"Dasar perempuan enggak guna! Bisanya apa sih, kamu? Jadi ART saja tidak becus apalagi jadi menantu!" maki wanita sosialita itu dengan tatapan nyalang ke arah Ratna.
Aku iba melihat Ratna diperlakukan demikian. Spontan aku pun beranjak dan menghampiri wanita yang aku sayangi terjungkal ke belakang. Aku berusaha untuk menolongnya. "Sini, biar aku bantu!" Aku membantu istri dari Febi itu bangun, kupegangi punggungnya hingga berdiri. "Terima kasih ya, Mas," lirihnya dengan wajah kaku seakan menahan malu dan pilu. Aku berusaha tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban atas ucapannya. Mertua dari Ratna mencebik sambil menatap sinis ke arah menantunya. Mengapa beliau terlihat begitu benci? "Biarin ajalah Ver, nanti dia malah ge__er," protes mertuanya itu seakan tidak setuju ada orang lain berempati kepada sang menantu. "Sudah ... kamu mendingan masuk terus ganti baju, gih," saranku pada Ratna. Aku tidak tega melihatnya diperlakukan tidak semestinya seperti ini. Kemudian istri dari sahabatku itu lekas pergi dari ruang ini. Aku pun kembali duduk dengan perasaan yang teriris sebab melihatnya bersedih. Ratna ... andai aku bisa membawamu pergi. Aku akan memberi kebahagiaan untukmu dan aku juga akan memberikan cinta yang tulus untukmu. **** Pov Ratna : "Feb, mending lusa kamu ambil cuti terus ajak istrimu bulan madu. Kasihan 'kan, kalian belum bulan madu. Ya siapa tahu pulang dari sana langsung hamil," titah Papi saat kami tengah sarapan bersama. Dari wajahnya aku bisa menangkap ada gurat harapan untuk segera memiliki cucu. "Pi, apaan, sih? Aku lagi sibuk banget sekarang ini," kelit suamiku dengan memasang wajah yang cemberut. "Pa_pi, jangan maksain gitu dong. Lagian ngapain pakai bulan madu segala, buang-buang waktu dan uang saja," sela Mami mertua ikut bicara. Seperti biasa nada bicaranya selalu ketus. "Loh, memangnya kenapa? Biar mereka punya waktu untuk berduaan, jangan sibuk sendiri saja. Kasihan menantu kita. Takutnya bosan di rumah," sanggah lelaki berbadan besar itu menyuarakan perasaanku. Di rumah ini hanya Papi yang mau mengerti aku dan menerima keberadaanku sebagai bagian dari keluarga ini. "Iya, kalau menantu kita itu sepadan. Nah, ini cuma orang miskin. Rumah saja masih numpang dan sekarang hidupnya sebatang kara. Apes banget dah, punya menantu kayak dia," bantah Mami dengan mulut yang mencebik seraya menggetok-getokkan sendok ke piring hingga menimbulkan suara yang nyaring. Astaghfirullah ... Mami tega banget ngomong begitu, merendahkan aku sampai ke dasar seakan aku tidak ada nilainya sama sekali di mata manusia. Tidak pernah sekali saja menjaga perasaanku. Seolah hatiku ini sudah mati saja. "Mi, jangan ngomong begitu! Belajarlah bersikap dan berucap yang santun. Jangan melihat apa-apa dari segi materi. Yang punya banyak harta belum tentu orangnya baik dan juga yang miskin belum tentu hatinya buruk. Ingat, Mami itu sudah tua. Jangan menyombongkan harta terus, sudah sepantasnya kita itu mendekatkan diri sama Yang Kuasa!" tutur Papi mengingatkan dengan bahasanya yang santun dan meneduhkan. Dan orang yang sudah melahirkan suamiku itu terdiam dengan wajah tertunduk tanpa mau menjawabnya lagi. Mungkin Mami kecewa mendengar ucapan suaminya yang seolah membelaku. Aku hanya diam sambil terus melanjutkan makan. Tapi telingaku masih bisa mendengar perdebatan antara anak dan orang tua. Kadang aku merasa tidak enak hati sudah masuk ke rumah ini sehingga kerap menimbulkan pertengkaran di keluarga ini. "Pi, sudah dong, jangan ribut! Masa, gara-gara menantu kesayangan Papi itu kita jadi ribut terus. Ya sudah, nanti aku atur waktu buat bulan madu biar Papi senang," sela Febi melunak. Ia terlihat takut juga melihat wajah papinya yang kini merah seakan menahan kecewa dan beberapa kali mendengkus. *** Dua hari kemudian. "Aku sudah izin dua hari ke depan sama Very untuk kita bulan madu. Dan kamu siapin semua keperluan