Mila mengikuti saran Aina kemarin, ia langsung mengikuti tes setelah para siswa pulang. Setelah menunggu selama tiga hari, akhirnya ia lolos dalam seleksi masuk SMA Pelita. Sekolah itu tidak kalah elite dari sekolah Mila yang dulu.
Mila melangkah masuk ke dalam gerbang. Matanya menatap bangunan sekolah bertingkat empat tersebut. Di sekitar Mila, ramai siswa-siswi berlalu lalang. Mila merasa risi ketika beberapa dari mereka, ada yang memperhatikannya. Polos, Mila mengintrospeksi diri. Mila pikir, penampilannya biasa-biasa saja, tidak ada yang mencolok, sehingga dapat memancing tatapan aneh orang lain.
Aina yang berada di samping Mila, tertawa. "Mil, santai saja. Pakaian kamu ngga ada yang salah, kok. Mereka menatapmu, karena kamu cantik. Kayaknya kamu bakal jadi primadona di sekolah kita," goda Aina.
Mila hanya tersenyum masam. Mila tidak mau jadi pusat perhatian, apalagi kondisinya saat ini sedang mengandung, bisa-bisa urusannya semakin rumit.
Mereka melangkah masuk ke dalam kelas XI MIPA 4. Suasana kelas masih lenggang, hal itu dimanfaatkan Mila dan Aina untuk berjalan-jalan mengelilingi sekolah.
Di sepanjang perjalanan menelusuri lobi kelas, Mila berhasil mencuri perhatian tiap orang yang dilewatinya. Mila benar-benar merasa tak nyaman. Namun, Mila akan mencoba untuk terbiasa.
Berhenti di depan ruang musik, Aina tiba-tiba bertanya, “Mil, dulu kamu ikut ekskul musik, kan? Kamu ngga mau daftar?"
"Ngga, ah, Na. Aku mau ikut kamu kerja aja.”
"Tapi Mil, kamu ‘kan—“ Mila memotong ucapan Aina.
“Na, lagi pula ... aku butuh biaya buat 'dia'.” Mila menyentuh perutnya. Aina pun mengangguk paham.
Bel masuk berbunyi. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan pakaian dinas, memasuki ruang kelas. Suasana kelas yang semula riuh, mendadak berubah senyap.
"Pagi, semuanya!" sapa Bu Nur kepada murid-muridnya.
"Pagi, Bu!" balas mereka serempak.
Bu Nur melirik Mila yang sedang duduk diam sambil memperhatikannya.
“Ada murid baru, ya? Sini, perkenalkan diri dulu," pinta Bu Nur, ramah.
Mila melangkah ke depan. Semua murid yang ada di ruangan memberi perhatian pada Mila.
"Perkenalkan, nama saya Mila Hauri Aditama. Saya pindahan dari International School di Jakarta Utara. Saya anak tunggal. Sebelumnya, saya mendapat jabatan sebagai sekretaris OSIS di sekolah lama saya. Terima kasih. Apa ada yang ingin ditanyakan?"
Salah satu siswa mengangkat tangan. Sehingga memancing murid lain untuk memperhatikannya juga. Namanya adalah Bima Setiawan.
"Udah punya pacar belum, Neng?" tanya Bima.
Mila tersenyum manis ke arahnya. "Belum, nih.”
"Boleh daftar, dong?" tanya Bima lagi. Obrolannya dengan Mila seolah menjadi pertunjukkan lawak bagi yang lain. Sebab, tidak ada yang bisa menahan tawa ketika menyaksikannya.
"Bima! Kamu ini ya, ada-ada saja. Udah, jangan ganggu-ganggu murid baru lagi," tegur Bu Nur, masih tetap ramah.
"Mila, kamu bisa kembali ke tempat duduk kamu."
"Makasih, Bu."
Mila memilih bangku di sudut dekat jendela agar ia bisa dengan leluasa mengamati sekolah.
Bel istirahat berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Mila dan Aina memilih pergi ke kantin.
Di sana mereka menemukan Bima yang sedang bernyanyi, sambil memainkan gitar. Bima dikelilingi banyak murid yang tertarik padanya.
