencana sendiri setelah berhasil membuatnya ikut melamar pekerjaan di sana.Urusan posting lowongan pekerjaan di medsos sudah kelar. Sekarang waktunya promo lagi aneka model sepatu merk RANS. Satu minggu terakhir pesanan online mulai melonjak tajam karena aku sudah mendapatkan beberapa distributor, agen dan reseller. Tak terkecuali Nina, mantan adik iparku yang sekarang sudah menjadi agen resmi RANS. Dia tak menaruh sedikit pun rasa curiga padaku. Mungkin benar kata ibu, aku sudah beruba
"Assalamu'alaikum, Bu Ratna. Maaf ini Aisyah." Aisyah? Siapa? Aku masih mengingat-ingat namanya. "Saya Aisyah, karyawan Bu Ratna di RANS." "Oh iya, Syah. Ada apa?" tanyaku cepat. Sepertinya ada kabar penting yang akan dia katakan. "Pak Erdi manager kita, Bu. Beliau kecelakaan beberapa jam yang lalu," ucapnya terbata sembari menahan tangis. "Innalillahi wainna illaihi roji'un.""Beliau meninggal, Bu. Sedangkan istrinya masih hamil anak kedua." Air mataku meleleh begitu saja. Aku bisa membayangkan betapa sedih istrinya Pak Erdi. Dia pasti bingung bagaimana cara mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya nanti setelah kepergian suaminya. "Kenapa, Na?" tanya Mas Latif yang terlihat begitu khawatir saat melihatku terisak. "Ada kabar duka, Mas," balasku pendek. "Pak, kita langsung ke rumah ya? Saya mau jemput ibu. Kita takziah ke rumah Pak Erdi, manajer di RANS."Mas Latif terlihat sedikit kebingungan. Mungkin tak paham apa yang kumaksudkan. Aku pun tak akan menjelaskan apa-apa