Share

Tawaran Menjadi Istri Kedua

***

"Miskin harta bisa dicari, Mbak, tapi kalau miskin adab, susah," sindir Delia sembari tersenyum samar. "Apalagi miskin harga diri, waduh ... bahaya!"

"Apa maksudmu bicara seperti itu di depan istriku?" Jaka bersedekap dada. "Siapa yang miskin harga diri, hah?"

Delia hanya mengedikkan bahu. Enggan menanggapi rasa keingintahuan yang Jaka tunjukkan.

"Lama-lama kamu makin kurang ajar, Del," seloroh Meisya geram. "Aku ini kakak ipar kamu, bisa gak sih kamu jaga mulut ...."

"Jaga mulut?" sela Delia terkikik. "Jaga mulut di depan kamu, iya? Hei, Mbak ... aku sangat bisa menjaga mulut dan sikap jika saja kamu juga melakukan hal yang sama. Untuk apa aku menjaga mulut sementara kamu tidak pernah berpikir ketika berbicara!"

Bu Sarah memijit pelipisnya yang terasa pening. Melihat anak dan menantunya berseteru membuat wanita paruh baya itu mendadak kehilangan gairah hidup. Tidak. Bu Sarah justru menyalahkan Haikal atas keributan yang terjadi.

"Del, masuk!" pinta Pak Handoko.

"Tidak, Pak," sahut Delia tegas. "Sekali-kali dia harus diberi tahu kalau aku sebenarnya sudah muak dengan sikapnya yang arogan. Sombong, sok berkuasa ...."

Plak ...!!!

"Jaka!"

Pak Handoko dan Bu Sarah sama-sama memekik. Sementara di balik tubuh Jaka, Meisya bersedekap dada sambil tersenyum penuh kemenangan. Wanita berpakaian seksi itu seakan tengah berbicara, "Jaka ada di pihakku, Delia."

"Anak kurang ajar!" Pak Handoko bersiap melayangkan tinjunya, namun suara Delia membuat tangan pria paruh baya itu mengambang di udara.

"Pak, tidak perlu membuang-buang energi," kata Delia begitu tenang. "Tamparan ini tidak akan pernah aku lupakan, Mas. Ingat itu!"

"Ya, akan aku ingat!" Jaka berbicara lantang. "Ingat juga kalau aku tidak akan pernah mau membantu kesulitan kamu di masa depan. Bahkan dengan mencium kakiku, aku tidak akan sudi membantumu, Delia!"

Jaka menarik tangan istrinya kasar. "Ayo pulang, Mei!"

"Jaka, tunggu dulu, Nak!" Bu Sarah mencengkeram lengan putra sulungnya erat. Kedua matanya menatap Jaka dan Meisya bergantian. Cairan bening bahkan sudah bergelayut manja di kelopak mata wanita paruh baya itu. "Jangan seperti ini, Jaka. Ibu tidak suka kalau anak-anak Ibu bertengkar."

"Lepaskan aku, Bu! Bela saja anak Ibu yang sebentar lagi akan menikah dengan petani miskin itu. Muak sekali aku melihat wajahnya!"

Pak Handoko menarik tangan Bu Sarah dan berkata tegas. "Pergilah! Pulang dan jangan datang ke rumah ini lagi jika hanya untuk menyakiti Delia."

Wajah Jaka memerah. Pun dengan Meisya, kedua tangannya mengepal kuat karena untuk pertama kalinya Pak Handoko mengusir mereka ketika berkunjung.

"Bapak yakin melarangku datang ke rumah ini lagi, hah? Yakin bisa hidup tanpa uang dariku?"

"Uang?" Ulang Pak Handoko. Air mukanya terlihat kebingungan. "Uang apa maksudmu?"

Meisya buru-buru menarik tangan Jaka dan berkata, "Sudahlah, Mas. Ayo pulang, untuk apa lagi kita berada disini. Ayo!"

Delia tertawa lirih menyadari sikap Meisya yang tidak biasa. Lagi-lagi gadis itu menemukan fakta lain tentang 'uang' yang Jaka maksud.

Baru beberapa langkah meninggalkan depan rumah Sang Mertua, Meisya menghentikan langkah, dia kembali berbalik dan mendekati Bu Sarah. Ah, tidak, dia mendekati sesuatu yang terletak di depan rumah mertuanya.

"Mas, beras ini ada beberapa karung, bawa satu buat di rumah," pinta Meisya tidak tau malu. "Lagipula Ibu tidak akan menghabiskan semua beras ini, terlalu banyak," imbuhnya sembari melirik sinis pada Delia.

