Malam ini Bima menyendiri di teras samping rumah, sementara Gino tengah sibuk di dapur. Berdiam diri di samping teras rumah adalah kebiasaan Bima ketika ia dirundung rasa galau. Bima melipat kaki dan meletakkan gitar di atas pangkuannya. Tatapannya menembus kegelapan, dipandanginya bintang-bintang bertaburan di atas sana. Sesekali ia menarik dan menghela napas berat lalu sebuah senyum manis mengembang dari bibir tipisnya. pikiran Bima terbawa entah ke mana sekarang.
“Woi, ngapain lo senyam, senyum sendirian? Gila, jangan-jangan lo kesambet!” Gino mengguncang bahu Bima. Membuat Bima tersadar dari lamunannya, ia menepis kasar tagan Gino yang terus saja membuat bahunya kebas.
“Apaan sih, No. Gue masih waras, ya.”
“Terus? Ngapain lo semer mesem dari tadi? Atau jangan-jangan.. lo mikir mesum ya, hayo... ngaku lo!” tanya Gino penuh selidik.
Bima memukul kepala Gino, ia mengapit erat leher sahabatnya itu dengan lengan tangannya. “Eh, lo kalo ngomong mikir dulu, yakali Bima si tampan dengan otak polos ini mikir jorok, lu kali yang pikirannya ngeres!”
“Ya.. abisnya lo nggak kayak biasanya?” kata Gino, ia mengikuti arah pandanggan Bima yang menatap langit.
“Menurut lo, cewek yang tadi di kantin, cantik ngga?” tanya Bima akhirnya setelah lama terjadi keheningan.
“Hm... yang duet sama lo itu?” Gino berpikir, mencoba mengingat nama orang yang Bima sebut. “Kalo enggak salah... namanya Mila, kan?”
Bima mengangguk antusias, senyumnya semakin lebar kala wajah polos Mila terlintas dibenaknya.
“Suara dia bagus, ya?”
“Tumben lo muji, jangan bilang... lo mau jadiin dia pacar ke dua puluh, lo?” tanya Gino setelah meletakan secangkir kopi di tengah ia dan Bima. Bima mengedikkan bahu. Bima sendiri belum memikirkan rencana itu, yang ia tahu... setiap kali Bima mengingat wajah Mila detak samar di dadanya kian memburu. Membawa euforia bagi dirinya, Bima ingin tahu bagaimana benar rasanya debaran-debaran penuh kejutan, sensasi bahagia sekaligus cemas saat bertemu, duduk bersama tanpa merasa hal romantis berlebihan, membahas hal-hal tidak perlu seharian bersama Mila. Bima menginginkan semua itu hanya bersama Mila—wanita yang baru saja ia temui.
“Gue ngantuk nih, gue tidurnya di kamar tamu ya, Bim? Males gue lihat lo yang sibuk main hendpon balesin pacar lo satu-satu. Bikin jiwa-jiwa jomblo gue meranah,” guman Gino.
“Makanya cari cewek sana, eh iya, ya. Gue enggak perlu tebar pesona... para cewek udah ngedeketin gue. Seolah, gue daging segar yang enggak bisa mereka lewatin. Enggak kayak lo, jomblo lumutan.”
Gino mendengkus, tapi tidak membalas celaan sohibnya itu. Ia tahu Bima hanya bercanda, lagi pula, Gino bukan tipe orang yang mudah terbawa perasaan.
“Terserah, lo. Gue udah ngantuk... huam....” balas Gino sembari menutupi mulutnya.
Bima mematikan gawai. Setelah terdengar bunyi ngittt... ia merebahkan diri dan memeluk bantal guling kesayangannya. Malam ini Bima tidak ingin diganggu oleh para wanita yang selalu mengejarnya itu. Mata Bima menatap bohlam yang menyala di langit-langit kamarnya. Pemuda itu memejamkan mata lalu menghela napas berat.
“Apa bener, cinta pada pandangan pertama itu nyata?” tanya Bima pada diri sendiri. Selama Bima dekat dengan wanita, baru kali ini Bima dibuat berpikir keras. Bukan tanpa alasan, Bima pikir cinta pada pandangan pertama itu suatu hal yang tidak logis. Ia saja belum pernah segalau ini dalam menghadapi situasi percintaannya.
