Dewi menengok jam dinding. Jika ia memusatkan perhatiannya pada Odetta, bisa dipastikan Dewi akan terlambat masuk kantor. Kalau sudah begitu, gajinya bisa terkena potongan. Jangan sampai, pikirnya. Oleh karena itu, ia berusaha mengabaikan saja rengekan anak pertamanya itu.
Rupanya Odetta tidak menyerah karena sekarang anak perempuannya itu menarik-narik ujung kimononya.
“Mama harus kerja, Odet!” tegur Dewi.
Bukannya mengerti situasi Dewi yang sedang terburu-buru, Odetta semakin mengguncang-guncang tubuhnya. Tidak cukup sampai di situ, anak pertamanya itu kemudian berteriak memanggil-manggilnya tanpa henti.
Teriakan itu rupanya membangunkan Romeo. Anak laki-laki Dewi pun ikut-ikutan merengek seperti kakaknya. Lama-lama pelan, tetapi beberapa detik kemudian bertambah keras.
“Mamaaaa,” panggil Odetta dengan nada suara yang terseret-seret.
Dewi kehilangan sabar, “Odetta!” hentaknya. “Mama sudah bilang Mama harus kerja! Biar dapat duit. Sekolah itu perlu duit. Kalau nggak ada, kamu malah nggak bisa sekolah! Kamu terpaksa ngamen di jalan! Mau begitu?”
Suasana hening. Dewi juga membatu. Perasaan bersalah lalu mengalir di sekujur tubuhnya. Ini yang pertama kali Dewi membentak anaknya. Ia buru-buru membungkukkan badan dan berhadap-hadapan dengan Odetta. Dewi yakin, anaknya itu pun tidak menyangka akan dimarahi seperti tadi. Mata Odetta berkaca-kaca. Sudah ada setetes air mata yang siap bergulir di pipi anak perempuannya itu. Hati Dewi ikut merasa perih. Ia ingin merengkuh anaknya itu dalam pelukan.
Namun, mendadak jeritan tangis menggema di kamar tidur mereka. Air mata sudah mengalir deras di pipi Odetta. Suara tangisannya berganti-ganti antara isakan dan raungan. Mulut anak perempuan itu menganga lebar menciptakan jerit tangis yang semakin membahana. Tangis pada bayi ternyata menular. Selain Odetta, Romeo pun tidak mau kalah menunjukkan aksinya mengeluarkan tangis yang meraung-raung. Oleh sebab bingung harus mengurus anaknya yang mana terlebih dahulu, Dewi urung memeluk Odetta.
Dewi menoleh ke arah tempat tidur. Dengan segala kenyaringan yang dapat menulikan telinga pendengarnya itu, Anton tetap terlelap. Dewi mendesah dan mendaratkan bokongnya di lantai. Ia benar-benar mati akal.
***
Tidak berapa kemudian, pintu kamar mereka terbuka. Dewi menengok sosok yang melangkahkan kaki menghampirinya. Ia terkesiap. Namun, kakinya terlalu berat untuk bangkit dan berdiri.
“Oalah, ini kenapa ramai betul?”
Ibu Mertua. Dewi menundukkan kepalanya. Ia menyesali drama pagi ini harus melibatkan ibu dari suaminya itu. Ia juga menyayangkan kenapa Odetta malah memperbesar volume tangisnya demi menarik perhatian Sang Nenek. Romeo pun tidak mau berbaik hatinya dengan ikut-ikutan menangis sekencang mungkin. Dewi semakin membungkukkan badan mencoba bersembunyi dari pandangan menghakimi Ibu Mertua.
Ibu Mertua meraih jemari Odetta dan menggendongnya. “Kenapa Neng Geulis? Euleuh euleuh,” hibur nenek dari anak-anaknya itu.
Tangis Odetta mereda karena mendapatkan simpati dari Sang Nenek. Sekarang, hanya isak saja yang terdengar dari mulut anak perempuannya itu.
“Sini sama Oma. Siapa yang bikin eneng cantik ini menangis? Euleuh euleuh.” Ibu Mertua menggoyang-goyangkan Odetta yang menempel dalam gendongannya.
“Aku nggak bisa gendong dua-duanya,” kata Ibu Mertua dengan nada sinis yang Dewi yakin ditujukan untuk dirinya.
Dewi hanya mendongak dan menatap Ibu Mertua.
“Gendong Romeo biar nggak nangis! Kamu belum kasih susu?”
