แชร์

Part 2

ผู้เขียน: Firsyaka
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-10-24 15:09:20

"Mi, jangan begitu, ngomong baik-baik 'kan, bisa. Kasihan Ratna," tegur suaminya dengan halus. Papi terlihat canggung di antara banyak tamunya.

Wajahku terasa panas sekali, mungkin sudah merah padam karena malu diomeli di hadapan orang-orang asing seperti ini.

"Biarin saja, Pi. Biar dia sadar diri dan lebih hati-hati lagi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi," bantah Mami tidak terima.

"Maaf, Mam. Aku tidak sengaja," sahutku dengan tenggorokan yang tercekat menahan tangis.

"Kamu cepat beresin sampai bersih sebelum mengenai kaki orang! Dan kamu tidak usah ikut makan di sini!" usirnya dengan tegas penuh emosi.

*****

Pov Very :

Aku tidak menyangka kalau Tante Kartika tidak menyukai Ratna. Sikapnya begitu kasar membuatku terenyuh dan ingin menolongnya. Tapi, aku enggak enak pada keluarga Febi, takut dikira pahlawan kesiangan.

Sejak dulu aku sudah menaruh hati padanya, hanya saja aku belum berani mengungkapkannya mengingat dia orangnya pendiam. Aku takut dia bakal marah, akhirnya rasa ini aku pendam. Akan tetapi, aku menyesal sebab keraguanku itu, kini telah terlambat. Dia malah dipersunting temanku sendiri.

"Woi, ngelamun! Lagi ngelamunin apa, sih?" Tiba-tiba Febi datang mengagetkanku, membuyarkan lamunan panjangku.

"Eh, Feb, kamu rupanya. Kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu napa?!" Aku tersenyum tipis ke arahnya.

"Lah, barusan sudah ketuk pintu tiga kali, kamunya saja yang enggak dengar. Kebanyakan ngelamun, sih!" Sahabatku itu langsung mengambil tempat duduk di depanku. Ia menatap ke arahku dengan lekat seolah ingin tahu apa yang sedang kulamunkan tadi.

Febi datang membawa beberapa map di tangannya, mungkin mau membahas proyek yang akan segera dikerjakan akhir bulan ini.

"Eh, sorry. Aku lagi enggak fokus." Aku meraih map dari tangannya dan segera membuka isinya.

"Sudah, entar saja. Percuma bahas sekarang kalau kamu sendiri lagi enggak fokus, yang ada malah nanti berantakan." Febi menutup kembali map yang aku pegang sambil mencebik.

Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkan udara perlahan sambil menyandarkan punggung ke belakang.

"Kamu itu lagi ngelamunin apa, sih? Coba cerita sama aku, siapa tahu aku bisa bantu," desaknya penasaran.

"Kamu ingat enggak, dulu aku pernah cerita sama kamu kalau aku suka sama cewek waktu masih tinggal di kampung?" tuturku memulai cerita.

Febi nampak berpikir sejenak dengan wajah menghadap ke plafon. "Oh, yang kamu bilang ceweknya pendiam, terus ... cantik. Dan cewek itu pindah ke kota?"

"Iya, benar. Dan sekarang aku sudah bertemu dengannya. Dia masih sama seperti yang dulu, masih cantik dan tetap pendiam," pungkasku girang. Meski dalam hati ada rasa sedih karena dia sekarang sudah menikah dengan orang lain, dan orang itu sahabatku sendiri.

"Wah, senang, dong? Ya sudah, langsung lamar saja daripada nanti kehilangan jejak lagi," desaknya antusias sambil menepuk bahuku sedikit kencang membuatku meringis menahan sakit.

"Ya senang sih, tapi ...," ucapku menggantung, rasanya malas untuk melanjutkan.

"Tapi ...?" tanya Febi mengulang.

"Dia sudah menikah dengan orang lain," tuturku lesu.

Meskipun aku tahu dari Om Hendrik—papinya Febi— kalau pernikahannya itu tidak direncanakan dan terpaksa karena kejadian yang menimpa ibunya Ratna hingga meninggal. Akan tetapi, pernikahannya itu sah di mata hukum serta agama, dan aku tidak mau mengganggunya.

"Ya, telat deh, yang sabar ya! Mending ikhlasin saja dia sama orang lain dan sekarang kamu cari lagi penggantinya," anjurnya dengan santai tanpa dia tahu betapa besar rasa cintaku pada wanita itu—yang sudah lama aku pendam.

***

Saat malam tiba, jam di tanganku sudah menunjuk ke angka 8. Entah kenapa hati ini begitu resah dan gelisah memikirkan keadaan Ratna. Ada apa dengannya? Bukankah dia sudah dimiliki orang lain, mana boleh aku mengusiknya? Tapi, daripada aku enggak bisa tidur, mending aku lihat saja ke sana.

Tidak mau membuang waktu lama, aku segera menyambar mobil yang terparkir di garasi rumahku. Lekas aku melajukannya menuju rumah Febi.

