Rangga keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Dadanya yang bidang dan berotot begitu menggoda. Semerbak harum tubuhnya menguar seisi ruangan serasa mencuci otak sang perawan yang masih suci.
“Wah, ganteng banget.” Rania mengagumi suaminya.
Rania memicingkan sebelah mata. Pria di hadapan begitu mempesona. Tak kalah dengan artis yang sering dilihatnya di televisi. Tubuhnya macho, bersih dan terawat. Tak ada sedikitpun guratan luka ataupun daki yang menempel di tubuh pria berdarah belanda dan sunda itu. Tak ada sedikitpun cela.
Sangat berbeda dengan bapak-bapak di tempat tinggalnya. Mereka pekerja keras yang selalu banjir dengan peluh dan kotoran. Pekerjaan yang harus dijalani sebagai kepala keluarga. Termasuk juga bapak kandungnya yang bekerja sebagai tukang kebun di sekolah tempat Rania menimba ilmu. Saat pulang bekerja, peluh dan kotoran sisa dari pekerjaannya masih menempel di tubuh. Dengan tanpa beban, sang ibu menyambut sang suami dengan senyum dan segelas teh hangat. Hidup dalam kekurangan tidak membuat sang ibu mengabaikan suami. Keharmonisan dalam rumah tangga orangtuanya, mengajarkan bagaimana Rania harus bersikap kepada suaminya kelak.
“Mau mematung sampai kapan?! Kemari, bantu saya mencari piyama!” Rangga terlihat kesal dan mengaduk-aduk piyama yang sudah tertumpuk rapih.
Bentakkan Rangga membuyarkan lamunan Rania. Gadis itu berlari kecil menuju sang suami yang berada di depan lemari pakaian yang berukuran sangat besar. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” Rania bertanya seraya terus menundukkan kepala.
“Tidak usah banyak bertanya! Lakukan tugasmu dengan baik!”
“Tu-tugas apa, Tuan?”
Rangga menghentikan aktivitasnya. Dia lalu melipat kedua lengannya di depan dada dan melayangkan sorot mata tajam kearah Rania, “Kau benar-benar tidak tau tugas sebagai seorang istri?”
“T-tahu. Istri sunguhan atau cuma .... “
“Tidak ada ikatan pernikahan yang hanya main-main. Walau pernikahan kita hanya untuk melindungi putraku, selama masa itu kau juga harus melakukan tugasmu sebagai seorang istri! Saya juga akan memenuhi kebutuhanmu, jadi kau juga harus lakukan sesuatu untuk saya! Mengerti!” Rangga berbicara persis di depan wajah cantik sang istri.
“I-iya, Tuan.” Rania membalikkan badan hendak melangkahkan. Dia terlihat sangat gugup dan ketakutan. Namun langkahnya terhenti saat Rangga menghadang jalannya.
“Kau mau kemana?”
“M-mau, bikin teh manis, se-seperti yang ibu lakukan kepada bapak.”
Rangga mengangkat dagu Rania hingga wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan nafas segar terasa hangat di wajah Rania. Gadis itu terus memejamkan mata ketakutan.
Rangga menatap wajah istri yang masih polos. Wajah alaminya begitu menarik. Rambut panjangnya yang basah dan terurai menambah kecantikannya. Walau tak bergincu, tapi bibir ranum itu merekah dengan sempurna, membuat hasratnya menggebu. Pantas saja Marchel begitu menginginkannya. Bibir yang mungkin belum tersentuh oleh siapapun. Rasanya pasti membahagiakan saat dirinya menjadi yang pertama menyentuhnya.
Dorongan itu kian menguat. Tanpa terasa, bibir Rangga semakin mendekat. Saat hampir tiada jarak, Dengus napas Rangga terendus oleh Rania. Wanita itupun membuka mata, terkejut lalu mendorong pria yang hampir saja menyentuh bibirnya.
“Ma-maaf, Tuan.” Ucap Rania ketakutan.
Rangga mengusap wajah dan berusaha menetralisir hasratnya. Dalam hati dia merasa malu hampir saja melakukan hal yang tidak seharusnya kepada kekasih putranya. Entah setan apa yang sudah merasuki, hingga nyaris membuatnya lupa diri.
Rania masih berdiri ketakutan. Rangga tetaplah seorang pria dengan keangkuhan yang hakiki. Pria itu tetap berusaha menjaga wibawa di hadapan istrinya. “Kamu yang salah, membiarkan saya tak berbusana terlalu lama. Bukankah kau mau menutup pintu? Dan sengaja mau menggodaku? Dasar gadis binal!” Rangga berpura-pura seperti orang bodoh. Dia memaki untuk menutupi kesalahannya.
“T-tidak Tuan, saya mau bikin teh manis untuk Tuan. Itu yang biasa ibu lakukan terhadap Bapak.”
