[Maaf kalau aku baru kasih kabar sekarang, Na. Acaranya lumayan ramai, makanya aku telat kasih kabar kalau mama pengin nginep di sini. Mama bilang mumpung banyak kerabat yang datang, sekalian temu kangen. Kamu nggak apa-apa di rumah sendiri kan?]
Kuhela napas panjang setelah membaca pesan dari Mas Azka barusan. Ternyata kekhawatiranku sebelumnya menjadi kenyataan. Mereka menginap lagi dan lagi. Beberapa kali hajatan tanpa mengajakku, tiap itu pula mereka seolah sengaja membuatku tak berarti. Pulang dan pergi sesuka hati tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaanku selama ditinggal sendiri.Rupanya Mas Azka dan keluarganya memang tak memiliki hati. Mereka tak mau peduli dengan perasaan orang lain, yang penting diri sendiri sudah happy. Sakit sih, tapi mau bagaimana lagi jika memang merekalah keluarga baru yang dikirimkan Allah padaku.Meski begitu aku cukup bersyukur karena mereka membantu keluargaku membungkam mulut debt collector kala itu. Meski kini hanya dijadikan pembantu, setidaknya mereka sudah pernah menjadi malaikat penyelamatku dari amukan penagih hutang itu.[Nggak apa-apa, Mas. Lagipula sudah biasa kan? Menginaplah kalian. Dengan begitu aku bisa lebih banyak istirahat karena selama ini aku jarang tidur nyenyak]Pesan yang kukirimkan sudah terbaca. Dari seberang, sepertinya Mas Azka mulai mengetik balasan. Cukup lama menunggu akhirnya jawaban laki-laki itu benar-benar muncul di layar handphone.[Jarang tidur nyenyak, Na? Bukannya selama ini kamu pulas tidur sampai kadang nggak bangun saat kubangunkan? Ah sudahlah. Sekarang kamu tidur saja. Jangan tidur kemalaman apalagi sengaja begadang. Aku juga mau tidur. Badan rasanya capek banget. Rasanya kangen pijit dari kamu, Sayang]Biasanya aku selalu luluh tiap kali mendengar panggilan sayang darinya, meski mungkin hanya sekadar di bibir saja baginya. Namun, tetap saja membuatku merasa lebih dihargai, tapi entah mengapa kali ini terasa berbeda dan tak seperti biasanya.Aku juga tak tahu kenapa rasanya hambar. Foto dan video yang dikirimkan Fina padaku membuat perasaan ini campur aduk. Ingin rasanya mengingkari, tapi di sisi lain aku tahu jika sepertinya mereka memang belum sepenuhnya saling melupakan.Mungkin pernikahan ini memang salah dan tak seharusnya dilakukan. Mas Azka belum move on dari masa lalunya. Bisa jadi dia memang menikahiku secara terpaksa hanya untuk menyenangkan hati mama. Mamanya yang memiliki rencana tersendiri saat menjadikanku menantu barunya.Ah! Mungkin memang begitu. Hanya saja aku yang terus berpikir positif padanya. Padahal mungkin dia memang tak benar-benar mengakui pernikahan ini. Semua seolah hanya sebuah formalitas belaka.Ingin rasanya mengasihani diri sendiri, tapi buat apa? Semua sudah terjadi dan tak mungkin bisa diulang kembali. Saat ini aku hanya bisa bertahan, jika kurasa tak sanggup lagi, aku pasti akan pergi.