Mila melangkah mendekat lalu menarik sebuah bangku, ia ikut menonton konser dadakan itu. Karena terhanyut alunan lagu, tanpa sadar Mila ikut menyanyi.
“Eyes blue or brown, can't remember.” pandangan Bima tertuju pada gitarnya, ia terus memainkannya hingga ia mendengar balasan suara mengalun indah di telinganya.
“Terpikat senyummu yang memabukkanku,” Balas Mila sembari menatap jari-jari lentik Bima yang memetik senar gitar.
“Eyes green or gray, can't remember.” Bima tersenyum lebar hingga kedua gigi gingsulnya terlihat, ia melirik wanita di depanya dengan ekor mata. Ia mendongak, lalu mengedipkan sebelah mata kearah Mila. Hal itu membuat para kaum hawa berteriak heboh. Mereka kian terpanah dengan suara Bima yang merdu.
“Percuma tahu karena kau bukan milikku.”
“Getting cold, but i have my own sweater
fuck your polyester, 'cause cotton's way
better, you where.”
“Berhasil curi hatiku yang dingin tapi kau hempaskan tak sempat kau hangati.”
“You're lost in Atlantic, trying not to panic . But now it's to late to come back.”
“Pergilah pergi kau takkan pedulikan kan kucoba lagi tuk belajar mencintai.”
"Eyes blue or brown, can't remember."
"Tak lagi terpikat senyumu yang memabukkanku."
"Eyes Gren or brown, can't remember."
"Harusnya kutahu memang kau bukan milikku... ." Mila mengakhiri lagu, ia tersenyum lebar kearah Bima. Matanya di penuhi binar bahagia.
Semua orang bertepuk tangan, konser dadakan kali ini membuat mereka takjub. Banyak yang beranggapan kalau Bima dan Mila, adalah pasangan duet yang serasi. Gino---teman Bima, berjalan mengelilingi penonton sembari mengulurkan topi terbuka, meminta uang.
"Sekarang kasih duit. Cepetan!" ujar Gino kepada para penonton.
Beberapa murid menaruh uangnya ke dalam topi yang Gino pegang. Mila berdiri hendak kembali ke kursinya tadi. Namun, tangannya ditahan oleh Bima.
Bima tersenyum manis ke arahnya. “Gue boleh gabung, ngga?" tanya Bima, masih memegangi tangan Mila.
Mila sedikit menimbang. "Boleh, tapi... lepasin tangan gue dulu."
“Sorry,” kata Bima, sambil mengangkat tangan dengan dua jari membentuk huruf 'V'.
"Gino, sini!” Bima melambaikan tangan, ke arah Gino yang sedang sibuk menghitung uang, hasil konser dadakannya tadi.
“Bentar! Gope tambah dua ribu, tambah sepuluh ribu ... .” Gino berpikir keras sesaat. “Anjir lupa, yang tadi ada berapa, ya?”
“Woi!” teriak Bima.
“Iya, iyaa... .” Malas menghitung ulang, Gino memilih untuk langsung memasukkannya ke dalam saku, lalu pergi menghampiri Bima juga Mila.
"Suara lo bagus banget!” Gino memuji Mila.
Mila tersenyum. “Makasih.”
Sedari tadi, Bima terus memandangi Mila. Hal itu membuat Mila jadi canggung.
"Kamu ngamen apa gimana?" Aina bertanya pada Gino.
"Lumayan buat jajan," ujar Gino, cengar-cengir.
"Nih anak, emang gitu. Padahal tajir, tapi kayak orang susah," celetuk Bima.
Aina mengangguk singkat tanda mengerti.
"Suka-suka gue, dong, Bim." Gino memprotes.
Bima tidak mau kalah. "Yeee! Tapi lo manfaatin suara gue!"
"Udah-udah, bentar lagi bel, mending kita makan sekarang," saran Aina menengahi.
“Yaudah, ayok!” Gino berjalan lebih dulu.
Saat hendak mengambil saus, Bima tidak sengaja menyentuh tangan Mila. Segera saja, Bima menyingkirkan tangannya untuk tidak bersentuhan dengan Mila. Meski begitu, Mila masih bersikap tak acuh. Berbeda dengan Bima yang kedua telinganya mulai memerah, karena malu.
