Share

Part 5 Tentang Masa Lalu

"Begadang kami itu penting, Ayah, untuk menjaga keharmonisan pasangan suami-istri," gumamnya cukup dalam hati.

Ya, walaupun memang akhir-akhir ini Inno sangat sibuk dengan banyak kegiatan di kantornya.

Dia harus menyelesaikan semua pekerjaan, memeriksa semua hasil laporan yang masuk sebelum meninggalkan Indonesia beberapa hari ke depan.

Rutinitas itu sudah dia jalani semenjak dia menjadi CEO Il Giorno Group Indonesia, sejak lima tahun yang lalu.

Bos muda Café and Restaurant Italia itu memang punya pekerjaan yang cukup ruwet juga unik. Setiap dua tahun sekali dia harus bisa membagi waktunya untuk bisnisnya di Italia dan juga di Indonesia.

Walaupun Inno mempunyai orang-orang kepercayaan yang handal untuk memegang usahanya, namun sekali lagi inilah pilihan hidup yang dipilihkan sang kakek. Dia cukup menjalani dan mengembangkan usaha almarhum ayahnya tercinta.

Inno tidak takut kehilangan uang, dia hanya takut kehilangan keluarganya jika tidak mengikuti saran kakeknya. Bahkan itu mulai berlaku sejak Inno berusia 11 tahun, ketika sang ibu memutuskan membawa Inno kecil pulang ke Indonesia.

Pihak keluarga almarhum Agosto Morelli mengizinkan Bu Rini Astuti, ibunda Inno membawanya pulang ke Indonesia dengan syarat. Inno harus tetap menjadi warga negara Italia dan Inno harus mengurus sendiri usaha almarhum sang ayah ketika waktunya telah tiba.

Satu yang disesali oleh pria 25 tahun itu, sang ayah pergi menghadap sang Maha Pencipta meninggalkan dirinya sebagai anak tunggal.

Inno juga tidak kurang akal, di Italia sana dia mendaulat Matteo Morelli sepupunya, untuk menjadi orang kepercayaan mengurus Il Giorno Group yang berbasis di Milan. Tetapi sama halnya dengan dirinya, Matteo juga tidak bisa dibebaskan begitu saja dari perusahaan Morelli Group.

Karena pasangan Marcio dan Domenica Morelli hanya mempunyai dua orang anak, yakni Agosto Morelli dan Claudia Morelli yang berprofesi sebagai dokter. Jadi wajar saja, jika pria asli Campalto Venice, Italia itu begitu berharap pada Inno, Matteo dan Cecilia Morelli, cucu-cucu kesayangan mereka.

Tanpa sadar, Inno mendesah kasar. "Kami hanya berharap dan tidak berhenti berdo'a buat kalian berdua, jaga kesehatan dan diri kalian di sana. Kamu jangan kasar sama istri kamu, Nak." Nasehat Bu Rini pada sang putera.

"Iya, Bu," jawab Inno singkat.

Suara handphone miliknya menginterupsi pembicaraan orang tua dan anak tersebut.

Inno bangkit dan menerima panggilan telepon yang ternyata dari Evan, sahabatnya. Evan mengundang Inno, Amelia dan adik Inno (Aisyah) untuk makan malam.

Inno meletakkan handphonenya kembali ke atas meja begitu panggilan berakhir.

"Aku boleh ikutan nggak Kaaak?" tanya Aisyah dengan nada manjanya sambil menuruni anak tangga. Gadis manis berhijab itu menatap kakak dan kakak iparnya bergantian.

"Nguping saja," sahut Inno yang ditanggapi tawa oleh sang adik.

"Ya sudah nanti sore kamu siap-siap saja barengan Kak Amelia. Ayah, Ibu, Evan mengundang kita nanti malam jadi kami bertiga nggak makan di rumah."

"Iya, hati-hati di jalan."

"Iya, oiya Sayang, nanti sehabis dari rumah temanmu, kamu siap-siap ya. Aku mandi dulu," ucap Inno lalu bergegas meninggalkan ruang makan, dengan langkah panjangnya.

Di belakangnya, Amelia mengekor, untuk bersiap-siap dan menyiapkan pakaian suaminya. Pagi ini rencananya Inno akan kembali ke kedutaan Italia, setelah itu dia ke kantor untuk mengadakan meeting bersama staff Il Giorno Group.

Amelia memoles wajah cantiknya dengan make up tipis serasi dengan warna outfit yang dikenakannya.

Dari pantulan cermin, dia melihat Inno keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sungguh, suaminya tipikal pria yang seksi.

Tanpa sadar, Amelia tersenyum menatap penampilan sang suami yang bertubuh atletis seperti pemain sepakbola Eropa.

Pipi Amelia memanas dan merona, membayangkan tak terhitung berapa kali tubuh atletis itu memberinya kenyamanan dan membuatnya tak berdaya. Juga pelukan hangat yang melindungi.

"Ekhem ... Ada yang senyum-senyum, tapi kenapa wajahnya jadi merah maroon begitu? Padahal, dulu awal kenal siapa yang mengingatkan, ya? Maaf Mas, sebaiknya dipakai kaosnya, di sini banyak santriwati. Perut termasuk aurat laki-laki, biarkan istri Mas yang melihatnya," ucap Inno menirukan teguran Amelia beberapa tahun yang lalu ketika dirinya selesai bermain sepakbola dan menyampirkan kaos di pundaknya dengan bertelanjang dada.

