Mendengar seluruh cerita tentang kesaksian Bi Yola dalam perbincangan Ravin dan Alana, membuat Belva tak tahu harus berkomentar apa.
“Saya juga tidak menginginkan pernikahan ini, Bi. Itu sebabnya aku sendiri yang meminta Ravin untuk kembali ke tempat istri tuanya.” Belva menghela napas, kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi.
“Tapi, soal hubungan Ravin dan Alana yang ditentang keluarga, jujur saja aku baru tau,” sambung Belva. “Memangnya apa yang salah dari Alana? dia kan cantik, model, kalau gak salah anak seorang pengusaha juga! kenapa keluarga Ravin menolak wanita seperti Alana?”
“Balik lagi ke tradisi dan standar yang sudah ditetapkan sama keluarga Tuan Ravin, Nyonya. Mereka kan menginginkan keturunan ningrat juga. Jaman sekarang kan banyak orang kaya, pengusaha, tetapi silsilah keluarganya tidak ada yang berdarah biru.” Bi Yola menjelaskan.
“Ah, lebay banget ya. Padahal kan nikah ya nikah aja. Ngapain pake liat silsilah segala! Selagi orang itu baik dan sama-sama cinta ngapain juga pake pasang standar segala. Persis Oma Tarra!” gerutu Belva kesal.
“Namanya tradisi, Nyonya. Hanya orang terdahulu yang mengerti betapa pentingnya arti sebuah tradisi, budaya, standar tinggi, serta sebuah janji. Orang-orang terdahulu, pantang yang namanya ingkar janji. Hutang budi sekecil apa pun tetap harus dibayar!” ujar Bi Yola. Tampaknya ia memang lebih paham.
“Dalam hal ini kan, Ayah Tuan Ravin itu berhutang budi pada Ayah Nyonya Belva. Jasanya besar, loh. Kalau menurut kita, itu biasa aja. Tapi bagi mereka yang merasakan mungkin akan sangat luar bisa,” sambung Bi Yola.
Belva hanya bergeming dan fokus mendengarkan.
“Kalau soal Nyonya Alana, saya pernah dengar sekali percakapan di telepon antara Tuan Ravin dan Ayahnya, kalau wanita pilihan Tuan Ravin itu meski seorang model, anak pengusaha, tetapi belum tentu bisa menjalankan tradisi-tradisi keluarga. Dari sikap, cara pandang, pasti jauh berbeda. Apalagi ... katanya asal usul keluarga Nyonya Alana itu sebenarnya hanya dari keluarga biasa saja. Malah ibunya itu dulunya ya kayak saya ini, cuma pembantu!” Bi Yola terkikik.
“Sudah jelas kan, mana mungkin keluarga Tuan Ravin yang ningrat dan berdarah biru mau mencampur garis keturunan dengan anak pembantu?” kata Bi Yola.
Belva menghela napas panjang. Teringat juga dengan ceramah dari neneknya. Yang selalu mengatakan, “Si Arav itu cuma anak kuli bangunan. Gak ada keturunan sepadan dengan kita. Jangan ngaco kamu mau menghancurkan garis keturunan! walaupun dia punya usaha besar, tetap Oma gak akan setuju! kamu itu sudah di takdirkan menikah dengan Ravin.”
Terngiang betul ucapan itu. Belva benar-benar lelah sebenarnya. Ia selalu berpikir, lagipula siapa yang memilih untuk dilahirkan dari keluarga seperti apa? entah bangsawan, ningrat, anak pembantu, anak kuli bangunan, menurut pandangan Belva semua sama saja. Cinta tidak memandang itu.
Akan tetapi perintah yang dituakan selalu saja tak bisa dibantah. Apalagi kalau sudah sakit-sakitan.
“Saya gak tau harus berbuat apa, Bi. Mau kabur juga buat apa? ke lubang semut pun Oma pasti bisa menemukan aku. Keluarga Ravin pun gak akan pernah melepaskan aku!” keluh Belva.
“Ya sudah, jalankan saja. Mungkin takdir kalian memang harusnya bersatu. Terkadang kita mengelak dan menjauh sejauh apa pun, kalau orang itu sudah digariskan menjadi milik kita, maka tetap akan kembali dipertemukan. Seperti yang di alami Nyonya Belva dan Tuan Ravin.” Bi Yola tersenyum.
