Setelah beberapa saat mengalami pergulatan batin, Dewi akhirnya menerima begitu saja kehendak Anton. Ia merespon aksi suaminya itu seadanya saja, tanpa antusiasme tinggi seperti yang dimiliki Anton.
Ketika Dewi berbaring telentang dengan Anton berada di atas tubuhnya, ia membuka mata dan menyaksikan pemandangan paling mengerikan yang pernah ia lihat. Wajah Anton terpejam dengan keringat yang bercucuran. Dewi mendesahkan semangat palsu agar semua ini cepat selesai. Matanya terpejam rapat-rapat mencoba mengenyahkan pemandangan buruk tersebut.
Bagaimana bisa dulu ia pernah menganggap laki-laki yang ada di hadapannya sekarang ini adalah jodohnya?
***
Pagi itu, di sebuah kompleks perumahan yang berada di pinggiran Jakarta, penghuninya masing-masing sibuk bersiap-siap untuk menjalani hari. Tapi, tidak demikian halnya di kamar yang berada di satu rumah yang mungil dan sederhana. Pukul 6.30 WIB! Seorang wanita berparas cantik dan berpipi tirus mematikan bunyi alarm dari telepon selulernya. Aksinya itu menjatuhkan tanda pengenal bertuliskan “Cherry Renata” yang terletak di meja. Dara bernama Cherry itu tidak mengindahkannya. Ia kembali menikmati alam mimpi.
Namun, mendadak ada rasa basah di bibir Cherry yang mampu menghentikan perjalanannya ke alam mimpi. Gadis itu membuka mata.
“Pagi, Sayang…. Sebenarnya aku nggak mau bangunin, tapi kamu sendiri yang bilang ada meeting jam 9. Kalau nggak siap-siap sekarang, bisa telat, lho!”
Perlu waktu satu menit untuk mengumpulkan jiwanya yang masih melayang bebas di dunia mimpi. Ketika satu menit berlalu, barulah ia menyadari ada baki sarapan di sisi ranjang di sebelahnya.
“Apa itu?”
“Sarapan. Roti tawar selai sarikaya dan susu kalsium. Cuma itu yang ada di kulkas.”
“Ya, ampun Dika,” Cherry menumpangkan tangannya ke Dika sebagai gestur ucapan terima kasih. “Kamu nggak perlu repot-repot begini.”
“Nggak repot, kok,” Dika memotong roti tawar dan menyuapkannya ke mulut Cherry.
Cherry membuka mulutnya menerima suapan itu. Dika itu adalah seorang pacar yang bersikap seperti pangeran yang bisa membuatnya merasa seperti seorang putri. Coba bayangkan? Seberapa inginnya para perempuan dibuatkan sarapan dan disuapi seperti Cherry? Dirinya sungguh beruntung. Oleh karena itu, ia tidak mau membagi Dika dengan siapa-siapa. Ungkapkan terima kasih, Cherry mendekati Dika dan mencium laki-laki itu. Rasa manis selai sarikaya tertinggal di bibirnya.
Ia sungguh bahagia. Menemukan pria seperti Dika tidak gampang. Ia sudah menjalin kasih dengan banyak laki-laki sebelum ini. Dari semuanya, hanya Dika yang memperlakukannya dengan romantis. Cherry dapat merasakan kalau Dika benar-benar serius dengannya. Laki-laki itu pernah berkata kalau dirinya adalah prioritas utama dalam hidup pria itu. Menggantungkan dagunya di leher Dika, Cherry mendesah dan menyelipkan harap bahwa Dika adalah jodoh yang selama ini dia cari.
Desahan Cherry rupanya menimbulkan efek tertentu bagi Dika karena laki-laki itu tahu-tahu mengerang. “Kamu bisa izin terlambat datang ke kantor, kan?” bisik Dika penuh harap. Kemudian, laki-laki itu menyingkirkan baki sarapan ke meja di samping tempat tidur.
Cherry memandangi laki-laki itu lekat-lekat. Wajah Dika enak dilihat. Mata pria itu tajam dan berwarna hitam keabu-abuan. Hidungnya runcing hampir seperti segitiga. Rambut Dika ditata dengan sebagian poni yang menyentuh dahi. Intinya, Cherry suka.