"Cieee, Bima malu. Liat, tuh! Telinga lo sampai berubah warna jadi merah." Gino kemudian terbahak-bahak. “Kalian pada tahu, ngga? Si Bima ini kalo malu telinganya suka langsung merah,” lanjutnya.
Sedangkan Bima, membalas Gino dengan tatapan datar.
Aina dan Mila hanya tersenyum melihat tingkah dua laki-laki di hadapannya. Namun, menurut Mila, Bima memang terlihat lucu, apalagi telinganya yang memerah, membuat Mila ingin tertawa. Sayangnya, karena masih belum kenal dekat, Mila jadi harus menjaga image baiknya.
Bima menjitak kepala Gino dan berusaha membuat suasana mencair. Bima memang malu. Dalam hati, Bima berteriak, '’Bima, lu itu playboy! Kagak ada sejarahnya lu malu-malu meong cuma gara-gara cewek!'’
"Makanannya biar gue aja yang bayarin," ujar Bima, mengalihkan topik pembicaraan yang dirasa menyudutkannya itu.
"Wah, Bim, lo emang sohib gue!" sahut Gino kegirangan, sambil menepuk-nepuk pundak Bima.
"Siapa bilang gue mau neraktir lo? Gue mau traktirin dua cewek ini. Lo, bayar sendiri!”
"Ngga usah, kita bayar masing-masing aja," ucap Mila merasa tak enak, apalagi mereka baru bertemu.
"Ngga pa-pa kok, santai aja. Anggap sebagai perayaan hari pertama kita temenan?"
"Teman?" Mila balik bertanya, ia menatap bingung kepada Bima.
"Iya. Mulai sekarang kita temenan. Lo engga keberatan, kan?”
Mila mengangguk. Membuat Bima tersenyum lebar memamerkan gigi gingsulnya.
Mereka berempat berjalan beriringan menuju kelas. Bima memegangi dadanya yang berdetak tak karuan saat melihat senyum indah Mila. Apa Bima sedang jatuh cinta pada pandangan pertama?
Apa itu mungkin?
1 Bulan kemudian.... Mila terdiam cemas di atas brangkar rumah sakit, ia sangat takut hari ini adalah hari persalinan yang telah dinanti. Arjuna sedari tadi terus menenangkannya. "Kak, Mila takut salah satu dari kami gak selamat," ujar Mila dengan raut wajah murung. Sejujurnya Arjuna juga khawatir. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menyemangati istrinya itu. andai Arjuna dan Mila bisa bertukar peran, Arjuna akan dengan senang hati mengambil alih tanggung jawab Mila. Ia tak ingin melihat Mila kesakitan. "Tenang, Mbul, kamu pasti bisa jangan pikirin yang aneh-aneh," balas Arjuna menciumi ubun-ubun Mia, mencoba menenangkan wanita itu. "Bunda mana, Kak?" "Bunda lagi beli perlengkapan." "Kak, Mila bener-bener takut," Mila kembali mengulang perkataannya, sungguh ia sangat takut saat ini. Apalagi setelah ia membaca artikel tentang kematian ibu muda saat bersalin, hal itu membuat ia merasa sangat takut untuk melah
Jasad Saras masih berada di ruangan UGD setelah di bersihkan. Arjuna tidak kuasa lagi melihat wajah pucat pasi gadis itu, ia memilih duduk di luar ruangan saat keluarganya datang menemui Saras.Arjuna merasa begitu bersalah. Saras dengan berani mengorbankan hidupnya demi menyelamatkan nyawanya, pikiran Arjuna kembali ke masa lalu saat ia dan Saras masih berusia delapan tahun.Sore itu di taman bermain sekolah SD. Saras dan Arjuna masih bermain ayunan, mereka menunggu Wulan yang katanya akan menjemput. Tapi Mama dari Arjuna itu tidak kunjung datang. Saras dan Arjuna kecil tampak bahagia, ditemani ibu guru cantik berkerudung crem senada dengan pakaian dinasnya."Juna, nanti kalo kamu besar kamu mau jadi apa?"Arjuna yang ditanya hanya diam, dia belum memiliki cita-cita."Polisi," balasnya asal."Wah, kalo gitu Saras mau jadi polwan deh. Biar bisa sama-sama terus sama Arjuna!"Arjuna tersenyum mengejek. "Polwan itu harus tinggi, kamu kan