Cepat-cepat Dewi berdiri.
“Odetta juga belum makan, kan?” tanya Ibu Mertua sambil melirik tajam ke arahnya.
Dewi tahu kalimat-kalimat yang dilontarkan Ibu Mertua itu sebagai sindiran untuk menyalahkan ketidakbecusan Dewi sebagai ibu. Ia ingin membantah tapi bibirnya terasa kelu.
“Kamu ini sudah jadi ibu, bukannya berbakti pada suami, lah kok anak sendiri nggak diurus,” celoteh Ibu Mertua sambil melangkahkan kaki ke luar kamar. Ketika Ibu Mertua benar-benar berlalu dari pandangan, barulah Dewi dapat bebas bernapas. Cepat-cepat ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Kemudian, ia mendekati boks bayi dan menatap bayi mungilnya. Tangis Romeo belum juga reda. Tapi untungnya, sekarang tidak semengerikan tadi.
Instingnya mengatakan Dewi harus segera menenangkan bayinya itu. Namun, syaraf dalam otaknya masih belum menyambung dengan keinginan hatinya tersebut. Ia pun berganti-gantian melihat Romeo dan Anton sehingga Dewi putuskan untuk membiarkan Romeo. Ia berharap tangisan bayi itu dapat membangunkan si babi pemalas yang masih tidur. Sebentar saja kok, tidak akan lama-lama, batinnya karena terselip kekhawatiran kalau pilihannya itu akan mengganggu kenyamanan Romeo.
Sejujurnya, Dewi khawatir kalau Anton tetap terlelap sampai Romeo kehabisan energi dari tangisnya yang tidak berhenti-henti. Untunglah, jeda tiga menit kemudian, Anton membuka mata. Suaminya itu bangun dari kasur sambil mengucek mata. Dewi memalingkan wajah sewaktu Anton menatapnya tatkala menghampiri boks bayi.
“Anak Papa kenapa?” lembut suara suaminya saat mengangkat dan menggendong Romeo. Dari mulutnya yang Dewi yakin berbau busuk itu, Anton menyanyikan lagu “Nina Bobo”. Ajaib! Tidak butuh waktu lama, mata Romeo tampak berat dan lama-lama tertutup. Dengan hati-hati, Anton meletakkan bayinya kembali ke dalam boks.
Menyaksikan itu, berulang kali Dewi mengutuk kalau dunia ini tidak adil dalam hati. Bagaimana mungkin, Anton yang sedari tadi tidak mengindahkan keributan yang terjadi di kamar itu dengan mata seperti terkena lem UHU, dengan gampangnya dapat mengendalikan situasi dengan baik? Cukup beberapa menit dalam gendongan Anton, Romeo dapat kembali tertidur.
“Mau ke mana?” Anton bertanya.
“Mau nongkrong di kafe,” jawab Dewi sekenanya seraya mencari baju kerjanya di lemari. Ia melepaskan kimononya untuk berganti pakaian. Dewi tidak menyadari kalau mata Anton tidak lepas memperhatikan gerak-geriknya. Mendadak, Dewi merasakan pinggangnya dipeluk dari belakang.
“Nggak buru-buru kan, Ma?”
Semua pasangan suami istri pasti tahu kalau kalimat itu adalah rayuan suami untuk meminta jatah. Dewi tidak ingin meladeni permintaan Anton. Ia sudah mandi dan berdandan. Jadi, akan sangat repot kalau ia harus mengulangi aktivitas itu lagi. Selain itu, ia tidak mau membuang-buang waktu yang dapat mengakibatkan dirinya terlambat masuk kerja.
Dewi menepis tangan Anton, “Harus berangkat!”
Bukannya mengurungkan niat, Anton mengalungkan tangan ke pinggang Dewi dan semakin mempererat pelukannya itu. Suaminya itu menghunjami Dewi dengan kecupan-kecupan singkat di lehernya. Dewi menjauhkan lehernya dari serangan nafsu suaminya itu.
“Please,” bujuk Anton lagi. “Bakti pada suami, lho ini.”
Dalam pandangan masyarakat patriarki, istri wajib mematuhi apapun perintah suami. Jika tidak, dianggap tidak berbakti dan secepat itu akan dicap istri durhaka.
Dewi membalikkan badan dan meneliti suaminya. Rambut ikal laki-laki itu kusut masai. Bibir Anton tampak penuh dengan sedikit liur yang menempel. Mata sayu laki-laki itu jauh dari kesan ganteng. Ia menghindari kontak mata dengan suaminya itu. Ah, apa yang ia lihat dari pria ini saat menikahinya dulu?