[Aku tidur dulu, Mas. Makasih sudah kasih kabar]Hanya itu balasan terakhir yang kukirimkan padanya. Rasanya benar-benar malas untuk sekadar berbasa basi. Rasanya cukup lelah terus berusaha menjaga perasaan orang lain, sementara mereka tak peduli dengan perasaanku selama ini.Haruskah aku terus mengalah dan pura-pura baik-baik saja, sementara rasa sakit yang mereka tikamkan padaku teramat menyiksa? Mungkin mulai sekarang aku harus bisa menghargai diriku sendiri agar tak selalu dijajah oleh mereka semua. Sedikit memberontak agar tak selalu dijadikan budak.Malam semakin larut. Sebenarnya mata ini belum bisa terpejam sempurna karena bayang-bayang Mas Azka dengan mantannya masih terus terngiang di pelupuk mata.Hanya saja, aku cukup lelah. Aku harus bisa memaksakan diri untuk beristirahat karena besok pasti akan jauh lebih lelah setelah mereka semua kembali ke rumah ini. Deretan pekerjaan akan siap menanti. Seolah membuatku tak memiliki waktu untuk sekadar menyelonjorkan kaki.***Adzan subuh yang begitu merdu terdengar membangunkanku dari tidur semalam. Aku menggeliatkan badan sebentar lalu duduk di atas ranjang sembari melipat lutut. Hening. Hanya terdengar suara denting jarum jam setelah adzan tak lagi terdengar di telinga.Kupandangi sekeliling kamar. Rasanya begitu sunyi, seolah aku hidup sendiri. Ingin sekali kembali ke rumah sederhana ibu, tapi di saat itu terjadi aku teringat bagaimana debt collector itu menarik paksa tangannya yang mengeriput. Makian terdengar begitu menyakitkan, sementara mereka hanya menonton tanpa memberikan pertolongan.Lima puluh juta yang diberikan mama pada ibu memang cukup membantu keadaanku. Sejahat apapun dia, setidaknya aku dan ibu bisa terlepas dari jerat debt collector itu. Mungkin aku akan kembali ke rumah setelah melunasi hutangku. Iya, anggap saja semua itu bagian dari hutang yang harus kubayar daripada terus direndahkan hanya karena uang lima puluh juta.Jika aku sudah mengembalikannya, tentu mereka tak akan lagi merendahkanku seperti ini. Mungkin mereka sedikit lebih sadar jika aku tak sebo doh yang mereka bayangkan. Aku yang akan menerima apapun dan bagaimanapun perlakuan mereka tanpa pernah melakukan perlawanan.[Kamu nggak tanya pada suamimu, semalam dia tidur dengan siapa? Kamu nggak penasaran apa yang dilakukannya semalaman?]Sebuah pesan muncul di layar. Pesan dari nomor baru entah siapa lagi. Semalam aku sudah memblokir nomor nggak jelas itu dan kini kembali mendapatkan pesan menyebalkan dari nomor lain. Aku yakin pengirimnya adalah orang yang sama.Lagi-lagi aku malas memikirkan hal-hal yang membuat moodku berantakan. Lebih baik segera melakukan aktivitas seperti biasanya daripada terus kepikiran dengan pesan-pesan yang muncul di layar. Aku beranjak dari ranjang untuk mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban dua rakaat.Kuserahkan semua takdirku padaNya. Aku yakin DIA jauh lebih mengerti apa yang terbaik untukku saat ini. Jika memang Mas Azka bukan jodohku yang sebenarnya, tentu DIA akan mengirimkan pengganti yang lebih baik. Namun, jika memang dia jodohku, tentu DIA akan memantapkan hatiku untuk bertahan dan bersabar untuk mengubah hatinya.Setelah selesai melakukan kewajiban, aku kembali melipat mukena dan meletakkannya di tempat semula. Saat ingin melangkah keluar kamar, handphone yang kuletakkan di atas meja rias itu kembali bergetar. Meski enggan, nyatanya aku juga penasaran dengan pesan yang terkirim di sana.Perlahan kubuka notifikasi di layar. Mendadak tercekat saat membaca pesan kedua yang muncul di sana. Ingin kembali mengabaikan, tapi entah mengapa justru semakin kepikiran. Sejauh itukah hubungan mereka? Atau semua ini hanya untuk membuatku semakin sakit saja? Siapa sebenarnya yang mengirimkan pesan-pesan konyol ini padaku? Apa mungkin Mas Azka setega itu?