"Ya kan sekarang bolehlah aku lihatin," jawab Amelia sambil memakai hijab pashmina.

"Mau test sebentar nggak, Sayang?" tanya Inno sambil mengusap-usap rambut basahnya dengan telapak tangan.

"Test apa?" tanya balik Amelia sambil membalikkan badan menghadap sang suami.

"Main cepat, hm?"

"Maass, ini sudah jam berapa? Nanti telat, semalam sudah gitu kok. Cepatnya Mas Inno tuh setengah jam."

"Hahaha, ya sudah. Kalau begitu aku pakai baju ya?" godanya lagi dengan kedipan mata jahil.

Dengan gemas, Amelia membantu suami mesumnya itu mengenakan kaos dalam, kemeja, serta dasi.

Inno hanya senyum-senyum sambil melingkarkan tangannya di pinggang ramping wanita cantik di depannya.

"Grazie mille, carissimaku," bisiknya lalu mendaratkan ciuman di kening sang istri dengan sayang.

Tak berapa lama, mereka berdua keluar dari kamar dengan jemari tangan saling bertaut dalam genggaman. Sungguh, sebuah gambaran keluarga kecil yang harmonis.

*******

Mobil SUV mewah bergerak meninggalkan rumah megah bertype modern classic dua lantai tersebut. Tak lama, Inno menghentikan mobilnya di depan rumah Windi, teman sang istri. Dia menoleh lalu menarik pelan wajah istrinya itu dan mencium keningnya.

"Hati-hati ya, Sayang!" ucap Inno lembut.

Amelia mengangguk lalu meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan laki-laki itu. "Iya, Mas juga hati-hati, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam Sayang, bye."

Setelah memastikan sang istri memasuki pekarangan rumah Windi, barulah laki-laki berpakaian formal itupun melajukan kembali mobilnya. Melanjutkan rutinitas pagi di kota Jakarta yang ramai, beberapa ruas jalan yang macet dengan udara panasnya.

Sementara itu, Amelia langsung disapa oleh pemilik ramah dengan riang, "Haai, Nyonya Marvinno, sudah lama menunggu?"

"Baru saja sampai, Win. Langsung berangkat?"

"Mau minum dulu, nggak? Lho, mana Mas Inno?" tanyanya sambil celingukan.

"Nggak usah Win, terima kasih. Mas Inno cuma antar aku sampai depan, sibuk dia. Oh iya, ini buat kamu dari Mas Inno," kata Amelia sambil mengulurkan paper bag yang berisi blouse batik.

Windi terpekik, dilihat dari bahannya jelas itu batik tulis dengan kualitas terbaik yang tidak murah harganya.

"Wow bagus banget! Thanks ya, Mel! Bilang ke Mas Inno, ya. Btw, Mas Inno habis pergi dari mana?" tanya gadis berkaca mata itu sambil meletakkan paper bag ke atas meja.

"Hm, sama-sama. Iya, dia ke Jogja. Tempo hari, pamitan sama Umi dan Paman Usman. Katanya, mau bawa istrinya ini mudik ke kampung halaman."

"Kamu nggak ikut ke Jogja?"

Mendengar pertanyaan itu, Amelia menggeleng pelan sambil berjalan ke luar rumah diikuti oleh Windi.

"Nggak, cuma sehari saja dia di sana. Dia mau sekalian ke Giorno Cafe Jogja."

Kedua sahabat baik itu pun memasuki mobil hatchback Honda City warna merah menyala milik Windi. Teman Amelia itu sudah fokus mengemudi.

"Kapan berangkat ke Milan, Mel?" tanya Windi, tetapi dijawab gelengan kepala dari wanita berhijab yang duduk di sebelahnya.

"Semoga visaku cepat turun Win, visa ke Eropa itu susah Win. Enak Mas Inno." Windi tertawa lirih mendengar gerutuan dari sahabatnya semenjak kuliah itu.

"Ya, diakan orang Italia, Mel. Coba kalau nggak ada Mas Inno, mungkin kamu juga susah masuk kuliah di elite university kayak gitu. Kurang apa coba? Punya suami tampan rupawan, bodynya seksi menggoda, tajir melintir lulusan ES DUA Universitas Negeri yang mahasiswa dan alumninya orang top markotop."

"Es krim kali," timpal Amelia sambil tertawa.

"Yee, itu sih es krim milik keluarga tajir Grandpa Marcio Morelli. Apa namanya? Morelli's Gelato?"

"Grandpa tuh Ngenggres deh Win. Kalau Italia, sih Nonno. Iya Gelato Morelli's. Eh Win, tapi kamu nggak tergoda kan sama suami aku?" goda Amelia yang dihadiahi tepukan keras di lengan kurusnya.

"Tergoda sih nggak ya, aku nggak bakat jadi pagar makan tanaman atau pelakor. Rizalku sudah cukup, tapi kalau Rico dulu aku sempat naksir Mel."

Uhuk. Uhuk.

Amelia terbatuk, mendengar pengakuan dan kalimat terakhir dari sahabatnya itu. Wajah Amelia mendadak berubah setelah mendengar nama Rico.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status