*

Setelah memencet bel di depan rumahnya, tidak lama kemudian yang keluar wanita yang sangat aku sayangi.

"Hai, Febinya ada?" sapaku basa-basi. Padahal niat hati ingin berjumpa dengannya. Bertemu dengan Febi hanya sebagai alasan agar aku tidak malu.

"A–da, silakan masuk dulu biar aku panggilkan Mas Febinya!" jawabnya dengan suara yang lembut dan sopan sambil menganggukkan kepala sedikit. Senyum itu masih terukir menghiasi wajahnya yang cantik.

"Iya, terima kasih," jawabku ragu kemudian langsung masuk dan duduk di ruang tamu sambil menunggu Febi muncul.

"Hai, Feb! Sudah tidur ya? Mentang-mentang penganten baru, jam segini sudah ngajak tidur saja,"  sapaku menyindir saat dia berjalan ke arahku.

"Apaan, sih? Orang lagi teleponan sama Amel juga," kelitnya tidak terima.

"Lah, kamu masih hubungan sama Amel?" pekikku heran.

"Iya, memangnya kenapa? Sudah menikah bukan berarti harus meninggalkan Amel. Tidak, dia wanita yang aku cintai sampai kapan pun," jawabnya terus terang.

Aku kontan mengernyitkan dahi dengan kencang. Heran dengan ungkapannya. "Terus Ratna kamu anggap apa? Kamu sudah menikahinya secara resmi, itu artinya kamu harus memberikan dia cinta dan kasih sayang. Bukan hanya status saja," protesku tidak terima Febi berbuat seperti itu kepada Ratna.

Meskipun aku tahu dia telah menikah, tapi kalau dia diperlakukan tidak baik oleh suaminya aku tidak bisa terima. Aku ingin melihatnya bahagia walau bukan bersamaku.

"Ya, gimana? Orang aku tidak cinta sama Ratna. Lagian, dia itu bukan cewek idamanku," sanggah Febi dengan wajah cuek. Entah mengapa melihat sikapnya ini membuat hatiku panas.

"Ratna! Sini cepetan!" panggil Febi dengan suara lantang setengah berteriak.

Dari jauh nampak wanita yang sangat aku sayangi datang dengan jalan tergopoh-gopoh. Tadi dia sepertinya lagi membersihkan meja makan, terlihat dari sini.

"Ada apa, Mas?" tanya Ratna polos, suaranya begitu lembut terdengar di telingaku.

"Kamu buatkan dua gelas kopi hitam dan juga cemilannya! Sekalian rokok yang ada di meja makan kamu bawa ke sini, cepat ya!" titah Febi dengan tegas.

"Baik, Mas," sahut istrinya, kemudian bergegas ke belakang.

Setelah lima menit, wanita lugu itu kembali lagi dengan nampan di tangannya. Ia membawakan apa yang diperintahkan suaminya.

Dengan tangan yang gemetaran, ia menurunkan gelas ke meja. Saat tangannya oleng ke samping, aku segera meraihnya agar tidak tumpah. Namun, naas ... kopi itu malah tumpah dan menyiram tanganku.

"Aaww, panas ...!" teriakku refleks karena kopi itu memang panas dengan asap yang masih mengepul.

"Aduh, Mas! M–maafin aku. Aku tidak se_ngaja," ucapnya gugup dengan wajah pias, mungkin merasa bersalah dan panik.

Dengan cekatan dan hati-hati  dia mengelap tanganku dengan ujung gamisnya, tidak peduli nanti gamisnya bakal disemutin karena manis. Setelahnya dia meniup-niupkan dengan ujung mulutnya luka bakar di tanganku.

"Ratna, kamu itu apa-apaan, sih? Naroh gelas saja tidak becus, dasar orang kampung! Tuh, lihatin, tangan temanku jadi merah, kan?!" bentak Febi dengan netra yang membola.

"Sudah Feb, ini enggak apa-apa kok! Paling merah doang, besok juga sembuh. Kamu jangan marahin Ratna ya, dia tidak sengaja," belaku di depan suaminya.

"Ada apa Febi, Very, kenapa berisik gitu?" Tante Kartika tiba-tiba muncul dari balik tembok ruang tengah, ia langsung menghampiri kami.

"Ini Mam, si Ratna numpahin kopi ke tangan Very sampai merah gitu," adu Febi pada maminya.

Tanpa terduga, tiba-tiba Tante mendorong Ratna yang tengah berjongkok meniupkan tanganku yang terasa panas dan terbakar hingga terjengkang ke belakang. Aku terkejut bukan kepalang melihat hal itu.

"Dasar perempuan enggak guna! Bisanya apa sih, kamu? Jadi ART saja tidak becus apalagi jadi menantu!" maki wanita sosialita itu dengan tatapan nyalang ke arah Ratna.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 79

    Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 78

    Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 77

    Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 76

    Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 75

    “Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se

  • TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN   Bab 74

    Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status