[Lihatlah wajah suamimu pasca bangun tidur. Terlihat sangat lelah bukan? Entah apa yang dilakukannya semalam. Sekarang dia sudah mandi, keramas dan wangi. Kamu tahu apa yang dilakukan Viona pagi ini? Dia sengaja membuatkan sarapan untuk suamimu. Romantis bukan?]Apa yang sebenarnya terjadi? Jika memang Mas Azka masih mencintai mantan istrinya, buat apa memeprtahankan pernikahan ini? Apa aku memang hanya dinikahi untuk dijadikan pembantu saja?Apa ada rencana terselubung lain yang disimpan mama dan Mas Azka? Apa mereka sengaja mempertahanku demi memuluskan rencana terselubungnya itu?Berbagai dugaan kembali lalu lalang di benak. Aku benar-benar tak paham apa yang sebenarnya direncanakan mama atas pernikahanku dengan anak lelakinya.Jika memang hanya ingin dijadikan pembantu, kenapa mama tak meminta anaknya untuk menceraikanku saja lantas memaksaku tetap tinggal di sini sampai hutangku lunas? Kenapa aku harus terus menjadi istri Mas Azka sementara hadirku seakan tak pernah dianggap ada?***"Mau kemana, Na?" tanya ibu saat melihatku siap-siap di kamar. "Mau ke rumah Yesha makan malam, Bu. Hari ini dia rayakan ulang tahun pernikahan." Ibu tak membalas ucapanku. Wanita paruh baya itu melangkah mendekat lalu duduk di tepi ranjang sembari mengamatiku yang sedang berdandan. "Nggak usah berias. Nggak elok buat perempuan yang masih dalam masa iddahnya. Kalau saja bisa kamu bahkan tak diperkenankan keluar rumah, takut ada fitnah," ujar ibu kemudian. Kuhela napas panjang. Seperti yang kukhawatirkan sedari tadi soal iddah, ternyata benar jika masa ini adalah masa pingitan. Dipingit supaya tak berbuat aneh-aneh di luar rumah karena masih dalam masa berkabung akibat perceraian. Tapi, rasanya aku tak sesedih itu bahkan bahagia bisa terlepas dari belenggu yang sebelumnya menimpaku. "Baiklah, Bu. Ratna akan hapus make up-nya, tapi izinkan Ratna ke rumah Ayesha ya? Ratna diundang ke sana. Bukankah salah satu kewajiban seorang muslim itu memenuhi undangan dari sesama muslim lainnya?
[Mas, bagaimana urusan perceraian itu? Sudah bereskah?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Latif. Kemarin dia bilang, urusan persidangan sudah beres tinggal menunggu surat perceraian saja. Kalau benar begitu, syukurlah. Semua memang lebih mudah dan cepat karena Mas Azka benar-benar tidak datang dalam persidangan. Mungkin dia pikir, ketidakdatangannya itu akan membuatku berpikir ulang atau bahkan mempersulit jalannya persidangan. Tanpa dia sadari, tindakannya itu justru membuat persidangan lebih cepat dan tak berbelit-belit. Mas Latif pun berusaha keras agar kasus perceraian ini berjalan lancar tanpa hambatan. Dia memang sangat bisa diandalkan. [Alhamdulillah sudah selesai, Mbak. Semua lancar seperti yang Mbak Ratna harapkan. Kapan kita bertemu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan] Balasan dari Mas Latif masuk ke aplikasi hijauku. Alhamdulillah, akhirnya aku benar-benar bebas dari keluarga ajaib itu. Mereka nggak akan bisa menggangguku lagi setelah ini karena perceraianku