Kini posisi Bima sudah berubah, tidak lagi terlentang. Bima kini tidur dengan posisi terlengkup dagunya berada di atas bantal guling. “Apa iya, gue harus searching mbah g****e cuman masalah ginian? Ah... bego, ngapain juga gue mikirin. Mending gue tidur sekarang.”
Hari masih terlalu pagi. Jam masih menunjukkan 06. 15 WIB sekolah pun masih sepi. Namun, Ilona sudah setia menunggu kedatangan Bima di parkiran sekolah. Satu kotak makan berbentuk hati berada di pangkuan Ilona. Kemarin malam Bima sama sekali tidak membalas pesannya. Ilona menghubungi Gino dan kata pemuda itu, Gino dan Bima akan datang lebih cepat hari ini. Bima ada tugas piket. Oleh sebab itu Ilona juga datang lebih awal, Ilona ingin melepas rasa khawatirnya juga memberi kejutan untuk Bima.
Saat melihat mobil Bima datang, segera saja Ilona berdiri. Bibirnya tersenyum, dengan langkah anggun Ilona menghampiri Bima dan Gino.
“Pagi Bima. Pagi, Gino,” sapa Ilona ramah.
“Pagi, Lona,” balas Gino sambil mengangkat tangan kanannya. Sementara Bima hanya mengangguk pelan merespon sapaan Ilona.
Ilona mengangkat kotak makanan yang ia bawa di depan dada. Lalu berkata, “Aku bawain ini buat bubu, Bubu semalam kenapa enggak balas Chet aku? Aku khawatir banget sama kamu.” Mata Ilona menyiratkan kekhawatiran, ia menempelkan punggung tangannya ke dahi Bima.
“Ekhm! Lon, cuman Bima nih yang lo kasih makanan? Buat gue mana?” tanya Gino sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Emangnya lo siapa gue? Gue cuman khawatir sama, Bubunya gue aja. Lo bisa beli sendiri,” kata Ilona ketus. Ia kembali mengamati wajah tampan pacarnya itu.
“Aku enggak pa-pa, semalem aku kurang enak badan. Tapi, sekarang udah baikan kok, soalnya senyum kamu kayak obat buat aku,” goda Bima, sebenarnya itu hanya omong kosong. Bima sama sekali tidak mengingat gadis di hadapannya itu. Namanya saja Bima lupa-lupa ingat.
“Aaah... Bubu bisa aja, paling bisa deh bikin aku meleleh,” ujar Ilona tersipu malu.
“Ha ha ha, apa sih yang enggak buat kesayanganku ini? Kamu mending balik kelas ya, nanti aku samperin kamu kesana. Aku ada piket sekarang.” Bima memeras pundak Ilona, ia menatap gadis itu dengan tatapan hangat.
Dan langsung diangguki gadis itu, lalu Ilona meninggalkan Bima dan Gino. Sesekali ia berbalik untuk melambaikan tangan juga meberi kiss bye untuk Bima.
Dasar buaya! Kata Gino dalam hati. Gino tidak habis pikir, bagaimana bisa sahabatnya itu bisa menjerat gadis-gadis cantik. Tidak ada satu pun di antara pacar Bima yang tidak memiliki kelebihan, contohnya ilona--- dia adalah ketua mading juga anak wakil kepala sekolah.
“Lo pelet pake apa sih, tu anak orang? Kok bisa nurut gitu?”
“Pelet? Lo kira dia ikan. Gue terlalu tampan, itu jawabanya,” kata Bima nyengir kuda. “ Ayo! Gue piket nih, bentar lagi masuk.”
Gino cepat-cepat menyamai langkah Bima. Ia belum puas dengan jawaban pemuda itu.
“Kenapa enggak lo suruh mereka aja, bantu piket lo?”
“Mereka itu cewek sob, ya... walau pun gue cuman ngasih harapan palsu, gue enggak bakal tega buat merintah-merinta mereka. Karena cewek itu ratu bukan dijadiin babu.”
Gino mengangguk paham. Benar kata Bima, perempuan itu dilindungi, dibantu bukan malah dijadikan pesuruh. Dalam hati Gino juga kagum kepada Bima. Selain pintar mencari mangsa ternyata ia masih punya sisi laki-laki sejati.