“Lalu kau membiarkanku tak berbusana dan menunaikan tugasmu di ranjang, begitu?” Rangga berpura-pra marah untuk menutupi rasa gugupnya.
‘Ti-tidak tuan .... “
“Ya sudah! ambil piyamaku sekarang juga!!” Suara yang begiru menggelegar nyaris memecahkan gendang telinga Rania. Gadis itu dengan cepat melangkah ke arah lemari berbingkai ukiran yang sangat indah. Tanpa sempat mengagumi, Rania segera membuka lemari pakaian. Tangannya gemetar. Tubuhnya terasa kaku. Rania kebingungan dan gugup hingga tidak bisa memilih salah satu dari piyama yang sudah tertata rapih. Dia pun belum pernah melihat pria yang tidur memakai pakaian yang bagus-bagus seperti ini. Bapak terbiasa tidur hanya memakai sarung dan kaos dalam saja.
Dalam keadaan seperti ini, otaknya terasa buntu. Dia mengambil acak salah satu atasan piyama dan memberikannya kepada Rangga.
Rangga menerima dengan penuh tanda tanya.”Mana bawahannya? Apa kamu sengaja menyuruhku hanya memakai atasan saja?!” pertanyaan yang penuh penekanan. “Apa kau sengaja mau menggodaku?”
“T-tidak. Tuan. Saya mencari sarung, tapi enggak ada!” jawab Rania dengan polos.
“Sarung?! Kau menyuruhku tidur memakai sarung? Lihat ini lo pasangannya! Buka mata kamu!” Rangga mengambil setelan celana dan menunjukkan tepat di depan wajah Rania.
“Haah, baru sehari saja kau sudah membuatku pusing!” Rangga meremas rambutnya dengan kesal. “Keluar sekarang, dan bawakan teh manis panas, supaya otakku tidak beku karena tingkahmu!”
Tanpa menunggu perintah selanjutnya, Rania segera berlari keluar kamar.
“Jangan ditaburi garam dan juga penyedap!” teriak Rangga dengan kesal dan masih terdengar oleh kuping Rania. Gadis itu menggerutu. Dia juga sangat kesal dengan suaminya yang begitu menakutkan. Baru sehari saja sudah seperti berada di neraka. Sanggupkah menjalani hingga dua bulan ke depan? Entahlah, Rania tidak tahu. Dia hanya mencoba mengikuti alur cerita kehidupan yang harus dijalaninya.
Rangga menggelengkan kepala. Tatapannya lurus menatap langit-langit.“Aku tahu kamu masih sedih. Tapi kau tidak boleh terus berlarut dengan kesedihan. Yang sudah pergi tidak mungkin kembali. Hanya do’a yang kita punya. Dan hanya itu yang bisa kita lakukan.” Rania berusaha menasehati sang suami. Dia tidak tega melihat suaminya kehilangan gairah hidup.Rangga tetap bergeming. Sama sekali tak ada respon apapun. Dengan penuh kasih sayang Rania memindahkan kepala suaminya ke pangkuan dan membelai rambut.dengan lembut.“Tadi Alex bilang, katanya Joni sudah di tangkap polisi,” ucap Rania dengan lembut.“Hmm.” Hanya itu jawaban yang keluar dari bibir suaminya.Rania tersenyum dan berusaha untuk lebih bersabar. Keadaan ini pasti tidak mudah untuk dilalui oleh suaminya.“Mas. Apa kau percaya dengan takdir Tuhan yang penuh dengan keajaiban?” tanya Rania sembari mengusap rambut suaminya dengan lembut.“Aku tidak tahu!” jawab Rangga singkat. Tatapannya masih kosong dan tanpa harapan.“Apa kau pern
Rangga melihat apa yang terjadi. Dia tak percaya dengan penglihatannya. Joni benar-benar melukai leher Diana dan melarikan diri. Rangga menyimpan ponsel lalu berlari kearah Diana.“Alex! Cepat panggil ambulans! Dan kejar Joni! Jangan sampai lepas!”Rangga melepas pakaiannya lalu menutup luka di leher istrinya. Luka itu sangat dalam dan tak berhenti mengeluarkan darah. Sepertinya goresan itu mengenai nadinya dan ini sangat berbahaya. Bisa mengamcam nyawa Diana.“Diana. Bertahanlah. Kau pasti baik-baik saja!” Rangga mengangkat kepala Diana dan meletakkan di pangkuannya. Entah kenapa hati Rangga ikut teriris melihat wanita yang masih sah sebagai istrinya terluka. Walaupun wanita itu berkali-kali menghianati, tapi sebuah ikatan pernikahan takkan mudah melunturkan rasa dan kenangan.Kini kenangan manis bersama istri pertamanya berputar-putar di kepala. Dan membuat suasana hati menjadi sedih.“Rangga ... maafkan aku ... aku sudah ... banyak ... melakukan ... kesalahan ....”“Jangan bicaraka