Urusan perceraian sudah ditangani Mas Latif. Aku hanya menunggu kabar baiknya saja. Sejak tadi pagi, seolah ponselku tak berhenti berdering. Beberapa menit hening, beberapa menit kemudian kembali nyaring. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Azka. Sudah dua minggu lebih aku tak bertemu dengannya dan sejak itu pula aku rajin perawatan di salon. Biar saja, sengaja akan kubuat dia shock saat melihat penampilanku nanti. Di pasti tak pernah menyangka jika istri yang sering dia maki-maki karena jelek, buluk, kucel, miskin, tak berpendidikan dan tak berkelas itu kini berubah drastis. Aku tak akan membiarkan mereka menghinaku lagi. Dua hari yang lalu, aku sengaja membuat akun baru di sebuah aplikasi berwarna merah. Satu akun untuk jualan sepatu-sepatu dari pabrikku itu dan satu lagi akun pribadi. Sengaja aku tautkan antar keduanya biar orang-orang yang akan menjadi distributor, agen atau pun resellerku tahu siapa ownernya. Yang nggak kalah penting, aku sengaja mengikuti akun Mas Azka, Nina
Kuucapkan salam saat memasuki rumah. Rupanya, Mas Latif sudah datang terlebih dahulu. Dia masih asyik mengobrol dengan ibu di ruang tamu. Kulihat ibu sedikit kaget melihat kedatanganku. "Darimana? Terlihat lebih segar dan cantik," bisik ibu setelah membalas salamku. Bisikan ibu membuatku meringis kecil. "Maaf sudah menunggu, Mas." Aku menangkupkan kedua tangan sebagai perkenalan. "Oh nggak apa-apa, Mbak. Saya juga baru datang," jawabnya dengan senyum tipis. Kulihat Bik Anah sudah membawakan tiga gelas minuman dingin dan camilan lalu meletakkannya di meja. Aku meminta ibu untuk menemani obrolan kami."Langsung saja ya, Mas. Jadi aku sama suami baru menikah dua bulanan secara siri. Aku sudah minta dia agar mau menceraikanku, tapi dia menolak dengan alasan macam-macam. Apa boleh buat, mau nggak mau aku yang menggugat karena selama ini dia dan keluarganya memang hanya memanfaatkanku saja. Apa Yesha sudah menjelaskannya kemarin?" "Iya, Mbak. Garis besarnya memang sudah diceritakan Mba
"Kamu dapat warisan, Na?" tanya mama menyela. "Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa? Sudahlah. Bukan urusan mama dan Mas Azka," jawabku lagi. "Jelas masih urusan Azka dong, Na. Kalian masih sah suami istri," ucap mama cepat. Giliran urusan harta saja kalian gerak cepat. Dasar keluarga mata duitan!"Benar kata mama, Na. Kita masih sah suami istri. Jadi, apa yang kamu miliki itu juga milikku." Mas Azka begitu bersemangat. "Enak aja! Kamu nggak ada hak di sana ya, Mas. Lagipula aku sudah bilang kemarin sama kamu. Aku mau kita cerai. Aku nggak sudi lagi punya suami dan mertua dzalim seperti kalian. Jadi, jangan coba-coba mengambil keuntungan," jawabku lagi. Kutekankan kata dzalim dan keuntungan di sini agar mereka tahu diri. Aku yakin Mas Azka sengaja menyalakan speaker handphonenya agar mama atau mungkin Nina bisa ikut mendengar obrolan ini. "Nggak akan! Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak mau cerai, Ratna!" ucap Mas Azka tegas. "Terserah kamu, Mas. Kalau kamu me
"Nin ... Nina!" Viona menggoyang-goyangkan tubuh Nina yang mendadak pingsan. Aku diam saja, masih asyik membaca majalah yang kubawa dari mobil tadi sambil menunggu karyawan salon yang akan membersihkan rambutku. Ini salon khusus perempuan, jadi tak ada laki-laki keluar masuk sembarangan. "Tanggung jawab kamu, Na! Pakai acara menghalu segala. Pingsan 'kan dia," ucap Viona tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan kesal, sementara aku hanya mengernyit.Menghalu, katanya? Rupanya dia masih nggak percaya dengan cerita Anggun barusan. Mungkin masih begitu yakin kalau aku sesuai dengan prasangkanya. Oh, yasudahlah terserah apa maunya. Lagipula aku juga malas berdebat dengan perempuan sepertinya. Buang-buang waktu dan tenaga saja. "Heh, malah enak-enakan baca majalah. Bantuin nih adik iparmu. Bikin ribet aja pakai pingsan segala. Mau perawatan jadi gagal," sungut perempuan itu lagi. Aku masih bergeming dan hanya melirik sekilas. "Kamu nggak tuli kan?!" sentak Viona sembari berusaha