Anton sejatinya adalah mimpi buruk bagi para wanita yang mendambakan kehidupan pernikahan. Dahulu ia tidak mengerti. Sebagai wanita muda yang romantis, ia tentu mendambakan hubungan asmara yang mulus-mulus saja. Kencan, berpacaran, berjodoh, menikah, memiliki anak, dan hidup bahagia selamanya. Tidak tahunya, takdir punya selera humor yang tinggi. Perjalanan asmaranya harus berliku-liku tanpa sesuai dengan urutan yang diidam-idamkan tadi. Akhirnya, Dewi pun terjebak dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki itu.
Dewi mencoba mengelak saat tangan Anton memulai aktivitas tempat tidur. Ia tahu betul kalau laki-laki itu berusaha keras membangkitkan hasratnya. Pasalnya, laki-laki itu mengeluarkan bisikan penuh rayu di telinganya. Sentuhan laki-laki itu mengelus-elus bahunya. Rayuan mendayu-dayu yang dilancarkan Anton dirasakan Dewi sebagai romantisisme palsu saja.
Hatinya menolak ketika Anton mencium bibirnya. Huek, rasanya seperti mencium asbak yang penuh puntung dan abu rokok. Suaminya itu baru saja bangun tidur dan sama-sekali belum sikat gigi. Karena Anton seorang perokok, siapa yang bisa mengetahui persis berapa batang rokok yang ia hisap sebelum tidur tadi malam? Menjijikkan!
Jika Dewi menghindari cumbu rayu suaminya, permainan ini akan berlangsung lama. Segala daya upaya akan dilakukan Anton demi mendapatkan keinginannya. Dewi menimbang-nimbang karena ia tidak mau terlambat ke kantor. Tapi, apa ia bersedia melakukannya dengan terpaksa?
***
“Masnya nggak tahu apa-apa,” lapor Maria.Jantung Cherry berdegup kencang. Kekhawatirannya terhadap Nay semakin bertambah. Ia ingat meninggalkan sahabatnya itu di sana. Di parkiran. Mereka berpisah cuma karena Cherry terlampau egois hanya mementingkan nafsunya untuk bertemu laki-laki.Ia menyesali tindakannya yang bodoh. Seberapa sering Nay bertemu dengan mendatanginya ke Jakarta? Tidak cukup sering. Itupun ia malah mengabaikan sahabatnya itu. Dan, sekarang akibat perbuatannya, mereka tidak tahu Nay ada di mana. Cherry berpacu dengan waktu. Ia tidak mau terlambat. Ia tidak mau menyesal.“Ayo, Maria. Kita harus ke rumahku!” kata gadis itu seraya memesan taksi.***Ini bukan kali pertama Maria datang ke rumah Cherry. Ia ingat diundang ke sini pada saat gadis itu pertama kali menempati rumah itu. Dulu, tidak ada banyak perabotan ada di sana. Sekarang, kediaman Cherry itu laksana stok foto yang menggambarkan desain interior di m
Taksi yang ditumpangi Cherry memasuki sebuah gedung tinggi yang berlokasi di Sudirman. Sebaik kendaraan itu berhenti, ia pun turun. Kaos pink dan rok abu-abu selutut yang ia pakai sungguh kontras di antara para karyawan yang mengenakan setelan professional. Namun, situasi itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Ia tahu kalau beberapa karyawan pria pasti menelan ludah mengamati penampilannya.Cherry memiliki trik khusus untuk menjaga kepercayaan dirinya di hadapan publik. Tanamkan diri kalau dirinya adalah sosok yang lebih berharga dibandingkan orang-orang asing itu.Ini bukan tentang masalah cantik atau jelek. Soalnya, ada juga mereka yang wajahnya terpahat seperti ukiran perupa Yunani namun tidak memancarkan kepercayaan diri yang hakiki. Jatuhnya, tetap terlihat biasa di mata orang awam.Aura kepercayaan diri Cherry terus mengikuti sewaktu gadis itu menaiki lift dan keluar di lantai sembilan. Lantai itu merupakan lokasi perusahaan tempat Maria bekerja. Di de