Setelah mendengar cerita Mila, hari ini Arjuna mulai mengatur rencana, ia meminta bantuan kepada sahabatnya Nakula, untuk melacak keberadaan Kevin. Setelah kejadian kemarin Arjuna tidak pergi ke mana pun, Mila terus memeluknya erat tidak membiarkan Arjuna beranjak sedikit pun darinya. Dering telepon baru saja masuk, jakpot tampaknya rencana Arjuna akan berjalan lancar, si pelaku mengantarkan nyawanya sendiri. Panggilan itu dari Kevin.Arjuna menekan tombol hijau, ia diam membiarkan psikopat gila itu bicara."Halo Mila sayang masih ingat suara aku? Tentu kamu masih ingat akukan pacar kamu. Kamu bisa lari kemarin tapi saat kamu kembali kudapatkan. kamu tidak akan bisa lolos dengan mudah," suara tawa terdengar di seberang sana. Arjuna mengepalkan tangan ia sungguh kesal saat ini, api amarah menggebu-gebu dalam hatinya.Panggilan di matikan sepihak oleh Arjuna. Arjuna hanya butuh panggilan Kevin agar dia lebih mudah melacak posisi pemuda itu. Arjuna membangunk
Kevin membuka kamar kurungan Mila dengan perasaan senang, dia sudah bersusah payah memasak semua makanan kesukaan wanita itu. Dia ingin kembali mengenang masa lalu saat mereka saling peduli lewat masakan. Namun wanita yang tadinya berada di atas kasur kini telah hilang entah ke mana. Kevin menarik seprei kasar, membanting semua barang-barang yang ada di sana. Dia tidak mau wanitanya pergi meninggalkannya lagi."MILA LIHAT SAJA AKU GAK AKAN BIARKAN KAMU LOLOS KALI INI!" Kevin melangkah cepat menuju mobilnya, ia yakin Mila belum jauh dari sana. Tempat itu bukanlah tempat yang terekspos khalayak ramai jadi tempat ia bebas bergerak sesukanya.Mila berlari secepat yang ia bisa, ia memegangi perutnya yang sakit, Mila terus berlari di tambah hujan deras makin membuatnya kesulitan. Jalanan licin membuatnya memutuskan untuk berjalan tanpa alas kaki. Mila berdoa semoga saja ia bisa lolos dari psikopat gila itu."Aaakhh! Sa-sakit," Mila terus berlari ke
"Mila cuman cinta suami Mila! Lepasin Mila Kevin!" Teriak Mila lantang. Ia khawatir dengan bayinya air mata yang ia tahan kini berhasil lolos dari pelupuk matanya."Gak, kamu cuman cinta aku! Mila hanya cinta kevin!" Mila dan kevin tiba di sebuah rumah mewah yang jauh dari pusat kota, Kevin membuka pintu mobilnya dengan kasar, ia langsung mengendong Mila memasuki rumah megah itu.Rumah itu berada jauh dari rumah penduduk, di sekitar rumah itu hanya ditumbuhi pepohonan besar dan tinggi, rumah itu adalah rumah almarhumah Ibu Kevin. Ibu Kevin pernah mengalami gangguan mental hingga akhirnya diasingkan di rumah tua yang masih tampak cantik dan megah itu.Mila meronta, terus memukuli dada Kevin yang menggendongnya. "Kak Kevin lepas! Biarin aku pergi!""Gak, sayang, kamu dan aku akan hidup bahagia di sini." Kevin tersenyum manis. Ia membaringkan Mila di atas ranjang king size milik almarhumah Ibunya. Mila meronta ingin melepaskan diri dari Kevin,