Rangga segera berlari menyusul Diana. Dia tak peduli dengan panggilan Rania. Yang ada di kepalanya hanyalah ingin mengetahui apa yang terjadi. Kalau dugaannya benar, keduanya akan tahu akibatnya dan harus mendapat balasan yang setimpal.“Berhenti, pembunuh!” Diana menarik bahu Joni dengan keras hingga pria itu terjatuh.“Apa-apa an kamu? bagaimana kalau ada orang yang mendengar? Kita berdua bisa celaka.” Jawab joni dengan pelan sambil menengok ke arah kanan dan kiri.“Aku tidak peduli! Biarkan semua orang tahu kalau kau memang yang membunuh anakku!” Diana seperti orang kesetanan. Dia menarik kemeja kekasihnya dan mengguncangnya. “Kembalikan anakku, kembalikan nyawanya padaku!”“Lepaskan aku! Biarkan aku pergi sebelum orang lain mendengar ocehanmu!” Joni mendorong tubuh Diana hingga jatuh tersungkur. Entah mendapat kekuatan darimana, diana bangkit dan kembali menyerang kekasihnya.“Kau memang pembunuh anakku! Kau tak pandai melakukan tugasmu. Kalau kau cerdas, Marchel pasti takkan mati
“Tuan. Polisi sedang menyelidiki kematian Marchel. Sepertinya ada unsur kesengajaan.” Alex membawa sang tuan menjauh untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting.“Maksudmu, ada yang dengan sengaja membuat putraku celaka?” tanya Rangga sembari memijat dagunya.“Sepertinya begitu. Menurut saksi mata mobil yang dikendarai oleh Marchel seperti lepas kendali. Si pengendara tak bisa mengendalikan kendaraan dengan baik, hingga akhirnya terjadi kecelakaan itu.”“Bagaimana menurut pengamatanmu? Dan siapa kira-kira pelakunya?”‘Kalau menurut saya, ada yang sengaja merusak Rem. Dan mobil itu milik Tuan. Bisa jadi target utamanya adalah Tuan sendiri, bukan Marchel.”Rangga menatap Alex dengan serius. Dia seperti tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Alex.“Tuduhanmu tidak main-main. Kecuali kau sendiri yang sudah mengeceknya. Kau tahu sendiri’kan mobil itu baru aku pakai semalam dan dalam keadaan baik-baik saja. Jika benar itu terjadi, artinya ada penyusup yang berhasil mengelabui pihak k
Suami yang juga berubah drastis keadaannya dari beberapa menit yang lalu. Rania semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi.“Marchel kenapa, Mas?” Tiba-tiba Rania menjadi gelisah. Debaran jantungnya tak beraturan. Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang terjadi kepada marchel.Rania sangat mengkhawatirkannya. Bukan karena masih ada benih cinta dalam hatinya. Cintanya kepada Marchel sudah terbunuh semenjak tahu apa motif dari perbuatan Marchel. Kini cinta yang sudah tertimbun kembali tumbuh cinta baru yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Semoga saja.“Rania, Marchel ... Marchel ....” Rania dikejutkan oleh Rangga yang tiba-tiba saja mendekap tubuhnya erat. Ada isak tangis yang terdengar. Selama bersama sang suami, baru kali ini dia melihat suaminya menangis. Sifatnya yang keras dan dingin tak pernah sedikitpun memperlihatkan kesedihan. Tapi kini, pria itu meminjam bahunya untuk menumpahkan kesedihan.“Marchel kenapa, Mas? Tolong bicaralah yang jelas.” Rania menepuk-nepuk punggungn
“Astaga.’ Diana memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar. Tubuhnya lemas. Seperti ada himpitan batu yang membuat dada terasa sesak.‘Tidak mungkin. Tidak mungkin Marchel yang membawa mobil itu. Aku harus memastikannya.” Diana memutar tubuh hendak melangkah. Namun tulang belulang terasa lepas dari badan. Tubuhnya tak bertenaga. Untuk mengangkat kaki saja terasa sulit. Namun Diana terus berusaha. Walau dengan susah payah, dia berhasil mencapai kamar Rangga dan menggedor pintu dengan keras.“Buka pintunya! Buka pintunya!” Diana terus menggedor pintu. Dia tidak peduli apa yang dia lakukan akan menggangu penghuni rumah yang tertidur. Yang ada di pikirannya hanya Marchel.“Siapa?” Terdengar suara Rania. Dan itu membuat Diana sedikit lega. Namun dia terus menggedor pintu.Dari dalam kamar, Rania berusaha untuk bengkit. Perlahan, dia menyingkirkan lengan kekar yang melingkar di dadanya. Suaminya tertidur sangat pulas. Rania tidak ingin tidur suaminya terganggu.Walau sudah berhati-hati, tetap