buat kita menginap di villa!" titah lelaki berwajah dingin itu tanpa melihat ke arahku yang tengah duduk di sofa kamar. Ia begitu serius menatap benda berlayar pipih miliknya. Sepertinya ia tengah berkirim chat dengan seseorang. "Iya, Mas," sahutku cepat antara ragu dan senang. Siapa tahu dengan dia mengajakku bulan madu, itu akan melunakkan hati dan pikirannya. Semoga saja dia benar-benar mau menerimaku dan memperlakukanku sebagaimana mestinya. Malam ini mataku belum bisa terpejam, padahal jarum jam di dinding sudah menunjuk ke angka 12 lewat. Mungkin karena hati ini tengah berbunga, ada secercah harapan untuk bisa menjadi istri Mas Febi sepenuhnya. Aku sudah ngebayangin saat nanti bulan madu, seperti yang ada di film-film. Yang mana seorang suami memperlakukan istrinya bak seorang putri dengan mengumbar kata-kata romantis. * Keesokan harinya, seperti biasa aku bangun lebih pagi dari yang lainnya karena memang sudah kebiasaan dari dulu. Setelah menjalankan Salat Subuh, aku lekas turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan meskipun di sini ada ART. Sementara itu, suamiku masih terlelap dalam tidurnya. Aku mengeluarkan bahan-bahan yang ada di kulkas untuk segera dimasak, kebetulan masih banyak stok sayur dan lauk. Aku mengambil bahan sayur sop, jamur bulat, udang, dan cumi. Gegas aku memasaknya agar cepat selesai. Dan setelah semua selesai, dua ART_ nya baru muncul. Ia menghampiriku dengan santainya tanpa rasa bersalah. "Mba, sudah selesai masaknya?" tanya Mba Ina basa-basi, ART yang sudah setahun bekerja di rumah ini sambil mencicipi udang tepung yang masih panas tanpa permisi. Tidak lama kemudian Mba Yati pun ikutan mencicipinya. "Iya, Mba," sahutku setengah kesal. Harusnya ini semua tugas mereka, tapi kenapa semenjak ada aku di sini malah jadi tambah malas dan semau-maunya bekerja? Terkadang cucian piring numpuk setelah sarapan dan sampai siang masih teronggok di wastafel. Mau enggak mau aku harus mengerjakannya dari pada nanti makin banyak. Begitu pun dengan keadaan dapur yang begitu kotor setelah masak, cipratan minyak kemana-mana dan juga tumpahan kuah sayur yang berceceran di kompor dan lantai. Apa mereka sengaja agar aku yang mengerjakannya? Terkadang aku lelah mengerjakan banyak pekerjaan di rumah ini, meskipun aku sudah menegur mereka secara halus agar kita bisa bekerja sama dalam mengerjakan apa pun tapi mereka cuek dan enggak mau dengar. Saat aku tengah menyapu dan mengepel lantai dapur, dua ART itu gegas membawa masakan ke meja makan dan rupanya Papi dan Mami sudah berada di situ. Mereka tengah sibuk menata hidangan dan menuangkan minuman untuk keluarga suamiku. "Mba Ina, siapa nih yang masak? Enak banget masakannya, pas rasanya," puji Mami sambil menyeruput kuah sayur sop jamur dengan mata yang terpejam seolah sedang menikmati rasanya. "Saya dan Mba Yati, Bu," jawabnya dengan pongah, mengaku-ngaku mereka yang masak padahal bangun saja kesiangan. "Wah, pintar kamu masaknya! Rasanya enggak kalah sama di restoran," sahut Mami dengan menggaungkan pujian." Ngomong-ngomong Ratna ke mana? Apa dia belum bangun?" "Sudah, Bu, dia lagi di dapur. Dia mah, kerjaannya ngatur-ngatur doang kayak majikan enggak mau bantuin," tuduh Mba Yati begitu jahat dan tanpa perasaan. Aku mendengar semuanya dengan hati yang dongkol. Hanya saja aku malas untuk menyanggah mereka. Aku hanya melirik ke arah sana. Terlihat Mami beranjak dari duduknya, ia mendorong kasar bangku ke belakang dengan wajah memerah. Kemudian beliau menghampiri, membuatku merasa cemas. A–Apa beliau akan memarahiku lagi? . .Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi
Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve
Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah
Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."
“Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se
Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t