Dewi mendongakkan kepala dan melihat teman-temannya satu persatu. Nay yang membebaskan dirinya untuk membuat keputusan apapun. Jiwa feminis sejati memang tertanam pada gadis itu. Kepribadiannya yang keras dan tidak gampang percaya sama laki-laki. Dewi mengagumi sifat temannya itu.
Ia beralih ke arah Cherry. Jujur Dewi akui, di antara mereka berempat, penampilan fisik Cherry yang lebih sering mengundang perhatian laki-laki. Tubuhnya langsing dengan lekuk-lekuk di bagian yang tepat. Cherry bukannya tidak paham akan kelebihannya itu. Bahkan, perempuan itu sering memanfaatkan hal itu untuk keuntungannya sendiri.
Di pojok kamarnya, ada Maria yang sekilas asyik dengan dunianya sendiri. Tapi, justru Maria yang memperhatikan semua yang terjadi di antara mereka. Dalam diamnya, gadis itu sering tidak menyetujui opini yang lain. Namun, bukannya mengutarakan terus-terang, Maria malah memendamnya. Oleh karena itu, ledakan kemarahannya tadi menjadi sesuatu yang di luar kebiasaan.
Maria bingung mendengar kalimat Anton tersebut. Pasalnya, justru ia mencari tahu kenapa Dewi belum muncul di kafe tempat janji mereka bertemu sekarang?“Ini sudah berapa minggu Mar, Dewi belum pulang?”Maria mengernyitkan dahi. Sikap Dewi itu tidak seperti biasanya. Maria tahu kalau teman kuliahnya terlalu sayang kepada Anton. Bahkan dulu, Dewi selalu mengikuti ke manapun Anton pergi.“Odet dan Romeo sudah menanyakan Mamanya terus, nih.”Lagi-lagi informasi yang membuat Maria kehilangan kata. Dewi adalah ibu yang sayang kepada anak-anaknya. Temannya itu pernah berkata kalau seberat apapun kehidupannya, sebisa mungkin anak-anaknya tidak perlu tahu tentang itu. Odetta dan Romeo harus jadi anak-anak yang bahagia. Namun, kebahagiaan apa yang bisa diraih tanpa kehadiran seorang ibu dalam masa tumbuh kembang anak-anakPembicaraan lewat telepon antara Maria dan Anton berakhir setelah Maria meyakinkan laki-laki itu kalau ia akan ber
Maria menyesap kopi Es Americano yang dipesannya lewat Nay. “Terus saja menyembunyikan semuanya dari gue,” sindirnya.Maria telah membawa suasana hati yang buruk dari kantornya akibat masalahnya dengan Donny. Lalu, mendengar kalau ia masih saja tidak diajak berdiskusi dalam perkara menghilangnya Dewi.“What’s wrong with you, girl?” tuding Cherry.“With me?” balas Maria cepat.Saudara-saudara. Cherry Renata yang berlagak lebih terhormat dari mereka semua. Sejak mengenalnya, perempuan itu selalu menjadi yang paling tahu dan tidak pernah salah.“What is wrong with you?” lanjut Maria menirukan nada suara Cherry. “Menurut lo, Dewi menghilang itu bukan sesuatu yang penting? Dari dulu lo selalu begitu, Cher. Lo selalu santai melihat kita semua yang tertimpa masalah secara berganti-gantian. Sedangkan lo… lo dengan enaknya cuma memperhatikan atau, atau, at
Hati Maria masih penuh dengan amarah tatkala ia keluar dari Kafe Starlite. Jalannya terburu-buru sewaktu mendatangi halte Transjakarta, transportasi murah yang harus ia gunakan demi pulang ke rumah Delia, tempatnya menumpang.Jika ia bukan orang miskin dan memiliki uang, ia pasti lebih memilih menaiki taksi. Sayangnya, kalau ia menggunakan uang yang ada padanya sekarang sebagai ongkos taksi, besok bisa-bisa ia tidak mampu membeli makanan. Taruhan, Cherry pasti tidak pernah menghadapi masalah seperti yang ia alami saat itu, sungutnya dalam hati.Katanya, persahabatan akan awet apabila orang-orangnya mengalami satu masalah besar yang mereka pecahkan bersama-sama. Jika menengok ke belakang, peristiwa yang dimaksud itu pasti kehamilan Dewi. Pada saat itu terjadi, mereka bertiga berusaha membantu Dewi sebisanya.Namun, sayangnya ia tidak merasa Cherry dan Nay menghargai apa yang dilakukan oleh Maria. Baiklah, ia tahu kalau Cherry yang membayar biaya persalinan Dewi.