Ia bertemu dengan Dika di sebuah acara musik. Ia datang ke sana karena urusan pekerjaan dan Dika sebagai penonton. Pria itu yang pertama mengajaknya berkenalan. Cherry tertarik dan setelahnya mereka telah beberapa kali jalan bersama; makan, menonton film di bioskop, dan mengunjungi museum.
Musik tampaknya menjadi lem yang merekatkan keduanya. Tadi malam, mereka pergi clubbing dan berjoget-joget ditemani lagu yang menghentak-hentak. Tentu saja Cherry menikmati minuman beralkohol di sana. Hanya saja, ia tidak hapal berapa banyak gelas yang ia minum. Tahu-tahu, Dika menyetir mobilnya dan mengantarkannya pulang. Meskipun dalam pengaruh alkohol, Cherry cukup yakin kalau tadi malam mereka sempat bercinta.
Cherry adalah wanita yang berpikiran modern. Ia tidak setuju dengan pendapat hubungan penyatuan tubuh seharusnya dilakukan setelah menikah. Ia beranggapan pernikahan tidak hanya melulu tentang rasa sayang, cinta, dan penerimaan. Kegiatan tempat tidur pun termasuk salah satu aspek yang menentukan apakah sebuah pernikahan bisa langgeng atau tidak. Jadi, wajar saja jika dengan Dika, ia tidak keberatan kalau harus melakukan hubungan suami istri sebelum menikah.
Cherry tidak ingat bagaimana rasanya bergumul dengan laki-laki itu tadi malam. Oleh sebab itu, ia ingin mengulanginya lagi untuk mengetahui rasanya. Ia ingin tahu apakah Dika adalah laki-laki sempurna; tidak hanya ganteng dan perhatian, tapi juga piawai di tempat tidur. Benar-benar gambaran seorang pria yang ideal sesuai yang Cherry mau. Apakah Dika adalah jodoh yang selama ini ia cari-cari?
Cherry menegakkan badannya untuk bersandar di headboard. Ia dan Dika duduk berhadap-hadapan. Ia senang sekali saat Dika menghujaninya dengan ciuman. Mungkin. Benar. Dika. Adalah. Jodohnya. Itulah kata-kata yang memenuhi pikiran Cherry saat laki-laki itu menghujaninya dengan ciuman intim.
“Kalau begini, enak nggak?” tanya Dika.
Cherry hanya terdiam karena dirinya adalah tipe wanita yang lebih suka mengedepankan aksi dalam bercinta. Jadi, kalau ditanya-tanya seperti itu, agak janggal baginya. Cherry berusaha membangun kemesraan dengan menarik Dika dalam pelukannya.
Laki-laki itu menyelusupkan jemarinya ke punggung Cherry, lalu menjalarkan jemarinya dari atas sampai ke belahan bokongnya. “Bagaimana rasanya, Cher?”
Lagi-lagi pertanyaan dari Dika. Cherry mengabaikan ketidaksukaannya akan hal tersebut. Ia masih berusaha mempertahankan momentum dan mengeluarkan desah. Agak terasa palsu di telinga Cherry, tapi semoga saja itu menjadi jawaban yang memuaskan bagi Dika.
“Kamu nggak suka yang begitu, ya?” Laki-laki itu menaikkan tangan ke leher Cherry dan menangkup wajah gadis itu mendekat. “Kalau gini?”
Cherry mengeluh dalam hati. Konsentrasinya sudah buyar. Tapi, ia masih berusaha mengembalikan suasana intim dengan memejamkan mata.
“Enak nggak, Sayang?”
Lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting. Keinginan untuk bercinta hilang sudah. Cherry menyerah. Ia melirik baju kerja yang berserakan di lantai kamarnya. Gadis itu menemukan jalan keluar. Cherry turun dari tempat tidur.
“Sayang?”
“Ehm,” terburu-buru Cherry mengenakan baju kerjanya.
“Sebentar aja,” pinta laki-laki itu dengan nada yang beriba-iba.