Aina buru-buru berlari ke arah lapangan. Mila sampai bingung ada apa dengan sahabatnya itu."Na, kamu kenapa lari-lari?”"Nggak pa-pa. Yuk, ke lapangan! Bentar lagi pertandingan basket mau dimulai," jawab Aina sambil menggandeng tangan Mila."Oh, itu alasan kamu buru-buru."Aina hanya menyeringai. Mereka berdua mengambil posisi di bangku penonton. Suasana di lapangan sangat riuh, apalagi setelah kemunculan seorang laki-laki yang memakai lencana kapten di lengannya.Wajah tampan laki-laki itu terlihat seksi, ditambah keringat yang terus membasahi dahinya. Alis tebalnya bagaikan pedang samurai yang tajam, dan tanpa emosi. Mila tertegun. Beberapa detik kemudian Mila mengingat siapa laki-laki itu.Sorakan penonton menggema di lapangan."Kak Arjuna!""Semangat, Juna!""Juna! Juna! Juna!""Kyaaa! Ganteng banget!"Dan masih banyak pekikan lainya.&ldquo
Sepulang dari kediaman Dwipandu. Mila dan Aina kembali ke rumah, Mila sedikit merasa lega. Dukungan-dukungan Aina begitu berarti untuknya. Lusa Mila akan menikah dan ia mulai menerka apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah kah pernikahan yang Mila dambakan akan terwujud? Ia sekarang tengah gunda memikirkan hal itu. “Na, menurut kamu... kak Arjuna bagaimana orangnya?” tanya Mila saat mereka duduk berdua di ruang serbaguna rumah Aina. “Se
Kini Mila Hauri Aditama sudah berganti status menjadi istri Arjuna Dwipandu, semenjak seluruh tamu undangan menyorakan kata 'Sah' ia sudah resmi menjadi seorang istri. pernikahan mereka hanya di hadiri sanak saudara saja, Gilbran dan istrinya datang menjadi wali di pernikahan Mila putri mereka. Gilbran marah besar kepada keluarga Dwipandu khususnya pada Arjuna, Gilbran sampai memberikan bogeman mentah ke pipi mulus Arjuna kala itu.Perang dingin masih terjadi antara Mila dan kelaurganya, Mila sedih mengingat kejadian beberapa saat lalu di mana Ayah dan Bundanya seakan tidak mengangapnya ada. usai ijab qobul kedua orang tuanya langsung meninggalkan acara, dengan alasan mereka sibuk harus meeting dan pergi keluar negri.Mila benar-benar merasa tidak di anggap lagi, Mila tersenyum paksa saat menyalimi para tamu undangan sementara Arjuna yang di sampingnya hanya diam sambil menyungingkan senyum kecil. Mila menatap lekat wajah pria yang saat ini telah me
Sudah dua minggu Mila bersekolah di SMA pelita, Mila punya banyak teman. Mila kian hari makin dekat dengan Bima, laki-laki itu tak henti-hentinya membuat Mila tertawa dengan tingkah konyolnya.Mila membuka lokernya, sejak pertama dia masuk sampai sekarang lokernya selalu di penuhi surat dan coklat, Mila benar-benar menjadi primadona SMA pelita. sapaan manis selalu ia dapatkan, ia jadi rindu sahabat penghianatnya Mona, gadis itulah penyebab kehancuran Mila. Sahabat yang sangat ia percayai ternyata seorang penipu ulung. Mona iri dengan ketenaran Mila, puncaknya di mana Kevin laki-laki yang Mona suka berpacaran dengan Mila, saat itu Mila tidak tahu apa pun tentang perasaan Mona kepada Kevin. Selandainya Mila tahu dia akan menjauh dari Kevin walaupun ia sangat mencintainya.**International schoolMona dan ketiga sahabatnya tengah bersantai ria di atas rooftof sekolah mereka tengah membicarakan Mila, mereka senang karena Mila sudah tid
