Bab 10Negara Sarandjana sebenarnya pernah ada di kehidupan nyata manusia, tapi dalam bentuk tanjung (daratan yang menjulur ke laut). Tanjoeng Sarandjana, begitulah namanya ketika masih melekat pada pulau Kalimantan. Ini dapat dilihat pada peta yang dibuat oleh Solomon Muller, seorang Naturalis Jerman terbitan tahun 1845. Ternyata pada abad ke-18, Tanjung Sarandjana terletak di kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Entah bencana apa yang telah membuat tanjung itu hilang dari peta. Yang jelas untuk saat ini, tidak ada lagi nama Sarandjana di peta Indonesia. Padahal bila ditelusuri ... dari semua pulau yang ada di Indonesia, Kalimantan adalah pulau yang paling aman bencana. Sejarah mencatut bahwa belum pernah terjadi Tsunami atau gempa bumi yang sekiranya mampu menenggelamkan sebuah tanjung di Kalimantan.Atas dasar aman bencana itulah, sehingga pemerintah pusat bertekad memindahkan ibukota negara Indonesia ke Kalimantan. Tidak pernah ada bencana, tapi kok tanjung Sarandjana rai
Bab 11Malam merangkak ke titik paling pekat. Rupanya itu hanya terjadi di dunia nyata. Di negeri Sarandjana, malam tidak benar-benar gelap. Langit terang benderang oleh miliaran cahaya bintang. Jadi tidak diperlukan lagi lampu jalan maupun lampu taman di malam hari. Selain itu, cuaca selalu stabil sepanjang tahun karena hanya ada satu musim, yaitu musim kemarau.***Malam ini, baik Anang maupun permaisuri Gompeng, sama-sama tak bisa tidur. Gelisah merajai hati keduanya.Terngiang-ngiang tantangan yang diberikan Tuan Attar pada mereka. Laki-laki toxic itu hanya memberi tenggat waktu dua bulan saja.Jadi logikanya, kalau tidak berbuat sekarang, mana mungkin Gompeng bisa hamil bulan depan. Ranjang mewah milik Anang dan Permaisuri Gompeng, sangatlah besar. Bisa memuat sekitar 15 orang di atasnya.Anang berbaring di tepi kanan, sementara Gompeng tepi kiri. Ada spasi merentang jauh di antara mereka.Sesungguhnya itu adalah anjuran dokter Sharukh. Ia meminta keduanya untuk tidak bersentu
Bab 12Keesokan harinya, ketika Anang dan Permaisuri Gompeng masih terkulai di tempat tidur ... Gusti Tjong Vau menelepon dari balai kenegaraan.Ia meminta sang Paduka, agar segera datang ke kantor Kementerian Tanpa Dosa (Kementerian Agama jika di Indonesia).Ada kasus yang diajukan rakyat agar diadili secara adil oleh Paduka Anang. Kasusnya apa, Gusti Tjong Vau belum ingin memberitahu. Ia inginkan Paduka Anang melihat sendiri.Anang Syah segera dimandikan sang Istri. Lalu dengan menggunakan mobil terbang yang dikemudikan seorang ajudan, mereka segera menuju kantor Kementerian Tanpa Dosa.Iring-iringan empat mobil terbang mengawal keberangkatan Permaisuri Gompeng dan Paduka Anang Syah Yang di-Pertuan Agong palsu. Aldo juga turut serta, tentu atas instruksi Anang sendiri.Dari udara, mereka bisa melihat betapa banyaknya orang yang datang ke kantor itu untuk menonton jalannya persidangan.Untuk diketahui, tidak ada kantor pengadilan di Sarandjana. Jarang pula terjadi kejahatan. Kebanyak
Bab 13Sejak kejadian menjatuhkan mobil terbang, Aldo bukannya kapok. Ia malah tertarik pada dunia otomotif di Sarandjana.Dia membuat dirinya akrab dengan para ajudan sehingga diajari cara mengoperasi mobil terbang. Ia juga belajar mengutak-atik mesin, sampai orderdil terkecil. Familiar dengan mobil terbang, Aldo beralih ke mobil-mobil mewah. Di sela-sela waktu mengurus singa kesultanan, ia mendatangi pabrik mobil dan menimba ilmu di sana. Aldo bebas kemana pun dan mempelajari apa pun. Sebab sebelumnya dia telah diangkat menjadi 'Pahlawan Sarandjana'. Yakni figur yang berjasa menyelamatkan serta membawa pulang Perdana Menteri Yang di-Pertuan Agong.Prinsip Aldo ... bila suatu waktu dia kembali ke dunia nyata, setidaknya ilmu otomotif dari Sarandjana bisa diterapkannya di Jakarta.Sesungguhnya, Aldo dan Anang ingin kembali ke sungai itu. Sungai yang adalah akses dimensi. Yang membawa mereka tiba di Sarandjana.Akan tetapi, belum ada waktu yang tepat. Sebab antara Anang dan Aldo sama