Cherry menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari tas kerjanya. Ada di dekat pintu. Ia mencangklong tas itu tanpa berusaha menjelaskan alasannya menghindari keintiman yang dilayangkan oleh Dika.
“Nggak boleh terlambat ya?”
Laki-laki yang penuh pengertian itu menyelamatkan Cherry dengan memberikan alasan yang tepat. “Iya iya,” angguknya. Ini kali ia berbalik dan mengecup pipi Dika singkat sebelum meninggalkan pria itu.
***
Cherry sudah di luar kamar dan mencari-cari sepatunya ketika ia ingat kalau dirinya belum mandi. Pikirannya bercabang-cabang antara berbalik dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi atau tetap memajukan langkah ke luar rumah. Bersamaan dengan isi kepala yang penuh pertimbangan, Cherry melihat sepatunya di pintu masuk rumah. Ia mengenakannya dan menyambar kunci mobil di atas meja bufet.
***
Dari kaca spion mobil yang Cherry kendarai menjauh dari rumah, ia menyaksikan Dika yang melambaikan tangan sebagai ucapan perpisahan. Cherry tidak mau berlama-lama melihatnya. Saat itu, labirin otaknya mereka-reka cara cepat untuk memutuskan hubungannya dari seorang laki-laki bernama Dika. Lagi-lagi, harapannya yang tumbuh dalam usaha menemukan jodoh, kembali layu sebelum berkembang.
***
“Masnya nggak tahu apa-apa,” lapor Maria.Jantung Cherry berdegup kencang. Kekhawatirannya terhadap Nay semakin bertambah. Ia ingat meninggalkan sahabatnya itu di sana. Di parkiran. Mereka berpisah cuma karena Cherry terlampau egois hanya mementingkan nafsunya untuk bertemu laki-laki.Ia menyesali tindakannya yang bodoh. Seberapa sering Nay bertemu dengan mendatanginya ke Jakarta? Tidak cukup sering. Itupun ia malah mengabaikan sahabatnya itu. Dan, sekarang akibat perbuatannya, mereka tidak tahu Nay ada di mana. Cherry berpacu dengan waktu. Ia tidak mau terlambat. Ia tidak mau menyesal.“Ayo, Maria. Kita harus ke rumahku!” kata gadis itu seraya memesan taksi.***Ini bukan kali pertama Maria datang ke rumah Cherry. Ia ingat diundang ke sini pada saat gadis itu pertama kali menempati rumah itu. Dulu, tidak ada banyak perabotan ada di sana. Sekarang, kediaman Cherry itu laksana stok foto yang menggambarkan desain interior di m
Taksi yang ditumpangi Cherry memasuki sebuah gedung tinggi yang berlokasi di Sudirman. Sebaik kendaraan itu berhenti, ia pun turun. Kaos pink dan rok abu-abu selutut yang ia pakai sungguh kontras di antara para karyawan yang mengenakan setelan professional. Namun, situasi itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Ia tahu kalau beberapa karyawan pria pasti menelan ludah mengamati penampilannya.Cherry memiliki trik khusus untuk menjaga kepercayaan dirinya di hadapan publik. Tanamkan diri kalau dirinya adalah sosok yang lebih berharga dibandingkan orang-orang asing itu.Ini bukan tentang masalah cantik atau jelek. Soalnya, ada juga mereka yang wajahnya terpahat seperti ukiran perupa Yunani namun tidak memancarkan kepercayaan diri yang hakiki. Jatuhnya, tetap terlihat biasa di mata orang awam.Aura kepercayaan diri Cherry terus mengikuti sewaktu gadis itu menaiki lift dan keluar di lantai sembilan. Lantai itu merupakan lokasi perusahaan tempat Maria bekerja. Di de