Mila menatap lekat wajah Arjuna yang berbaring di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang dan damai . Berbeda saat ia bangun, yang ada hanya tatapan intimidasi dan nada ketus yang keluar dari bibir manisnya. Mila terkagum-kagum menatap visual indah di depan matanya, suaminya ini memang tampan di lihat dari sisi mana pun ketampanannya tidak akan berkurang. Sudah hampir satu bulan Mila dan Arjuna tinggal bersama. Tentu saja di apartemen Arjuna, kadang-kadang Aina akan datang berkunjung. "Kenapa lo liatin gue.” Alis Arjuna terangkat sebelah, m memandang wajah Mila yang ada di sebelahnya. Mila malu, ia terciduk mengamati suaminya. "Percaya diri sekali Anda.” Mila tersenyum miring. menyembunyikan rasa malunya. "Gue ingatin sekali lagi, di antara kita gak ada hubungan apa pun. lo gak berhak ikut campur dalam kehidupan gue begitu juga sebaliknya. Gue ngak mau lo berani mencintai gue karena itu akan membu
Mila ngos-ngosan di pinggir lapangan, tadi dia baru saja mengikuti olahraga basket. padahal Mila berlari kecil tapi kok bisa ngos-ngosan begitu pikirnya, Mila mendudukkan dirinya di atas rumput di pinggir lapangan, pandangannya fokus menatap pemandangan para siswa yang tengah bermain sepak bola dengan bola basket. Sesekali Mila tertawa saat salah seorang dari mereka terjatuh atau melakukan hal-hal yang menurutnya lucu. "Lo lupa, atau gimana?" sebuah suara mengagetkan Mila, Arjuna menatap sinis Mila. sebenarnya Arjuna khawatir takut terjadi apa-apa dengan Mila. Sedari tadi ia memperhatikan wanita itu, apalagi peluh yang membanjiri dahi Mila begitu mengusik pikirannya. Bagaimana kalau dia kecapekan? tapi Arjuna gengsi untuk mengatakan yang sebenarnya. "Lo mau semua orang tau!" Arjuna menatap Mila dengan tatapan dingin. Mila hanya diam membisu. Arjuna melangkah pergi, kembali menuju lapangan. Mila menatap
Malam ini Mila benar-benar pusing pasalnya sedari tadi dia terus saja terbayang bayang wajah Arjuna. Mila berguling-guling kesana kemari di atas kasur. Jantungnya berdetak tidak karuan saat seseorang yang ia pikirkan berdiri di depan pintu kamar. "Aduh gila. Gue kenapa dah. Nih, jantung nape cenat-cenut mulu sih," batin Mila kesal. Arjuna tanpak biasa saja, dia bingung melihat keadaan kasur yang berantakan biasanya kasur itu selalu tertata rapi. Tapi yasudahlah untuk apa ia pikirkan. "Jadi pergi gak?" suara berat Arjuna mengagetkan Mila yang tengah sibuk sendiri memegangi dadanya yang kian berdetak kencang saat mendengar suara Arjuna. "Ja-jadi," balas Mila gugup, Arjuna menyentuh wajah Mila yang memerah. Apa wanita ini sakit? tanya Arjuna pada dirinya sendiri. "Lo sakit? muka lo kok merah gini?" tanya Arjuna datar, menatap Mila yang kini duduk di samping
Arjuna Dwipandu, siapa yang tak mengenalnya? Kapten basket, penguasa SMA pelita, dan si cerdas kesayangan guru. Tiga kata yang menggambarkan sosok Arjuna, sifatnya yang dingin dan cuek menambah karisma yang menubuatnya menjadi idola para kaum hawa.Setiap kali Arjuna muncul maka ketiga kawannya. Nakula, Sadewa, dan Yudistira juga akan muncul. Mereka bertiga bersahabat baik dan tentunya menjadi anggota tim basket juga. Mereka juga tahu perihal sang kapten yang sudah menikah.Semua mata menatap ke arah yang sama, dan heboh saat Arjuna dan ketiga kawannya berjalan masuk ke dalam kantin. Sang ketua berjalan memimpin bak model, sementara ketiga kawannya berjalan mengekor di belakangnya. Gadis-gadis di kantin berteriak histeris memanggil-manggil nama Arjuna.Namun, Arjuna tak menghiraukan teriakan-teriakan para gadis itu, mata Arjuna yang tajam hanya menatap lurus ke depan, bibir kaku itu mulai melukiskan senyum yang indah, da