Taksi yang ditumpangi Cherry memasuki sebuah gedung tinggi yang berlokasi di Sudirman. Sebaik kendaraan itu berhenti, ia pun turun. Kaos pink dan rok abu-abu selutut yang ia pakai sungguh kontras di antara para karyawan yang mengenakan setelan professional. Namun, situasi itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Ia tahu kalau beberapa karyawan pria pasti menelan ludah mengamati penampilannya.
Cherry memiliki trik khusus untuk menjaga kepercayaan dirinya di hadapan publik. Tanamkan diri kalau dirinya adalah sosok yang lebih berharga dibandingkan orang-orang asing itu.
Ini bukan tentang masalah cantik atau jelek. Soalnya, ada juga mereka yang wajahnya terpahat seperti ukiran perupa Yunani namun tidak memancarkan kepercayaan diri yang hakiki. Jatuhnya, tetap terlihat biasa di mata orang awam.
Aura kepercayaan diri Cherry terus mengikuti sewaktu gadis itu menaiki lift dan keluar di lantai sembilan. Lantai itu merupakan lokasi perusahaan tempat Maria bekerja. Di de
“Masnya nggak tahu apa-apa,” lapor Maria.Jantung Cherry berdegup kencang. Kekhawatirannya terhadap Nay semakin bertambah. Ia ingat meninggalkan sahabatnya itu di sana. Di parkiran. Mereka berpisah cuma karena Cherry terlampau egois hanya mementingkan nafsunya untuk bertemu laki-laki.Ia menyesali tindakannya yang bodoh. Seberapa sering Nay bertemu dengan mendatanginya ke Jakarta? Tidak cukup sering. Itupun ia malah mengabaikan sahabatnya itu. Dan, sekarang akibat perbuatannya, mereka tidak tahu Nay ada di mana. Cherry berpacu dengan waktu. Ia tidak mau terlambat. Ia tidak mau menyesal.“Ayo, Maria. Kita harus ke rumahku!” kata gadis itu seraya memesan taksi.***Ini bukan kali pertama Maria datang ke rumah Cherry. Ia ingat diundang ke sini pada saat gadis itu pertama kali menempati rumah itu. Dulu, tidak ada banyak perabotan ada di sana. Sekarang, kediaman Cherry itu laksana stok foto yang menggambarkan desain interior di m
Suara tangisan bayi membangunkan Dewi dari tidur lelapnya. Pukul 06.00 WIB! Tak ada waktu untuk bermalas-malasan! Sekilas ia melihat Anton yang masih terlelap. Dewi menarik selimut yang dipakai suaminya itu dengan sekali hentakan. Anton terlonjak kaget. Dewi mengeraskan rahang dan menatap tajam suaminya namun tidak berkata apa-apa. Ia sudah bosan menasihati suaminya agar mengurangi sifat malasnya itu. Tapi, apa? Sampai saat ini, tidak ada perubahan apapun dari suaminya itu. *** Aktivitas pagi harinya selalu sama. Dewi akan menghampiri boks bayi dan mengangkat Romeo ke luar kamar. Sambil menggendong anak keduanya yang masih berusia tujuh bulan itu, ia akan menyiapkan MPASI. Makanan pendamping ASI. Sering kali, ia hanya menyajikan bubur instan karena berpacu dengan waktu. Betul sekali. Ia wajib cepat-cepat, karena setelah makan, bayinya itu harus dimandikan. Di momen tersebut, Dewi berusaha menciptakan senyum pada wajah jagoan kecilnya itu dengan bersenandung. Prinsipnya, suasana bol
Dewi menengok jam dinding. Jika ia memusatkan perhatiannya pada Odetta, bisa dipastikan Dewi akan terlambat masuk kantor. Kalau sudah begitu, gajinya bisa terkena potongan. Jangan sampai, pikirnya. Oleh karena itu, ia berusaha mengabaikan saja rengekan anak pertamanya itu.Rupanya Odetta tidak menyerah karena sekarang anak perempuannya itu menarik-narik ujung kimononya.“Mama harus kerja, Odet!” tegur Dewi.Bukannya mengerti situasi Dewi yang sedang terburu-buru, Odetta semakin mengguncang-guncang tubuhnya. Tidak cukup sampai di situ, anak pertamanya itu kemudian berteriak memanggil-manggilnya tanpa henti.Teriakan itu rupanya membangunkan Romeo. Anak laki-laki Dewi pun ikut-ikutan merengek seperti kakaknya. Lama-lama pelan, tetapi beberapa detik kemudian bertambah keras.“Mamaaaa,” panggil Odetta dengan nada suara yang terseret-seret.Dewi kehilangan sabar, “Odetta!” hentaknya. “Mama sudah bilang Mama harus kerja! Biar dapat duit. Sekolah itu perlu duit. Kalau nggak ada, kamu malah n
Setelah beberapa saat mengalami pergulatan batin, Dewi akhirnya menerima begitu saja kehendak Anton. Ia merespon aksi suaminya itu seadanya saja, tanpa antusiasme tinggi seperti yang dimiliki Anton. Ketika Dewi berbaring telentang dengan Anton berada di atas tubuhnya, ia membuka mata dan menyaksikan pemandangan paling mengerikan yang pernah ia lihat. Wajah Anton terpejam dengan keringat yang bercucuran. Dewi mendesahkan semangat palsu agar semua ini cepat selesai. Matanya terpejam rapat-rapat mencoba mengenyahkan pemandangan buruk tersebut. Bagaimana bisa dulu ia pernah menganggap laki-laki yang ada di hadapannya sekarang ini adalah jodohnya? *** Pagi itu, di sebuah kompleks perumahan yang berada di pinggiran Jakarta, penghuninya masing-masing sibuk bersiap-siap untuk menjalani hari. Tapi, tidak demikian halnya di kamar yang berada di satu rumah yang mungil dan sederhana. Pukul 6.30 WIB! Seorang wanita berparas cantik dan berpipi tirus mematikan bunyi alarm dari telepon selulernya.