Hari ini selesai simulasi, Arjuna mengantarkan Mila ke Mal, katanya dia ingin membeli beberapa perlengkapan mandi dan beberapa barang pribadi untuknya."Mbul, maaf ya, aku ngga bisa temenin kamu. Di kafe ada masalah sedikit, kamu ngga pa-pa 'kan aku tinggal? Jangan matiin HP kamu, kalo ada sesuatu langsung telepon aku!" Arjuna mengingatkan."Iya. Siap.""Tapi bener nih, ngga apa-apa kamu sendirian gini?" tanya Arjuna, kembali memastikan."Ihhh, Kak Juna. Kaya aku anak kecil aja yang harus dijaga terus, udah pergi aja Kak.""Hm, yaudah. Aku pamit." Arjuna mengecup puncak kepala Mila untuk berpamitan, segera saja Arjuna masuk ke dalam mobil setelah ia merasa yakin bahwa Mila bisa dia tinggal sendirian.Mila berkeliling, setelah satu minggu tidak keluar dari apartemen karena takut bertemu Kevin, akhirnya ia bisa kembali menghirup udara segar. Berbelanja adalah salah satu rutinitas yang disukai Mila, mungkin bukan cuman dia saja, sepertiny
"Mila, maaf ya soal tadi. Mbak benar-benar tidak berniat melukai hati kamu.""Nggak apa-apa kok, Mbak. Mila paham, makasih juga sudah ngajak aku jalan pagi Mbak."Mila melambai lalu segera masuk kedalam lif. Sekarang sudah pukul 10 pagi, berjalan pagi membuat dia berkeringat banyak, ada rasa lelah dan segar yang ia rasakan secara bersamaan. Tapi ia kembali teringat dengan Kevin, sekarang Mila harus mulai berhati-hati. Kevin sudah mulai datang ke tempat itu. Padahal jarak dari rumah Kevin sangat jauh, bahkan untuk sampai ke daerah ini memerlukan tiga jam perjalanan.***"Hari ini kita ke rumah mama yuk, Kak!" Mila berujar, sedari tadi siang, ia merasa tidak enak. Pikirannya tidak tenang, ia selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk kalau saja Kevin tiba-tiba menemukannya.Arjuna yang tengah mengerjakan tugasnya di meja belajar melirik ke arah kasur yang istrinya itu tiduri. "Tumben? Kenapa, kok kamu kaya gelisah gitu?"
"Hai, kenalin aku... Kevin. Kevin Dirgantara!"DegJantung Mila rasanya ingin keluar dari tempatnya, detak jantung wanita itu mulai menggila, keringat dingin mulai membasahi pelipis juga tangan yang semulanya terasa panas kini mulai mendingin karena basah oleh keringat. Mila bergerak dengan gelisah, dia sengaja membuang muka, tidak mau sampai Kevin mengetahui dirinya."Hei, aku Kevin. Nama kamu?" Kevin berujar, dia mengulurkan tangan sembari mengamati gerak-gerik Mila yang tampak aneh, seperti orang yang ingin melarikan diri.Mila ragu-ragu untuk membuka mulut, ia tidak bisa diam saja, kalau tidak Kevin akan curiga. Beruntung tadi pagi Arjuna memberikan maskernya yang hampir tertinggal "Eh, ha-hai, aku... Marisa," kata Mila terbata."Marisa? Omong-omong suara kamu mirip sama orang yang aku kenal." Kevin mengamati Mila sebentar, lalu kepalanya menengadah ke atas langit."O-oya." Mila merasa yakin orang yang Kevin maksud adalah dir
"Kak, aku pergi dulu ya!"Mila menyembulkan kepalanya di balik pintu, ia sudah bersiap dengan baju olahraga khusus ibu hamil miliknya, tidak lupa bando polkadot menahan rambutnya agar tidak terjatuh.Arjuna segera menuju pintu apartemen, ia berjalan sembari mengancingkan baju seragam sekolahnya, tidak lupa membawa masker sang istri yang tertinggal di atas meja."Jangan lupa maskernya, Mbul." Arjuna memasangkan masker hitam ke wajah sang istri."He he he, maaf, Kak. Aku terlalu bersemangat, soalnya mau joging bareng mbak rina. Kamu tahu kan, bumil yang baru pindah di lantai bawah?""Mbak rina? Kok aku ngga tau ada tetangga baru?" Arjuna kini sibuk mengikat tali sepatu Mila yang tadinya terikat dengan asal.Diposisi ini, Mila merasa ia seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali akan pergi sekolah. Arjuna dengan telaten mengikat tali sepatunya dengan kuat. Mila sungguh tersentuh dengan apa yang Arjuna lakuka