"Sungguh sangat tidak tau malu," ujar Delia menohok. "Setelah menghina Mas Haikal, sekarang kamu justru mau membawa beras ...."

"Ini hanya beras, jangan lebay!" sela Meisya membela diri. "Beras tidak ada apa-apanya di mata kami, Delia!"

"Kalau begitu, pergi!" Delia berkacak pinggang. Benar-benar jengah melihat sikap Meisya yang pongah. "Jangan harap kamu bisa membawa beras dari rumah ini. Ini pemberian petani miskin, Mbak gak malu minta beras setelah mencaci maki Mas Haikal dan keluarganya?"

Meisya menyentak napasnya kasar. Di belakang Delia, Bu Sarah berulang kali menarik hela napasnya yang terasa begitu menyesakkan.

"Aku tidak meminta Delia!" pekik Meisya.

"Lalu apa namanya? Mengemis?"

"Hei, Delia ....!"

Pak Handoko hendak melangkah maju ketika suara Jaka meneriaki nama bungsunya. Namun sayang, tangan Delia dengan cekatan mencekal pergelangan tangan Sang Bapak dan memberikan gelengan kepala samar.

"Jangan sampai aku menamparmu untuk yang kedua kalinya, Del!" ancam Jaka disertai kedua mata melotot lebar. "Baru dilamar petani saja sikapmu sangat serakah, memalukan! Ini hanya perihal beras, bahkan aku bisa membelikan Meisya yang jauh lebih banyak dari itu ...."

"Kalau begitu belikan." Delia menyela. "Belikan beras yang banyak untuk istrimu agar dia tidak mudah tergiur dengan beras yang ada di rumah Ibu. Ah, tapi Mbak Meisya memang mudah tergiur. Ya kan, Mbak?"

Rahang Meisya mengeras. Kakinya menghentak di halaman kemudian berbalik dan kembali melangkah mendekati Jaka yang tengah berdiri di samping pintu mobil.

"Kamu sudah sangat keterlaluan, Del." Fatimah berbicara tanpa melihat wajah Delia. "Bagaimana kalau nanti Mas Jaka tidak mau membantu biaya pernikahan kamu? Siapa yang kamu andalkan, hah? Aku? Gak sudi!"

"Pikirkan saja tentang dirimu sendiri, Mbak Fat," jawab Delia ketus. "Aku tidak akan mengemis apapun pada kalian. Ingat itu!"

Delia melepaskan tangan Pak Handoko dan berjalan gontai memasuki kamarnya. Di balik pintu, tubuh Delia luruh sambil memeluk lutut. Tangisnya pecah dalam diam. Sesak sekali rasanya ketika menangis tanpa suara.

"Apa begitu hina dilamar petani?" gumam Delia lirih.

Pipi Delia basah. Di atas lutut, gadis itu menyembunyikan wajahnya berpangku tangan yang dilipat. Bahunya bergetar. Kedua tangannya mengepal kuat. Jika dia saja bisa se-terluka ini mendengar hinaan dari Jaka dan keluarganya, lalu bagaimana dengan Haikal? Bagaimana perasaan Emak dan Bapak ketika semua keluarganya melayangkan cibiran tanpa sungkan?

Pintu kamar Delia diketuk dari depan. Gadis yang baru menginjak usia dua puluh lima tahun itu buru-buru mengusap air mata yang membekas di pipi.

"Ini Ibu." Suara Bu Sarah terdengar lemah. "Buka pintunya, Del!"

Delia menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. "Aku ingin istirahat, Bu," dustanya. "Kita bicara nanti saja ya!"

"Buka pintunya, Delia! Ibu hanya ingin berbicara sebentar."

Delia mengalah. Pintu kamar terbuka dan menampakkan sosok Bu Sarah sedang berdiri tanpa semangat.

Tanpa dipersilahkan oleh Sang Empunya kamar, Bu Sarah masuk dan duduk di tepi ranjang Delia.

"Jadi istri kedua bukan berarti kamu seorang pelakor, Del."

Delia menoleh. Tatapan matanya yang tajam seakan sedang menguliti wajah Bu Sarah.

"Faisal adalah pria kaya, bukankah lebih baik kamu menjadi istri kedua dari pria kaya daripada harus menikah dengan seorang petani?"

Bersambung

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
buSarah serakah oe
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Keluarga nya gada yang beres...kecuali Delia dan pak Handoko
goodnovel comment avatar
Yuliati
ibu mata duwitan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status