Tidak banyak pengunjung di kafe Sara’s Pan, bahkan bisa dibilang hanya Cherry dan Farid yang ada di sana. Oleh karena itu, keduanya bebas memilih tempat duduk.Cherry tentu saja langsung mendatangi meja yang paling sudut dan tersembunyi dari penglihatan. Ia langsung memesan kopi Americano. Cherry perlu asupan kafein demi membangkitkan semangatnya. Maklum, tadi malam ia kurang tidur.“Tadi malam menyenangkan, ya.”Cherry tahu kalau kalimat itu bukan pertanyaan. Ia yakin Farid mengingat momen ketika mereka berada di kamar kos laki-laki itu tadi malam. Oleh karenanya, ia nyengir-nyengir sendiri.“Mau diulangi?” tanya Cherry dengan nada menggoda.Farid tersenyum. Di mata Cherry, senyum pria itu adalah yang paling indah sedunia.Pembicaraan mereka terhenti karena pelayan kafe membawakan pesanan mereka. Kopi Americano untuk Cherry, sedangkan Farid memesan kopi gula aren dan camilan pisang goreng.&ldqu
Regita meletakkan kuas yang sedang ia gunakan. Nay yang melihat itu mengira perempuan itu tidak suka dengan pertanyaannya. Ia ingin meralatnya cepat-cepat.Tapi, belum sempat ia mengutarakan revisi pertanyaannya, tahu-tahu, Regita sudah berkata, “Aku dan suami sebenarnya saling mencintai. Kami bercerai baik-baik. Aku bahkan masih berteman dengannya. Sampai sekarang.”“Terus?” tanya Nay bertambah bingung. Jika tidak ada masalah, mengapa keduanya harus bercerai? Apalagi jika pengakuan Regita benar bahwa keduanya saling mencintai.“Kami nggak bisa membayangkan masa depan kami bersama-sama.”“Kenapa? Katanya sama-sama cinta.”“Ada bentuk cinta yang lain. Cinta itu punya banyak sisi, salah satunya yang aku miliki terhadap mantan suamiku itu.”Nay tersentak. Kata-kata itu mirip dengan yang pernah ia ucapkan dulu. Satu lagi fakta yang membuatnya tercengang. Bukan karena sesuatu yang buruk,
Pada kanvas, terlukis sebuah gambar yang sangat indah. Lukisannya berupa sosok perempuan yang seolah-olah tidak nyata. Namun, sosok itu tampak begitu suci dan damai. Warna-warna yang mengelilingi sosok itu begitu beragam. Nay bahkan tidak pernah mengenali jenis warna yang terlukis di sana.“Wow,” celetuk Nay tanpa sadar.“Suka?” tanya Regita yang telah berdiri di samping Nay, sama-sama menatap lukisan di hadapan mereka.Nay serta-merta mengangguk.“Tapi belum selesai,” kata Regita.Nay menoleh ke arah wanita itu. “Lo yang lukis?” tanyanya.Sekarang, giliran Regita yang mengangguk.Nay masih menatap wanita itu, ini kali dengan penuh kekaguman.“Bagi anak kecil yang nggak mengerti jahatnya dunia, satu-satunya pelarian aku waktu itu yaaah lewat menggambar.”Kata-kata Nay membuatnya menundukkan kepala. Apa yang paling sedih dari seorang anak yang dilahirkan ke dunia
Cherry membuka pintu rumahnya yang sudah ia tinggali selama hampir empat tahun itu. Rumahnya kecil saja. Ruang-ruangnya berukuran mungil dan sederhana. Namun, semua itu sudah mencukupi kebutuhannya. Tapi, apakah hidup seperti ini yang ia mau? Terbersit pertanyaan itu dalam benaknya.Cherry melemparkan tasnya asal-asalan ke atas sofa ruang tamu. Ia melirik baju atasannya yang sebagian sudah terbuka. Itu membuatnya teringat kepada Farid. Langkahnya cepat menuju tempat tidur. Cermin setinggi badan menjadi sasarannya.Dengan saksama, Cherry memeriksa pantulannya di kaca. Tubuhnya cukup tinggi untuk standard perempuan Indonesia. Meskipun tidak memenuhi kriteria seorang peragawati, tidak juga mengintimidasi kaum laki-laki. Rambutnya sengaja dipanjangkan karena ia tahu kaum pria kebanyakan menyukai yang seperti itu. Lekuk badannya juga tidak malu-maluin, Lemaknya menempel di bagian-bagian yang tepat, terutama pada dadanya. Tidak ada pria yang tidak tergoda dengan aset yang ia