Tidak banyak pengunjung di kafe Sara’s Pan, bahkan bisa dibilang hanya Cherry dan Farid yang ada di sana. Oleh karena itu, keduanya bebas memilih tempat duduk.Cherry tentu saja langsung mendatangi meja yang paling sudut dan tersembunyi dari penglihatan. Ia langsung memesan kopi Americano. Cherry perlu asupan kafein demi membangkitkan semangatnya. Maklum, tadi malam ia kurang tidur.“Tadi malam menyenangkan, ya.”Cherry tahu kalau kalimat itu bukan pertanyaan. Ia yakin Farid mengingat momen ketika mereka berada di kamar kos laki-laki itu tadi malam. Oleh karenanya, ia nyengir-nyengir sendiri.“Mau diulangi?” tanya Cherry dengan nada menggoda.Farid tersenyum. Di mata Cherry, senyum pria itu adalah yang paling indah sedunia.Pembicaraan mereka terhenti karena pelayan kafe membawakan pesanan mereka. Kopi Americano untuk Cherry, sedangkan Farid memesan kopi gula aren dan camilan pisang goreng.&ldqu
Regita meletakkan kuas yang sedang ia gunakan. Nay yang melihat itu mengira perempuan itu tidak suka dengan pertanyaannya. Ia ingin meralatnya cepat-cepat.Tapi, belum sempat ia mengutarakan revisi pertanyaannya, tahu-tahu, Regita sudah berkata, “Aku dan suami sebenarnya saling mencintai. Kami bercerai baik-baik. Aku bahkan masih berteman dengannya. Sampai sekarang.”“Terus?” tanya Nay bertambah bingung. Jika tidak ada masalah, mengapa keduanya harus bercerai? Apalagi jika pengakuan Regita benar bahwa keduanya saling mencintai.“Kami nggak bisa membayangkan masa depan kami bersama-sama.”“Kenapa? Katanya sama-sama cinta.”“Ada bentuk cinta yang lain. Cinta itu punya banyak sisi, salah satunya yang aku miliki terhadap mantan suamiku itu.”Nay tersentak. Kata-kata itu mirip dengan yang pernah ia ucapkan dulu. Satu lagi fakta yang membuatnya tercengang. Bukan karena sesuatu yang buruk,
Pada kanvas, terlukis sebuah gambar yang sangat indah. Lukisannya berupa sosok perempuan yang seolah-olah tidak nyata. Namun, sosok itu tampak begitu suci dan damai. Warna-warna yang mengelilingi sosok itu begitu beragam. Nay bahkan tidak pernah mengenali jenis warna yang terlukis di sana.“Wow,” celetuk Nay tanpa sadar.“Suka?” tanya Regita yang telah berdiri di samping Nay, sama-sama menatap lukisan di hadapan mereka.Nay serta-merta mengangguk.“Tapi belum selesai,” kata Regita.Nay menoleh ke arah wanita itu. “Lo yang lukis?” tanyanya.Sekarang, giliran Regita yang mengangguk.Nay masih menatap wanita itu, ini kali dengan penuh kekaguman.“Bagi anak kecil yang nggak mengerti jahatnya dunia, satu-satunya pelarian aku waktu itu yaaah lewat menggambar.”Kata-kata Nay membuatnya menundukkan kepala. Apa yang paling sedih dari seorang anak yang dilahirkan ke dunia
Cherry membuka pintu rumahnya yang sudah ia tinggali selama hampir empat tahun itu. Rumahnya kecil saja. Ruang-ruangnya berukuran mungil dan sederhana. Namun, semua itu sudah mencukupi kebutuhannya. Tapi, apakah hidup seperti ini yang ia mau? Terbersit pertanyaan itu dalam benaknya.Cherry melemparkan tasnya asal-asalan ke atas sofa ruang tamu. Ia melirik baju atasannya yang sebagian sudah terbuka. Itu membuatnya teringat kepada Farid. Langkahnya cepat menuju tempat tidur. Cermin setinggi badan menjadi sasarannya.Dengan saksama, Cherry memeriksa pantulannya di kaca. Tubuhnya cukup tinggi untuk standard perempuan Indonesia. Meskipun tidak memenuhi kriteria seorang peragawati, tidak juga mengintimidasi kaum laki-laki. Rambutnya sengaja dipanjangkan karena ia tahu kaum pria kebanyakan menyukai yang seperti itu. Lekuk badannya juga tidak malu-maluin, Lemaknya menempel di bagian-bagian yang tepat, terutama pada dadanya. Tidak ada pria yang tidak tergoda dengan aset yang ia