Belva hanya menunduk lemah. Pandangannya kosong dan terlihat begitu lelah.
“Saran Bibi, jangan terlalu membenci. Kita tidak pernah tau ke depannya akan seperti apa, barangkali yang dulunya cinta terus jadi benci kemudian bisa balik lagi menjadi cinta!” katanya sembari tersenyum lebar. Menyindir Belva.
Setelah berbincang-bincang panjang. Akhirnya Belva kembali ke kamar, merenungi nasib lagi. Sempat terngiang ucapan Bi Yola yang terakhir.
“Aku gak benci sama Ravin. Tapi, dia emang tipe lelaki yang menyebalkan aja!” gumam Belva.
***
Pagi-pagi sekitar jam 8. Ravin sudah terlihat begitu rapih, meminta agar asisten rumah tangganya itu mau menemani Alana untuk melakukan cek rutin kehamilan.
“Bi, saya minta tolong temanin Alana ke dokter ya. Saya ada keperluan di proyek!” pinta Ravin.
“Baik, Tuan,” sahut Bi Yola.
“Oh ya, udah jam segini Belva belum turun juga. Dia udah bangun belum?” tanya Ravin.
“Hm ... saya kurang tau, Tuan. Saya baru aja mau ke kamarnya.”
“Ya udah, Alana kayaknya udah rapih tuh. Biar saya aja yang temuin Belva.” Ravin langsung menaiki tangga menuju kamar istri mudanya.
Ravin mengetuk pintu. Sampai beberapa menit, tak ada sahutan. Kemudian ia kembali mengetuk tetap tak ada sahutan. Lalu, Ravin menekan handle pintu dan ternyata tidak di kunci.
“Belva ...” panggil Ravin saat sudah memasuki kamar itu. Sepertinya yang dicari tak ada di mana kamar.
Tak lama Belva keluar dari kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Ia baru saja selesai membersihkan diri dan masih mengenakan handuk yang hanya menutupi sebagian tubuhnya.
“Ravin!!” Belva terperanjat saat melihat suaminya sudah berada didalam kamar. Cepat-cepat ia masuk lagi ke dalam kamar mandi.
Ravin sempat termangu melihat Belva yang hanya mengenakan handuk. Ia menelan ludah dengan berat.
“Ma-maaf, Bel. Aku ketuk pintu dari tadi tapi gak ada sahutan. Pintu juga gak dikunci, aku kira kamu gak ada.”
Di dalam sana, Belva mencoba mengatur napas. Sangat syok dengan kejadian barusan. Ia juga tadi lupa mengunci pintu kamar.
“Nggak apa. Ya udah, kamu keluar sana, aku mau pake baju!” seru Belva dari dalam kamar mandi.
“Oke. Setelah itu, aku tunggu kamu dalam lima menit di meja makan. Ada yang mau aku sampaikan!” kata Ravin.
Belva memelotot dan bergumam. “Mana ada pake baju cuma lima menit!”
“Aku turun dalam waktu 10 menit!” ujar Belva.
Ravin menghela napas dan menjawab. “Baiklah, cepat!”
Tak ada sahutan lagi dari dalam sana. Ravin yakin Belva sudah mengerti. Kemudian ia hendak beranjak dari kamar itu, tetapi tak lama ponsel Belva yang tergeletak di atas nakas bergetar. Langkah Ravin terhenti dan tiba-tiba menjadi resah.
“Telepon dari siapa, ya? jangan-jangan Oma Tarra?” gumam Ravin. Ia gelisah karena mencemaskan rahasianya. Ia takut kalau Belva diam-diam ternyata sudah mengatakan semuanya.
“Ah, tapi kalau dia buka mulut, harusnya Ayah sudah menghubungiku berkali-kali, tapi sejak kemarin hingga hari ini, semuanya baik-baik aja.” Ravin menebak-nebak sendiri.
Ponsel Belva terus bergetar. Sempat mati, kemudian bergetar lagi. Sepertinya ada panggilan penting.
Tanpa ragu, Ravin kembali melangkah mendekat ke arah nakas dan melihat siapa yang membuat panggilan pada istri mudanya itu.
Tigor Calling...
“Siapa Tigor?” Ravin menyipit saat melihat sebuah nama yang tampak asing.
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se