Nay menatap Cherry dan Maria secara bergantian. Biasanya, dalam perdebatan apapun, Maria yang selalu menjadi penengahnya. Tapi kali ini, Nay yang dituntut oleh keduanya untuk memutuskan nasib Dewi.Seperti yang Nay bilang tadi, ia tidak percaya laki-laki. Apalagi, laki-laki seperti Anton. Jika memang pacar Dewi itu adalah sosok pria yang bertanggung jawab, Anton seharusnya mendampingi Dewi sejak awal. Bukannya muncul karena dipaksa.Nay tentu saja tidak percaya bahwa hidup Dewi akan baik-baik saja dengan keberadaan Anton, sekalipun berita ini dikabarkan kepada keluarga laki-laki itu. Nay takut kalau keluarga Anton justru menyalahkan Dewi. Dalam dunia patriarki, meskipun sumber masalah adalah laki-laki, tidak jarang justru wanita yang dianggap biang kerok. Salah sendiri kok mau? Pasti anak saya dijebak? Tudingan seperti itulah yang Nay takutkan akan keluar dari mulut keluarganya.Memang, tadi ia yang mengusulkan kalau ketimbang mengadu kepada keluarga De
Dengan salah tingkah, Nay menerima tisu tersebut yang langsung digunakannya untuk melap jari-jemarinya.“Kamu?” tanya Regita.Wajah Nay pun memerah menyadari ia belum menyambut perkenalan dari perempuan itu. “Nay,” jawabnya lirih.“Kamu yang duduk bertiga sama teman kamu, kan?”“Eh, kok tahu?”“Kayaknya seluruh penghuni Kafe Starlite pasti tahu, deh,” jawab Regita kemudian tertawa kecil.Nay tahu kalau perempuan itu merujuk kepada pertengkaran Cherry dan Maria tadi. Tentu saja itu menjadi pusat perhatian semua orang, termasuk Regita.Ada hening yang tercipta karena Nay tidak tahu harus mengucapkan apa untuk menjaga pembicaraan mereka tetap berlangsung hangat. “Hm,” katanya kemudian sambil mencari-cari topik obrolan, “Kamu sendiri saja di kafe? Atau sedang menunggu teman?”Regita menggelengkan kepalanya. “Aku memang lebih suka ke mana-mana
“Ibu kamu ke mana, Ton?” tanya Dewi sebaik ia melangkahkan kaki ke dalam rumah milik keluarga Anton itu. Ia tahu perempuan yang melahirkan Anton itu sedang tidak berada di sana. Pasalnya, Anton yang memberitahukannya sewaktu menyuruhnya datang untuk menjenguk Odetta dan Romeo. Namun, suaminya itu tidak menyampaikan tujuan ibunya.“Arisan sama ibu-ibu kelasnya Puri.”Puri adalah adik Anton yang masih duduk di bangku SMA. Dewi mengangguk sambil mendudukkan Romeo di lantai yang telah dialasi karpet.“Mamaaa, ini buat Odet?”Gadis kecil Dewi itu menunjukkan sebuah buku mewarnai dan seperangkat krayon. Jawaban darinya belum keluar, Odetta telah mencoret-coret buku itu.“Kamu mau teh?” tanya Anton.Dewi tahu kalau tawaran itu hanya basa-basi semata. Pada akhirnya, Dewilah yang akan membuatkan laki-laki itu minuman. Jadi, ia menggelengkan kepalanya.“Aku buatin, ya. Gulanya sedikit, kan?&
Anton memeluk Dewi yang sedang berbaring di sebelahnya. Meskipun menutupi tubuhnya dengan selimut, laki-laki itu tahu kalau di bawah sana, kekasihnya itu tidak mengenakan kain barang sehelai sekalipun. Dengan iseng, ia memencet buah dada perempuan itu.“Aww,” jerit kecil Dewi yang terdengar merdu di telinga Anton.Perempuan itu menepis tangannya. Anton membalasnya dengan terkekeh. “Aku ketagihan,” katanya.Dewi menggeser posisi tubuhnya. Sekarang, mereka berhadap-hadapan berbaring di atas kasur sempit sebuah losmen murah di kota Bandung. Anton dapat melihat mata kekasihnya yang berbinar. Ia dapat menemukan sinar kebahagiaan di sana, sama seperti yang ia rasakan.“Anton….”Lirih panggilan itu terdengar. Anton menebak kalau perempuannya itu menginginkan ronde kedua. Ia tidak keberatan. Permainan cinta mereka lebih mengasyikkan ketimbang apapun. Berkali-kali pun ia sanggup. Ia merendahkan kepalanya untuk meng
Anton yang masih mengalungi handuk memeluk ibunya. Sebenarnya, ia ingin menangis di pundak ibunya tersebut. Namun, ia tahan-tahan. Ia tidak ingin ibunya bertanya-tanya. Ia juga tidak mau rahasianya ketahuan.“Apa kabar kamu, Nak?” tanya Ibu seraya mengajaknya duduk.Anton menurut saja. “Baik, Bu,” jawabnya berbohong. Apa lagi pilihannya? Tidak mungkin ia berterus-terang dan mengatakan kalau sebentar lagi ibunya itu akan punya cucu. “Ibu naik apa ke sini?”“Menumpang Tante Ayu, tetangga kita. Tante Ayu mau menengok saudaranya sakit yang dirawat di Hasan Sadikin.”Perih hati Anton mendengar penjelasan ibunya itu. Saking miskinnya mereka, untuk mengunjunginya saja Ibu harus menumpang dengan orang lain.“Nanti malam, Tante Ayu bakal ke sini untuk jemput Ibu lagi, terus sama-sama balik Jakarta.”Anton tahu, kalau punya uang, ibunya pasti lebih suka menginap lebih lama di Bandung. Bahkan,