Arkasa membuka matanya perlahan, hal pertama yang menyapanya adalah rasa pegal berkat kepala Alana yang menimpa tangannya. Sebenarnya itu salahnya sendiri, guna mencegah Alana keluar dari kamarnya, Arkasa menggenggam kuat tangan Alana hingga gadis itu pasrah dan tetap duduk menemaninya.
Menengok jam di nakas, memicing untuk memastikan benar angka yang ditunjuk disana pukul 7. Kembali ia tolehkan pandangannya pada Alana yang masih bernafas teratur, pasti lehernya akan sakit akibat tertidur dengan posisi demikian.
Putra sulung Pradipta itu berusaha menegakkan tubuhnya dengan perlahan, bukan karena pusing, tapi karena tak ingin membangunkan Alana yang terlelap. Omong-omong soal pusing, sekarang ini dia sudah merasa lebih segar, tak ada pening dan suhu tubuhnya tak begitu panas lagi.
Senyuman kecil terbit di bibir tebalnya, perlahan tangan satunya mengelus lembut puncak kepala dan rambut gadis y
"Kamu gak apa tidur seranjang sama saya?" Alana langsung naik keatas ranjang Arkasa, menarik selimut dan menenggelamkan dirinya disana. Malam ini keduanya harus sekamar karena duo ibu berada tepat di kamar sebelah, ngotot untuk menginap. Meskipun ada dua kamar lagi di lantai atas, mereka tak mungkin tidur terpisah. Bisa-bisa muncul wejangan 1001 malam. "Gak ada masalah. Lagipula waktu di Manhattan juga kita tidur satu ranjang terus, kan?"Gadis itu memutar bola matanya malas. Terkadang, Arkasa yang nampak gagah dan tenang itu selalu mempertanyakan hal yang menurutnya bukanlah hal besar. Tidur di ranjang yang sama misalnya. Arkasa mengerutkan alisnya sebelum tersenyum miring, "bukan," decaknya. Lelaki itu ikut menaiki ranjang dan mengambil posisi tepat disebelah Alana, keduanya telentang memandangi langit-langit langit kamar. "Maksudnya, saya kan masih agak demam. Kamu memangnya gak takut ketularan?" Agak malu s
Alana menggigiti kuku jarinya cemas. Sementara dua kaki jenjangnya mondar-mandir gusar di dalam kamar mandi berukuran cukup besar yang untuk pertama kali dia gunakan. Gadis itu kembali menelaah tampilan dirinya di cermin, wajah bangun —ralat wajah tidak bisa tidurnya akibat banyak pikiran semalaman. Bagaimana tidak? setelah melemparkan sebuah kalimat menantang pada suaminya, Alana mendapati pancaran panas tersorot dari netra Arkasa. Jujur saja dia masih terus berdebar bahkan hingga kini jika mengingat bagaimana tangan besar Arkasa yang kemarin merambat naik dari pinggangnya menuju punggung memberi sengatan luar biasa. Belum lagi bisikan sialan yang membuatnya terus meremang hingga kini. Semuanya masih terekam jelas dalam benak wanita dua puluh delapan tahun itu. Bagaimana Arkasa memerangkapnya dalam pelukan ditengah selembar selimut dan membisikkan kata-kata yang berdampak besar pada ketenangan batinnya. "Saya pastikan untuk mendapatkan apa yang meman
Melepaskan kaca mata kerja lalu meletakkan laptopnya di sofa. Alana meregangkan tubuhnya yang kaku setelah seharian membabi buta mengerjakan hal-hal yang bisa dia lakukan untuk mengisi hari minggunya. Gadis itu bisa saja istirahat, namun pikirannya seolah tak mengizinkannya untuk bersantai barang sedetikpun. Rencana awalnya adalah menonton drama sembari menikmati cemilan yang penuh dalam kulkas. Berada sendirian di rumah artinya ia bisa leluasa menonton tanpa harus diganggu suaminya yang sering jahil itu. Namun belum lima menit ditayangkan, Alana sudah gelisah karena pikirannya terus tertuju pada satu nama, Arkasa Dean Pradipta. Merasa bersantai justru tak bisa membantunya rileks sama sekali, Alana memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan. Setidaknya dengan sedikit tekanan, dia merasa sibuk dan pikiran-pikiran tak penting tidak akan bisa menembusnya. Itulah yang dia yakini hingga akhirnya nekat mengerjai diri sendiri seperti itu. Tak membiarkan barang sedi
Memicingkan matanya pada tamu tak diundang yang mendadak duduk bersilang kaki di ruang kerjanya. Ralat, tidak pantas disebut tamu, ini lebih cocok masuk kategori penyusup. Alana berkacak pinggang, menatap tak suka pada lelaki sepantaran dengannya yang tengah memamerkan senyuman tipis nan licik di bibirnya. "Selamat pagi, Bu Alana," sapanya dengan nada menyebalkan. Siapa sih yang membiarkan lelaki ini masuk kedalam ruangannya pagi- pagi begini? Suasana kantor masih amat sangat lenggang, hanya ada beberapa pekerja yang sampai di meja masing- masing. Melirik jendela ruangan yang terbuka lebar seolah memberinya jawaban bahwa pria gila dihadapannya itu benar- benar masuk lewat frame lebar yang mudah dibobol. Rasanya seperti keluar dari kandang harimau lalu terperangkap bersama buaya. Alana yang tadinya tengah menghindar, mau tak mau berangkat cepat- cepat tanpa membangunkan suaminya yang tadi masih tidur memeluknya. Meskipun Alana benar- benar ingin protes se