"Berani-beraninya mengancamku! Heh, kamu nggak tahu siapa aku?!" sentak Viona tak mau kalah. "Tahu. Kamu hanya mantan suamiku yang kini berusaha mendekatinya lagi setelah dia berusaha move on dari perempuan tukang selingkuh sepertimu," balasku sekenanya. Wajah Viona memerah. Dia pasti tak terima dengan jawabanku. Aku tak peduli."Asal kamu tahu, Mas Azka nggak mungkin bisa move on! Dia terlalu mencintaiku. Dasar perempuan tak tahu diri. Mimpimu terlalu tinggi untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Mengerti!" Aku menatapnya sembari tersenyum miring. "Mengerti, Nona Viona. Silakan ambil suamiku kalau kamu mau. Aku tak membutuhkannya lagi," bisikku dengan sedikit penekanan. Dua karyawan salon itu berusaha menenangkan Viona yang makin meradang. Mereka menarik tangan Viona yang nyaris melemparku dengan vas bunga. Malas berdebat, aku sengaja keluar salon agar mereka tahu jika aku bukanlah Ratna yang dulu. Aku yakin mereka akan mengintip dan mengikuti kemana aku pergi. Benar saja, dua per
Sejak dua hari yang lalu, aku sudah mencari salon terbaik di kota ini untuk melakukan perawatan wajah dan badan. Mulai detik ini, aku tak ingin lagi diremehkan oleh Mas Azka soal penampilan apalagi dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya itu. Setidaknya agar dia sadar jika ingin melihat istrinya cantik dan modis dia juga harus mengeluarkan modal. Sekiranya tak sanggup memberikan dana, mungkin lebih baik jika diam. Semakin dia menghina istrinya, semakin membuatnya terlihat buruk karena menguliti aib sendiri. Selain itu, aku juga akan membuktikan pada keluarga dzalim itu jika hidupku jauh lebih bahagia setelah tak bersama dengan mereka. Mereka pasti menyesal dan shock saat melihatku mendadak kaya. Bukan soal dendam dan sebagainya, aku hanya ingin mereka sadar jika Allah bisa mengubah kehidupan hambaNya dengan mudah dalam sekejap mata jika DIA berkehendak. Jadi, buat apa merasa paling tinggi bahkan merendahkan yang lainnya?[Kenapa nggak kirim nomor rekeningnya, Mas?] Kukirimkan
"Ratna ... jawab pertanyaan ibu. Apa benar kabar yang ibu dengar itu?" ulang ibu dengan cemasnya." Kuhela napas panjang lalu mengusap pelan lengan ibu untuk sedikit menenangkan. "Desas-desus itu memang benar, Bu. Sudahlah. Ibu tak perlu merisaukan kabar itu. Pokoknya sekarang Ratna ingin membuka lembaran baru. Ratna tak sanggup lagi menjadi istri Mas Azka. Ratna capek. Hampir semua pekerjaan rumah, Ratna yang kerjakan. Sepertinya mereka sengaja mencari menantu sekaligus untuk dijadikan pembantu. Beruntung Ratna belum hamil, jadi bisa benar-benar bebas dan lepas jika sudah bercerai dengan Mas Azka nanti. Coba kalau sudah hamil, apalagi memiliki buah hati. Mereka pasti melakukan berbagai cara untuk merecoki kehidupan Ratna di kemudian hari." Terpaksa kuceritakan semua alasan perceraianku pada ibu. Aku nggak ingin ibu makin berpikir macam-macam. Aku akan merasa amat bersalah kalau sampai tensi ibu naik lagi hanya gara-gara memikirkan masalahku ini. "Astaghfirullah ... astaghfirullah .