Bab 14Sore yang cerah! Langit biru membentang luas diselingi awan putih di beberapa bagian. Langit Sarandjana begitu bercahaya, begitu indah dipandang mata.Nampak Tuan Attar tengah menikmati pemandangan dari balkon lantai dua, kediaman kesultanan. Banyak hal mengganggu pikirannya sore itu. Pemilik hidung mancung dan rahang kokoh itu berupaya menghibur diri sendiri. Kenyataan bahwa istri Kakandanya telah hamil, tidak ada cara lain selain menerima dengan lapang dada."Sial ... sebentar lagi, akan ada yang memanggilku Paman," gerutunya."Paman, kapan paman menikah?!" ujar Tuan Attar membayangkan bila nanti dia disapa oleh keponakannya."Oh hahaha, dasar Kucing kecil yang pilek. Tidak sopan bertanya demikian pada Pamanmu." Tuan Attar kembali meniru percakapan yang dia bayangkan."Maafkan saya, Paman.""Pergi sana, Kucing kecil!"Tuan Attar masih terus membayangkan percakapan-percakapan yang nanti diutarakan sang Keponakan saat ia besar nanti. Tuan Attar meneguk sisa kopi di cangkir. D
Bab 15Anang dan Aldo segera mencium punggung tangan Kiai Abdullah. Meski ada rasa kesal karena telah disesatkan sewaktu di gunung, toh mereka adalah dua anak muda yang tahu bagaimana caranya menghargai seorang ulama."Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap mereka memberi salam."Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, silahkan masuk," jawab Kiai Abdullah.Anang, Aldo dan Gusti Tjong Vau lalu dibimbing menuju sebuah ruangan di mana karpet bulu domba membentang luas. Mereka duduk lesehan karena satu pun kursi tak tersedia di situ. "Dunia ini sempit, ya. Sekarang kita berjumpa lagi," ucap Kiai Abdullah dengan suara yang teduh. Aldo sedikit geram. Ingin rasanya memprotes karena dongkol pernah disesatkan. Namun apalah daya, di hadapannya adalah seorang abdi Allah. Aldo lalu merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan sebuah petek milik si Kakek alias Kiai yang dulu disembunyikan Aldo sewaktu memanggang ikan di tepi sungai. Kiai Abdullah terkesima melihat petek tersebut.
Bab 16Halaman berumput tebal itu amat luas. Bunga Bombol tumbuh di beberapa bagian rumput dan menebarkan bau wangi yang khas. Aldo berbaring di halaman berumput itu. Tatapannya mengawang-awang nun jauh ke langit. Dia rindu rumah, rindu keluarga, rindu teman-teman di kampus. Sudah satu bulan tinggal di Sarandjana, Aldo kuatir jangan sampai sudah bertahun-tahun di dunia nyata saat ini.Pasti teman-temannya telah wisuda. Telah bekerja. Telah berumah tangga. Kalau nanti kembali ke dunia nyata, kira-kira akan seperti apa reaksi orang? Sementara di Sarandjana, dia hanya menjaga singa."Hmm, nasepp, naseeeepp!" dengkus Aldo yang merenungkan nasipnya. Kedua tangannya bergerak menopang kepala.Dari belakangnya, nampak Tuan Attar berjalan megap-megap mendekati. Dia berniat mengagetkan Aldo. "Urang sakit jiwa!!" teriaknya histeris.Aldo seketika melonjak dari berbaring. "Bebek congeekkk ...."Tuan Attar sangat senang melihat Aldo terkejut-kejut. Dia tertawa mengolok laki-laki jangkung itu.
Bab 17Anang mencari-cari Aldo. Semua bagian di kediaman kesultanan telah diperiksa, tapi tak kunjung menemukan lelaki kurus itu.Beberapa saat kemudian Anang tiba di kandang singa. Dilihatnya hewan-hewan itu tengah berbaring malas, seakan merindukan pawang mereka."Di mana pawang kalian, heh?" tanya Anang dengan napas masih naik turun. Masih berbaring malas, keempat singa itu hanya melirik sejenak. Anang lantas meninggalkan kandang itu. Ia mendatangi para ajudan yang tengah berjaga di halaman depan. "Maaf, Paduka. Tuan Aldo sedang pergi jalan-jalan ke negara lain," ungkap salah satu ajudan."Negara lain?""Inggih, Paduka. Dia diajak oleh Tuan Attar. Mereka pergi menggunakan burung pribadi dan ditemani enam ajudan." "Oh, baiklah."Anang tak lagi bertanya. Dia akhirnya melangkah gontai menuju kamarnya yang terletak di lantai tiga. Anang sebenarnya ingin mengajak Aldo mendiskusikan rahasia yang disampaikan Kiai Abdullah kemarin. Terpaksa Anang harus menunggu hingga si kurus itu kem