Pukul delapan pagi dan Cherry sudah tiba di gedung tempatnya bekerja. Bukan hal yang aneh bagi gadis itu karena memang ia suka. Menunggu lift yang akan mengantarnya ke lantai perusahaannya beralamat, Cherry melirik penampilannya di cermin. Walaupun pakaian yang ia kenakan adalah bekas semalam, Cherry masih tetap memesona. Itu berkat riasan wajah yang ia pastikan menonjolkan kelebihan-kelebihannya.Seorang laki-laki tersenyum kepadanya seraya mengambil posisi di samping Cherry. Gadis itu melirik, lalu tidak mengindahkannya. Mata pria itu mengingatkannya kepada Dika. Lengkapnya Dika Irandi, pria ke-13 yang berkasih-kasihan dengannya. Laki-laki yang ditinggalnya tadi merupakan harapan Cherry akan suatu hubungan asmara yang membara. Rupanya, gagal.Sama seperti pria-pria yang pernah dekat dengan Cherry sebelumnya, Dika tidak mampu memberikan hubungan yang panas dan menghanyutkan. Apaan tuh dikit-dikit bertanya, ‘Suka nggak dibeginikan?’ atau ‘Siap-siap, ya’, Cherry menggeleng-gelengkan ke
Mendengar dering telepon, Maria mengangkatnya dan langsung berkata, “Delia, Yazid, and Partners. May I help you?” Ternyata atasannya, Delia yang menelepon. Maria mendengarkan sambil menuliskan perintah-perintah yang dilontarkan bosnya tersebut di secarik kertas. Tidak terdengar kata apa pun selain kata, “Iya” dan gumaman “He eh” dari Maria. Sesekali, wajahnya berkernyit tanda tidak nyaman berkomunikasi dengan Delia. Ketika akhirnya Maria meletakkan gagang telepon di tempatnya semula, ia langsung menghembuskan napas lega. Seraya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 09.15 WIB, ia membaca daftar tugas yang harus ia kerjakan hari ini. - Ambil baju di laundry. - Tulis surat perjanjian kerjasama dengan Mr. Gordy. - Telepon Pak Yazid dan atur ulang rapat. - Sepulang kerja nanti tolong belikan pensil 2B untuk Nazmi. Huft, baru membaca empat daftar tersebut, Maria sudah kehilangan semangat bekerja. Padahal masih ada sepuluh perintah lagi yang harus segera ia kerjakan. Ia melirik ja
Cherry memandang penyanyi perempuan yang duduk di depannya. Inilah akibatnya mengambil undangan permintaan wawancara secara sembarangan. Cherry terpaksa harus mendengarkan celoteh penyanyi baru yang ada di hadapannya saat itu.Ruangan tempat Cherry melaksanakan tugasnya merupakan ruang khusus yang disediakan pihak perusahaan musik untuk melakukan sesi wawancara dengan artis-artis orbitan mereka. Di sana ada sofa dua dudukan, satu kursi, dan seperangkat alat musik akustik. Pada dindingnya, dipajang poster beberapa musisi terkenal. Cherry mengenali semua penyanyi yang ada di sana.Sang penyanyi yang diwawancara oleh Cherry mengenakan crop top yang menurutnya tampak kedodoran. Ia yakin baju itu adalah pinjaman. Dalam industri musik, penyanyi baru tidak memiliki anggaran khusus untuk penampilan, sehingga wajar kalau mereka tidak tampak glamor.Pihak label musik tadi menyatakan kalau jatah untuk wawancara dan sesi foto untuk Melody adalah sebanyak satu jam. Ini baru berjalan sepuluh menit,
Cherry menyesap air mineral yang ia pesan dan merasakan dingin menukik ke ubun-ubun kepalanya. Sepertinya harus mengurangi minum minuman dingin-dingin, nih, pikir Cherry. Di sebelahnya ada Nay yang duduk sambil menyelupkan roti ke dalam sup makaroni yang tersaji. Sahabatnya itu tampak ogah-ogahan menikmati menu yang ia pesan tadi dari Kafe Starlite.“Lo belum cerita kok bisa ya tiba-tiba ke Jakarta?” tanya Cherry. Begitulah ia. Sebaik rasa penasaran hinggap di kepala, ia tidak akan bisa melepaskannya dari usaha mencari tahu.“Bukannya datang ke Jakarta itu biasa? Apalagi lo, Dewi, dan Maria kan sudah tinggal di sini?”Cherry mengamati temannya itu lekat-lekat. “Believe me, Nay! Untuk ukuran lo yang anti sama Jakarta, itu bikin kita takjub.” Ia duduk lebih dekat dengan Nay dan membisikkan, “Nay, lo cuma bawa ransel.”Nay terdiam dan menjatuhkan roti ke dalam sup makaroninya. Cherry meneliti air muka