Share

6. AMARAH

Rangga keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Dadanya yang bidang dan berotot begitu menggoda. Semerbak harum tubuhnya menguar seisi ruangan serasa mencuci otak sang perawan yang masih suci.

“Wah, ganteng banget.” Rania mengagumi suaminya.

Rania memicingkan sebelah mata. Pria di hadapan begitu mempesona. Tak kalah dengan artis yang sering dilihatnya di televisi. Tubuhnya macho, bersih dan terawat. Tak ada sedikitpun guratan luka  ataupun daki yang menempel di tubuh pria berdarah belanda dan sunda itu. Tak ada sedikitpun cela.

Sangat berbeda dengan bapak-bapak di tempat tinggalnya. Mereka pekerja keras yang selalu banjir dengan peluh dan kotoran. Pekerjaan yang harus dijalani sebagai kepala keluarga. Termasuk juga bapak kandungnya yang bekerja sebagai tukang kebun di sekolah tempat Rania menimba ilmu. Saat pulang bekerja, peluh dan kotoran sisa dari pekerjaannya masih menempel di tubuh. Dengan tanpa beban, sang ibu menyambut sang suami dengan senyum dan segelas teh hangat. Hidup dalam kekurangan tidak membuat sang ibu mengabaikan suami. Keharmonisan dalam rumah tangga orangtuanya, mengajarkan bagaimana Rania harus bersikap kepada suaminya kelak.

“Mau mematung sampai kapan?! Kemari, bantu saya  mencari piyama!” Rangga terlihat kesal dan mengaduk-aduk piyama yang sudah tertumpuk rapih.

Bentakkan Rangga membuyarkan lamunan Rania. Gadis itu berlari kecil menuju sang suami yang berada di depan lemari pakaian yang berukuran sangat besar. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Rania bertanya seraya terus menundukkan kepala.

“Tidak usah banyak bertanya! Lakukan tugasmu dengan baik!”

“Tu-tugas apa, Tuan?”

Rangga menghentikan aktivitasnya. Dia lalu melipat kedua lengannya di depan dada dan melayangkan sorot mata tajam kearah Rania, “Kau benar-benar tidak tau tugas sebagai seorang istri?”

“T-tahu. Istri sunguhan atau cuma .... “

“Tidak ada ikatan pernikahan yang hanya main-main. Walau pernikahan kita hanya untuk melindungi putraku, selama masa itu kau juga harus melakukan tugasmu sebagai seorang istri! Saya juga akan memenuhi kebutuhanmu, jadi kau juga harus lakukan sesuatu untuk saya! Mengerti!” Rangga berbicara persis di depan wajah cantik sang istri.

“I-iya, Tuan.” Rania membalikkan badan hendak melangkahkan. Dia terlihat sangat gugup dan ketakutan. Namun langkahnya terhenti saat Rangga menghadang jalannya.

“Kau mau kemana?”

“M-mau, bikin teh manis, se-seperti yang ibu lakukan kepada bapak.”

Rangga mengangkat dagu Rania hingga wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan nafas segar terasa hangat di wajah Rania. Gadis itu terus memejamkan mata ketakutan.

Rangga menatap wajah istri yang masih polos. Wajah alaminya begitu menarik. Rambut panjangnya yang basah dan terurai menambah kecantikannya. Walau tak bergincu, tapi bibir ranum itu merekah dengan sempurna, membuat hasratnya menggebu. Pantas saja Marchel begitu menginginkannya. Bibir yang mungkin belum tersentuh oleh siapapun. Rasanya pasti membahagiakan saat dirinya menjadi yang pertama menyentuhnya.

Dorongan itu kian menguat. Tanpa terasa, bibir Rangga semakin mendekat. Saat hampir tiada jarak, Dengus napas Rangga terendus oleh Rania. Wanita itupun membuka mata, terkejut lalu mendorong pria yang hampir saja menyentuh bibirnya.

“Ma-maaf, Tuan.” Ucap Rania ketakutan.

Rangga mengusap wajah dan berusaha menetralisir hasratnya. Dalam hati dia merasa malu hampir saja melakukan hal yang tidak seharusnya kepada kekasih putranya. Entah setan apa yang sudah merasuki, hingga nyaris membuatnya lupa diri.

Rania masih berdiri ketakutan. Rangga tetaplah seorang pria dengan keangkuhan yang hakiki. Pria itu tetap berusaha menjaga wibawa di hadapan istrinya. “Kamu yang salah, membiarkan saya tak berbusana terlalu lama. Bukankah kau mau menutup pintu? Dan sengaja mau menggodaku? Dasar gadis binal!” Rangga berpura-pura seperti orang bodoh. Dia memaki untuk menutupi kesalahannya.

“T-tidak Tuan, saya mau bikin teh manis untuk Tuan. Itu yang biasa ibu lakukan terhadap Bapak.”

“Lalu kau membiarkanku tak berbusana dan menunaikan tugasmu di ranjang, begitu?” Rangga berpura-pra marah untuk menutupi rasa gugupnya.

‘Ti-tidak tuan .... “

“Ya sudah! ambil piyamaku sekarang juga!!” Suara yang begiru menggelegar nyaris memecahkan gendang telinga Rania. Gadis itu dengan cepat melangkah ke arah lemari berbingkai ukiran yang sangat indah. Tanpa sempat mengagumi, Rania segera membuka lemari pakaian. Tangannya gemetar. Tubuhnya terasa kaku. Rania kebingungan dan gugup hingga tidak bisa memilih salah satu dari piyama yang sudah tertata rapih. Dia pun belum pernah melihat pria yang tidur memakai pakaian yang bagus-bagus seperti ini. Bapak  terbiasa tidur hanya memakai sarung dan kaos dalam saja.

Dalam keadaan seperti ini, otaknya terasa buntu. Dia mengambil acak salah satu atasan piyama dan memberikannya kepada Rangga.

Rangga menerima dengan penuh tanda tanya.”Mana bawahannya? Apa kamu sengaja menyuruhku hanya memakai atasan saja?!” pertanyaan yang penuh penekanan. “Apa kau sengaja mau menggodaku?”

“T-tidak. Tuan. Saya mencari sarung, tapi enggak ada!” jawab Rania dengan polos.

“Sarung?! Kau menyuruhku tidur memakai sarung? Lihat ini lo pasangannya! Buka mata kamu!” Rangga mengambil setelan celana dan menunjukkan tepat di depan wajah Rania.

“Haah, baru sehari saja kau sudah membuatku pusing!” Rangga meremas rambutnya dengan kesal. “Keluar sekarang, dan bawakan teh manis panas, supaya otakku tidak beku karena tingkahmu!”

Tanpa menunggu perintah selanjutnya, Rania segera berlari keluar kamar.

“Jangan ditaburi garam dan juga penyedap!” teriak Rangga dengan kesal dan masih terdengar oleh kuping Rania. Gadis itu menggerutu. Dia juga sangat kesal dengan suaminya yang begitu menakutkan. Baru sehari saja sudah seperti berada di neraka. Sanggupkah menjalani hingga dua bulan ke depan? Entahlah, Rania tidak tahu. Dia hanya mencoba mengikuti alur cerita kehidupan yang harus dijalaninya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status