"Berandal gila!" Dentingan sendok yang dilempar Adara mau tak mau menarik perhatian beberapa pengunjung resto. Alana yang duduk dihadapannya setengah malu akan perangai sahabatnya yang selalu menanggapi cerita dengan emosi mendidih. Memang sejak awal Adara tak pernah menyukai Saddam, entah karena apa. "Kalau tahu dia akan bertindak senekat itu, harusnya sejak awal kuminta ayah menempatkan beberapa bodyguard di perusahaanmu!" tambah Adara lagi dengan memelankan sedikit nada suaranya. Alana melotot tak terima, "tidak tidak! Bukannya Saddam yang takut, namun justru para karyawanku yang merasa terintimidasi oleh orang- orang suruhan itu," Alana bergidik mengingat saat beberapa minggu lalu ada beberapa bodyguard berjaga di perusahaannya dan membuat para karyawan jadi tidak nyaman karena seolah terus diintai. Adara kembali mengambil sendok yang tadi dilemparnya. Menyendok makanan di piring mahal yang baru ia suap beberapa sendok saja. Dia sudah mual dari awal, n
"Baru pulang?" Lampu remang-remang di ruang tamu, Alana pikir suaminya sudah tidur lebih dulu. Tapi dugaannya salah, Arkasa justru tengah duduk bersidekap di sofa sembari memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Alana membalasnya dengan satu deheman kecil. Gadis itu sebenarnya hendak menghindari Arkasa makanya ia pulang larut setelah menghabiskan girls time bersama Adara. Dia pikir itu akan mengenyahkan kegundahan miliknya sejak semalam, tapi ternyata tidak seratus persen efektif. Lelaki itu seakan bangkit dari singgasananya, tubuh tegap dan cukup berotot miliknya seakan menutupi pandangan Alana dari seluruh elemen ruangan yang ada dibelakangnya. Mata tajam yang tengah menghunus menatapnya menguarkan aura jerat yang membuat Alana terjebak dalam fokus. Arkasa dalam beberapa hitungan detik telah berdiri dihadapannya seperti pemangsa buas yang hendak melahapnya hidup- hidup. "Kamu pergi kemana sampai larut malam begini? Saya susul ke kantor katanya k
Netranya berkilat, jelas menyiratkan tatapan macam apa yang tengah Arkasa hadiahkan pada istrinya yang memerah. Rekah di bibir Alana yang sedikit terbuka dan dadanya naik turun karena terus meraup udara. Arkasa sengaja memberi jeda setelah ciuman panas mereka hanya untuk melihat bagaimana reaksi Alana. Kalau dilanjutkan, Arkasa pasti tak akan bisa lagi mengendalikan diri. Alana yang terengah begini saja sudah membuat iman tipisnya teruji. Bagaimana kalau dia bertindak lebih jauh? Sial, Alana malah menjilat sedikit bibirnya dan pemandangan itu tidak luput dari mata Arkasa pastinya. Tangan besar Arkasa terulur untuk merapikan kembali helaian rambut istrinya yang sempat berantakan karena tanpa sadar ia acak sebelumnya. Melihat Alana belum mengeluarkan respon kata apapun, Arkasa menyatukan kembali kening mereka dan menikmati nafas terengah keduanya. "Kamu bisa pegang omongan saya, yang kemarin itu bukan apa-apa," Arkasa menjeda untuk kembali menga
Kalau saja benda mati bisa bicara, mungkin bantal dengan sarung warna abu itu sudah protes keras akibat jadi sasaran empuk ketidakjelasan Alana. Belum lagi selimut tebal dengan warna senada yang sudah teronggok di lantai akibat dia tendang tak karuan. Sekembalinya dari kamar Arkasa kemarin, dia dengan riang mandi bahkan bersiul dan tidur super lelap. Tapi kenapa pagi ini tiba-tiba jadi begini? Mengingat momen semalam dan membuatnya berguling serta memukul- mukul bantal tak bersalah miliknya.Kaki jenjang Alana akhirnya perlahan menyentuh dinginnya lantai kamar kala wanita itu berhasil membawa dirinya untuk bangkit dari ranjang. Berhenti tepat di depan cermin dan menilik wajahnya yang bersemu akibat bayangan kotor yang langsung melintas saat dia baru bangun tadi.Komat kamit di depan cermin seolah berusaha memberi afirmasi positif untuk mengawali hari. Semuanya baik-baik saja! Berusaha mengingatka